It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
wah wah bener tuh klo tio ma maya kasian yuda. hahah. yuda bakal dapet pacar ga yah.
Yuda -> Ka???
lanjuttt><
@amira_fujoshi @3ll0 @arifinselalusial @Beepe @Wook15 @kiki_h_n @reenoreno @Adityaa_okk @Gabriel_Valiant @animan @elul @TigerGirlz @bumbu @loafer_boy @diditwahyudicom1 @RegieAllvano @congcongcongcong
@rebelicious @d_cetya
Chapter 4 ‘’This Love?”
KRIIIIIIIIIIINGGGGGGGGG...
Telepon di rumah Maya berdering nyaring.
“Ya, halo?”
“May, gue nih.” Terdengar suara Yuda di seberang sana.
“Hoaaaahhmmm... oh lo, Yud. Apaan sih, siang bolong gini nelepon? Gue lagi tidur siang, tau.”
“Yeee... hari Minggu dipake tidur. Gembrot lo ntar, tau rasa. Trus kalo lo sibuk diet gue juga yang susah. Masa lo yang diet gue ikutan nggak boleh makan,” cerocos Yuda.
Maya terkekeh. “Iya, iya, cerewet. Ada apa?”
“Lo mau ikutan nggak sore ini?”
“Kemana?”
“Latihan jadi suporter tim sepak bola sekolah. Mereka kan mau ikutan liga.”
“Kok suporter latihan?”
“Usulnya Bu Dini tuh. kan kaptennya Sandy, jadi dia pengen dukungannya seheboh mungkin. Kita bakal latihan bikin ombak-ombak gitu deh. Sama yel-yel. Yuk, kelas kita wajib lho,” Yuda menjelaskan panjang-lebar.
Maya memuntir-muntir kabel telepon. Sebenarnya hari ini dia mau berleha-leha sampai siang. Rese banget sih Bu Dini. Ganggu hari libur orang aja.
“Yah... kalo gitu sih jawabannya musti iya dong,” jawab Maya.
“Emang.”
“Tio ikut?”
“Ya ikut. Dia kan kegatelan. Biar latihan suporter doang, kan lumayan tuh buat cowok narsis kayak dia. Biar cewek-cewek pada nempel kali,” sungut Yuda.
Maya tertawa geli. “Dia tuh suporter sejati. Lagian lo sewot amat si Tio doyan tampil gaya?”
“Tampil gaya? Tampil heboh kali. Eh, kok lo belain dia sih? Emang lo suka ya sama si Tio?” pancing Yuda usil. Kali aja misinya langsung berhasil.
“HAH?” pekikan Maya bikin Yuda nyaris budek. “Kok lo nanyanya aneh gitu sih? Masa gue naksir Tio? Lagian siapa yang belain? Lo ngaco banget sih, kayak baru kenal Tio aja. Dia kan emang gitu bawaannya,” cerocos Maya.
“Iyaaaa... iyaaaa... kan siapa tau. Iseng aja gue nanya. Jadi intinya lo nggak naksir Tio, kan?”
“Yuda!”
“Iyaaa... iyaaa... ya udah. Jadi, lo jemput gue jam berapa?”
Maya melotot. “Kok gue yang jemput? Kan lo yang ngajak?”
Yuda cekikikan kayak kuntilanak. “Abis si Kuning dipake nge-date lagi sama Dika. Gue sumpahin mogok!”
Maya menghela napas. Kelakuan. “Ya udah, jam setengah empat.”
“Siiiipp. Udah ya? Mata nyokap gue udah mau keluar tuh, kebanyakan melototin gue. Bye.”
Maya buru-buru lari ke kamarnya. Secepat kilat dia mengeluarkan baju-bajunya dari lemari. Nggak boleh saltum, harus modis, harus keren. Jarang-jarang kegiatan sekolah bisa pakai baju bebas.
Akhirnya pilihan Maya jatuh pada jins Levi’s warna biru tua belel yang superhipster, tank top putih bentuk singlet yang lagi ngetren dengan gambar apel di tengahnya. Sepatu sneakers-nya yang berwarna putih bersetrip hijau sudah nangkring di depan lemari.
Rupanya kegiatan Maya pilih-pilih baju cukup lama. Diliriknya jam dinding pink yang menggantung. Sudah jam setengah tiga. Ia buru-buru mandi, dandan, dan melaju ke rumah Yuda dengan BMW putihnya.
Ponsel Maya berbunyi. “Halo?”
“Sampe mana nih, May?” rupanya Yuda.
“Gue sebentar lagi nyampe di depan pager rumah lo. Itung mundur aja dari sepuluh,” jawab Maya.
“Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu...” dengan tololnya Yuda nurut.
“Mana???”
“Kan gue bilang itung mundur dari sepuluh. Gue nggak bilang sampe berapa, kan?” Maya tersenyum penuh kemenangan.
“Oke... min satu, min dua, min tiga...” lanjut Yuda. Tiio
“Bloon! Nih gue udah sampe!” Maya cekikikan mendengar kelakuan sobatnya.
Dilihatnya Yuda berlari-lari kecil menuju mobilnya. Yuda mengenakan T-shirt hijau, upeti dari Ike. Celana jinsnya model kebanjiran dengan sepatu boxing berwarna putih setrip hijau-hitam. Yuda itu memang cute, kayak orang Jepang.
“Hehe... lo terlambat minus tiga detik,” celetuknya begitu masuk mobil.
“Lol!”
“Dari salon, May? Rambutnya lurus bener.”
“Sirik. Rambut gue kan emang selalu indah,” canda Maya sambil mengibaskan rambutnya, lalu menjawil rambut Yuda. “Abis duduk dalam pesawat jet, Ka? Kok rambutnya berdiri semua?” balasnya.
Yuda ngakak. “Rambut gue kan selalu berdiri. Melambangkan kemerdekaan,” jawabnya asal.
Maya kembali memacu mobilnya menuju rumah Tio. Cowok itu dengan segala usaha juga minta dijemput. Kalau jalan sendiri naik bus takut keringetan katanya. Dasar.
Rumah Tio lumayan jauh dari rumah Yuda, tapi memang searah menuju lapangan sekolah. Di depan pagar rumahnya Tio tampak sudah nangkring dengan manis. Bibirnya komat-kamit kepanasan.
DIIIIIIIIIIINNNNN!
“Eh, copot, lepas, copot...!” jeritnya latah.
“Buruan naik,” ledek Yuda sambil membukakan pintu belakang.
Dandanan Tio heboh berat. Kaus kutung warna merah bertuliskan “I’m the one you love” berwarna ungu tua. Celananya dong. Celana jins pipa ala Tao Ming Tse warna hitam, ikat pinggang paku-paku, dan... sepatu model Doc Mart. Rambutnya? Pakai bandana Tao Ming Tse juga. Ya ampuuuuuuunn...
Pertahanan Maya menahan tawa jebol. “Hahahha... lo mau kemana sih, Yo? Heboh banget. Pesta kostum?” jerit Maya histeris.
Yang disindir cuma mendelik.
“Kalo gue keren yang untung kan kalian-kalian juga,” ucap Tio akhirnya.
“Iya nih, Maya. Sirik aja kalo Tio mau ikutan lomba mirip Tao Ming Tse,” timpal Yuda ngakak nggak kalah geli. “Masa lo nggak sadar Tio mirip banget Tao Ming Tse sih, May? Lo nggak sadar Tio keren banget?”
Tio melotot galak. Katanya mau bantuin. Kok ekstrim gitu.
“Tao Ming Tse, mei youw la... hahahah!” Yuda lebih histeris lagi.
Tio bersungut-sungut kesal. Dasar nggak setia kawan. “Udah diem! Gue turun nih!” rajuknya.
“Daaaaaaaaaahhh...!” Maya dan Yuda berbarengan bikin Tio tambah kesel.
*****
“Tuh si Kevin. Rajin juga tuh anak baru,” tunjuk Tio ke luar jendela.
“Hah, mana?” jawab Yuda ogah-ogahan.
Maya masih berkutat parkir paralel. Dia paling benci parkir paralel. Kayaknya Maya udah pernah nabrak lima kali waktu lagi parkir paralel.
“Tuh, tuh...” tunjuk Tio lagi.
Yuda mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Tio. Dilihatnya Kevin dengan pakaian kasual sedang melangkah menuju stadion. Rambutnya tetap tersisir rapi seperti biasa. Kacamatanya juga bertengger manis di hidung mancungnya.
“Lo berdua kenapa sih? Kan wajar banget Kevin disini. Pertama, dia anak kelas kita. Kedua, apa anehnya anak cowok main di stadion?” selidik Maya usul.
“Tau nih, Yuda.”
“Yeee... kok gue sih?” Yuda sewot.
Maya cuma geleng-geleng melihat dua makhluk ajaib itu.
“Udah nih, parkirnya?” tanya Yuda saat mobil Maya benar-benar berhenti.
“Udah deh, nggak usah kurang ajar.” Maya memasang kunci setir dan merapikan dandanannya lewat spion.
“Maksud Yuda, parkirnya kok nggak bunyi, May? Tumben,” sambung Tio serasa dapat angin.
Maya melotot dan buru-buru keluar dari mobil diikuti Yuda dan Tio.
Dari kejauhan Yuda masih bisa melihat sosok Kevin berjalan santai menuju lapangan. Dia terlihat berbeda dengan baju bebas. Celana jins gombrongnya terlihat begitu pas dengan T-shirt merah marun yang ia kenakan.
“Ternyata si Kevin modis juga ya, Yud?” ucap Maya seperti membaca pikiran Yuda.
Yuda mengangguk serius. Biarpun tidak melepas kacamatanya, Kevin tetap terlihat lain tanpa seragam sekolahnya.
“Yo, ampun deh. Jangan melongo gitu. Terpesona sih terpesona, kesambet baru tau!” Yuda menepuk tangan Tio.
Pastinya Tio bukan terpesona. Tapi waspada terhadap ancaman. Kayaknya Kevin berpotensi jadi saingan baru nih.
Di dalam arena sepak bola yang berbentuk stadion itu sudah penuh sesak. Sebagian besar bergaya pol-polan agar terlihat mencolok.
“Tau nggak lo? Ini kalo burung udah kayak musim kawin. Liatin aja pada heboh gini. Betina menarik perhatian sang jantan... kuurrr... kuurrrr...” celoteh Yuda sambil melihat ke sekelilingnya.
Pandangannya tertuju pada Kevin yang ternyata duduk tiga baris di depannya. Dia terlihat asyik sendiri memandang ke arah lapangan. Pasti dia sendirian karena Obuet ikut main dalam tim dan Sandy belum datang. Atau mungkin dia melamun karena ingat masa jayanya waktu di Amrik. Segala kemungkinan itu mengusik pikiran Yuda yang selalu ingin tahu.
“Kok si Kevin bawa gembolan sih? Dia mau ikut main kali ya?” ucap Maya sambil dengan anggun—seperti biasa—menyibakkan rambut.
“Nggak mungkin,” jawaban Yuda terdengar pasti, ia masih ingat obrolan tiga cowok itu tentang kaki Kevin yang terkilir.
“Tuh, buktinya dia duduk di kursi penonton kayak kita,” tunjuk Yuda.
“Iya sih... tapi kali aja dia cadangan,” Maya masih ngotot.
“Neng, di mana-mana cadangan duduknya juga bareng tim yang lain di lapangan. Masa di kursi penonton? Kayak lagi nyamar aja. David Beckham iya nyamar, nah Kevin?” Yuda merepet dengan tampang sok jenius.
Tak lama kemudian terlihat Bu Dini melangkah dengan gaya Miss World ke depan tribun. Tangannya memegang tongkat konduktor paduan suara. Gayanya pol abis.
“Busyet, dikira kita mau paduan suara buat world choir, kali ya?” bisik Yuda ke kuping Maya.
“Hihihi... gue rasa ini yel-yel berirama klasik. Aliran Pavarotti gitu.”
“Heh lo berdua! Mending pada diem deh, ntar dibikin malu lagi kayak si Yuda. Di depan kelas lumayan, nah ini di depan stadion. Gosipnya bisa nyampe satu kelurahan.” Tio menyikut Maya dan Yuda. Ini anak memang kadang suka hiperbolis.
Terlihat Bu Dini memegang pengeras suara alias toa dan siap-siap berkoar.
“Anak-anakku sekalian...” mulainya dengan suara menggelegar. “Seperti kalian tahu, minggu depan tim kita akan ikut liga SMA. Untuk mendukung mereka, kita pun harus berlatih menjadi suporter yang baik agar mereka bersemangat.”
Suara Bu Dini berapi-api sambil mengepalkan tinju ke udara. Semangat apa ngajak berantem sih sebenarnya?
“Bagaimana, kalian sudah tau teksnya?”
“SUDAH, BU...” jawab anak-anak serempak.
Akhirnya, dengan segala daya dan upaya mereka berlatih gerakan-gerakan ajaib yang diminta Bu Dini. Bagaimanapun juga, ini toh untuk tim sekolah mereka juga.
Latihan suporter tersebut berlangsung kira-kira satu jam. Bibir mereka nyaris bengkak permanen akibat terlalu sering teriak-teriak.
“Duh, bibir gue perih nih. Jontor, lagi,” keluh Yuda sambil mengusap bibirnya.
“Bagus, kan, kayak Angelina Jolie,” sahut Maya nggak penting. Angelina Jolie apaan, kayak kesengat tawon iya. Bengkak gini.
“Yo, bibir lo aman-aman aja?” Yuda melirik bibir Tio. Yang punya bibir malah sibuk sok ngulum-ngulum bibir.
“Oi! Gue pengen liat bibir lo.” Jari telunjuk Yuda menusuk pinggang Tio.
“Auwwwwww...”
“Ahahaha-hahahah... bibir paling parah. Parah!” Yuda tergelak geli melihat bibir Tio yang manyun gede banget kayak baru ditonjok Mike Tyson.
“Tuh, kan... udah liat malah dihina,” rajuk Tio pasrah.
Dengan bibir manyun semua ketiganya menuju mobil Maya. Mereka mau buru-buru pulang sebelum Bu Dini tiba-tiba dapat ide gila yang lain lagi. Ih, no way. Nehi.
“Coffee Bean, yuk?” ajak Maya. Ia memasukkan kunci kontak mobil. Hari ini memang cerah banget, rugi kalau langsung pulang. Apalagi salah satu hobi Maya memang nongkrong di kafe.
“Yah... sayang banget, May. Hari ini budget gue cuma cukup buat beli batagor.” Yuda mengeluarkan beberapa lembar ribuan dari kantongnya.
“Gue lupa bawa dompet. Lagian gue lagi nabung,” sambung Tio.
“Buat kawin lari?” tanya Yuda jail.
“Ya udah, ya udah. Gue yang bayar, gimana? Tapi gue yang order. Kalian tinggal pasrah doang. Oke, nggak?” tawar Maya bagai hujan di musim kemarau buat kedua temannya.
Kepala cepak Yuda dan kepala berambut Hua Zhe Lei Tio mengangguk bareng.
“Tapi pasti ntar gue ganti uang lo, May. Atau gue traktir lo balik bulan depan. Beneran deh, gue traktir lo bulan depan. Beneran deh, gue lupa bawa dompet. Bukannya gue lagi nggak punya uang lho.” Mati-matian Tio ngeles. Gila apa, kepergok bokek di depan kecengan?
Yuda melirik sambil cekikikan.
“Nyantai aja, lagi, Yo. Lo kok panik gitu sih? Emangnya kalo lo lagi nggak punya duit kenapa?” Maya menghidupkan mesin dan berusaha keluar dari posisi parkir paralelnya.
“Here we go again....” Yuda memasang sabuk pengamannya, lalu bersandar tegang.
Tio yang panik langsung ikut tegang.
“Huh! Mana sih orangnya? Kok belum balik? Susah, kan, ngeluarin mobilnya,” rutuk Maya putus asa. Jeep double cabin di depannya benar-benar mepet. Buat orang normal jarak segitu masih bisa maju-mundur keluar dari parkir. Tapi Maya? Boro-boro maju-mundur, nginjek gas aja nggak berani.
“Mana bannya gede-gede, lagi. Mobil gue bisa gepeng,” lanjutnya sambil tetap tidak tega menginjak gas.
“Ada yang mau ngeluarin, nggak?” ia menawarkan pada kedua penumpangnya.
“Nggak deh, kalo nabrak ntar gue yang disemprot, lagi. Mana tu mobil serem gitu. Yang punya kayaknya lebih serem lagi,” tolak Yuda.
Maya menoleh pada Tio.
“May, lo bukannya tau kendaraan paling canggih yang bisa gue setir baru sampe tahap motor bebek? Itu aja sering kecebur got.”
“Gimana lo mau ngajak Maya kencan... auw!” pekik Yuda waktu Tio menjewer kupingnya. Yuda menyipitkan mata ketika di kaca spion dilihatnya Kevin datang ke arah mereka.
“Ada Kevin tuh.”
“Terus kenapa? Lo naksir dia, Ka? Kok tau aja dia dateng?” selidik Maya.
“Yeee.... curigaan aja. Gue kan berusaha cari bala bantuan. Lo minta aja dia ngeluarin mobil ini. Masa dia nggak bisa nyetir sih? Atau minta tolong aja dia dorongin tu mobil gajah, masa nggak kuat. Lagian kan ada Tio.” Ada-ada saja ide Yuda waktu lagi mepet begini.
Emang dasar anak ajaib, waktu Kevin sampai, dengan cuek Yuda membuka jendela dan melongok keluar.
“Vin! Vin! Vin! Hei,!” panggilnya setengah berteriak.
Kevin menoleh ke arah Yuda dan melempar senyum misteriusnya seperti biasa.
“Ada apa?” tanya Kevin sopan sambil menghampiri Yuda. Gayanya ya biasa, cool and confident.
Dalam hati Yuda bertanya-tanya usil. Kevin sebenarnya emang ramah dan cool atau jaim sih? Jadi orang kok tenang bener.
“Vin, tolongin kita-kita dooongg,” rengeknya nggak tahu malu. Jelas-jelas mereka nggak akrab bicaranya sok manja gitu. Genit.
“Mogok?” tanya Kevin simpatik.
“Bukan. Hehee... nggak biasa parkir paralel. Nggg... nggak bisa keluar. Dia lho, dia,” jelas Yuda sambil menunjuk Maya yang merengut.
Yuda menggaruk kepala. “Jadi, bisa keluarin mobil ini atau dorong mobil gajah itu biar menjauh?” pintanya dengan sangat malu. Hari gini masa Maya nggak becus parkir paralel. Dasar SIM tembak.
Kevin mengulum senyum. “Bisa,” jawabnya santai.
Yuda memekik kegirangan. Coffee Bean, here we come!
“Eh, Vin... perlu gue bantuin dorong?” tanya Yuda antusias dan langsung melompat turun dari mobil.
“Nggak usah, lo duduk di mobil aja.”
Dengan santai Kevin berjalan ke arah mobil raksasa itu.
“Wah, turunan Hercules nih. Dorong mobil segede mushola sendirian,” celetuk Yuda takjub melihat Kevin berjalan menuju Jeep itu dengan heroik. Tapi... tapi... lho? Lho?
Pip, pip. Kevin mengarahkan remote kunci ke arah mobil itu. tangannya bersiap meraih handel pintu.
“Sori banget ya, jadi ngalangin jalan,” ujarnya kalem sambil mengangguk berpamitan.
Tio di mobil Maya cuma bisa melongo menyaksikan kejadian tadi. Nggak nyangka, Kevin si kalem mobilnya sangar banget.
Kevin menstarter mobilnya dan keluar dari parkiran. Tampangnya jadi sedikit beda di belakang kemudi mobil macho itu. Keren.
“Nggak nyangka gue, dia bawa mobil begituan,” celetuk Maya.
Yuda manggut-manggut setuju. “Iya. Gue pikir paling sangar mobilnya van doang.”
“Itu sih di mana sangarnya? Mobil keluarga sih iya.” Yuda yang memang buta mobil cuma cengegesan.
“Akhirnya...” Dengan lega Maya menginjak gas dan maju dengan lancar.
“Emang dasar nggak pro. Masa ada orang nyetir nggak bisa parkir,” ledek Yuda.
“Khusus parkir paralel doang! Parkir normal gue bisa, lagi!” balas Maya ketus
*****
SETUMPUK bendera warna-warni dan spanduk raksasa tergeletak di atas meja Yuda. Sore ini hari H-nya liga SMA yang bikin heboh itu. Sialnya, Yuda dapat tugas jadi koordinator suporter kelas mereka.
“Gila, kenapa musti gue, coba? Emang gue ada tampang suporter sejati? Emang gue punya tampang maniak bola? Mana ni bendera bau, lagi. Bekas kali!!!!” Mulut kecil Yuda merepet persis petasan banting. Berisik banget.
Rambut cepaknya jadi kusut karena keseringan digaruk-garuk pake tangan dibantu dengan tenaga dalam.
Tio buru-buru ambil tindakan bantu-bantu Yuda, sebelum mejanya yang nempel sama meja Yuda ikut diobrak-abrik.
“jangan ngamuk gitu dong. Sini, sini gue bantuin. Lagian ada untungnya lho dapet kepercayaan gini...” ujar Tio sok bijak.
Tangannya sibuk memilah bendera-bendera kecil untuk dibagi-bagikan.
Yuda melotot sampai matanya jadi gede banget. “APA? Ayo sebutin satu keuntungannya... SEBUTIN!!!”
Tio jadi gelagapan. “Em... anu... untungnya... untungnya... satu ya?”
“Apa hayo, apa???” cecar Yuda rese.
“Yeee... kok jadi marah sih? Kan gue cuma berusaha menghibur.”
Bibir Yuda makin manyun. Tangannya kembali sibuk mengobrak-abrik bendera-bendera suporter yang menggunung di mejanya.
Maya akhirnya datang sambil melenggang santai. Dia tampak bingung melihat Yuda dan Tio sibuk dengan setumpuk kain warna-warni di depan mereka.
“Woi! Pada ngapain sih? Sumbangan buat korban banjir ya?” tanya Maya polos dengan suaranya seperti biasa, lembut dan mendayu-dayu. Tapi kalimatnya bikin Yuda dan Tio melongo.
“Hah? Pertanyaannya ada yang lebih intelek nggak? Masa iya kain-kain nggak jelas bentuknya gini buat korban banjir? Mau buat apaan? Ngepel?”
Yuda darah tinggi. Tio yang sesak napas mencium bau tumpukan kain di depannya sudah nggak bisa ngomong lagi, cuma bisa mengangguk penuh semangat.
“Lho, kok jadi darah tinggi gitu? Gue kan cuma nanya. Lagian ini apaan sih?”
“Bu Dini, wali kelas kebanggaan kita itu, tiba-tiba memercayakan tugas mulia ini ke gue. Ternyata hukuman gara-gara gue terlambat belum berakhir,” keluh Yuda panjang-lebar.
“Tugas mulia apa?” Maya masih belum mengerti juga.
“Jadi koordinator suporter kita yang heboh itu,” jawab Yuda putus asa.
“Lo nggak ada niat bantuin kita, May? Cuma mau nonton doang?” tanyanya lemas.
Maya meletakkan tas di bangku Tio dan langsung ikut sibuk sebelum rambut Yuda tambah jigrak karena meledak marah.
Tiba-tiba sepasang tangan lain ikut membantu.
“K-Kevin...?” saking kagetnya, Yuda cuma bisa bilang begitu, mirip adegan sinetron. Norak banget.
“Kalo bertiga doang, kapan beresnya?” jawab Kevin pendek dan terus bekerja sambil diam.
Pekerjaan memilah-milah bendera berlangsung hening. Yuda yang paling nggak bisa diam mulai jebol pertahanannya. Kalau semua pada ikut diam gara-gara Kevin, bisa-bisa jadi bisu beneran.
“Vin, mobil lo gede banget ya? Nggak berat tuh?” Yuda memulai pembicaraan dengan topik yang sangat tidak penting. Memangnya mobil buat diangkat-angkat, apa?
“Nggak berat kok, mobil gede gitu enak, mantep. Tapi gue lebih suka kalo setirnya agak berat,” jawab Kevin sambil terus menatap bendera-bendera di tangannya dari balik kacamatanya.
“Kok gitu?” Maya ikut nimbrung.
“Kalo buat gue, mobil Jeep gitu lebih enak sedikit berat. Biar nggak oleng.”
“Lo suka Jeep ya?” tanya Yuda masih penasaran.
Kevin mengangguk. “Gue suka banget offroad,” jawabnya sambil tersenyum, tampak senang dengan pertanyaan Yuda.
Hah? Offroad? Yuda terkaget-kaget dalam hati. Si pendiam satu ini penuh kejutan juga. Pemain sepak bola, offroader. Yuda jadi mulai kagum sama Kevin. Tanpa sadar pipi Yuda bersemu merah. Aduuuhhh... kok jadi kagum sama Kevin? Masa naksir sih? Yuda menggeleng-geleng tak percaya.
“Yud, Yud... lo kenapa? Pusing ya? Pusing?” Tio panik melihat Yuda geleng-geleng kepala.
“Lo mau gue anter ke UKS? Lo kebanyakan nunduk kali, Yud.”
Duh, Kevin ikut-ikutan, lagi. Yuda geleng-geleng tambah kenceng. Jelek banget. Mana muka Kevin deket banget, lagi.
Deg! Deg!! Deg!!!
Wuih... sepasang mata di balik kacamata minusnya ternyata keren juga. Mampus gue, masa sih gue beneran naksir Kevin? Ucap Yuda dalam hati.
Maya mengguncang-guncang bahu Yuda tiba-tiba, ngeh kalau Yuda mulai kehilangan kewarasannya. Hehehe.
“Lo kenapa sih?”
Yuda tersadar dan langsung malu. “Ah... eh... nggak, nggak. Gue nggak pa-pa. Tau-tau gue kayak terbayang-bayang lagunya Maroon 5, This Love. Tau, kan... This love..” begitu sadar Yuda jadi tolol dan nyanyi Maroon 5 sambil cengengesan.
Maya menatap Yuda curiga. “Lo kebayang Maroon 5 atau house music? Kok gedek-gedek gitu, kayak orang tripping,” selidiknya.
Kevin dan Tio cengengesan bingung. Aneh banget sih.
Mereka mulai sibuk lagi. Tapi sekarang benar-benar dalam diam. Yang lain diam kebingungan, Yuda diam melamun. Wah, kayaknya dia bener-bener suka.
Ah, kenapa musti Kevin sih? Cowok gagu gitu. Mana mungkin gue yang nyatain duluan? Lagian PDKT-nya mau sampe kapan? Mending kalo dia juga suka sama gue. Orang dia baik banget sama semua orang. Ramah sama semua orang, biarpun dengan gayanya yang dingin itu. Yang paling penting emang dia suka cowok kayak gue?
Jangan – jangan dia straigt? siapa tahu dia udah punya cewek. Ah, pendiam begitu mana mau pacaran? Lupain aja deh, Yuda ngedumel bimbang dalam hati.Yuda membalas tatapan Tio yang dari tadi melirik ke arahnya. Tiomendelik-delik memberi kode “lo kenapa sih?”
“Beressss...” Sambil merentangkan tangannya Yuda berteriak lega.
“Busyeeetttttttttt, tangan gue bau banget. Gue cuci tangan dulu, ya,” Tio melesat ke kamar mandi.
“Iya nih, bau banget. Gue juga ah.” Maya ikut-ikutan.
“Kayaknya kalian musti lari deh. Bentar lagi Pak Dave masuk,” Yuda mengingatkan sambil memasukkan bendera-bendera tadi ke kardus mie instan.
“Lo nggak cuci tangan?” tanya Kevin.
“Nggak ah. Males gue. Ntar aja kalo gue udah megang bendera-bendera bau ini sepuluh kali, baru gue cuci tangan,” jawab Yuda asal.
Kevin nyengir. Dasar gokil. “Ya udah, gue balik ke bangku gue dulu,” katanya sambil melengang pergi.
“Thanks ya, Vin...” Yuda melambaikan tangan lemas. Jantungnya sudah normal kembali. Pasti tadi cuma karena muka Kevin terlalu dekat, dan cowok itu ngomongin hal-hal keren yang bisa bikin cewek berimajinasi yang keren-keren pula.
“Fiuuuuhh... ternyata tadi perasaan doang.” Yuda membuang napas lega.
soal panggilan itu, jadi gini sebelumnya gue pake nama Raka buat tokoh utama tapi karena udah ada yang pake yaudah gue ganti pake Yuda, dan kyaknya itu kelewat dari proses editing gue.
suka sama bagian yang yuda minta tolong kevin mindahin mobil. (y)
yuda cerewet juga yah, haha. tp lucu. asik nih yuda dah mulai jatuh cinta.
sebenernya si Yuda udah suka pas pertama liat si Kevin, cuma dia ngak sadar ajah dan nyangkanya cuma penasaran doang *oppss spoiler*
lanjut papah, jangan lama lama