Kamar gelap ini adalah satu-satunya ruang dimana kita menjadi kita, bukan aku dan kamu sebagai seorang teman dekat. Baiklah ini memang terdengar sangat drama. Kita adalah sebuah cerita klise yang sering ditemui dalam cerita sinetron atau bahkan gosip-gosip rumpi murahan teman sekantor. Aku sadar betul sedang menjalani skenario murahan. Tetapi biarkanlah aku. Biarkan lampu bolham yang menyala kuning menjadi satu-satunya caraku untuk melihat keindahanmu.
Tak ada yang kupinta selain itu karena pada kenyataannya realitas telah mengekang kita rapat-rapat. Lihatlah siapa dirimu, seorang manajer sebuah perusahaan besar di negara ini. Kemampuan dan pencapaianmu adalah bukti bahwa jabatan yang kau duduki saat ini bukan karena keluarga, juga bukan karena mayoritas pemegang saham berasal dari kaummu, baba-nyonya.
Sejak menduduki bangku kuliah dirimu kukenal sebagai seorang mahasiswa yang sangat cerdas dan dedikatif. Ketika mahasiswa lain sedang mabuk oleh puisi-puisi anggur rembulan, dirimu bak kuda, memandang sebuah visi lebih lurus daripada agama apapun yang kau anut.
Tetapi sadarkah dirimu, semakin dirimu menjulang tinggi maka angin akan semakin kuat menerpamu. Semakin tinggi maka kau akan semakin sakit dan hancur ketika jatuh. Hanya ada satu cara agar kau terus melayang dipucuk sana. Menjerat dirimu dengan norma dan pandangan orang-orang dekatmu. Itu juga berarti melepaskan jiwa bebas yang menurut mereka jalang dan binal. Dan jadilah dirimu saat ini. Seorang idaman yang sempurna.
Entah berapa orang yang merengek meminta belas cintamu, tetapi kau acuhkan mereka yang kau sebut palsu. Hingga pada akhirnya kau harus merelakan dirimu ke dalam sebuah titah orang tuamu untuk menikahi perempuan yang mereka pilihkan untukmu. Bukan hanya orang tua yang kau pikirkan, aku tahu itu. Ada keluarga besar, ada juga masyarakatmu. Tetapi sudahlah, sekarang kau bersamaku. Hanya ada aku dan alterego-mu.
Sengaja tirai kau sibak seolah dirimu ingin dunia tahu apa yang menjadi rahasia kita. Lihatlah dibawah sana, kota sedang berpesta, kerlap-kerlip cahaya tumpah. Malam ini langit bermandikan bintang sementara kita berkuyub peluh. Kau mendekapku lebih erat dari biasanya. Tak banyak kata yang kau ucapkan malam ini. Aku jadi bertanya-tanya.
Kau menghela nafas panjang, melepaskan beban yang tertahan.
“Aku punya anak.” Katamu. Aku kaget karena kau tak pernah bercerita mengenai kehamilan istrimu kepadaku.
“Kapan lahir?” Tanyaku terbata.
“Dua bulan yang lalu.” Jawabnya. Jadi sudah selama itu kau menahan bebanmu.
“Ternyata kau bisa buat anak juga.” Sindirku. Dia terdiam. Seharusnya aku memberinya selamat.
“Kamu pasti bahagia?” Tanyaku.
Dia tak menjawab. Dari senyumannya yang tulus aku bisa melihat dia baru saja menemui kebahagiaan baru dari hidupnya. Lalu kenapa berbeda malam ini? Ada apa dibalik gundahnya?
Jangan-jangan dia ingin mengakhiri hubunganku malam ini karena anak itu telah lahir. Aku kembali sadar bahwa kami tidak bisa bersembunyi seperti ini seumur hidup. Aku juga tahu jalannya kembali ke jalan yang mereka katakan lurus itu terbuka lebar baginya. Apakah waktu itu sudah tiba? Waktu baginya untuk pergi. Tiba-tiba aku ingin menangis, tetapi air mataku tak luluh. Getir hidup telah menghilangkan salah satu kebiasaan hidupku, menangis.
Tetapi malam ini dirimu tidak melakukannya. Tak ada kata perpisahan atau permasalahan yang kau utarakan dari hubungan kita. Justru dirimu ingin mengantarkanku pulang walau tengah malam belum tiba.
Sebelum kita pergi kau memberikan sebuah hadiah untukku. Aku terkejut dengan pemberianmu. Kau memang sering memberikanku hadiah, namun disaat-saat seperti ini hal itu terasa lebih spesial. Kubuka kado yang kau bingkis dengan sangat rapi. Sebuah mini dress warna ungu polos, aku tak sabar memakainya.
“Anggun sekali, seperti namamu.” Katamu.
Berkali-kali kau mengatakan hal itu tetapi aku tak pernah bosan mendengarnya. Kata-katamu sedikit menghiburku dari berbagai tanya yang terpendam. Kulihat diriku di cermin, aku terpana melihatnya. Tak pernah kubayangkan diriku secantik ini. Aku dan malam yang seolah menyatu. Itukah yang kau maksud dengan “anggun”, bukan terlihat “lebih” tetapi harmonis. Aku berbalik memandangmu, kulihat nanar pandanganmu. Kupeluk dirimu. Aku rela menyerahkan apa saja untukmu.
Di dalam perjalanan, aku mencoba mengajakmu berbincang. Tetapi dirimu cenderung diam dan lebih fokus menyetir. Bulir-bulir keringat menetes dari wajahmu. Kubaca gelisah dari geliat tingkahmu. Apakah beban itu belum hilang juga? Ini masih tentang anak kan? Tanyaku dalam hati.
Aku rela jika waktumu denganku berkurang karena kamu harus membagi lebih banyak waktu kepada istri dan anakmu. Setelah apa yang kau berikan padaku, aku tak berani meminta apapun darimu. Dirimu untukku lebih dari cukup.
Belum sampai setengah perjalanan ke rumahku tetapi kau tiba-tiba menghentikan mobil. Aku tetap diam, menunggumu untuk mengatakan sesuatu. Sebuah penjelasan akan kegundahanmu yang tak hilang itu. Tetapi kamu justru mengatakan hal lain.
“Maaf…..” Matamu berkaca-kaca.
Tanpa pamit kau keluar dari mobil, meninggalkanku sendiri. Lalu perlahan menghilang ke dalam gelap. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, mengejarmu atau tetap berada di dalam mobil. Gundah. Tiba-tiba muncul beberapa laki-laki asing yang menghampiriku. Mereka membuka paksa pintu mobil dan menyeretku ke kursi belakang. Disumpalnya mulutku dengan ikatan hingga tak bisa menjerit tolong. Aku panik, tak berdaya.
Mereka segera membawaku pergi dari tempat itu. Kulihat dia, kekasihku, bersama seorang perempuan yang kuketahui adalah istrinya dari jendela kaca mobil. Itulah terakhir kalinya aku melihatmu. Sayang.
Makian, pukulan dan tusukan, tak terhitung aku hanya bisa menerimanya pasrah. Dalam ketidakdigyaanku aku bertanya kenapa semua ini bisa terjadi. Apa maksud dari semuai ini? Apakah dirimu berkhianat dan menjadikanku tumbal demi keutuhan keluargamu? Atau dirimu juga tidak berdaya karena istrimu mengetahui hubungan kita. Dirimu dijebak, lalu gantian dirimu menjebakku.
Darah terus mengucur membahasahi mini dress ungu yang baru sja akau berikan. Aku tak bisa berpikir, otakku sepertinya sudah kekurangan asupan oksigen akibat darah yang mengucur. Terbesit gambaran ketika aku bercermin, betapa cantiknya diriku, tak kalah dengan istrimu. Apakah aku masih cantik walau bersimbah darah? Aku hanya bisa tersenyum. Lalu diriku menuju gelap.
Mereka membuangku di sebuah parit tak jauh dari tempat dimana teman-temanku biasa mangkal. Tempat pertama kali kita bertemu. Tempat dimana sisi dirimu yang lain kau bebas lepaskan.
Esok paginya warga menemukanku terkulai tak bernyawa. Sontak ramai-ramai mereka mendatangiku. Awalnya mereka ingin membantuku keluar dari parit, tetapi akhirnya lepas tangan. Mereka kaget dengan identitas diriku yang tersimpan dari balik rambut hitam panjang lurus dan mini dress seksi yang kukenakan. Mereka lebih memilih menunggu hingga polisi datang ke tempat kejadian.
Mereka, laki-laki berseragam. Mereka yang kubenci karena sering menindasku. Mengangkatku bak bangkai, menutupku dengan kain plastik warna kuning. Mereka juga segera menutup tempat itu dengan batas polisi dan secara resmi mengklaim tempat itu sebagai tempat kejadian perkara.
Puluhan wartawan mengerubungi diriku, menghujaniku dengan blitz, memotret diriku bak model. Impian yang telah lama sekali aku pendam. Aku yakin diriku akan segera menjadi sosok yang fenomonal.
Hari itu juga puluhan artikel memberitakan diriku. Aku sangat antusias ingin membacanya. Namun diriku lagi-lagi terluka. Namaku memang terpampang dalam judul artikel-artikel itu tetapi beberapa kata seperti penyimpangan seksual, waria, pekerja seks dan berbagai kata yang tak ingin aku dengar tertulis disana dengan jelas. Tak ada kata cantik, jelita atau bahkan rasa simpati dan empati mereka dalam artikel-artikel itu. Siapakah yang menulis itu semua? Manusiakah? Cukup sudah mereka menyakitiku.
Teman-temanku yang mengetahui keadaanku segera melapor ke pihak kepolisian. Mereka ingin membawaku ke rumah seorang teman untuk disemayamkan, namun mereka harus menunggu berhari-hari terlebih dahulu. Katanya untuk urusan visum, tetapi sebenarnya mereka kurang percaya saja dengan temanku. Baru ketika mereka membawa keluargaku, polisi bersedia menyerahkan diriku kepada mereka.
Akhirnya aku terlihat cantik kembali. Kali ini kain putih aku kenakan, terlihat sangat kontras namun eksotis atas warna sawo matang kulitku. Mereka mengantarkanku ramai-ramai ke sebuah taman indah dengan bunga-bunga kamboja yang wangi di malam hari. Tempat yang lebih tenang daripada bising kota. Kulihat banyak dari mereka yang menangis, ada juga yang berusaha untuk tabah.
Akibat peristiwa ini teman-temanku akan lebih waspada. Kekerasan memang menjadi menu sehari-hari kami. Namun belum pernah ada kasus seperti yang aku alami sebelumnya. Kini, mereka tidak akan terlalu sering pergi keluar malam, apalagi kalau pergi sendirian. Mereka juga harus berhemat karena tidak bisa bekerja. Uang tabungan pelan-pelan juga akan terkuras untuk makan. Mereka hanya bisa berdoa semoga krisis ini akan segera usai.
Disisi lain teman-temanku yang aktif dalam organisasi mencoba mengusut kasusku. Beberapa kali mendatangi pihak kepolisian, namun sepertinya usaha mereka sia-sia. Siapalah mereka, teman-temanku? Siapalah diriku? Kasus seperti ini lazim terjadi kata polisi itu.
Tidak menyerah, teman-temanku bahkan membentuk tim yang akan mengadvokasi kasusku. Katanya mereka tidak bisa membiarkan kasus kekerasan seperti ini terjadi lagi. Mereka meyakini jika hal ini dibiarkan maka kekerasan-kekerasan lain akan lahir. Beberapa LSM yang bergerak di bidang advokasi LGBT turut membantu. Seandainya aku bisa mengatakan sesuatu kepada mereka. Berhentilah melakukan sesuatu untukku. Tak ada yang bisa kulakukan. Mereka telah melakukan banyak hal untuku, sementara aku? Aku jadi bersedih.
Hari ketujuh ketika aku disemayamkan di taman nan indah. Rasa rinduku membuncah karena masih mengingat kekasihku. Bukankah seharusnya aku patah hati? Aku pun datang menghampirinya. Kulihat kekasihku dalam kesendirian. Raut mukanya sedih, seperti tak ada jiwa lagi di dalam dirinya. Sekarang dia telah menjadi robot dengan paras dan pribadi sempurna. Sesuai dengan program yang telah ditanamkan oleh manusia-manusia di sekitarnya. Tak mengenal salah, hanya benar.
Dia sekarang tidak pulang larut, dia bahkan menyempatkan bermain dengan putranya sebelum tidur satu ranjang dengan istrinya. Jika saja aku bisa membaca isi hatimu, aku ingin lebih memahami dirimu. Satu hal yang aku yakini, kau telah bahagia bersama anakmu itu. Oiya, aku melihat foto keluarga besarmu. Jika dulu kamu sering berkoar-koar mengenai kepalsuan. Sekarang aku paham arti dari kepalsuan yang kau maksud.
Sekarang aku sendiri, di parit itu. Menunggu sesuatu yang akan menjemputku. Aku menghela nafas. Seandainya aku tidak mendekap cinta lalu menyimpannya dibalik diantara dadaku. Ceritanya mungkin akan berbeda.
Oh Tuhan, aku menyerahkan diriku kepada-Mu. Kau benar telah melahirkan manusia berpasang-pasang. Tetapi tidak, cinta di setiap pasang-pasangnya. Jika cinta itu ada maka tak semua orang memilikinya. Seperti agama yang kau berikan kepada umat manusia di bumi. Ada diantara mereka-mereka seorang pemeluk teguh. Tetapi juga ada orang yang meyakini keberadaan-Mu tetapi tak bisa memilikimu.
Aku adalah salah satu diantaranya. Namaku Anngun, aku adalah seorang agnostik.
Comments
jahat banget bfnya ( (