It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Lanjut ya.!
Ngetik nya lewat HP jadi cuma dikit xD
Sedikit sedikit lama lama jadi bukit kok
Si Rio nya susah move on ini )
Sabar~
Penulis nya ngumpulin nyawa )
nah yang aku ingin tanya, ini artinya apa ya:
haq haq haq
sekian terima kasih.
#saking bagusnya ga tau mau ngomentarin apa terpaksa deh nyari2 sesuatu yang bisa dikomentari. lagi mencoba menarik perhatian ts.
lanjut ya^^/
@Beepe si Nino straight loh :P
@ularuskasurius Haq haq haq itu ketawa versi baru bang )
@Tsu_no_YanYan Waaa makasih :x
Tapi minta kritikannya juga dong. Soalnya baru pertama nulis cerita cinta cintaan -___-
aku gak bisa kritik kakak, aku kan masih newbie
mention ya kalo update^^/
Kenapa sekarang dia menatapku?
Bukan Nino?
Apakah dia sudah menyadari perasaanku?
Apakah dia tau kalau aku mencintainya?
Atau....
Apakah dia juga mencintaiku sehingga
menatapku seperti itu?
Tapi satu hal yang aku tau. Tatapan itu
berbeda dengan yang ia berikan kepada
Nino. Tatapan cintanya.
Dengan tiba-tiba Nino menarik lenganku.
"Mau kemana?" tanyaku spontan.
"Ga denger ya kalo tadi itu bel masuk kelas heh!?" Balasnya dengan raut kesal. "Lagian daritadi dipanggil ga denger sih" tambahnya.
"Emang kamu tadi manggil aku?"
Nino hanya mendengus—masih—dengan
raut kesalnya.
"Iya, iya, yuk cepet masuk kelas. Nanti
kalo telat bisa-bisa kita dihukum"
"Harusnya aku yang bilang gitu!" Nino
kembali mendengus. Aku hanya bisa
memberikan cengiranku sambil menarik balik lengan Nino untuk keluar dari Cafe ini.
Diperjalanan aku terus memikirkan tentang tatapan Fabian kepadaku.
Apakah mungkin ada magsud dari tatapan itu?
"Pas udah pulang kita jadi kan jalan-
jalannya?" tanya Nino membuyarkan
lamunanku.
"Jadi kok. Ntar pake motor siapa?" Tanyaku balik.
"Pake motor aku aja. Aku juga bakalan
ngejemput kamu ke rumahmu. Aku kan
Abang kamu" Jawabnya sambil tersenyum.
Ah, lihat! Nino tersenyum saja bisa
membuatku lupa akan semua yang
kupikiran kepada Fabian.
Membuatku terus mendambanya.
Membuatku terus menyayanginya.
Eits, tentu saja menyayanginya sebagai saudaraku. Tidak lebih. Berbeda dengan rasa sayangku kepada Fabian. Aku menyayangi Fabian dengan level yang berbeda dengan Nino.
"Iya deh. Tapi kalo Abang kan suka nge-
traktir adeknya kan?" tanya ku sambil
tersenyum jahil.
Ekspresi Nino menjadi datar. Aku selalu
ingin tertawa jika ia mengeluarkan
ekspresi itu.
"Yah, gajadi deh. Kamu aja yang jadi
Abang" tolaknya.
"Mana bisa gitu. Kalo kamu mau aku yang jadi Abangnya, kamu harus ngikutin semua perintah aku, deal?" tantangku.
Nino menggeleng kan kepalanya tanda dia tidak mau dengan tawaranku. Mengingat waktu itu aku sering menyuruhnya melakukan hal aneh.
"Ga mau ah. Ntar aku disuruh minta Pin BB nya cewek aneh lagi. Aku aja deh yang jadi Abang. Biarin deh jadi yang nge-traktirjuga" jawabnya tegas.
Aku tidak bisa menahan tawaku. Mengingat
saat Nino dan aku akan makan Mall
yang biasa kami datangi, aku pernah
menyuruh Nino untuk meminta Pin BB orang yang kutunjuk sebagai syarat kalau aku akan mentraktirnya. Dan dengan acak aku menunjuk seorang wanita. Yang menurutku penampilannya sangat aneh. Dengan bedak tebal yang menghiasi wajahnya. Yang menjadikannya seperti orang yang baru saja terkena abu vulkanik gunung krakatau.
Ketika itu Nino terus menolak dan
memintaku untuk mengganti orang. Tetapi aku terus memaksanya hingga akhirnya dia menyerah.
Dan tebak apa jawaban ketika Nino bertanya Pin BB nya?
Dia tidak mempunyai Pin BB ataupun
Handphone. Menyebalkan bukan?
Dengan tiba-tiba Nino menyikutku,
membuatku tersedak dengan tawaku
sediri.
"Yaudah deh. Ntar bayarnya sendiri-sendiri aja biar adil" ujarku setelah berhasil mengatur nafas akibat ulah Nino tadi.
"Oke. Ntar tunggu dirumah ya"
Setelah itu kita berjalan berbeda arah
karena kelas kami memang berbeda.
***
Suara klakson tiba-tiba mengagetkanku
yang tengah bermain game handphone dikamarku.
Aku menengok kearah jendela untuk
memastikan bahwa orang itu memang Nino.
"Ayok turun" ajaknya.
"Tunggu bentar!" teriakku.
Kamarku memang ada dilantai dua. Aku
yang memintanya sendiri kepada Mama ku untuk ditempatkan disana. Karena aku tau sendiri sifatku yang lebih menyukai
suasana yang tenang daripada kebisingan.
Mama ku pun langsung mewujudkannya
tanpa ba-bi-bu. Kadang dirumah pun aku
selalu sendiri dikarenakan Mama ku lebih
sering bekerja sejak Papa meninggal saat aku masih kelas dua Sekolah Dasar karena serangan jantung. Tidak benar-benar sendiri sih, ada Mbok Ijah—pembantuku. Tapi dia akan pulang kerumahnya pada pukul enam sore.
Aku memutuskan hanya memakai kaos O neck dan celana jeans biasa saja untuk jalan-jalan hari ini. Ditambah dengan Hoodie dikarenakan udara saat ini memang cukup dingin. Setelah memilih-milih pakaian yang aku gunakan. Aku segera meluncur untuk menemui Nino kemotornya.
Sekarang ini Nino hanya memakai kaos polo dan celana levi's. Tapi penampilannya tidak membuat wajahnya kehilangan
ketampannya sedikitpun. Dia tetap
tampan. Dia akan selalu tampan.
"Yuk jalan"
Diperjalanan kami hanya diam. Aku tidak
tau topik apa yang akan kami bicarakan
nantinya. Aku juga tidak landai memulai
percakapan. Jadi aku putuskan untuk
melihat pemandangan saja diperjalanan—walaupun hanya ada rumah dan toko saja sejauh mata memandang.
Sesampainya kami di kawasan Food Court, masih tidak ada percakapan diantara kami. Kami hanya memakan seadanya.
"Kamu dah punya cewek belum sih? Aku kok belum liat kamu deket sama cewek?"
Pertanyaan Nino sukses membuatku kaget.
Apa yang harus aku jawab?
"Kamu sendiri emangnya dah punya cewek? Aku juga belum liat kamu deket sama cewek disekolah"
Aku membalikan pertanyaan Nino padanya sebagai usaha mengelak.
"Aku dah punya cewek kok" jawabnya
santai dan membuatku kaget untuk kedua kalinya.
"Malah dua bulan lagi itu Anniversary kita yang ke 12" tambahnya.
Sekarang aku benar-benar bingung. Jika
sekarang Nino berumur 17 tahun. Berarti 12 tahun lalu itu umur Nino masih 5 tahun. Apakah dia gila?
"Bisa dijelasin kaga magsudnya?" tanyaku.
Aku benar-benar bingung saat ini.
Nino hanya tersenyum. Sepertinya dia tau kalau aku sedang kebingungan.
"Iya, waktu aku umur 5 tahun, aku pernah nembak cewek tetanggaku. Tapi besoknya dia pergi ke Jepang, katanya Neneknya sakit parah. Jadi mau ga mau dia harus pergi kesana. Tapi dia udah janji kok mau balik lagi kesini"
Aku terhenyak dengan penjelasan singkat Nino.
"Sampe sekarang ini kamu dah kontak-
kontakan berapa kali?"
Sekarang aku benar-benar penasaran
dengan kisah cintanya Nino.
"Belum pernah" jawabnya enteng sambil
mengerdikkan bahunya.
Lagi-lagi aku kembali terhenyak. Tidak
menyangka kalau Nino akan mempercayai orang sampai seperti itu. Ternyata ada yang lebih gila dibandingkan denganku.
"Emangnya kamu bisa percaya gitu aja?
Kan waktu itu umur kalian masih 5 tahun. Masih cinta monyet pula. Emang seberapa besar sih cinta kalian berdua sampe bisa gitu? Bisa aja kan dia sekarang dah lupa sama kamu, terus mungkin dia sekarang dah pacaran sama cowok lain"
"Aku tau kok sekarang dia ga punya pacar. Kita ga boleh pacaran sama siapa-siapa dulu sebelum putus. Itu janji kita pas pisahan dulu"
Sekarang aku benar-benar bingung dengan jalan pikiran Nino. Padahal kami sudah lama bersama.
"Tau darimana kalau dia ga punya pacar?"
Nino mengedikkan bahu.
"Insting mungkin"
Untuk ketiga kalinya aku terhenyak dengan jawaban Nino. Mungkin jika aku terhenyak keempat kalinya aku akan dihadiahi sebuah
piring cantik.
Makanan sudah terhidang dimeja sejak
kami mengobrol tadi. Tapi sepertinya nafsu makanku sudah hilang. Mungkin gara-gara pacar—atau apalah sebutan untuk itu—nya Nino. Aku tidak mau jika yang dijalani Nino ini adalah sebuat harapan kosong.Kemungkinan cewek itu kembali sangat kecil. Mungkin 1 berbanding 1000.
"Rio?"
"Hmm..."
Aku hanya berdehem. Mood ku tiba-tiba
menjadi jelek saat ini.
"Kamu ngambek ya?" tanya Nino khawatir. "Kamu ngambek gara-gara aku ya? Kamu ga usah khawatir kalo mungkin dia ga pernah balik lagi kesini. Aku bakalan baik-baik aja kok. Kan ada kamu yang selalu disamping
aku"
Nino seakan tau isi pikiranku saat ini
sehingga dia menjelaskannya.
Aku tersenyum. Mungkin Nino benar. Masih ada aku disini yang selalu siap untuk menghiburnya.
"Udah. Sekarang abisin makanannya. Biar
nanti cepet tinggi" Nino mengolok ku. Tidak sadar kah dia kalau dirinya sendiri masih kurang tinggi?
Aku mendengus. "Ga sadar diri"
Refleks Nino tertawa keras. Mengundang tatapan pengunjung lain kearah kami. Aku hanya menunduk menerima tatapan mereka. Sedangkan Nino? Dia masih tertawa dengan volume yang sama. Ck, dasar.
***
Istirahat kali ini aku memutuskan pergi ke Perpustakaan untuk sekedar membaca buku. Sepulang dari Mall bersama Nino aku langsung mandi dan mengerjakan semua tugas yang diberikan guruku. Dan setelah itu aku terlelap diatas ranjang empuk ku. Tidak ada yang istimewa.
Tiba-tiba aku melihat Fabian berjalan
kearah tempatku berdiri. Jantungku
sepertinya tidak karuan lagi jika berada
didekatnya.
"Rio!"
Eh? Darimana dia tau namaku?
Mendengarnya tau namaku juga sudah
membuat ku berfikir yang tidak-tidak. Dan jantung ku pun makin berdebar dibuatnya.
"Eh? Kakak tau nama aku dari mana?" tanyaku penasaran.
"Kamu sahabatnya Nino kan?" Seharusnya aku sudah tau. Dan sepertinya aku tau apa magsud darinya tadi memanggilku.
"Iya kak. Ada apa ya?" tanya ku malas.
Mood ku langsung jelek sekarang.
"Kenalin dulu. Nama Kakak—"
"Kak Fabian" jawabku keceplosan.
Fabian mengangkat alis.
"Tau dari mana nama Kakak?"
"Ehm.." Aku menjadi kikuk sekarang. Aku
harus mencari jawaban yang pas untuk ini.
"Aku sama Kakak kan OSIS. Jadi harus tau dong nama anggota OSIS yang lain"
Sekarang Fabian memasang raut biasa. Sepertinya alasanku cukup masuk akal.
"Sekarang Kakak mau ngapain kesini?"
"Ehm..." Sepertinya sekarang giliran dia
menjadi kikuk. Dia menggaruk tengkuknya yang kuyakini tidak gatal sama sekali.
"Kakak boleh ga minta nomer handphonenya Nino?"
Jleb! Sepertinya jarum-jarum itu kembali bersarang dihatiku. Bedanya sekarang jarum itu telah menjadi panas. Membuatku merasakan sakit yang luar biasa.
Aku mencoba tersenyum untuk
menyebunyikan wajah tersiksa ku. Tersiksa karena ribuan jarum itu semakin masuk kedalam ulu hatiku.
"Boleh kok kak. Nih nombernya" Aku
menyerahkan nomor Nino yang terdapat di Kontak Telepon dalam handphone ku.
Aku tidak mau menanyakan alasan dia
meminta nomor nya Nino. Karena aku sudah tau alasan pastinya.
"Udah kak?" tanyaku sesudahnya.
"Udah kok. Makasih ya"
Sesudah itu Fabian meninggalkanku disini sendirian.
Aku tiba-tiba menangis. Jarum-jarum itu sudah menghancurkan pertahananku untuk tidak menangis.
Aku mencoba untuk menahannya. Tetapi sekuat tenaga aku menahannya akhirnya bobol juga.
Aku menangis.
Sendirian.
Membuatku terus merasakan sakit hati.
***
To be continued...
@3ll0
@Gabriel_Valiant
@alvaredza
@d_cetya
@animan
@raharja
@Beepe
@bladex
@Wook15
@trio_shfly17
@blackshappire
@ularuskasurius
@Tsu_no_YanYan
Maaf masih banyak kekurangan O:)