It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ternyata aku salah telah mengharapkan hari ini adalah hari dimana aku bisa melihat dia lebih lama lagi. Aku hanya bisa melihat pohon yang mulai meranggas entah karena angin, atau karena pohon itu memang menghendakinya. Yah, dibawah sulur-sulur pohon ini aku berharap tentang hidup dan angan-anganku.
"Ah, sial!" decakku ketika galir-galir hujan mulai turun membasahi lapangan handball. Mungkinkah ini pertanda bahwa aku harus meninggalkan pohon ini? Namun tanpa kujawab pun kaki ini sudah tidak bisa diajak negosiasi untuk tetap berlama-lama, mengharapkan bahwa dia akan datang dengan senyum mengembang. Dan ternyata harapan itu terkabulkan! Aku melihat dia sedang menenteng bola ditangannya, lalu memulai latihan bola kecil itu bersama teman-temannya. Ahhh... makasih Tuhan telah mengabulkan harapanku. Meskipun hujan, aku tidak peduli karena yang terpenting aku bisa melihat wajah tegasnya sebagai seorang laki-laki.
Ketika hujan terus merabak tanpa henti, akhirnya aku berjalan menuju koridor cinta di lorong dekat kantin. Dari sana aku bisa melihat aktifitas pemain handball maupun basket walaupun terlihat samar karena aku mempunyai mata minus, gak tau deh kalau yang normal. "Woi, tembak sekarang!" teriak kang Budil, membuat arah pandangku terus mengikuti dia. "Ahhh, dasar payah!" lanjutnya ketika tidak bisa mencetak angka.
"Euh...," desisku sedikit tertahan ketika dia melepaskan bajunya. Aku seperti melihat taman eden yang sangat indah. Bahkan sepertinya, ini jauh lebih indah dari taman itu.
Sekarang kulihat dia melempar bajunya ke selokan yang sedang mengalir deras menuju halaman belakang SOS 3. Samar-samar kulihat baju itu hanyut mengikuti derasnya air, membuat kakiku tiba-tiba bergerak spontan untuk mengambil dan memasukannya kedalam tas. Setelah sampai ternyata memang benar itu baju kang Budil. Langsung ku ambil dan kumasukan ke dalam tas lalu berjalan santai seolah tidak terjadi apa-apa.
***
POV orang ke 3.
Setelah berhasil mengambil baju itu Caka kembali lagi menuju koridor cinta untuk melihat orang yang begitu ia kagumi. Karena percuma jika dia pulang sekarang, angkot tidak akan ada mengingat hujan telah turun begitu deras.
"Ah gawat!" umpatnya ketika Budil mencari baju yang telah ia lempar. Caka langsung berjalan menuju kantin karena dia takut Budil akan menghampirinya lalu mengeradah kantong yang di dalamnya terdapat barang yang sangat berharga. Ketika sampai, Caka melihat kantin itu begitu sesak dan bising. Pandangannya menunduk dan langkahnya langsung memutar balik menuju perpustakaan. Dia tidak mau dirinya jadi bahan candaan bagi mereka yang menyebut dirinya sendiri lebih baik.
Sesampainya di perpus, Caka pun telah sadar bahwa dia harus mencari puisi untuk dijadikan musikalisasi puisi besok nanti. Tanpa nunggu lama lagi, Caka langsung mengambil buku yang kemarin telah ia lihat lalu duduk di bangku paling ujung. Masih tergambar jelas di lembar pertama Caka melihat puisi berjudul oasis yang mampu membuat tangannya gemetar hebat. Lalu di lembar berikutnya, Caka melihat judul yang sukses membuat alisnya terangkat. "Andromeda?" lirihnya pelan. Lalu sudut matanya pun melihat rangkaian kalimat pada syair pertama. Dia mengangguk mafhum. "Rupanya tentang cinta," lanjutnya dengan senyum tipis.
Apatis jiwa yang ku puja...
Menyemburkan hasrat tanpa nyawa...
Sarkaslah sifat yang ku puja...
Menyiksa diri tanpa duka...
Kini angan-angan itu melayang menuju galaksi bima sakti...
Mencari sosok jiwa yang siap untuk diisi...
Menyemburlah hasrat ini!
Ketika jiwa itu menghilang entah kemana...
Tapi aku tidak peduli, aku yakin...
Jiwa itu telah bersembunyi...
Namun setelah kulihat dan kupahami, jiwa itu telah pergi...
Tidak di galaksi bima sakti, tapi di galaksi andromeda...
***
Air mata perlahan jatuh membasahi pipi Caka. Dia tidak bisa berkata sedikit pun setelah membaca puisi itu. Tapi yang Caka yakini, dia telah menetapkan pilihannya untuk mempergunakan puisi itu sebagai puisi yang akan dibuat nada bersama biola miliknya Siska. Meskipun dia tau kemungkinan untuk menang itu sedikit, tapi setidaknya Caka tidak membuat harapan seseorang menjadi redup. Yah, seperti dirinya sendiri yang telah menyerahkan nasibnya untuk dikendalikan oleh waktu, bukan dia yang mengendalikan waktu.
"Cak, kamu disini juga?" Caka menengadahkan kepalanya ke belakang. Ternyata dia adalah Siska.
"Eh Sis, iya nih. Lagi cari refrensi puisi yang bakal nanti kita robak nadanya," balas Caka lalu beranjak duduk menuju bangkunya Siska.
"Udah dapet belum?"
"Udah. Menurutmu, puisi ini bagus gak?" Caka menyerahkan puisi yang berjudul Andromeda. Siska pun mulai membaca puisi itu cukup lama. Ketika selesai, matanya langsung berbinar, memperlihatkan ketertarikannya kepada puisi itu.
"Oke aku setuju. Tapi aku udah gak sabar nih, Cak. Gimana kalau sekarang aja kita latihannya?" balas Siska sedikit memohon.
"Kan alat musiknya juga di rumah?"
"Latihan di lab seni aja, lagian masih jam 3. Gerbang sekolah ditutup jam 5." Caka sedikit ragu untuk mengiyakan. Namun pada akhirnya, langkahnya pun berjalan menuju petugas perpus untuk meminjam buku puisi yang telah ia pegang selama 3 hari.
"Emang kuncinya ada dimana?"
"Di ruang TU." Setelah mengambil kunci, mereka pun pergi menuju lab musik dengan harapan bisa menjadi juara di pentas nanti.
Sedangkan Caka, hatinya merasa gusar karena dia sangat takut sekali terhadap hal yang berbau mistis atau astral. Entah apa yang menyebapkan dia menjadi paranoid, tapi dulu ketika Caka duduk di bangku SD, dia pernah pingsan di dalam toilet sendirian. Dia tidak tau apa yang menjadi penyebapnya, tapi yang dia tau, tubuhnya menggigil, lalu pandangannya pun... gelap. Sekarang Caka harus pergi menuju tempat sepi di belakang kantin, dimana mereka harus berjalan menuju koridor gelap yang sangat panjang.
"Sis, apakah kamu tidak takut?" Caka berhenti dibibir koridor. Melihatnya saja tubuh Caka sudah gemetar hebat.
"Haha kamu ini. Ayo percaya sama aku. Kita berdua pasti akan baik-baik saja...," balas Siska lalu menarik tangan Caka untuk beranjak pergi. Akhirnya Caka menyerah. Sekuat mungkin dia menahan rasa takut karena dia yakin dia tidak sendirian.
"Gini, Cak... apapun yang terjadi dalam dunia ini tak pernah lepas dari energi. Energi bisa bertranformasi menjadi bentuk apapun. Itu mengapa, di SMP dulu kita pernah membahas hukum kekekalan energi kan? Kamu tau gak gimana bunyinya?" Caka mengangguk.
" Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, energi hanya dapat diubah dari 1 bentuk energi ke bentuk energi yang lain.“
"Nah itu dia. Apapun yang terjadi di masa lalu, sejatinya sudah direkam oleh energi. Sekarang aku mau tanya, apakah kamu pernah dengar residual energi?" lagi, Caka mengangguk menjawab pertanyaan Siska. "Harusnya dalam kesimpulan ini kamu bisa mengerti bahwa yang namanya hantu itu gak ada. Itu hanya jin yang senantiasa mengganggu kita umat manusia. Asalkan kita gak takut, pasti gak akan terjadi apa-apa. Percayalah... Hmmm oke sekarang kita sudah sampai." Caka melihat lab musik yang begitu luas. Di dalamnya terdapat berbagai alat musik seperti keyboad, gitar, biola, dan berbagai alat musik tradisional. Ketika matanya melihat gitar berwarna coklat tua, langkahnya langsung beranjak menuju gitar itu lalu mengambilnya secara perlahan.
Kini tangan Caka lincah memetik snar, memainkan instrumental berjudul nostalgia dengan perasaan damai. Lagu ini bisa menjabarkan perasaan hatinya jika sedang sendirian atau masa lalu yang menurut Caka terlalu manis untuk diingat dan terlalu pahit untuk dilupakan. Yakni masa dimana dia bebas bermain tanpa mengenal apa itu cinta dan masalah. Namun aktifitasnya berhenti ketika Siska memainkan biola dengan nada menyayat hati. Caka tau instrumental apa ini. Yah, instrumental ini adalah list kesukaannya juga. Sadness and Sorrow...
"Aku juga punya lagi favorit, bukan hanya kamu...," ujar Siska setelah selesai dengan permainannya.
"Haha, Sadness and Sorrow kan?" tanya Caka.
"Iya... hehe. Tapi sekarang aku lagi belajar instrumen karyanya Yiruma."
"Kalau Yiruma aku sudah bisa semua versi akustiknya. Sekarang lagi belajar Depapepe..."
"Baiklah... ayo kita mulai latihannya. Hmmm karena sepertinya puisi itu suasananya sedih, gimana kalau kita buat nada se-sedih mungkin?" Caka mengangguk-anggukan kepala untuk menjawab pertanyaan Siska.
"Tapi tunggu dulu. Kamu udah memahami scale-scale pokok biola gak? Kalau dalam akustik memahami chord, nada voval, bass line, atau nada yang akan di convert?" tanya Caka sebelum memulai.
"Udah, Cak."
"Baiklah... ayo kita mulai!"
To be continue to Musikalisasi 3
Maaf jika sedikit. Entah kenapa suka terjebak dalam ide sendiri. Akhirnya saya ubah pov nya menjadi orang ke tiga. Kalau orang pertama 2 paragraf aja memerlukan waktu 30 jam yang akhirnya membuat rasa malas untuk menulis...
@GeryYaoibot95
@Tsu_no_YanYan
@alfa_centaury
@d_cetya
@HidingPrince
@arieat
@admmx01
@elul
@Xian_Lee
@agungrahmat
@erickhidayat
@Adityaa_okk
@Anubisnoh
@Handikasendave
@sasadara
@TigerGirlz
@abiDoANk
@zeva_21 @RichardLee
Tong hilap komen nya
eh tersenggih itu kyk gmn ya?
mention ya kalo update
baik kak.
eh lupa si Caka kan anak baik-baik! emang ts~ *plak