It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Kau bisa langsung menemuinya di Café Carusel. Dia akan menunggu di sana... dan Hyvää onnea—yang berarti good luck dalam Bahasa Suomi” begitu bunyi pesan singkat dari Gustav setelah beberapa menit sebelumnya ia menelpon Mikkel untuk menyuruhnya bertemu dengan salah satu kliennya.
Gustav memang memiliki selera yang buruk untuk menentukan lokasi pertemuan dengan klien. Café Carusel memang terkenal dengan pemandangan lautnya yang indah dan menawan, tetapi tidak ketika musim dingin seperti sekarang. Selain itu tidak ada yang spesial dari café itu. Pelayanan buruk dan Pizza yang disajikan dingin dan rasanya tidak lebih baik dari pada Pizza buatan Nyonya Gustav.
Benar saja. Siang itu Café Carusel sepi pengunjung. Hanya ada beberapa orang yang bersiap untuk menikmati makan siangnya. Salah satu diantara mereka adalah klien Mikkel. Seorang laki-laki berwajah asia menempati kursi di sudut ruangan, di dekat jendela. Spot terbaik di Carusel. Mikkel mengenali laki-laki asia itu sebagai kliennya. Ia pun bergegas menghampiri laki-laki itu.
“Selamat siang,” sapa Mikkel.
Laki-laki asia itu membalas sapaan Mikkel dengan senyuman ramah.
“Anda tidak memesan sesuatu?” tanya Mikkel ketika menyadari tidak ada satu pun makanan maupun minuman di meja yang di depannya.
“Sudah. Beberapa menit yang lalu. Mungkin mereka sedang sibuk,” lagi-lagi laki-laki itu tersenyum ramah. Belum ada klien yang tersenyum begitu ramah kepadanya. Selama ini klien yang ditemui Mikkel selalu memasang wajah kaku dan serius.
“Ya. Mereka terlihat sibuk,” kata Mikkel menanggapi kliennya. Mau tak mau ia menarik kedua ujung bibirnya sehingga memunculkan garis lengkung di wajahnya. Mikkel berusaha tersenyum ramah.
“Kau bisa berhenti bersikap formal. Aku ingin menikmati makan siangku dengan santai. Kau bisa memanggilku Danny. Aku tidak terlalu suka cara Gustav memanggilku,” kata Danny.
“Baiklah, Mr Lee,” ujar Mikkel. Sedangkan Danny menggeleng pelan mendengar kalimat Mikkel. “Maksudku Danny Lee,” koreksi Mikkel cepat.
Danny tertawa pelan. “Kau orang yang menyenangkan, Mikkel Verheyden,” katanya. Mikkel hanya tersipu sambil mempertanyakan. Menyenangkan dalam arti yang positif atau negatif?
“Cinnamon Bun dan secangkir coklat panas,” ujar seorang pelayan ketika berdiri di samping meja Mikkel dan Danny. Mikkel mengamati pelayan yang meletakan pesanan Danny. Raut wajah pelayan itu terlihat masam dan sangat tidak ramah.
“Ya, terima kasih,” Danny tersenyum ramah kepada pelayan sebelum pelayan itu pergi meninggalkan keduanya tanpa mengatakan sapaan basa-basi. Mikkel yang mengamati perilaku Danny tiba-tiba tersenyum tanpa ia sendiri menyadarinya. Ia tersenyum ramah kepada semua orang, gumam Mikkel.
“Apakah aku terlihat lucu?” tanya Danny saat melihat Mikkel tersenyum sambil memandanginya.
Mikkel menjadi salah tingkah mendengar Danny bertanya. “Eh, tidak. Cinnamon Bun adalah pilihan yang tepat,” kata Mikkel sambil memaksakan senyum di wajahnya.
“Ya, aku memilihnya berdasarkan referensi yang aku dapat dari internet. Selain itu Pizza tidak terlalu menarik. Maksudku terlalu biasa. Mumpung aku di Helsinki....” Danny tersenyum ramah, sepertinya ia sengaja menggantung kalimatnya. “Kau tidak memesan makan siang?”
“Tidak. Aku sudah menikmati semangkuk sup salmon sebelum kemari. Kupikir perutku sudah tidak cukup menampung makanan lagi. Setelah kau menikmati makan siangmu kita akan membicarakan mengenai rancangan design interior dan rencana anggarannya. Aku pikir....”
“Ya, Tuhan Mikkel. Apa kita harus membicarakan pekerjaan di hari minggu? Apa Gustav tidak memberikanmu hari libur?” Danny memotong kalimat Mikkel. Lagi-lagi ia membuat Mikkel menjadi salah tingkah. “Bersantailah. Nikmati hari Minggu-mu.”
Mikkel hanya tersenyum canggung. Ia harus mengingat ini, orang Asia tidak terlalu suka membicarakan bisnis di meja makan.
“Omong-omong tentang sup salmon. Aku ingin menyicipinya. Kau mau mengantarku?” tanya Danny.
“Dengan senang hati. Sekarang?” Mikkel berbalik bertanya.
“Tidak.. tidak,” Danny menggeleng pelan. “Akan kuberikan kau kartu namaku, dan berikan aku kartu namamu. Aku akan menghubungi nanti. Hitung-hitung kau menjadi pemandu wisata pribadiku,” lanjutnya. Tak lupa dengan senyuman di wajahnya.
“Baiklah,” Mikkel tersenyum dan mengambil kartu nama dari dalam dompetnya. Keduanya bertukar kartu nama. Meskipun sebenarnya Mikkel tidak terlalu membutuhkan kartu nama Danny karena semua informasi tentang Danny bisa ia dapatkan dengan mudah di dalam data pelanggan yang selalu tersimpan rapi dalam arsip Oliver Gustav Studio.
***
Mikkel Verheyden bekerja sebagai salah satu designer interior di Oliver Gustav Studio. Dengan beralasan ingin merasakan suasana baru, Gustav seenaknya memindahkan studionya yang semula berada di Denmark ke Helsinki. Entah apa yang mengganggu otaknya, Mikkel dan beberapa pekerjanya pun tadinya tidak setuju dengan keputusan Gustav. Hal ini tentu saja akan sangat merepotkan klien-klien lokalnya. Bahkan beberapa membatalkan rencana kontrak kerja. Beruntung Gustav memiliki beberapa pelanggan setia yang dapat memaklumi sikapnya. Salah satunya adalah Danny Lee.
Danny Lee merupakan CEO muda di Great Eagle Group—perusahaan real estate terbesar di Hongkong sekaligus menjadi salah satu pengelola Langham Hotel. Sebuah Hotel bintang lima yang terletak di 8 Peking Road, Hongkong. Keluarga Lee merupakan salah satu penggemar dari semua karya-karya rancangan Oliver Gustav. Bahkan Danny Lee menyempatkan untuk mengunjungi studio baru milik Gustav di Helsinki sekaligus membicarakan tentang rencanaya untuk melakukan renovasi kecil untuk beberapa suit room di Langham Hotel.
Sudah satu minggu setelah pertemuan mereka. Mikkel memainkan kartu nama Danny di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sibuk mencoret-coret sketch book miliknya. Pikirannya tertuju kepada klien Asia yang menarik perhatiannya sejak pertemuan terakhir mereka. Danny masih belum menghubunginya. Mikkel mengingat-ingat kembali pertemuan mereka kemarin. Tak bisa dipungkiri Danny merupakan laki-laki yang menarik. Wajahnya memiliki ciri khas wajah laki-laki asia dengan kulit coklat terbakar matahari. Ia selalu memamerkan senyum ramah yang menjadi ciri khasnya. Menurut Mikkel, Danny sangat seksi.
Ya, Mikkel tertarik dengannya, Ada sesuatu yang berbeda dalam diri Mikkel. Ia menyadari hal itu dan ia menerimanya. Gustav dan beberapa rekannya juga tidak keberatan dengan orientasi seksualnya, bahkan Gustav mengatakan bahwa dirinya berorientasi seksual ganda atau biseksual sebelum akhirnya ia menetapkan untuk menikahi Nyonya Gustav. Akan tetapi Gustav berkali-kali mengingatkan Mikkel untuk tidak menjalin hubungan spesial dengan klien-klien mereka. Peraturan itu terdengar lebih mudah sebelum ia bertemu dengan Danny.
Mikkel tersontak ketika mendengar telepon selulernya berdering dan ia cukup kecewa ketika mendapati nama Gustav yang tertera di layar smartphone-nya.
“Moi! (Halo!)” suara Gustav diujung sana. Mikkel memutar kedua bola matanya. Akhir-akhir ini bos-nya itu sedang menikmati berbicara dalam bahasa Suomi.
“Ya?” Mikkel membalas sapaan Gustav. Ia menghentikan aktivitasnya memainkan kartu nama Danny.
“Ini tentang Danny.” Kalimat Gustav membuat Mikkel menjadi semangat.
“Apa kau ingin aku menemuinya?” tanya Mikkel dengan semangat. Terlalu semangat sampai ia lupa untuk menyembunyikan rasa senangnya.
“Apa itu membuatmu bahagia?” tanya Gustav menyelidik.
Mikkel memilih tidak menjawab pertanyaan Gustav. Well, Gustav memang bisa menyuruhnya melakukan apa saja untuk pekerjaannya, tetapi Gustav tidak bisa mencampuri urusan pribadinya termasuk fakta bahwa Mikkel bahagia mendengar nama Danny disebut-sebut.
“Aku harus ke Denmark selama sepekan, jadi selama aku tidak ada. Aku ingin kau yang menangani semua project yang berkaitan dengan Langham. Oke?” Perintah Gustav.
Mikkel menahan emosinya agar ia tidak terdengar terlalu bahagia. “Baiklah,” katanya.
“Oh! Sekedar mengingatkan. Danny Lee telah bertunangan dengan Miss Joanna Lau. Kalau kau menyukai kepribadiannya yang ramah. Lebih baik lupakan saja.” Kalimat terakhir Gustav membuat semua perasaan senang yang dirasakan oleh Mikkel menguap begitu saja. Tanpa bekas.
“Apa maksudnya?” tanya Mikkel seolah tidak terjadi apa-apa. ia harus mempertahankan harga dirinya dihadapan Gustav. Setidaknya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
“Hmmm, hanya memberi informasi.” Mikkel berani bertaruh, saat ini Gustav sedang memasang senyum jahil yang sangat menyebalkan. “Baiklah, aku serahkan semuanya padamu. Aku harus bergegas mengejar penerbanganku beberapa jam lagi.”
“Ya, berhati-hatilah,” Mikkel mengakhiri sambungan telepon. Kemudian ia duduk lama terdiam di meja kerjanya. Hanya menatap ke arah kartu nama Danny yang masih tergeletak di atas mejanya. Pernyataan Gustav benar-benar mengganggu perasaan Mikkel.
Mikkel membuang nafas panjang. Ya sudahlah, cinta pada pandangan pertama memang tidak selalu berjalan mulus. Ucapnya dalam hati.
***
“Halo, Tuan Designer!” sapa seseorang di ujung telepon.
“Maaf, saat ini aku tidak bisa menerima konsultasi design, silahkan menghubungi Oliver Gustav Studio. Aku yakin seseorang akan membantumu,” kata Mikkel. Ia berusaha untuk tetap terdengar profesional meskipun orang tersebut menghubunginya pagi-pagi buta dan matanya masih setengah terpejam.
“...Tapi tidak ada yang bisa memberitahuku dimana aku dapat menikmati sup salmon yang menjadi khas Helsinki,”
“Danny Lee?” tanya Mikkel sedikit tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Maafkan aku... sepertinya hari ini aku tidak bisa, ada beberapa hal yang harus aku ker....” ia berusaha menolak ajakan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan, apalagi setelah Gustav memberitahunya mengenai status hubungan Danny dengan Joana Lau.
“Kau sudah berjanji padaku,” kata Danny di ujung sana. Nadanya terdengar seperti memerintah. Turuti aku atau aku akan membatalkan semua kontrak dan kau akan dipecat. Baiklah, kalimat terakhir itu hanya imajinasi Mikkel, Danny tidak benar-benar mengatakannya.
“Ba... Baiklah,” Mikkel akhirnya menyetujui ajakan Danny. Itu berarti siang ini dia akan menghabiskan waktunya di Vanha Kauppahalli—salah satu pasar tradisional di Helsinki yang menyediakan sup salmon terbaik di kota.
“Oke, jadi dimana apartemenmu?” lagi-lagi pertanyaan Danny mengejutkan Mikkel. Entah kenapa, Mikkel selalu kewalahan menghadapi Danny. Berkali-kali jantungnya dibuat meloncat karena terkejut atau salah tingkah.
“Apartemenku?” Mikkel mengulangi pertanyaan Danny.
“Tempat kau tinggal, beristirahat, menikmati hari libur. Aku harus tahu alamatnya kan, supaya aku bisa menjemputmu,” jelas Danny.
“Menjemputku?” Mikkel merasa lelah untuk terkejut untuk yang kesekian kalinya.
“Ya, tentu saja. Beberapa menit lagi aku akan keluar dari hotel dan menjemputmu. Lebih baik kau cepat memberi tahukan alamat apartemenmu.”
“Sekarang?”
“Ya, Tuhan...” Danny terdengar sibuk diujung sana. “Tentu saja, Mikkel Verheyden. Kapan lagi?”
“Kupikir kau akan pergi denganku saat makan siang nanti....”
“Dan setengah hari duduk diam di dalam hotel? Melewatkan indahnya kota ini? Tentu saja tidak,” Mikkel mendengar suara pintu mobil ditutup dari ujung telepon. “Alamatmu?” tanya Danny lagi.
“Célin Apartment No 302, Katajanokka. Kau bisa menanyakan alamatnya kepada pegawai hotel disana,” kata Mikkel setengah panik.
“Baiklah, Bersiaplah untuk kencan kita,” setelah berkata seperti itu terdengar tawa Danny di ujung telepon.
“A....Apa??? Ke-Ke-Kencan?!” Mikkel mendadak sangat gugup.
Ketika terdengar suara sambungan telepon terputus, Mikkel merasa lega. Rasa lega yang hanya ia rasakan beberapa menit saja, setelahnya ia kembali gugup. Apa lagi ia akan melakukan kencan dengan salah satu kliennya. Gustav akan menggantungnya kalau ia mendengar kabar ini.
Masa bodoh dengan Gustav. Saat ini laki-laki tua—baiklah, Gustav tidak terlalu tua—itu sedang menikmati perjalanannya menuju Denmark bersiap-siap untuk membereskan semua masalah yang ia buat setelah kepindahan Oliver Gustav Studio ke Helsinki. Mikkel bergegas mencuci mukanya. Suhu di luar cukup rendah sehingga ia memutuskan untuk mengenakan sweater terbaiknya dan matel berwarna khaki yang terlihat serasi dengan celana coklat pemberian Kate—rekan kerjanya.
Terdengar seseorang memncet bel apartemennya ketika Mikkel memberikan sentuhan terakhir pada rambutnya. Mikkel yakin seseorang dibalik pintu apartemennya adalah Danny.
“Hai, Tuan Designer!” sapa Danny. Wajahnya terlihat segar dengan aroma maskulin dari parfumnya yang dominan.
“Hai, Tuan Pelanggan,” balas Mikkel.
Danny terkekeh. Saat hari pertama mereka bertemu dan Danny mengatakan bahwa ia menyukai laki-laki di hadapannya, ia mengatakannya dengan jujur. Mikkel memang laki-laki yang menarik apalagi sikapnya yang selalu canggung terkadang membuat Danny gemas ingin terus mengerjainya.
“Kau tahu cara memilih tempat yang nyaman untuk menikmati hari libur. Katajanokka benar-benar sempurna,” seru Danny terdengar kagum.
“Aku harap kau tidak tersesat tadi...” kata Mikkel setengah berteriak karena dia sedang berada di sisi lain dari ruang tengahnya dan ia sengaja tidak mengajak Danny masuk ke dalam apartemennya.
“Aku tahu tempat yang sempurna untuk meneguk secangkir kopi di pagi hari,” usul Mikkel menghentikan langkah Danny yang tadinya ingin memasuki apartemen Mikkel. Danny hanya menatap Mikkel heran. “Johan & Nyström?” terdengar nada percaya diri dalam tawaran Mikkel. Tentu saja ia sangat percaya diri. Ia baru saja menawarkan salah satu tempat favorit separuh warga Helsinki untuk menikmati secangkir kopi dan teh dimusim dingin.
“Baiklah, kita bisa menyantap sarapan ringan dan secangkir kopi di tempat Johan dan temannya,” kata Danny. Ia membatalkan niatnya untuk masuk ke dalam apartemen Mikkel. Apartemen berukuran sedang untuk dihuni seorang pria lajang dengan design tata ruang yang menarik. Tentu saja, Mikkel merupakan ahli dalam bidang penataan ruang dan interior. Ia tidak akan membiarkan semuanya terlihat sederhana dan biasa.
“Johan & Nyström,” koreksi Mikkel.
cerita ini sebenernya udah lama aku bikin. rencananya mau diikutin lomba cerpennya si rendi. tapi sayangnya nggak kekejar deadline. jadi batal deh..
kebetulan malah stuck di beberapa part akhir-nya... endingnya udah kepikiran, tapi masih bingung 'ngebawa'nya gimana. sengaja dipost supaya dapat masukan dari reader..
■■■■■
Mbak @mamomento kenapa belum dikelarin?
Menurutku sih ini terlalu cepet alurnya. Nggak kayak dikejar anjing sih, tapi ritme-nya buatku terlalu cepet. Dan dari dialog2nya, aku nggak bisa ngerasain 'feel'-nya Mikkel. Berasa kurang profesional mengingat profesi mereka dan usia, tentunya. Masih kayak anak remaja awal 20an
Ayo lanjutkan!
,
ABI
*saran : D jadiim cerbung aja.