It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
oOo What do I Do If You Will be Being The Same? oOo
#NATA’S POV#
“Nata bangun! Cepat bangun atau mama akan ke atas dan-“
“Ma, aku sudah bangun..,”
“Heh? Nata? Apa yang kamu lakukan pagi-pagi di sini?”
Mama menoleh ke belakang menghentikan sejenak aktifitasnya memotong sayur untuk sarapan kami pagi ini. Kulihat kekagetan begitu tercetak di wajah mama, hei apa melihatku bangun pagi lebih mengejutkan dari apapun bagi mamaku? Uhh mama menyebalkan!
“Aku mau- eh mama! Sedang apa?“
“Kamu sakit?” tanya mama sambil menempelkan keningnya di keningku. Sekarang raut kaget yang tadi kulihat hilang berganti raut cemas.
“Hehehe aku ngga sakit ma. Aku cuma bangun lebih pagi! Apa itu aneh?” senyuman lebar kuberi untuk mama, berharap raut cemas segera hilang dari paras cantiknya.
“Mama serius, Nata. Kamu ada masalah?” tegasnya padaku.
“Ngga, aku baik-baik aja. Mama bisa pegang omongan Nata!!”
“Syukurlah… Hei tebak apa yang mama masak pagi ini?”
“Apa?”
“Nasi goreng omlat spesial,”
“Yeeiiii nasi goreng omlet! Nasi goreng omlet mama memang ngga ada duanya!!!” kupeluk mama erat.
“Hehehe dasar bodoh,” balasnya sembari memukul pelan kepalaku.
“Huuu sakit!”
“Lemah! Temani ayahmu di ruang makan sana! Hush hush,”
“Mama, aku mau berangkat lebih awal hari ini, nasi gorengnya kubawa dan kumakan nanti di sekolah aja yah,”
“…”
“Mama?”
“… baiklah, akan mama siapkan bekalmu. Kamu tunggu di meja makan,”
“Baik nyonya besar!” seruku dan segera berlari sebelum terkena jitakan maut spesial dari mama. Dia ngga pernah suka kupanggil nyonya besar, ihihi…
=====T.S.U=====
“Aku berangkat!!!” kuayunkan kakiku cepat melewati halaman depan rumahku. Huaaa langit masih sedikit gelap. Kulewati pagar rumahku dan berbelok ke kanan.
“Nata, kamu ngga berangkat bareng Eril?“ suara ayah sukses menghentikan langkahku. Kubalikan kembali pandanganku pada ayah dan mama yang berdiri sejajar tepat di depan pintu rumah. Kulihat ayah yang telah rapih dengan pakaian kerjanya, tangan kirinya memegang tas dan tangan kanan-telunjuknya- terarah ke sisi kiri dirinya, tepat mengarah ke rumah besar di sebelah rumah kami. Kediaman keluarga Agata, rumah Eril.
“Ah… aku rasa Eril belum siap. Dia… ngga ada keperluan mendesak seperti aku jadi hmm aku rasa akan terlalu pagi buat dia kalau berangkat bersamaku sekarang…. Jadi emmm,”
“Nata, cepat berangkat atau kamu akan terlambat!” sela mama atas perkataanku.
“Eh? Ba-baik. Kalau begitu aku berangkat, dah mama dah ayah!” segera kuayunkan kakiku cepat meninggalkan rumah sebelum muncul pertanyaan berikutnya yang akan lebih sulit kujawab. ‘Tak kuhiraukan raut bingung ayah dan sorotan berbeda dari mata mama yang ditujukan padaku sesaat tadi. Yahh aku tidak begitu mengerti tapi kurasa tadi mama membantuku…
Aku berhenti berlari saat yakin mata ayah dan mama tidak lagi bisa menjangkau keberadaanku. Aku terdiam, banyak hal memenuhi pikiranku saat ini. Banyak hal dan semuanya berpusat pada satu orang, Eril… bagaimana aku dan dia kedepannya nanti? Akankah tetap sama ataukah akan berbeda? Bolehkah aku menyesal sekarang atas pengakuanku kemarin padanya?
Ngga! Menyesal lalu apa? ngga akan ada perubahan karenanya! ngga boleh menyesal! Iya siapa yang menyesal? Aku ngga menyesal!!
Aku tidak menyesal, karena cintaku padanya bukan untuk disesali…
“Yosssh! Ayooo lari sampai ke halte bis!!!” kembali kupacu langkahku. Berlari berlari dan berlari sampai-
“Pagi, Nata,”
‘Eril… kenapa dia di sini?’ batinku, mataku melebar ketika mendapati keberadaannya di halte bis.
“Aku bilang, pagi Nata,”
“Eh, pagi Eril,”
“Hn,”
“Kenapa kamu di sini?” tanyaku.
“Menunggumu,”
“Menunggu aku?”
“Ya, menunggumu dan menunggu bis,”
“Kenapa?”
“Apanya?”
“Kenapa menunggu aku?”
“…” Eril menatapku lekat, ‘tak ada jawaban lagi yang keluar dari mulutnya, hanya diam menatapku. Kenapa dia menatapku seperti itu?
“Ada apa, Eril?”
“Apanya?”
“Kenapa menatapku begitu?”
“Kurasa bangun terlalu pagi ngga baik untukmu. Kamu jadi aneh, kamu tahu itu, Nata si bodoh?” katanya sambil menampakan senyum itu, senyum miring penuh makna merendahkan.
“Apa?... Eril brengsek! Bilang aku bodoh terus! Aku ngga bodoh! Dasar Eril brengsek! Sekali brengsek tetap brengsek! eh?..,”
Iya, Eril tetap Eril… ngga berubah, tetap Eril-ku yang sama…
Haruskah aku seperti kamu, Eril? Bersikap biasa, berpura-pura ‘tak terjadi apa-apa. Bolehkah aku juga menganggap kita baik-baik saja? Bolehkah, Eril?
Tapi setelah itu bagaimana?... Aku akan tetap jadi sahabatmu? Aku tetap akan bersamamu?Apakah dengan itu rasa ini akan hilang? Apakah dengan berpura-pura maka cintaku padamu bisa hilang? Tidakkah dia akan semakin tumbuh dan berkembang?
Apa yang harus kulakukan saat kusadari cintaku semakin besar, Eril? Tidakkah kamu akan semakin kecewa? Akankah aku menyakitimu lebih dalam?
Eril... apa yang harus kulakukan?
Lamunanku-yang‘tak kusadari sejak kapan- seketika buyar saat kurasakan tarikan cepat di pergelanganan tanganku. Seseorang memegangnya erat dan menariknya, kontan aku terseret bersamanya. Eril, dia menarikku, menggenggam tanganku dan membuatku mengikuti langkahnya.
“Hei! Apa yang kamu lakukan? Jangan tarik-tarik!” iya, jangan. Kamu akan membuatku merasa tidak nyaman saat kamu melepas tanganku lagi.
“Iya, aku akan melepaskan tanganmu lalu kamu akan melanjutkan lamunanmu dan membiarkan bis yang kita tunggu-tunggu itu pergi berlalu meninggalkan kita di sini untuk kembali menunggu bis berikutnya datang. Terdengar menyenangkan bagimu, hn?”
“Ehh bis?!” segera kuputarkan pandanganku dan benar saja, bis dengan jurusan searah dengan sekolahku sudah bertengger manis di sana. Heeeiii kapan bis itu datang? Aku bahkan ngga mendengar suaranya?
Kembali Eril menarikku saat dirasanya aku akan mulai melamun lagi, kami berlari kecil mendekati bis yang mulai bergerak perlahan, syukurlah kami naik tepat sebelum roda bis berputar kencang dan membawa benda besar ini bergerak cepat.
“Huaaa sukses masuk, Eril! Kita selamat!” ucapku penuh keharuan.
“Bodoh,” cibirnya. Dasar si brengsek bermulut tajam!
Kuedarkan pandanganku ke seluruh isi di dalam bis. Heii kenapa penuh sekali! Seharusnya bis ini sepi dan aku bisa memilih duduk di manapun yang aku mau, tapi kalau penuh begini apa untungnya aku bangun pagi?! Uhhh sebal! Rugi bangun pagi! Ingatkan aku untuk ngga bangun terlalu pagi lagi-.-
“Apa yang kamu lakukan bodoh, sana duduk!”
“Penuh, Eril brengsek,” jawabku geram.
“Di sana dan di sana kosong, Nata bodoh.” tunjuknya pada bangku di sisi kanan kami-bangku barisan kedua dari belakang- dan bangku yang berada agak jauh di depan kami-satu baris di belakang bangku supir- masing-masing bangku itu berisikan satu orang penumpang.
“Tapi…,”
“Cepat sana!” ucapnya sambil mendorong tubuhku pelan.
‘Tapi aku ingin duduk bareng kamu, Eril… huuffttt yasudahlah!’ kulangkahkan kakiku perlahan ke bangku di barisan belakang dan Eril meneruskan langkahnya mendekati bangku di barisan depan.
‘Hmmm bangku yang kiri sudah diduduki seoranang wanita, berarti aku akan duduk di sisi kanan tepat di samping jendela. Tidak buruk.’ ucapku dalam hati.
“Permisi kak,” kataku sopan.
“Ah iya, silahkan,” balasnya dengan tidak kalah sopan. Dia bangkit sebentar dari duduknya untuk memudahkan aku masuk dan kembali duduk setelahnya.
Kulepaskan ransel yang masih tersampir di pundakku dan meletakannya di pangkuan, begini lebih nyaman.
Segera kutengadahkan pandanganku ke depan, mataku mencari-cari sosok itu, Eril.
Dia di sana, duduk di bangku sebelah kiri, di sisi kanannya kulihat duduk seorang gadis bersurai hitam bergelombang. Dari tempatku duduk, bisa kulihat gadis itu tidak hentinya menolehkan kepalanya ke sisi kiri, kearah Eril, sedangkan Eril hanya memfokuskan pandangannya ke depan, entah apa yang dilihatnya.
Gadis itu masih saja menoleh ke arah kiri, ke arahmu, Eril… dan kamu masih tetap pada posisimu, kurasa dia terpesona padamu, brengsek. Tentu saja, gadis mana yang tidak akan terpesona padamu, bahkan aku pun kamu jerat dengan cara itu…
Kulihat gadis itu mengucapkan sesuatu dan kamu menolehkan kepalamu ke arahnya, dia berkata dan kamu mendengarkan, matamu seolah ‘tak mau pergi dari sosoknya dan kamu tersenyum setelahnya. Apa yang dikatakannya, Eril? Apa yang kalian bicarakan?
Bahkan aku yang duduk jauh di sini bisa melihat kecantikan gadis yang duduk bersamamu, Eril. Wajahnya cantik, rambutnya indah dan sepertinya lembut jika disentuh,matanya, hmm ngga kelihatan kalau dari sini-.- tapi kurasa, warnanya cantik secantik wajahnya. Kamu tentu menyadari itu semua ‘kan, Eril brengsek? Apa kamu menyukainya? Apa kamu jatuh cinta, kawan?
Kualihkan pandanganku cepat ke sisi kanan tubuhku saat lagi-lagi kudapati senyummu terkembang untuknya, untuk gadis itu…
Kurasa kamu benar-benar jatuh cinta, Eril. Kamu bahkan ngga menghiraukan keberadaanku, aku di sini yang terluka karenamu, oh bukan! Bukan karena kamu, aku terluka karena perasaanku, ini salahku. Tentu saja, semuanya salahku.
Tuhan… bolehkah aku menangis sekarang?
Kutundukan kepalaku sebelum air itu sempat jatuh. Aku ngga mau Eril melihat ini. Hei bagaimana dia bisa melihatku sedangkan matanya sedang terpaku pada gadis cantik itu? Hehe he bodoh sekali aku… iya, aku bodoh, seperti yang selalu Eril bilang! Dia hanya seorang gadis asing! Hanya melihat Eril bicara dengan seorang gadis, aku sudah menangis? Bagaimana nanti jika dia mengenalkan kekasihnya? Apa aku akan mati?
Ck, kenapa aku begitu lemah! Tentu saja ketika nanti dia mengenalkan gadis yang dipilihnya padaku, aku akan memeluknya, mengucapkan selamat dan memberinya senyuman yang paling indah. Begitulah yang seharusnya kulakukan sebagai sahabatnya…
Benar, aku akan memberi kamu selamat, Eril. Ya, akan kulakukan itu…
Tapi, kuharap saat itu ngga segera datang, setidaknya sampai nanti, ketika hatiku terbiasa dengan denyutan yang menyakitkan ini…
Kurasakan wanita yang duduk bersamaku menolehkan pandangannya ke arahku, mungkinkah dia melihat saat air mataku jatuh? Semoga tidak, itu sangat memalukan!
Kutarik resleting ranselku, kurogohkan tanganku ke dalam, kuambil ponselku dari dalamnya, menyambungkan headset dan memasangkannya ke masing-masing sisi telingaku. Kuputar lagu yang akhir-akhir ini sering kudengarkan, setelahnya kupejamkan mata dan mulai meresapi lirik lagu itu. Lagu yang mengingatkanku akan kisah cintaku…
Adalah dia…
Yang selalu mengisi hariku
Berdua lewati masa kecil bersama
Sahabat setiaku dalam suka dan duka
Waktupun berlalu
Memisahkan kita berdua
Karena kau harus pergi
Tuk mengejar cinta yang kau pilih
Terasa berat di dada
Saat kutahui ku tak ingin lepaskan dirimu
Namun ku tak mampu tuk pergi dari rasa yang ada
Menyayangimu lebih dari sahabat
Memendam rasa ini… yeah
Hanya akan buatku terluka
Kasih bilakah kau bahagia dengannya
Atau tinggalkan dia dan ada dalam pelukanku
Yeiii…. Oh…
Terasa berat di dada
Saat kutahui ku tak ingin lepaskan dirimu
Namun ku tak mampu tuk pergi dari rasa yang ada
Menyayangimu lebih dari sahabat
Saat kutahui ku tak ingin lepaskan dirimu
Namun ku tak mampu tuk pergi dari rasa yang ada
Menyayangimu lebih dari sahabat
- *Lebih Dari Sahabat* -
Seseorang menarik sebelah headset yang terpasang di telinga kiriku, kutolehkan kepalaku cepat,
‘Eril… bagaimana dia di sini?’
“Apa?” ucapnya.
“Hah? A-apanya?”
“… bodoh,”
“Brengsek!”
“Hn.”
“Hei, brengsek, kemana wanita yang duduk di sini tadi?”
“Sudah turun,”
“Benarkah? Aku ngga menyadarinya...,”
“Itu karena kamu bodoh,”
“Dasar brengsek!”
“Hn,”
“Eril..,”
“Apa?”
“Di mana gadis yang tadi duduk bersamamu?”
Eril mengalihkan tatapannya dari handphone yang sejak tadi dilihatnya ke arahku. Dia melakukannya lagi, memandangku lekat, seperti tadi di halte. Benar juga, caranya menatapku sama dengan yang tadi pagi dilakukan mama…
“Masih di sana,” jawabnya sambil kembali menatap layar handphone-nya dan mengusap-usapkan jarinya pada layar.
Kuangkat kepalaku dan kudapati gadis itu di sana, duduk sendirian. ‘Dia masih di sana, lalu kenapa Eril pindah ke sini?
Kutolehkan lagi wajahku ke arah Eril, memandanginya yang masih bermain-main dengan handphone di tangannya,
“Kenapa kamu pindah ke sini, Eril?” tanyaku lirih, tanpa berharap dia mendengarnya.
“Karena aku ingin duduk bersama kamu.”
Mataku membulat oleh karena keterkejutanku, dia bilang, dia ingin duduk bersamaku. Dia lebih memilih duduk bersamaku di saat ada seorang gadis yang-sepertinya- menarik perhatiannya duduk sendirian. Bolehkah aku bahagia karena ini?
Segurat senyum terpoles di bibirku, senyuman untuknya yang kucintai. Meski kutahu dia yang tengah asyik dengan handphone-nya tidak akan melihat senyumanku, senyuman ini tetap terkembang. Hanya untuknya seorang…
Aku ‘tak mengerti, tapi aku merasa kerisauanku sesaat tadi menghilang digantikan kelegaan. Segalanya terasa lebih ringan.
Perlahan kantuk kembali menyerangku, menggangguku yang tengah asyik menatapinya diam-diam. Kusandarkan kepalaku di pundaknya saat mataku terasa makin berat, sesaat sebelum kesadaranku benar-benar menghilang, kurasakan usapan lembut di kepalaku, membuaiku untuk memasuki alam mimpi semakin dalam.
=====T.S.U=====
“Nata, kamu sedang apa?”
Suara lembut seseorang sukses membangunkanku dari lamunan singkatku. Kutolehkan kepalaku ke kanan dan kudapati sesosok gadis bersurai panjang sepunggung pemilik sepasang mata cantik berwarna hitam keabuan yang mampu menenggelamkan dan menjerat banyak perhatian kaum adam.
“Mei?”
“Iya,”
“Kamu ngapain di sini?” tanyaku heran pada Meilisa Audia, yang lebih sering kupanggil dengan hanya Mei saja, dia tepat berdiri di hadapanku dengan sedikit mencondongkan tubuhnya ke bawah guna mensejajarkan tinggi tubuhnya denganku yang dalam posisi duduk.
Hening sejenak… Mei diam menatapku, ‘tak lupa diulasnya segaris senyumnya yang lembut. ‘Akhh aku lupa menjawab pertanyaannya di awal tadi.’
“Nata, boleh aku duduk?” tanyanya, kurasa dia tidak berminat mengulang pertanyaannya yang tadi lagi ataupun menjawab pertanyaanku barusan.
“Ah- tentu saja. Kenapa ngga? Silahkan duduk…” ucapku dan segera menggeser tubuhku ke kiri, memberi ruang yang luas untuk diduduki Mei.
“Terimakasih.” ujarnya kemudian.
Sekali lagi kami diliputi hening, kukembalikan pandanganku ke asal tadi sebelum Mei datang dan menginterupsi.
Kembali kulihat sosok itu, dia di sana, berlari tanpa lelah, menggiring bola dengan sepasang kakinya yang kokoh, keringat bercucuran di sekujur tubuhnya, mengalir dari dahi melewati dagunya turun ke leher dan masuk ke dalam t-shirt putih polos di balik kemeja putih seragamnya yang seluruh kancingnya dibiarkan terbuka.
Keringat itu pasti mengalir di punggungnya yang lebar, ada juga yang meluncur mulus di dadanya yang bidang, turun ke perutnya dan terus turun sampai ke- yaaaakkkkk Tuhan! aku mulai membayangkan hal mengerikan!!!
“-Ta,”
‘Pikiran kotor! Aku memikirkan hal kotor!!’
“-Ta,”
‘Bodoh bodoh bodoh! Aku bo-‘
“Nata!”
“Hahh?! Apa? A-ada apa, Mei?”
“Kamu melamun lagi, Nata…,”
“A-aku…engga! Aku hanya sedang memikirkan sesuatu tadi,” kukembangkan cengiran super Adriyanata Mahendra padanya, berharap dia percaya perkataanku.
“Nata,”
“Iya?”
“Kenapa tidak ikut bermain bersama yang lain?” tanyanya, matanya menatap lurus ke depan, ke arah lapangan sepak bola tempat Eril dan teman-teman sekelas kami tengah asyik bermain.
Sepulang sekolah tadi, Nadi, mengusulkan untuk bermain bola di sini, ‘Untuk menghilangkan stress!’ begitu katanya. Tapi saat ini aku sedang tidak ingin bermain, karena itu aku duduk di sini menunggui mereka. Oh iya! Nadi itu orang yang kemarin tertawa paling kencang saat aku telat, Krisna Adi, begitu nama lengkapnya, tapi aku lebih suka memanggilnya dengan Nadi!
“Ah, aku malas berkeringat, Mei, hari ini sangat panas!” jawabku ngga lupa kuberikan cengiran lebarku lagi.
Mei kembali diam dengan tetap memandang ke depan. Kuikuti arah pandangnya, kudapati matanya terarah ke satu orang, Eril, dia menatap Eril lurus. Kenapa dia menatap Eril? Mungkinkah Mei juga…
“Nata,” panggilnya sambil tiba-tiba menolehkan kepalanya padaku.
“I-iya?” ucapku gugup, semburat merah menghiasi pipiku, malu karena kedapatan memandanginya lekat.
Kembali diulasnya segaris senyum lembut pada sepasang bibir kemerahan itu, senyumnya begitu hangat, sangat menenangkan.
“Boleh kutanyakan sesuatu? Mungkin ini akan terdengar kurang sopan. Bolehkah?”
“Tentu. Apa yang ingin kamu tanyakan?” kali ini kufokuskan seluruh perhatianku pada Mei,perasaanku bilang ini bukan pertanyaan main-main.
“Eril…,” ucapnya dengan jeda.
“A-ada apa dengan Eril?” tanyaku, Kutelan ludahku sekedar membasahi kerongkonganku yang terasa kering. Ini benar-benar akan jadi pertanyaan serius.
Begitu lagi! Kenapa dia tersenyum seperti itu lagi? Menatapku, tersenyum lalu diam. Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan Mei?
“Mei, sebenarnya kamu mau-“
“Kamu menyukainya. Benar begitukan, Nata?” tanyanya, “dan maaf memotong perkataanmu.” lanjutnya santun.
‘Kamu menyukainya. Benar begitukan, Nata?’
‘Kamu menyukainya.’
‘…menyukainya.’
‘Apaaa!!! Apa yang dia bilang? Bagaimana bisa?’
“Ha…ha….ha….maksud kamu apa Mei? Bercandaan kamu aneh, kamu tahu?” sial! Bagaimana ini?!
“…” diam, dia hanya diam dan menatapku lurus, kali ini tanpa senyum.
Mei… dia benar-benar tahu?
Ngga! Dia ngga mungkin tau! Dia pasti hanya bercanda! Benar! Tapi sejak kapan Mei bisa bercanda mengerikan begini?
Bagaimana ini? Bagaimana kalau Mei benar-benar tahu? Apa hanya Mei? Apa ada orang lain lagi yang tahu? Bagaimana dia tahu, Tuhan?
“Nata…,”
“A-apa?”
“Eril melihat kita,”
“Hah?”
“Dia melihat ke arah kita sejak tadi, dia melihat ke arahmu sejak saat matamu terpusat padaku,”
Segera kuputar arah pandangku kembali ke depan. Benar, dia melihatku, Eril melihat tepat ke mataku, ‘tak ada ekspresi berarti di wajahnya, tanpa senyum, tanpa kerutan dahi, hanya datar. Kenapa? Kenapa dia melihatku seperti itu?
“Eril! Kamu sedang apa? Kenapa malah bengong di situ, kejar bolanya!”
Teriakan keras Nadi memutus kontak mata di antara kami, Eril mengalihkan pandangannya dariku lalu kembali berlari dan mengejar bola.
Tadi itu apa? Kenapa dia menatapku begitu? A-ataukah dia menatap Mei? Tapi matanya terarah lurus padaku bukan pada Mei. Apa yang dilihatnya?
Kurasakan bahu kananku disentuh, Mei, dia yang menepuk bahuku tadi.
“Kamu tidak perlu menjawab pertanyaanku jika kamu tidak ingin, Nata. Kalau begitu aku duluan yah, setelah ini aku harus menemani ibuku ke supermarket. Sampai jumpa besok, Nata.”
Segera kugenggam tangan Mei saat dia mulai akan beranjak menjauh, mencegahnya pergi. Sesaat Mei menatap pergelangan tangannya yang kugenggam dan lalu mengalihkan pandangannya kembali ke wajahku.
Kulihat senyum itu tertoreh lagi, kali ini terasa lebih lembut dari yang tadi-tadi, mungkinkah dia mencoba menenangkan keresahanku dengan memberiku senyum itu.
“Mei… aku…” banyak yang ingin kukatakan, banyak hal yang ingin kutanyakan, tapi lidahku seolah kelu…
Dia kembali duduk di sampingku, memutar sedikit tubuhnya ke kiri, ke arahku.
“Nata,”
“Iya?”
“Eril kesini,”
“Hah?”
“Eril berjalan ke sini, Nata. Lihatlah…,” Mei menyentuh sisi kanan pipiku dan mendorongnya pelan.
‘Eril…,’
“Hai… apa yang kalian lakuan di sini?” tanya Eril.
“Kami sedang mengobrol, Eril. Benarkan Nata?”
“I-iya.”
“Apa yang kalian bicarakan?”
“Eh? Ah kami…” aku harus jawab apa? ‘kami membicarakan tentang perasaanku padamu.’ Begitu? Bisa-bisa Eril marah padaku karena mempermalukannya.
“Nata bilang, dia ingin main ke rumahku, iya kan Nata?”
“Hah?! Ah i-iya, aku mau main ke rumah Mei, hahaha!” jawabku canggung, ‘heee semoga dia percaya!’
“Untuk apa?”
“Ah? Untuk… untuk errr aku-“
“Nata memintaku mengajarinya sesuatu,” ucap Mei memotong perkataan kacauku.
“Mengajari apa?” tanya Eril lagi. Ada apa dengan si tuan irit bicara ini?
“Itu rahasia! Kamu ngga perlu tahu! Ayo Mei kita ke rumah kamu!” ucapku cepat dan segera menarik Mei bangkit, aku harus segera pergi sebelum Eril mulai menanyakan hal yang lebih sulit kujawab. “bye, Eril!” lanjutku sambil berjalan cepat dengan masih menggenggam pergelangan tangan Mei.
Aku terus berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi, tepat ketika kami sampai di depan gerbang, kuhentikan langkahku dan melepaskan peganganku pada Mei.
“Maaf Mei, aku lancang menyeretmu bersamaku..,” ucapku lirih penuh sesal, setahuku Mei bukan gadis yang menganggap berpegangan tangan dengan laki-laki sebagai hal biasa, dia berbeda dengan gadis kebanyakan, dia menjaga dirinya dengan baik.
“Tak apa, Nata. Aku bisa mengerti,” ucapnya sembari tersenyum lagi.
“Ehh.. Mei. Aku… kamu?… kenapa kamu? Ah maksudku, kamu kenapa bisa?… tentang Eril… kamu-“
“Aku tidak akan mengatakan pada siapapun. Aku janji! Kamu tidak perlu khawatir,” ucapnya meyakinkanku. “soal dari mana aku tahu... bolehkah aku menjadikannya sebagai rahasia kecilku? Aku ‘tak bisa mengatakannya. Maaf, Nata..,” lanjutnya.
Kuhembuskan nafas yang entah sejak kapan kutahan, kerisauanku hilang seiring hembusan nafasku tadi, aku lega, entah kenapa aku merasa yakin, sangat yakin, Mei akan memegang janjinya. Untunglah dia Mei bukan orang lain, ngga bisa kubayangkan apa yang akan terjadi jika yang mengetahui hal ini adalah orang lain.
“Terimakasih, Mei. Terimakasih banyak untuk berjanji menjaga rahasiaku, aku percaya sama kamu.”
“Terimakasih juga untuk kepercayaanmu padaku, Nata,” ucapnya, di bibirnya tertoreh senyum indah itu lagi, Mei memang sangat cocok dengan senyuman di wajahnya, “hei, Nata…Eril ke sini…,” lanjutnya lagi.
“Heeeee!” kutolehkan cepat kepalaku ke belakang tapi tidak ada… ‘dimana Eril?’ batinku.
Kugerak-gerakan kepalaku ke kiri dan ke kanan, kusapu pandanganku ke sekeliling tapi tidak kudapati sosok Eril.. di mana dia?
“Hehehehe, aku bercanda, Nata.”
“Apa! Mei, kamu bikin kaget! Uhh!” kumonyongkan bibirku, kesal.
“Hahaha maaf, Nata,” balasnya. Tawa kecil masih terdengar darinya, seketika kekesalanku hilang, akupun turut tertawa bersamanya.
“Nah, Nata, aku harus pulang sekarang, sampai jumpa besok!” segera setelahnya, Mei memutar tubuhnya dan bergerak menjauh.
“Makasih ya Mei! Hati-hati di jalan!” teriakku padanya.
“Iyaah!” jawabnya dengan menolehkan kepalanya ke arahku.
Terus kutatap sosok belakang Mei yang kian jauh dan kemudian hilang di balik tikungan jalan. Mei, dia berbeda… kupikir dia adalah gadis yang pendiam dan pemalu, ternyata dia sosok yang menyenangkan dan dia juga baik. Hari ini aku mengenal dirinya yang sebenarnya…
“Kamu ingin tetap mematung di sini atau ikut pulang bersamaku?” heeee suara itu!
“Eril!” Eril, dia benar-benar ke sini!
“Hn, ayo.” ucapnya datar dan segera melangkahkan sepasang kaki jenjangnya. Tu-tunggu dulu! Tadi ‘kan aku bilang mau main ke rumah Mei. Bagaimana ini?!!
“E-Eril…aku-“
“Kamu ngga jadi ke tempat Mei ‘kan? Aku mengerti, ayo pulang.” ucapnya lagi, masih sama datarnya dengan tadi. Kembali diayunnya sepasang kaki miliknya. Nada suaranya tadi… seolah hal ini adalah sesuatu yang sudah diduganya, mungkinkah sejak awal dia menyadari kebohonganku?
“Tunggu aku, Eril!” seruku dan segera menyusul langkahnya.
Sepanjang perjalanan menuju halte bis Eril hanya diam, apa dia marah? Apa yang membuatnya marah? Kebohonganku? Hanya itu?
.
.
.
tbc….
*A/N: lagu di atas, “Lebih Dari Sahabat” aku copas liriknya dari fanpage di fb, “Indonesia Fujoshi Forum” nama fanpage-nya. Setahu aku salah satu adminnya juga member di sini, min Yume, izin minjem lagunya Kevin ya!!>< #sungkem
tuh udah ada di atas bang @reenoreno ^^ @d_cetya ^^
aku jatuh cinta
aku takut
kepiawaian mu merangkai kata
membuat aku lupa
kalau aku juga penulis
apakah ini saatnya aku pensiun?
mungkin sudah saatnya aku berhenti ya
bibit-bibit baru sudah bermunculan
dan mengajikan cerita-cerita yang begitu indah.
sampai jumpa kawan.
ku tunggu lanjutannya.
ceritanya bagus @Tsu_no_YanYan
keep it up
hehehe bang-nya buat bang reenoreno farah (gak salah lagi kan? )
makasih dah baca^^ @d_cetya
maaf ya bang.. itu si Naruto-nya pengen eksis juga! )
surai = kumis lele?? aku baru tau O.O *bayangin rambut tokohnya kayak kumis lele*
makasih dah baca bang Re @reenoreno
huaaaaa gak mau! jangan pensiun donk uda @ularuskasurius ! ( ( *nangisgulingguling
tsundere gak yah~ )
makasih dah mampir @Cannady
hebatkan aku! *plak :P
hihi itu karna aku suka mengamati orang lain^^
di thread bang hidingprince sering ada nama kamu di balesan komennya kan? @d_cetya
aku kira km kenal aku sebelumnya,hihihiii