It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Author: Lian48
Bromance~
Happy reading \^0^/
-Raka POV-
"Sayang, kita putus ya.. Aku bosan.." dengan Santainya David mengatakan itu dan mematikan HPnya.
"Korban yang ke 14, sepanjang Agustus ini. Kau hebat David, bisa masuk rekor muri sebagai playboy kapalan.." ucapku dengan nada mengejek, aku memainkan laptopku ketika duduk di kasur.
David langsung memeluk pinggangku, membuatku tersentak, "Ah.. Come on, gue harus gimana kalau emang bosan? Gue sih sekarang lagi ngincer Ranti, anak kamar 8. Beuuh.. Bohay, imut.. Gemes gue." ya kami memang berada di kosan campuran cewek cowok.
"Terus kalau bosan lu buang lagi?" tanyaku ketus.
"Gak lah.. Gak mungkin bosan gue.. Gue yakin deh, si Ranti ini cinta sejati gue."
"Itu selalu lu ucapin ke gue kalau lu dapat inceran baru. Gue bosan David.."
David mengacak-acak rambutku gemas, "Ehehe tau aja lu.. Tapi asal lu tau, gue cuma manusia biasa yang mencari cinta. Gue cuma belum nemuin yang tepat."
Aku mendelik kesal, "Kalau lu gak cinta ngapain lu tembak, php-in juga.. Karena cakep? Karena sexy? Lu gak bakal ngerti apa tuh cinta kalau lu liat fisiknya doang.. Lu gak bakal pernah nemuin kalau kriteria lu itu orang yang sempurna." ucapku ketus.
David malah menyunggingkan senyum, terdiam dan memainkan tangannya di pusarku, membuatku bergidik. Lesung pipitnya kadang membuatku terhipnotis. "Cewek emang gak pernah cocok dengan gue, jodoh gue mungkin cowok hehe.." Saat aku mulai tergoda, handphoneku malah berbunyi.
"Halo Satria?" ucapku sambil tersenyum girang karena ini telepon dari pacarku. David meletakkan dagunya di bahuku, menatapku dengan tatapan tak suka.
"Kita break aja deh.." ucap Satria di sebrang.
"Ta-tapi.. Kenapa?" lirihku dengan bibir bergetar.
"Kita udah gak cocok lagi, sorry.. Semoga lu bahagia dengan yang lain.."
"Sat.. Satria!!! Aku gak mau.. Sat.." teriakku dengan nada tinggi, air mataku langsung berhamburan.
David memutar tubuhnya, dia merebahkan kepalanya di pahaku, "Hoaaam.. Korban yang ke 10 sepanjang Agustus ini.." ucap David malas-malasan.
"Korban apaan!! Gue yang jadi korban!!" teriakku kesal.
"Raka sayang, ngapain lu nangis sih? Lu itu juga playboy kan, bedanya lu sama gue, lu selalu mewek tiap kali break.. Ntar dua hari kemudian girang lagi dapat cowok baru curhat sama gue kaya gadis kembang desa yang jatuh cinta.. entar patah hati lagi.. Gitu gitu terus.." ucap David mengejek. Aku langsung menjitak David kesal.
David adalah teman sekamarku di kosan, dia tau aku gay, kami sering bertukar cerita tentang kekasih masing-masing.
Aku dan David memang memiliki banyak pengalaman percintaan, kalau dia sih memang hobi berpetualang sedangkan aku.. Memang pada dasarnya kali ya pacaran sama gay mau awet itu cuma impian. Pacaran, break, galau, dapat yang baru. Idup gitu-gitu aja. Bikin malas nyari pacar di dunia gay.
Aku menatap David yang ada di pahaku, gak gak! Jangan deh, dia sahabat baikku. Sudah dua tahun kami sekamar.
Awal pertemuan sih, kami sampai di kosan nyaris bersamaan. Aku lebih dulu beberapa detik sehingga mendapatkan kamar terakhir, David langsung memandangku sadis "Aaah! Ayo lah Bu, saya sudah mencari kosan seharian.. Ini kesempatan terakhir saya.. Sudah malam ini buu!!" rengek David.
"Aduh.." kata ibu kost ragu.
"Gimana pun, gue duluan.. So lu pulang deh.." usirku ketus.
"Gila lu, rumah gue itu ada di luar kota.. Masa gue ngegembel sih." ucap David protes.
Ibu kost seolah punya ide, "Nah siapa yang duluan bayar bakal dapetin tuh kamar." celetuknya.
Aku dan David membuka tas tergesa-gesa seolah sedang berkompetisi, ya memang kompetisi yang hadiahnya kamar!
Dengan cepat aku menyodorkan uang tapi David juga melakukan hal yang sama, aku mendengus kesal. "Gimana ya.." kata si ibu bingung.
"Gimana kalau saya tambahin dua ratus ribu, jadi kamarnya tujuh ratus ribu saya sewa bu!" tawar David.
"Wow.." si ibu gendut langsung girang.
"Hei!! Uh.." aku merengut kesal, tak mungkin aku bisa menaikkan harga, ekonomi keluargaku gak bagus-bagus amat. Aku menunduk meremas tasku kesal padahal aku yang lebih dulu.
"Ok keputusannya kamar dimiliki nak David, maaf ya nak Raka.."
Ibu kost pergi menyerahkan kunci. David terus menatap aku yang tertunduk, dengan mata iba dia meraih bahuku, "Umm gue mau aja berbagi kamar sama lu.." ucapnya sambil memamerkan lesung pipitnya.
"Hm? Gue punya privasy.. Gak mau." ucapku ketus.
"Gue bayar 70%, lu 30% aja deh.. Ayo kesempatan gak datang dua kali.." ucap David. Kupingku langsung bergerak-gerak mendengar tawaran murah meriah.
"Lagian, gue penasaran aja punya temen sekamar. Pasti seru.. Gue kan anak tunggal jadi ga tau sensasinya punya sodara. Kita bisa membangun persodaraan bukan?" ucapnya meyakinkanku.
Hatiku pun mantab, ya kapan lagi dapat kosan murah dengan fasilitas lengkap.
Semenjak dua tahun lalu ternyata kami cocok, obrolan nyambung, ada kesamaan dan perbedaan karakter yang bikin kami saling melengkapi.
Aku cuma cowok simple yang tak menonjol, beda halnya David. Cowok narsis dan populer. Kami sekampus tapi beda fakultas.
Sering hangout bersama, di kosan seru-seruan, sering berantem juga. Tapi yaa baikan lagi.
David cowok yang ceria, orang yang sangat berpengaruh terhadap lingkungan karena kalau gak ada dia pasti gak seru. Dia type orang yang pandai menarik hati orang. Aku juga menyayanginya, sempat naksir tapi aku pendam dalam-dalam. Because He is my best friend.
Dulu ketika David mengetahui latar belakangku sebagai gay dia marah besar, awalnya dia lancang memainkan laptopku, menemukan foto mesraku dengan beberapa cowok. Ini yang aku takutkan, memiliki teman sekamar itu merusak privasy.
Saat aku yang dari kamar mandi mencoba masuk kamar, aku sangat terkejut, David sudah menatapku garang, "Jadi lu homo?!!!" bentaknya.
Aku hanya tertunduk dengan bahu bergetar ketakutan, aku tidak berani membayangkan berbagai kemungkinan yang terjadi. "Astaga Raka! Gue gak nyangka ya lu gay, lu tau kan itu hal hina!! Lu bikin gue kecewa, kenapa lu gak bisa nahan diri sih Raka!!"
Tangisku langsung terhambur, aku berlutut sambil meremas mulutku, "Jangan nangis!! Jangan bikin gue geli dengan tingkah bencong itu!!!"
Aku mendorong David kasar, "Lu pikir semua ini mudah hah? Lu pikir gay itu bisa dikendalikan? Lu pikir jadi gay itu mau gue hah!!!"
David terdiam, "Lu punya akal kan? Pake tuh akal manusia jangan kaya binatang lu."
"Cukup Dav! Sakit gue dengar hinaan lu. Gay itu bukan sesuatu yang bisa gue kendaliin, muncul dengan sendirinya di perasaan gue. Kaya lu doyan nasi mungkin bisa aja maksa makan roti tapi ujung-ujungnya lu pasti gak tahan! Lu pasti balik sama minat lu yang ga bisa lu tahan yaitu nasi! Itu yang gue rasain. Dan masalah pengendalian diri, gue bisa nahan diri gak having sex tapi kalau tentang minat gue ke cowok, itu mustahil."
David menatapku lekat sambil meremas bahuku, "Jadi lu gak pernah ngesex? Gak pernah jadi korban sodomi gitu?"
Aku menepis tangan Dav, "Gak lah Dav, lu kenal gue kan! Nonton bokep aja gue anti... Emangnya kaya lu mesum.."
Senyum David mengembang, "Thanks God, syukur deh lu suci... Gue gak rela dunia akherat lu diapa-apain sama cowok-cowok bejad di luar sana." ucap David sambil memelukku tapi tangannya turun di bongkahan pantatku untuk digrepe-grepe.
"Apa-apaan sih Dav!!" ucapku ketus sambil mendorongnya.
"Jadi lu doyan cowok, berarti lu suka gue dong? Jiaah jangan-jangan lu menikmati pemandangan gue yang suka telanjang mondar-mandir di kamar lagi.."
"Sedikit menikmati.. Tapi gue gak suka lu kok!! Lu kan sohib gue, kaya kehabisan stok gay aja." ucapku tertunduk.
"Yakin?" tanya David mengintimidasi dan mendekatkan wajahnya.
"Yakin super duper yakin!!!"
"Yaudah sini aku tium dulu..." ucapnya centil sambil menekan kepalaku sehingga pipiku menempel di bibirnya. Gaah anak satu ini, dia semakin suka menggodaku semenjak tau latar belakangku.
Tapi mengingat masa lalu itu membuatku tersenyum-senyum sendiri, how sweet.
--
"Eummhh..." David melenguh pelan, bergulung terus tubuhnya jatuh di atasku. Kami tidur di kasur tingkat, ya walau ga terlalu tinggi.
Aku shock, "Woi! Lu kalau tidur jangan gelundungan napa.." protesku kesal.
David membuka mata perlahan, mengucek mata dan menatapku dengan tatapan polos. "Hehe.. Lu Raka.. Jam berapa nih?" David mendongak.
"Umm masih pagi, lanjutin gih tidurnya.." ucapku ketus.
"Hoam jam 4, masih ada waktu. Eummhh" David malah memelukku erat, aku tersentak apalagi saat pedang panjangnya menempel di pahaku. Aku memerah.
"Da-David.. Uh.." aku benar-benar grogi saat dengan nakalnya dia menggesek-gesekkan senjatanya pada tubuhku. Tapi suaraku tidak dia hiraukan, dia terpejam dengan wajah polosnya itu.
Aku mendekatkan wajah secara perlahan, kukecup kepalanya, kehadirannya membuatku sangat nyaman, kugerakkan tangan secara perlahan untuk mendekap kepalanya, dia sepertinya kembali tertidur, hidung mancungnya membuatku gemas ingin menggigit hidung itu.
Aku tersentak saat tangan David bergerak menggenggam tanganku, "Gue sayang lu Raka.." desisnya dengan mata yang setengah terbuka.
"A-apa? Lu sayang gue?" tanyaku ragu, mimpi apa aku semalam bisa ditembak pangeran berkuda putih *ok lebay
"Hahaha gak lah Ka, emangnya gue homo kaya lu..?" ejeknya sambil memencet hidungku.
"Dav tolong jangan main-main dengan orientasi gue, lu pikir itu lucu hah?" aku menatapnya sedih.
David langsung mengecup tanganku, "Sorry sorry, ya gue sayang lu lah.. Aduh lidah gue terasa aneh ngomong begini hehe cuma rasa sayangnya agak rumit, gue bingung gimana jelasinnya."
Aku menangkup pipi David, "Gue ngerti, kita bestfriend kan.."
"Bestfriend plus plus plus... Gue horny nih, ML yuk.. Gue penasaran mau nyobain cowok." ucapnya sambil mengecup leherku.
Aku menendang kakinya kesal, "Dav lu jangan main-main deh, lagian bagi gue sex itu sakral. Gak bisa dilakuin tanpa cinta."
David memanyunkan bibirnya, "Gue sayang lu, lu juga pasti sayang gue. Kita jadian deh kali aja lu cinta sejati gue hehe.."
Dengan mudahnya dia mengucapkan itu, mungkin baginya yang suka bermain cinta ini bukan hal yang rumit dan sepele, tapi aku bertolak belakang dengannya. Aku langsung bangkit dari kasur, "Aku lapar, mau masak mie..."
David langsung mengikuti langkahku yang menuju dapur, sedikit geram melihat tingkah manjanya yang bergelayut ditubuhku, padahal aku sedang sibuk memasak, "Kamu mau kelilipan panci Dav?" ucapku ketus menyodorinya panci.
Dia hanya menyengir polos, dia juga ikut-ikutan mengambil mangok, sendok dan garpu, dengan gaya seperti anak kecil dia memukul-mukulkan sendok-garpu ke meja, "Makan makan makan... Mama makan ya.." ucapnya dengan suara sok anak kecil.
Aku hanya menggeleng sambil menambah satu bungkus mie lagi, jujur aku memang sangat nyaman dengan posisi seperti sekarang, memang sering terbesit ingin lebih, dia cukup membuatku bergairah hanya saja aku terus menahan diri, mungkin aku akan pergi dari kosan ini jika aku mencapai batasku, tapi yang pasti aku masih ingin mengukir lebih banyak sejarah dengan pemuda mengesankan yang bernama David ini.
Aku mulai menyiapkan mie di mangkok masing-masing, bibir David melengkung imut, kadang dia lucu dan kekanakan, kadang terlihat nakal, kadang terlihat sexy dan kadang kasar. Memberikan banyak warna di dalam hidupku.
Lidahnya terjulur saat memakan mie yang kepanasan, aku hanya tertawa, wajahnya murung, dia sodorkan mangkoknya kepadaku, "Tiupin..." rengeknya, aku hanya tersenyum tipis dan mulai meniup mangkoknya. Dia membuka mulutnya dan kembali merengek manja, "Cuapin..."
Aku tertawa, "Muka lu minta tampol sumpah!" ucapku yang terpaksa menyuapinya, lagi-lagi dia memberikan tatapan yang membuatku salah tingkah apalagi saat kakinya mulai agresif memeluk kakiku. Haaah..
Hanya saja semua rasa manis itu langsung masam ketika kami melancarkan rencana kami untuk berjogging di gor, "Kamu tau gak persamaan kamu dengan matahari?" tanya David sambil menggenggam tangan seorang gadis imut.
"Gak tau, apa tuh?"
"Sama-sama jadi penerang hati aku..." ucapnya gombal.
Kebakar kali hati diterangi matahari. Aku cuma memasang wajah jijik, kesel juga niatnya jogging malah jadi kambing congeknya David, apa aku bilang... Playboy kapalan ini tidak akan tahan dengan godaan gadis-gadis cantik, untung aku tidak menyerahkan tubuhku tadi.
Aku mulai menoleh ke samping, mendadak dadaku berdegup kencang. Ada seorang pemuda tampan di arah samping duduk di sebuah kursi sambil memperhatikanku dari tadi, dia tidak membuang pandangan, justru menatapku lebih lekat ketika aku menatapnya, dia mengenakan kacamata, berkulit putih dan juga bertubuh sedang dan sedikit atletis.
Cukup lama kami saling memandang hingga akhirnya dia menghampiriku, "Hei... Sepatumu lucu.." ucapnya basa-basi.
"Hanya sepatu biasa hehe.." jawabku santai.
"Hmm aku Ridwan.." ucapnya sambil menyodorkan tangan.
Aku tersenyum lembut, "Raka.." ucapku ramah.
"Senang mengenalmu Raka, mau jogging bareng aku?"
Aku tertawa girang, "Dengan senang hati.."
Aku pun melambai ke arah David, dia pun membalasnya. Sepertinya aku memulai lembaran baruku, begitu pun David.
Aku rasa, sahabat tetaplah sahabat. Tidak akan pernah bisa menjadi lebih, biarlah aku simpan perasaanku dalam-dalam. Seperti yang aku bilang, buat apa aku mengincar straight jika masih banyak stok dalam kaumku.
Aku menyayangi David, sahabat yang baik tidak akan membiarkan sahabatnya menjalani jalan yang sama sulitnya dengan jalanku, cukup aku.
END
Author: Lian48
WARNING: sedikit bau bau adegan dewasa. Yaoi, cerpen, romance.
Happy reading \^0^/
-Reno POV-
“Hei disana ada banyak pohon tumbang, kita cari tempat duduk di sana.” Saran Ari si ketua regu. Kami dari komunitas pecinta alam melakukan camping di hutan, kumunitas kami terdiri dari berbagai mahasiswa di kampus-kampus yang berbeda sehingga memperluas jaringan kami. Tanpa terduga aku bertemu kembali dengan sahabatku saat SMP, Dimas.
Dimas hanya tersenyum ketika dia duduk di seberangku, aku mengangguk. Dia jauh lebih tampan dari pada dulu, bahkan sekarang dia memiliki badan yang atletis. Saat aku asik memperhatikan Dimas mendadak aku dikejutkan oleh siraman air, “Woi!!!” teriakku kasar.
Kulirik di samping ada Gio yang memegang air botol dan dia terjatuh, dia kembali bangkit dengan jalan terpincang, dia berusaha mengelap wajah dan dadaku yang basah, “Gak usah!!” bentakku. Aku tidak suka dia terlihat perhatian di depan umum, memalukan, aku takut karena dia kekasihku.
“Re-Reno.. kau pasti haus...” tanyanya sambil menyodorkan air mineral dengan tangan bergetar, aku menatapnya tajam.
“Gak...” ucapku dingin dan menepis tangannya hingga air tadi tumpah. Dia menghela nafas berat akan jawabanku itu, aku hanya merokok sambil menghembuskan asapnya dengan beban. Rupanya Gio tadi berusaha memberiku minum sehingga dia berjalan tergesa-gesa dan jatuh.
Dia tertunduk dengan wajah suram, aku lirik dia yang mengenakan kaos pendek dan celana putih, membuat luka di sikut dan lututnya bisa aku lihat. Aku jadi merasa sangat bersalah, aku terlalu sering kasar dengannya. “Ikut aku..” perintahku pada Gio. Dia mengangguk antusias.
Aku mengajaknya ke belakang pohon yang cukup besar dan jauh dari kerumunan anak-anak, aku dorong Gio ke pohon itu, dia terlihat tegang akan tindakanku, aku mendekatkan wajah dengannya, hidung kami bersentuhan, aku mengecup lembut pipi chuby-nya kemudian aku membungkuk, aku mengecup lututnya dengan lembut, “Maaf, kau jadi terluka.” Desisku penuh penyesalan.
Gio tersenyum lebar dengan wajah memerah, dia menggeleng, ikut membungkuk kemudian memeluk leherku dengan gemas. Gio tidak banyak bicara, dia pemalu tapi aku sangat menyayanginya, aku suka semua yang ada di dia, tubuhnya yang mungil, wajahnya yang imut, aromanya yang halus meskipun berkeringat seperti sekarang, dia membuatku bergairah, aku menggesekkan hidungku pada pipinya, turun ke lehernya, aku melumat lehernya perlahan tapi aku sangat terkejut saat mendengar suara Dimas, “Ehem... kita harus melanjutkan perjalanan..”
Tubuhku kaku seketika, aku langsung mendorong Gio menjauh, Demas menangkap tubuh Gio sebelum terbanting ke tanah, Gio juga terlihat gugup. “Gio kau duluan ke rombongan, aku mau bicara dengan Dimas.” Perintahku.
Gio hanya mengangguk, tubuhnya masih sedikit bergetar, aku juga menatap bingung tapi Dimas langsung merangkulku, “Bro kau terlihat ketakutan, ada apa?” tanyanya dengan senyuman menyebalkan seolah tak tau apa-apa.
“Kau lihat yang tadi kan? Aku harap kau bisa menyimpannya dan pura-pura gak terjadi apa-apa.” Pintaku, berusaha berkompromi.
“Ummm gimana ya... aku mau saja, tapi ada syaratnya. Bagi Gio dong denganku.” Ucapnya santai.
Aku langsung mencengkram kerah baju Dimas kemudian mendorongnya ke pohon, “Kau jangan macam-macam dengan BF-ku Dim,”
Dimas tertawa dan menepuk-nepuk dadaku, “Kau gak berubah ya, masih jadi sobatku yang tempramen. Berarti Gio cowok yang hebat dong.” Aku menatap mata sinis Dimas, ada yang aneh dari sosok sahabatku ini.
“Kau gay juga, Dimas?” tanyaku.
Dimas menaikkan keningnya, “Begitulah..”
Aku menggeleng, “Kau gak pernah cerita.”
Dimas tertawa mengejek, “Waktu SMP aku belum menyadarinya, kau juga kan. Tapi tanpa sengaja kita pernah melakukan hal menyimpang kan dulu, ingat ciuman pertamamu, Reno..” Dimas mengusap bibirku dengan jempolnya, aku sedikit merinding. Yeah.. aku baru sadar jika dulu aku pernah tertarik dengannya hanya saja dulu aku tidak mengerti tentang perasaanku dan tidak pernah mengakuinya.
“Eniwei, Gio itu hebat.. aku merindukan tubuhnya...” desis Dimas yang sontak membuat mataku membulat, kucengkram lebih kuat kerahnya.
“Maksudmu apa hah?!!!” bentakku kesal.
“Tanyakan saja dengan Gio.” Dimas kembali menatapku dengan tatapan memuakkan. Ada apa dengannya, dia terasa asing di mataku, aku merasa dia sainganku disini.
“Gak usah berbelat-belit!!!” aku meraung muak.
Dimas menarik leherku, “Tampan, berikan aku satu ciuman terlebih dahulu.” Godanya.
Aku langsung mendorongnya dan menjaga jarak, dia terlihat seperti seorang maniak sekarang, aku hanya menggeleng tidak mengerti.
-Gio POV-
Satu kata untuk hari ini, Lelah.. ya bagaimana tidak, Reno memerintahkanku membawa tas besarnya sehingga aku memiliki dua beban di belakang dan juga depan tubuhku. Hari ini Reno lebih sensitif dari pada biasanya, dia terlihat seperti gadis yang kena PMS dan terus membuatku serba salah.
Saat yang lain sibuk membuat tenda, aku tidak bisa lagi menggerakkan tubuhku, aku hanya bersendar di pohon sambil menatap lututku yang terluka karena jatuh tadi, haah aku sangat ceroboh. Obat merah yang aku minta dari ketua tadi segera aku aku oleskan pada lukaku, tapi saat Reno memanggilku, dengan sigap aku berdiri, “Gio! Ambilkan minuman..”
Aku gelabakan mencari minuman, dengan cepat aku berlari ke arah Reno yang sedang membuat tenda. Aku menatapnya lekat, dia sangat sexy dengan keringat yang ada di tubuh coklatnya yang terukir indah, bicepnya membuatku gemas ingin memeluk lengannya. Aku malah melayang dalam hayalanku dan lagi-lagi kena semprot Reno, “Malah bengong lagi! Bantuin bikin tenda kek!”
Aku meremas tanganku, “Ta-tapi.. aku gak bisa..”
“Semuanya aja gak bisa! Bisamu apa sih! Jadi cowok gak berguna.” Ucapannya terlalu tajam, dadaku terasa sesak, sering hal seperti ini aku rasakan tapi aku hanya bisa memasang wajah datar dan mengangguk lemah mingiyakan segala tuduhannya, padahal hatiku menangis.
Tapi dari belakang ada yang merangkulku, “Hei hei.. jangan terlalu kasar, aku tidak suka kekasih yang tidak bisa menghargai kekasihnya. Karena kau akan menyesal sepertiku, suatu hari nanti.” Ternyata suara Dimas.
Padahal suara Dimas pelan seolah berbisik tapi itu cukup membuat Reno gelabakan, “Kau benar-benar ya Dim! Lepasin dia sekarang!”
Dengan suara lantang Dimas menjawab, “Gio kita teman kan, kenapa Reno pelit sekali sih. Memangnya Gio apamu Reno?” ucapan itu sukses membuat anak-anak yang lain mengalihkan perhatian pada kami. Reno hanya bisa terdiam sambil menggenggam tinjunya.
“A-aku mau mandi duluan... kak Ari dimana sungainya?” tanyaku pada ketua.
Aku lihat kini Dimas yang menolong Reno yang membuat tenda, Dimas suka sekali menggodanya. Ini mengkhawatirkanku, “Gak jauh dari sini dek, kamu jalan aja lurus kesana..” ucap kak Ari sambil menunjuk ke arah kanan. Aku mengangguk, mengambil peralatan mandi sebelum akhirnya pergi ke sungai.
Paling nyaman memang mandi di saat sepi seperti ini, aku kurang terbiasa mengekspose badanku di keramaian, aku malu. Aku mengusap badanku dengan sabun meski pun badanku terendam air sungai hingga dada. Airnya sangat sejuk di sore yang panas dan melelahkan, membuatku tenang dan menghayalkan masa lalu.
Waktu itu aku masih kelas dua SMA, salah satu temanku yang kaya raya mengadakan pesta ulang tahun yang sangat mewah di suatu hotel, aku cukup canggung disana karena tidak terlalu akrab dengan mereka. Tapi Tran nama temanku yang sedang berulang tahun itu menarikku, dia mengajakku ke tengah aula, aku benar-benar malu.
Disana dia menghadapkanku dengan seorang pemuda yang lebih dewasa denganku, “Hei aku tantang kalian berdua untuk berlomba minum.” Ucapnya.
Aku mengerutkan kening khawatir saat melihat jejeran gelas di atas meja, ini minuman keras, “Aku gak bisa.”
“Jangan pengecut Gio... kau pasti bisa.” Bujuk Tran sambil merangkulku. “Kamu gak mungkin mempermalukan dirimu di depan umum kan?” bisik Tran.
Aku menatap sekitar, sangat ramai, rasanya kepalaku pusing, aku berada di tengah-tengah keramaian, aku malu.. aku bingung dan dengan mantab aku memutuskan menerima tantangan itu. Aku yang masih polos dan tidak pernah menyentuh minuman keras dibuat mual, dengan menahan nafas aku terus menenggak minuman itu, berusaha mengalahkan lawanku namun hanya lima gelas kemampuanku. Aku benar-benar pusing, aku berjalan tak keruan, mataku berkunang-kunang dan ketika aku sadar aku harus dikejutkan dengan kenyataan bahwa aku tidur di suatu kamar hotel, tanpa mengenakan pakaian dan ada seorang lelaki di sampingku.
Aku histeris, aku ketakutan, apalagi saat merasakan panas dan perih pada anusku aku semakin ketakutan, “Hei tenang... semuanya baik-baik saja..” bujuknya sambil mengusap kepalaku.
“Jangan sentuh!!!” aku benar-benar geli dengan tubuhku sendiri, aku menepisnya berkali-kali saat dia berusaha menyentuhku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tapi yang pasti tubuhku di penuhi bercak merah dan itu membuatku semakin panik. Tanpa memperdulikan sakitku, aku kabur.
Kupikir saat itu semuanya berakhir, ternyata kami kembali bertemu di sekolah. Dia sangat antusias akan kehadiranku, terus mengejarku setiap saat. Ternyata namanya Dimas, kakak kelasku.
Awalnya aku selalu menepis kehadirannya, dia menakutkan. Tapi lama kelamaan, aku luluh. Dia pemuda yang sangat ramah dan ceria, yang terpenting dia tidak mudah menyerah mendapatkan hatiku. Dia orang pertama yang mengenalkanku akan cinta. Aku terlalu pemalu untuk mendekatkan diri untuk bersosialisasi dengan orang lain sehingga tidak memiliki pengalaman cinta.
Tapi Dimas, dia orang yang membuatku merasa berarti, aku hanya pemuda dengan tampang pas-pasan tapi dia yang tampan mau mendekatiku, aku merasa seperti cinderella dibuatnya. Dia mewarnai hari-hariku, sosoknya yang menyenangkan tidak pernah membuatku bosan dan di dekatnya adalah candu.
Tapi satu yang membuatku lelah dalam hubungan kami, dia maniak sex. Aku benar-benar lelah mengabulkan tiap permintaan bercintanya, pagi, malam bahkan di toilet sekolah pun dia memperkosaku. Saat aku menolak, tidak segan-segan dia memukuliku. Dia bilang eranganku adalah daya tarik yang tidak dimiliki lelaki lain, aku sangat ekspresif.
Aku semakin ketakutan dengan sikap Dimas yang semakin psikopat tiap harinya, dia terlalu posesif, aku tidak boleh mengobrol dengan siapapun, dia akan menghajarku sampai aku sekarat di rumah sakit berkali-kali.
Aku sering memutusinya, tapi dia menangis bahkan tidak segan bersujud di depanku, mengungkapkan betapa dia mencintaiku, dia tidak ingin berpisah, dia bisa gila tanpaku. Aku kembali luluh, tapi dia kembali mengulangi kesalahan yang sama. Sehingga aku tidak lagi memberinya kesempatan, dia sangat murka, dia nyaris membunuhku malam itu, “Kau gila Dimas!!! Bebaskan aku! Aku sudah tidak sanggup..” lirihku dengan air mata yang berkucuran.
Dia meraih sebuah botol, dia pecahkan sehingga membuat ujungnya runcing, dia menatapku dengan wajah datar dan juga air mata yang berlinangan, “Kau tau kan aku tidak bisa hidup tanpamu, Gio... kau segalanya!!!” bentak Dimas.
Aku mundur secara perlahan, “Kau pasti bisa Dimas, aku mohon ayo kita jalani hidup masing-masing.” Bujukku dengan nada lembut.
“Kalau aku gak bisa memilikimu, maka gak akan ada orang lain yang bisa. Ayo kita mati bersama.. haha..” dia tertawa mengerikan.. dia benar-benar mengerikan.
Dia menerjangku, membuat bahuku tergores, aku menendangnya, aku terus berlari berusaha mencari pintu tapi semua terkunci, aku mengambil kursi untuk menghancurkan jendelanya tapi Dimas kembali berteriak, “Gio!!! Kalau kamu pergi aku bakalan bunuh diri!!! Aku serius...” ancamnya. Bukan hanya sekedar ancaman karena dia benar-benar menggores nadinya dengan kaca membuat lantai berlimbahan darah.
Aku panik, tapi aku tidak iba meskipun dia merintih-rintih dalam sekaratnya, aku hanya menelepon ambulans ke alamat ini kemudian melarikan diri. Aku langsung pindah sekolah dan rumah, aku berusaha menghilang dari kehidupan Dimas walaupun sangat menyesakkan. Tapi semua demi keselamatanku. Aku tidak menyangka cinta bisa segila ini.
Sedangkan Reno adalah seniorku di kampus, tidak ada yang special dari pertemuan kami. Dia hanya kaka tingkat yang sangat judes saat ospek, sangat hobi membullyku, tapi dia memanfaatkan kepanitiaan ospeknya untuk mendapatkan nopeku, menghubungiku setiap hari, walaupun saat di depan umum dia sangat galak, tapi jika berduaan dia sangat romantis. Dia hanya terlalu takut akan image gay-nya terbongkar.
Dia menyatakan cinta padaku, aku tidak menolak karena aku juga merasakan hal yang sama dengannya. Lebih setahun aku kesepian dan kurasa saatnya aku membuka lembaran baru. Tapi melihat perlakuan Reno aku seolah djavu dengan pengalamanku dulu bersama Dimas. Entah sampai kapan tubuhku mampu menerima perlakuan kasarnya, mungkin aku masocist, kali ini aku menikmati perilaku kasarnya dan mampu bertahan lebih setahun dengan keadaan seperti ini.
Tapi aku dan Reno tidak pernah melakukan hubungan sex, aku tidak tau apa alasannya, aku sering menggodanya tapi dia seolah menahan diri walau aku menyadari pedangnya sudah mengacung angkuh. Apapun perlakuannya, aku mencintainya, apapun darinya. Karena dengan bertambahnya kedewasaanku aku belajar bahwa cinta itu bukan sesuatu yang beralasan, aku tidak akan pernah menemukan yang sempurna.
Jika aku mencintai karena rupa, maka cinta itu menghilang ketika kami menua...
Jika aku mencintai karena sikap, maka cinta itu bisa menghilang ketika sikapnya berubah...
Pada kenyataannya, hati dan sikap manusia bisa berubah kapan pun.
Aku mencintai Reno apapun dia.
SPLASSSH!!!
Aku sangat terkejut dan tersadar dari lamunan saat ada seseorang muncul di depanku ketika aku mandi di sungai, “Hei... lama banget mandinya, onani ya..” tanyanya dengan senyum nakal.
“Dimas..” desisku sambil berusaha beranjak bangkit. Dia menahan bahuku.
“Buru-buru banget sih hehe... hei kau tidak merindukanku? Sudah lama kan kita tidak bernostalgia.” Dia merangkulku dan tersenyum hangat, selalu sok manis.
“Aku kedinginan. Bolehkah aku selesaikan mandinya sekarang?” tanyaku sesopan mungkin.
Dimas menatapku nakal, dia meraih pinggangku, “Gak ah.. aku masih kangen.. kamu gak kangen?” Dia menarikku semakin merapat.
Aku merinding, aku terhipnotis akan sosoknya, dadanya yang terbentuk indah, bicepnya yang kokoh, dia memiliki body yang sama sexy dengan Reno, aku bisa merasakan tangan Dimas kini meremas bongkahan pantatku, aku memejamkan mata karena tidak bisa bereaksi sedikit pun, saat bibir lembabnya menyentuh leherku, tamat sudah riwayatku! Aku ereksi.
“Brengsek!!!” aku terhenyak mendengar makian Reno, dia melompat ke sungai dan menghantam Dimas dengan bringas, Dimas tidak melawan. Sepertinya Reno tidak puas menyerang Dimas, kini dia berusaha menyerangku tapi Dimas menahan tangan Reno dengan cepat.
“Aku yang salah, jangan sakiti orang yang pernah aku cintai.” Ucap Dimas dingin.
“Maksudmu!!! Ada apa dengan kalian hah!!!” Reno benar-benar murka, aku hanya bisa menangis ketakutan.
Dimas mengecup tangan Reno yang dia tahan tadi, dengan kasar dia tarik tangannya. Dia menatap kesal Dimas tapi dia tidak merespon lagi, dia mengangkat pinggangku ke daratan dan dia kembali murka saat melihat penisku, “Kau ereksi?!!!” bentaknya.
“Ma-maaf.. aku tidak bisa mengendalikan..” ringisku. Reno hanya menggeleng, rahangnya yang maskulin itu mengencang, dia ambil handukku untuk menutupi penisku kemudian menyeretku kasar ke tenda.
-Reno POV-
Rasanya mataku panas, dan benar saja aku menangis sekarang. Aku hanya duduk membelakangi Gio saat duduk di dalam tenda, rasanya suaraku tercekat, bahkan sekedar bertanya apa hubungannya dengan Dimas saja aku tidak mampu, aku ingin menggerang dan meraung karena sakit yang menerkam dadaku. Ada rahasia besar antara kekasihku dan sahabatku. Tapi apa?
“Reno...” lirih Gio. Dia memelukku dari belakang, tangannya menempel di dadaku, saat dia menggesek-gesekkan kepalanya di tengkukku aku menjadi lebih tenang, sifat manjanya membuatku kembali mendingin, aku menggenggam tangannya yang ada di dadaku. “Maafkan aku, Reno.. Dimas mantanku, Cuma mantan. Aku sama sekali tidak berniat yang bukan-bukan, aku Cuma mencintaimu. Kau percaya kan?”
“Apa buktinya?” tantangku.
Gio menggeliat ke depanku, duduk di pangkuanku, dia shock saat melihat mataku yang basah. Tangan mungilnya mengusap pipiku dan mengecup kelopak mataku, “Aku akan lakukan apapun yang bisa membuatmu senang..” ucapnya lembut.
Aku hanya mengangkat satu alisku, menatap bingung. Gio memainkan jarinya di dadaku, menatapku dengan mata manisnya, dan kurasa pisangku mulai bereaksi ketika dia menggerakkan bokongnya yang ada di atasku. Gaah!! My naugthy Gio, pertahananku runtuh, aku terpaksa menjamahnya saat itu. Dan benar-benar jadi moodbooster buatku.
Benar kata orang, jika duduk bersama tidak bisa mendinginkan amarah, bagaimana dengan tidur bersama?
Malam yang panas ini sukses membuat tubuhku pegal semua, padahal langit mulai terang, aku juga bisa mendengar banyak krasak-krusuk orang-orang mulai beraktifitas di luar tenda. Tapi rasanya pagi ini aku terlalu nyaman dengan poisisiku, dimana Gio tidur di atas dadaku, tangannya yang mengalung di leherku, sangat hangat. Aku meraih tangannya, kukecup lembut, haha bau amis.
Dia menggeliat, membuat senjataku bergesekan dengan kulitnya, aku sedikit merinding, aku mencium kepalanya gemas, “Aku mencintaimu Gio...” desisku lembut.
“Eenghh.. aku juja...” lirihnya dengan suara halus dan setengah sadar, menbuatku terkekeh.
Camping terus berlanjut, dimana kami melakukan penanaman pohon, penjelajahan, pentas seni, dan juga memberi penghargaan pada peserta camping terbaik. Aku merasa hubungan kami agak diberatkan semenjak kehadiran Dimas, dengan agresif dia selalu menggoda kami. Tapi entah kenapa, hal itu membuatku semakin care dengan Gio. Aku menjaganya sepenuh hati, aku takut kehilangannya, aku berusaha menahan diri bertindak semena-mena dengannya.
Aku berusaha memperbaiki sikapku karena aku tau Dimas orang yang seru dan baik, aku takut Gio membandingkan sikap kami, yang tentu saja aku kalah segala-galanya dari Dimas, aku lakukan apapun yang terbaik sepanjang camping. Aku selalu menggandeng tangan Gio kemana pun, aku sudah tidak perduli dengan ucapan orang, hanya satu yang aku takutkan, kehilangannya.
Dengan derasnya badai yang menerpa hubungan kami, kami semakin memperkokoh hubungan sepanjang camping hingga acara ini selesai. Bus yang mengantar kami pulang sudah sampai ke stasiun, aku terkejut saat keluar dari bus ada seorang pemuda manis berkulit putih sungkem dengan Dimas kemudian mengecup pipinya.
Dimas menatapku dan Gio, “Hei teman-teman!! Sini!’’ sapanya.
Aku menggenggam tangan Gio untuk mendekati Dimas, “Siapa?” tanyaku dingin. Mereka mirip, mungkin saja adik Dimas. Ah gak deh, aku bertahun-tahun menjadi sahabat Dimas tidak tau dia memiliki adik laki-laki.
Bocah ini terlihat masih SMP atau baru masuk SMA, tersenyum manis sambil sungkem kepada kami berdua saat Dimas beri kode, “Kenalkan ini Damar pacarku. Dek, kenalin ini sahabat-sahabat kakak.”
“Salam kenal kak, saya Damar..” sapanya dengan senyuman manis membuat gigi kelincinya terlihat.
Aku menatap tajam, Tceh... sudah punya pacar masih centil, “Oh ya, Gio temani Damar dulu ya bentar. Aku mau bicara empat mata dengan Reno.” Pinta Dimas. Gio hanya mengangguk.
“Maumu apa sekarang?” tanyaku ketus.
“Kau sekarang sudah dewasa, Reno..” desisnya sambil menepuk bahuku.
Aku mengangkat alis, “Terus?”
“Awalnya aku sangat senang saat bertemu kau dan Gio disini. Kalian orang yang baik, sangat serasi untuk bersatu. Tapi sikap kasarmu membuatku terganggu, sehingga aku berpikir keras untuk mencari solusi ini. aku ingin, Gio orang yang sangat aku cintai berada di tangan yang tepat. Aku menggoda kalian, karena biasanya setiap masalah pasti memiliki hikmah tersendiri. Dan bisa dilihat kan? Gangguan yang aku berikan membuatmu lebih lunak dan menyadari betapa pentingnya Gio.” Mendadak suara Dimas serak, dia tertunduk sambil menangis, dia menepuk bahuku, “Gio orang yang sangat special, dia sabar dan tulus. Perlakuanku bodohku di masa lalu membuatku kehilangannya, kau tau bagaimana perasaanku? Hancur.. aku kacau, aku nyaris mati dan gila... butuh bertahun-tahun menyembuhkan rasa sakitku, sosoknya sangat berperan kuat dalam hidupku. Kau sahabatku, orang yang sangat berarti untukku. Aku hanya ingin memberi peringatan, jangan ulangi kebodohanku di masa lalu, jangan kasar dengannya, dia rapuh, reno... dia terlalu banyak berkorban.”
Aku terhenyak, bingung bagaimana harus bereaksi. Aku hanya mengangguk mantab membuat Dimas tersenyum dan menepuk pipiku, Dimas menarikku ke tempat tadi, “Hei Gio!!” panggilnya.
Gio yang tadi asik tertawa-tawa dengan Damar mulai memperhatikan kami, Dimas meraih tangan Gio dan menyatukannya di tanganku, “Aku titip Gio, jaga dia baik-baik.. bye!!!” Dimas yang ceria langsung berlari menggandeng kekasihnya. Aku dan Gio hanya tertawa ringan.
Kutatap matanya yang sayu, dia sangat berharga. Aku pegang janjiku, pasti kujaga Gio baik-baik.
TAMAT
Like and coment \._./
By: Lian48
Happy reading \^0~/
-Awhal POV-
Dengan nafas berat aku menarik senapan aku arahkan lasernya tepat di kepala calon gubernur yang akan di lantik itu.
DORR DORR DORR
Dengan cepat aku berlari dari lokasi penembakan itu, aku berlari secepat mungkin melompati tangga-tangga darurat menuju bawah gedung karena posisi awalku di sebuah gedung apartement, setelah sampai di bawah ada seseorang yang menangkap tubuhku, mengambil senapanku dan menyembunyikannya kemudian mememasangkanku kemeja dan juga merapikan rambutku, “Kau yang terbaik, aku mencintaimu..” bisik Ryan sambil melumat mesra bibirku.
Kami mulai berjalan santai dan membaur di keramaian sehingga tak menimbulkan kecurigaan di mata para polisi yang sibuk mencari pembunuhnya.
**
Ryan terduduk di kasur, asik menghitung uang bayaran yang ada di dalam dua koper besar, kami berdua adalah partner dalam profesi menantang kami sebagai pembunuh bayaran. Aku memiliki kemampuan menembak yang jitu layaknya sniper sedangkan Ryan memiliki otak genius yang selalu mampu mengecoh suasana sehingga kami selalu berbagi tugas saat beraksi.
Aku duduk mendekatinya, posisiku kini tepat di belakangnya, aku menempelkan dadaku pada punggungnya dan melingkarkan tanganku di pinggangnya, aku merasakan kehangatan dari tengkuk Ryan yang menyentuh pipiku, aku mulai meraih HP dan mengetik, “Sebaiknya kita berlibur ke suatu pulau, hanya berdua tanpa kehadiran orang lain...” bujukku, aku bisu dan hanya benda ini yang membantuku berkomunikasi.
Ryan membalikkan tubuhnya, dia tatap aku dengan mata sayunya kemudian mengecup pipiku dengan lembut, “Aku masih haus dan ingin menyeselaikan lebih banyak projek..”
Aku memainkan kemeja Ryan, menatapnya manja, berharap dia luluh. Jujur, aku lelah... hatiku lelah ketika merenggut banyak nyawa yang tidak bermasalah di dalam kehidupanku, hanya demi profesionalitas aku tersiksa melaksanakan tugas yang tidak bisa diterima hati nuraniku.
Ryan menarik daguku, melumat bibirku dengan mesra, dia tarik pinggangku membuat tubuh kami merapat, aku mendorong dadanya pelan, “Uang kita sudah cukup banyak...” tulisku sambil menatapnya penuh harap.
PRAAK
Ryan menepis Hpku hingga hancur di lantai dan menatapku tajam, “Kenapa? Kau mulai membangkang hm? Ingat, kau tinggal bersamaku ikuti rulesku, kau hanya gembel yang aku pungut empat tahun lalu!! Kau bukan siapa-siapa tanpa aku, jangan pernah berharap kau bisa hidup sesukamu.”
Aku bergidik ngeri, aku hanya bisa tertunduk dan meremas tanganku, Ryan kembali menunduk untuk mengecup bibirku, “Besok aku belikan handphone yang baru, sudah lama kan kau menginginkan xperia C3.”
Aku hanya mengangguk lemah, aku memeluk lehernya dan membiarkannya mencumbuku, saat memejamkan mata aku teringat moment itu...
Saat pertama kali kami bertemu.
I was 16 years old, aku tertidur di emperan jalan, aku merasakan tangan hangat mengusap rambutku, “Tampan...” ucap sebuah suara yang membuat mataku terbuka secara perlahan.
Aku tatap seseorang yang mengenakan setelan rapi dan berkacamata, dia buka kacamatanya menampakan mata coklat yang indah, alis tebal dan senyumnya membuatku terhanyut detik itu juga, lesung pipi yang luar biasa manis.
“Kenapa tidur disini?” tanyanya dengan suara yang terdengar bersahabat.
“Aaa.. auuu enggg...” aku hanya bergumam tidak jelas, aku sentuh leherku, berusaha memberinya isyarat bahwa aku tidak mampu berbicara.
“Kau bisu? Kau gelandangan?” tanyanya. Aku hanya mengangguk, dia tersenyum lagi dan mengecup keningku dengan lembut, “Tinggal lah bersamaku...” saat itulah kami mulai menjalani sebuah hubungan dan hidup bersama.
Ryan selalu mengatakan bahwa dia mencintaiku saat pertama kali melihatku, aku hanya sosok remaja kucel saat itu, jadi aku percaya cinta pada pandangan pertama itu ada, karena aku pun merasakannya.
Tapi secara perlahan aku mengetahui latar belakangnya, awalnya dia hanya membunuh di depan mataku, membuatku ketakutan, tapi selanjutnya dia memberikan pistol padaku, memerintahkanku untuk menembak dan aku terpaksa melakukannya.
Hari demi hari kemampuan menembakku semakin hebat, bahkan melebihi kemampuan Ryan, sehingga dia menjadikanku alat utama di dalam tiap projek kami.
Aku kembali terbayang hari-hari manis yang kami jalani. Dimana kami asik berselfie di depan air mancur, aku mengalungkan tanganku di lehernya dan mengecup pipinya, dengan senyum nakal dia mencipratkan air padaku, aku membalasnya hingga kami sama-sama tertawa, dengan jahilnya dia mendorongku ke kolam, aku berusaha meminta tarikannya tapi justru aku yang menariknya masuk ke dalam kolam air mancur itu, aku menduduki perutnya dan tertawa-tawa dengan suara yang aneh.
Festival gelembung juga membuatku sangat teringat dengannya, dimana suatu taman dipenuhi gelembung sabun dengan berbagai ukuran dan warna, aku dan Ryan asik berlarian menepuki gelembung, kami juga merasakan para gelembung menerpa wajah kami, menghirup aroma sabun dengan mata terpejam dan saat itu lah aku merasakan ada benda lembab menyentuh bibirku, aku tersentak, Ryan sangat berani menciumku di depan umum.
Dia ciuman pertamaku... aku pun terlelap bersama kenangan-kenangan manis itu.
**
SREET...
Suara gorden terbuka membuat kupingku bergerak, mendadak jadi silau aku terpaksa membuka mataku, “Good morning my prince...” bisiknya saat mulai merangkak menindihiku.
Aku tersenyum tipis dan mengecup pipinya, “Hanya pipi? Sisi yang lain juga menginginkan morning kiss...” aku mencubit pinggangnya, membuatnya terkekeh kemudian aku kecup bibirnya singkat, aku belum sikat gigi, tidak PD melumatnya secara berlebihan, saat aku berusaha lari, Ryan kembali menarik pinggangku dan menghempasku di kasur, kami sempat bergulat untuk bercanda beberapa saat hingga akhirnya Ryan kelelahan, “Prince, aku mandi dulu ya... atau kau ingin kita mandi bersama...”
Aku hanya menggeleng dan memeluk tubuhku, memberi isyarat bahwa aku masih kedinginan dan belum siap mandi. Ryan memelukku sekilas sebelum dia pergi ke kamar mandi. Aku kembali menggeliat hikmat, menikmati pagi sejukku ini dengan bermalas-malasan. Sayangnya suara bell mengacaukan segalanya.
Aku berlari dengan cepat menuju pintu, suara bell itu terus berbunyi. Aku buka pintu tadi dengan tergesa-gesa, disana berdiri seorang pemuda langsing dengan rambut pirang, dia tersenyum lembut, “Hei... lu lucu banget, tembem...” ucapnya sambil memainkan pipiku, aku cengok seketika. Aku pergi sebentar untuk mengambil buku dan pulpen untuk berkomunikasi, “Maaf, kamu siapa? Dan mencari siapa?” tulisku.
“Lu pasti Awhal adiknya Ryan kan? Gue Rama, pacarnya Ryan...”
DEG...
Tubuhku seolah membeku seketika, tanganku yang memegang pulpen bergetar, ini bohong kan?! Ryan tidak mungkin memiliki lelaki lain dalam hidupnya, itu bukan Ryan yang aku kenal! Kecupan Rama yang mendarat di pipiku membuatku tersadar dari lamunan, aku memundurkan langkah, “Ngelamun lagi, bikin tambah gemes tau gak... eh cariin kamar buat gue, mulai sekarang gue tinggal disini. Ok?” ucapnya semaunya, aku hanya terdiam dengan air mata mulai menggenang.
Ryan yang hanya menggunakan handuk keluar dari kamar mandi, tatapannya membulat saat melihat kehadiran Rama, “Ngapain kesini?!” bentak Ryan.
Rama memanyunkan bibir dan mencium Ryan, astaga... kenapa bisa sesakit ini.. aku bergetar hebat, tubuhku merinding karena menahan emosi yang menggigil. “Ah sayang kenapa kasar sih? Gue habis di usir dari kosan.. gue tinggal di sini ya?” rayunya sambil bergelayut manja dengan Ryan.
“Lu gak bisa bayar kosan? Nih uang ambil, sekarang balik!” bentak Ryan.
“Gak ah... males, lu anggurin gue mulu sendirian, gue kan kangen... kangen si perkasa ini...” desisnya nakal sambil meremas paha kokoh Ryan. Ryan menatapku dengan tatapan bersalah, kami semua terdiam untuk beberapa saat.
“Oh ya, Ryan. Adek lu ngegemesin ya? Gue suka..” ucap Rama sambil merangkulku, aku hanya terpejam sambil menahan tangis.
“Jangan sentuh dia!” bentak Ryan.
“Ah lu sih pelit...” rajuk Rama. Aku menatap Ryan penuh tanda tanya, dia hanya menganggapku adik. “Whal, cariin kamar gue dong...” pintanya, aku hanya mengangguk lemas sambil menunjukkan sebuah kamar kosong di samping kamar kami.
Aku berjalan untuk memasuki kamar kami, dengan murka aku memukul-mukul dada Ryan.. “Aaaargghhh!!! Aaaah aaaa... gaaahh... haaah akh...” ucapku tak keruan, rasanya aku ingin meneriakkan semua bebanku meskipun lidahku tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Aku menangis meraung-raung sambil meremas bahunya, aku menenggelamkan wajahku di dadanya. Ryan hanya terdiam pasrah menerima seranganku.
Aku meraih HP Ryan yang ada di meja, aku ketik apa yang ingin aku ucapkan, “Tega kamu Ryan!” tulisku.
“Maaf...” desisnya sambil mengecup tengkukku.
“HANYA MAAF? Putusin dia! Aku gak mau diduakan.”
Ryan mengangkat daguku, membuat pandangan kami bertemu, “Gak sesimple itu. Rama anak mafia besar, saat dia menyukaiku aku hanya bisa mengikuti perintah ayahnya yang pada dasarnya dalang dari segela projek kita.”
“Aku gak Rela Ryan! Aku gak rela!!!”
Ryan menatapku tajam, “Lalu maumu apa? Putus?”
Tangisku semakin pecah mendengar pernyataannya, “Ai au einaiu...” aku berusaha keras mengucapkan kalimat itu, ‘Tapi aku mencintaimu’ hanya kalimat sederhana saja tidak mampu ditembus lidahku.
“Aku juga mencintaimu Whal..” bahuku menegang ternyata dia mampu mengerti ucapanku, “Maka dari itu bertahanlah... biasakan diri hidup dengan kehadiran Rama...”
Aku menggigit bibirku geram, Tolong aku tidak menginginkan ini. aku sudah lelah menjadi pembunuh berdarah dingin, ditambah semua ini membuatku semakin tidak betah, aku mundur secara perlahan. Aku keluar dari kamar dengan wajah yang tak mencurigakan, setelah berhasil meraih pintu rumah, aku berlari dengan kencang. Tapi aku terkejut, dari atas jendela Ryan melompat lincah, dia melihatku, aku berusaha memasuki gang-gang kecil, terlihat Ryan berlari di atas beton gang itu dan melompat bagaikan pemain parkour saat aku membelokkan langkah, aku terus berusaha mengecohnya dengan tikungan-tikungan tapi akhirnya dia melompat tepat di depanku.
Aku berbalik arah, berusaha berlari tadi dia tangkap pinggangku, menghempasku di dinding beton itu dan menekan tubuhku, dia menodongkan sebilah pisau tajam di leherku, “Kau sudah berani bermain-main denganku hm? Jangan harap kau bisa lepas dari jeratanku, semakin kau melawan, semakin aku membuatmu tersiksa.” Ancamnya dengan nada tajam.
Ryan menjambak rambut ikalku, menyeretku kembali ke rumah, aku hanya bisa terisak.
Tatapan hangatnya kini hilang, dia hanya terobsesi memilikiku, tapi tidak lagi menjagaku. Sesampainya di rumah, Rama menyambut kami, “Hei dari mana aja?”
“Habis main lari-larian tadi..” ucap Ryan sambil tersenyum, dikecupnya bibir Rama di depan mataku sendiri. Aku meringis pedih, tega... tegaa!!! Saat air mata mulai menggenang aku berusaha menjauhi mereka, aku tidak sanggup, “Heh siapa yang nyuruh pergi? Sekarang masak untuk kami!” bentak Ryan, seolah membentak seekor anjing. Aku hanya mengangguk lemah, pergi dengan tatapan terluka.
**
Selesai sarapan, aku hanya bisa terbaring di kamar, terbaring sambil menangis semua itu melelahkan dan membuatku tertidur cukup lelap. Tapi sesuatu yang terjatuh di wajahku membuatku terkejut, kotak HP? “Sony xperia C3 seperti janjiku semalam. Lanjutkan tulisan-tulisanmu..” hanya itu yang Ryan ucapkan dan meninggalkanku kembali, aku bisa mendengar dari luar suara mereka yang bercengkrama akrab, terdengar bahagia. Aku hanya bisa meringkuk disini, mengungkapkan kata-kata hatiku di dalam aplikasi handphone.
Rasanya kebas, kupingku mendadak berdengung, mataku kabur karena genangan air mata, aku hanya bisa meremas dada yang terasa nyeri, lebih nyeri lagi saat aku nekat menghintip mereka yang duduk asik di ruang TV, mereka berciuman mesra, aku menutup mulutku yang nyaris menggerang histeris, Tuhan... apa aku sanggup menampung segala rasa sakit ini? nafasku sesak, atmosfer rasanya berubah total...
Bibir itu milikku bukan? Senyum itu milikku, jari itu milikku, tubuh itu milikku bahkan hati itu seharusnya milikku. Kenapa sekarang Rama yang menjamah semuanya? Aku menggigil sambil menggigit tanganku saat aku mendengar mereka mulai merintih dan bercinta di sofa itu, ingusku semakin penuh, rasanya aku tidak mampu bernafas.
Aku merangkak secara perlahan dengan air mata yang mengalir membasahi lantai, aku berlari ke kamar mandi mencuci mukaku, rasanya kepalaku sangat sakit karena terlalu banyak menangis hari ini.
Aku kembali merangkak ke tempat tidur, menarik selimut dan mendekap guling dengan hangat. Tuhan, hanya satu doaku, hilangkan segala rasa sakit ini, beri aku kekuatan.
**
Basah... hangat... geli... apa aku bermimpi? Kenapa aku merasakan tiga hal itu menyapu leherku, saat aku membuka mata aku tersentak, “Aaaakh!!” erangku, aku hanya bisa berteriak tak jelas saat menyadari kini Rama menindih tubuhku.
“Hai manis, lu udah bangun...” bisiknya sambil menjilat kupingku, aku berusaha menggerak-gerakkan wajah menghindari ciumannya, “Lu itu manis banget ya, pantesan Ryan tergila-gila dan gak mau mutusin lu.”
Aku terkejut, jadi Rama sudah mengetahui hubungan kami, “Entahlah.. gue bingung harus anggap lu saingan atau apa, yang pasti gue terangsang sama lu..” Rama melumat bibirku dengan ganas, apa dia seorang vers? Entahlah... yang pasti aku memberontak sebisa mungkin.
“Bagaimana rasanya Whal sakit hati? Pasti gak enak ya... tapi sangat menarik membuat matamu basah, apa kau tau tubuh Ryan sangat sexy, dia pria yang sangat perkasa dan candu buatku. Asal lu tau, gue bakal milikin dia seutuhnya. Lu punya dua pilihan, gue singkirin atau menyingkir dengan sendirinya. “Aaaakh!!” aku hanya berteriak tak keruan.
Kreaak...
Tuhan, syukurlah pintu terbuka, wajahku terasa sangat girang saat itu. Ryan masuk, “Ada apa ini?” tanyanya terkejut.
Rama langsung melompat dari tubuhku, dia langsung memeluk Ryan manja, “Tolong gue Ryan, tadi Awhal nyerang gue, terpaksa gue serang balik dia makanya tadi gue tindihin dia.”
Fitnah! Dasar keparat! Aku berusaha menatap Ryan dengan mata sedih, ini tidak benar Ryan kau percaya aku kan?! Ryan menatapku teduh, aku rasa dia pun percaya aku. Tapi Rama yang licik itu terus bergelayut manja, membuat dadaku panas, “Lu usir dia sekarang atau gue kirim pasukan buat habisi kalian berdua?’’ ancam Rama. Aku menatap shock, aku menggeleng, Ryan juga terlihat berat tapi dia mencengram tanganku, menyeretku keluar, aku terus memukul-mukul tangannya, aku menggerang-gerang berusaha meyakinkannya bahwa disini aku tidak ingin berpisah darinya, tolonglah... apapun yang dia lakukan aku rela, berselingkuh, bercumbu, bercinta aku sudah tidak perduli lagi, aku hanya menginginkan Ryanku yang hangat mendekapku setiap malam, menciumku setiap pagi dan menghirup aromanya yang menenangkan.
Tapi pintu rumah itu tertutup rapat, aku hanya bisa meraung tak keruan di depan pintu, bagaimana lagi aku menemukan jalanku? Ryan ini bukan pilihan yang tepat, aku lebih suka mati bersamamu dibunuh para mafia itu dari pada harus kesakitan sendiri. Mataku kabur, aku meremas wajahku yang semakin kacau karena tangisan lukaku.
Dengan perlahan aku mundur menjauhi pagar, aku berjalan mundur dengan bodohnya, terdengar suara klakson mobil maupun teriakan orang-orang...
BRAAK!!!
Semua itu hanya sekejab, aku tidak bisa merasakan apapun saat tubuhku dihantam sebuah truk, terseret kemudian terlempar di trotoar, aku mulai mengantuk, tubuhku terasa ngilu dan tidak mampu aku gerakkan, samar-samar terdengar suara yang sangat familiar, “Aku mencintaimu... tolong siapapun tolong!!!” itu suara terakhir yang aku dengar hingga kupingku mendengung, semua terasa kebas dan mataku tertutup.
END
a. waduh playboy straight dan playboy gay cerita yang beda...
b. sepertinya Reno itu bromance sama Gio ya ... , sampai disadarkan oleh Dimas ...
c. tragis dan sad ending ...
@dirpr ehehe iya sengaja aku atur gitu karena aku mau nyajikan akhir yg mengesankan
@chandisch makasih n__n
@lulu_75 mungkin reno bromance sama dimas maksudnya hehe
@3ll0 ehehe makasih n_n
Kupikir Manis Ternyata Ribet (CERPEN)
Author: Lian48
Genre: romance, yaoi.
Rate: Teenlit
Happy reading \^0^/
-Rio POV-
Street Fighter adalah profesiku sekarang, dimana ada suatu gang besar perkumpulan para pejudi yang menjadikan kami para fighters diadu. Uang upahnya memang menggiurkan, tapi euforianya yang sangat aku nikmati, dimana kami disoraki, didukung dan berbagai reaksi penonton membuatku terhibur, aku memang agresif dari kecil, selalu berkelahi tanpa prestasi sehingga jalan yang aku pilih memang tepat, karena melukai orang lain itu sangat menyenangkan.
Tapi hari ini mungkin akan sedikit berbeda, karena lawanku adalah Haikal.. mantan pacarku. Dia duduk si seberangku, melilit tangannya dengan kain pengaman, dia tersenyum manis sambil mengayun-ayunkan kakinya di kursi. “Kakak ini hari yang aku nanti-nanti sejak dulu!!!” teriaknya girang sambil duduk di pangkuanku.
Aku langsung mendorongnya, menatap ke arah lain, berusaha tidak perduli, “Jahat... masih saja dingin. Ayo kita bertarung dengan sportif hari ini! aku sangat bersemangat! Hehe...” Haikal melompat-lompat girang.
Kini aku mengambil handpone, hanya membuka game berusaha mengusir kebosanan selagi menunggu giliran. Haikal memanjangkan lehernya berusaha menghintip Hpku, “Kaka lagi apa?” tanyanya penasaran.
Aku berusaha menjauhkan HP-ku dari tatapannya, “Main game...”
Haikal menghembuskan nafasnya, membuat pipinya menggembung, “Fuuuh syukurlah.. kirain sms-in pacarnya.”
Aku meliriknya, “Memangnya kenapa kalau aku sms pacarku?” sebenarnya aku belum punya pacar baru.
“Gapapa sih... paling aku Cuma nangis gulung-gulung..” ucapnya dengan wajah tanpa dosa.
“Ngapain nangis?” aku menaikkan kening.
“Siapa yang nangis kak?” matanya membulat menatapku
Aku memutar bola mata, “Gaah dasar uke lola! Baru aja ngomong masa lupa.” Ucapku dengan nada kasar.
Haikal memasang wajah sedih, “Kakak kok jahat sih sama aku!!!”
“Kalau aku jahat kenapa cinta?” tanyaku ketus.
“Kakak nyebelin! Aku kan gak suka digalakin. Kaka nah..” rengeknya sambil mencubit perutku, aku sedikit kesakitan.
“Kamu itu manisnya kalau digalakin doang, giliran aku baik aja semena-mena.” Aku kembali menatap HP-ku.
Haikal tersenyum dengan bibir melengkung imut, dia duduk di pahaku sambil melingkarkan tangannya di leherku, “Kaka~ aku lagi mood manja-manjaan.”
“Iya... entar aku manjain di ring dengan tinjuan maut.”
Haikal memukul-mukul dadaku manja, “Jahat..”
Aku tidak luluh dengan rayuannya, paling ini trik yang disarankan menejernya agar aku luluh dan tidak tega menyerangnya. Tapi jangan khawatir, aku profesional, dia tidak pernah menang melawanku karena semasa pacaran dulu pun aku sering menghajarnya saat sparing.
Melihat hubungan kami yang santai santai saja, pasti ada banyak tanda tanya di benak kalian. Bagaimana bisa kami putus? Aku akan menceritakannya dari awal.
Hari itu cukup buruk, lagi-lagi aku bangun terlambat karena menonton bola sampai subuh, aku harus melompati pagar sekolah lagi dan lagi. Tidak ada bosannya guru memarahiku tapi dengan santainya aku kembali duduk ke kursiku dengan tangan yang ada di dalam kantong celana, berjalan dengan cool-nya. Biarlah guru itu mengomel.
Tapi jujur, omelannya hari ini membuatku cukup lelah, aku tidak bisa menikmati tidurku seperti biasa. Membuatku terpaksa pergi ke perpustakaan saat jam istirahat. Perpustakaan adalah tempat yang cukup sempurna buatku, selain sepi nilai plusnya ada AC, membuatku nyaman menikmati siang yang terik ini.
Aku mencoba tidur di pojokan, di sela-sela rak buku matematika, aku rasa rak ini jarang di kunjungi. Aku memejamkan mata, melipat tanganku di depan dada dan bersendar di dinding. Sayangnya ada suara yang kembali menggangguku, aku membuka sebelah mataku, hmm? Seseorang yang sedang melompat-lompat mencoba meraih buku di rak teratas.
Aku menguap lebar, aku berdiri di belakang cowok itu. Dia mungil, aku tersenyum tipis. Aku mengarahkan tanganku ke suatu buku yang firasatku mengatakan ini yang dia incar, “Ini?” tanyaku sambil menunjukkan buku matematika berwarna merah.
Dia membalik tubuhnya ke arahku dan menatapku dengan mulut terbuka, tapi dia menggeleng, aku kembali mengambil buku lain, memanjangkan tanganku tepat di depan mukanya membuat posisiku seolah ingin memeluknya. hingga salah berkali-kali aku mengambil buku baru mendapatkan apa yang dia mau. Dia tersenyum imut sambil meremas buku yang aku berikan, dia menunduk sedikit canggung, aku menggaruk kepala akan reaksinya yang aneh, seperti cewek salting.
Aku kembali beranjak dari tempat itu tapi dia menarik dasiku dan mengendus tubuhku, “Wangi.. eh.. salah, anu.. emmm thanks bukunya..” dia tertawa manis sambil menjulurkan lidah.
Dengan mata ngantuk aku hanya mengangguk dan melanjutkan tidurku. Benar-benar tidur.. yeah sampai-sampai semua pelajaran habis termakan tidurku, aku nyaris terkunci di perpustakaan ini, untungnya penjaga perpustakaan menemukanku dan membuatku terbangun.
Aku gelabakan sambil mengelap iler, petugas itu menatapku risih. Sial sudah jam tiga sore saja sekarang. Yeaah apa boleh buat, yang penting orang tuaku tau bahwa aku sekolah.
Aku memutuskan pergi saja ke parkiran, sudah lumayan sepi namun ada seseorang yang sibuk mengengkol motornya. Tau engkol? Itu menginjak penghidup motor yang ada di samping motor, ketika starter tidak bisa digunakan, itu hanya dialami motor-motor butut. Aku ingin tertawa tapi karena kasihan akhirnya aku hampiri. “Mogok?” tanyaku basa-basi.
Saat dia mengangkat wajah, rupanya dia cowok di perpus tadi. “Iya hehe.. aki motornya kayanya bermasalah.” Ucapnya dengan senyum manis.
Aku mengangguk mengerti, aku mulai menggeser posisinya kemudian mengengkol motornya. Hanya sekali, langsung hidup. Dasar lemah. Aku langsung pergi saat motornya hidup, tapi dia menahan lenganku, dan kejadian itu terjadi begitu saja, sekejab dan tidak bisa aku cegah ketika dia mengecup bibirku, “Thank hehehe..” ucapnya girang kemudian pergi dengan motornya.
Aku hanya terdiam kaku, aku membatu dengan muka merah. SIAL CIUMAN PERTAMAKU DIREBUT COWOK!!!!
-Haikal POV-
Aku pikir aku cowok yang sempurna. Saat sekolah dulu, prestasi akademikku bagus, ekskul aku exis dan dapat banyak prestasi, wajah tampan, attitude bagus dan juga popularitas yang bagus, padahal baru setengah tahun memasuki SMA tapi segalanya sudah aku dapatkan, kecuali kepuasan. Semua kesempurnaan itu membosankan, tidak ada konflik yang menarik hingga akhirnya aku melihat sebuah perkelahian di koridor sekolah.
“Masalah lu apa hah!!!” teriaknya dengan nada menantang. Aku lirik seksama ternyata dia cowok yang aku cium semalam, cowok yang sering menolongku akhir-akhir ini.
“Lu kalau jalan pake mata jangan pake dengkul!!!” jawab cowok yang ada di depannya.
“Dimana-mana jalan itu pake kaki, bego!!!” teriaknya. Aku kebingungan, kemudian berbisik-bisik pada siswa random Cuma berusaha mencari info. Oh rupanya terjadi tabrakan tanpa sengaja sehingga membuat para cowok tempramen ini meledak. Hah sangat sepele. Ini membuatku muak.
Tapi ternyata ada hal menarik yang terjadi, cowok itu memberikan tendangan memutar yang sangat tinggi, tinjuannya sangat matang, tubuhnya lincah dan tangguh. Aku benar-benar terpana detik itu.
Aku terus mencari info tentangnya, ternyata dia dari club karate, hari itu juga aku langsung bergabung karena aku belum pernah mencobanya. Seperti yang aku bilang, aku orang yang berbakat dalam semua bidang, jurus-jurus karate mampu aku kuasai dengan cepat, aku mampu mengalahkan beberapa senior tapi hanya Rio yang membuatku selalu tumbang. Iya nama pemuda kasar dan pemalas itu Rio, dia benar-benar kuat. Saking kuatnya dia mampu menghidupkan motor bututku hehe.. padahal aku yang cukup kuat saja kewalahan. Berarti Rio ekstra kuat!
BRUKK
Aku terbanting, “Ah menyenangkan! Ayo berikan tendangan lagi!!!” ucapku girang. Rio terus menghajarku, tidak perduli seberapa tampan aku, rupanya dia tidak mau mengalah walaupun aku juniornya.
Akhirnya ketua memaksa kami berhenti, padahal aku masih sangat antusias dengan Rio karena dia sangat menakjubkan. Aku benar-benar tergila-gila dengannya. Aku selalu berusaha menarik perhatiannya. Tapi sepertinya Rio tidak menyukai kehadiranku.
-Rio POV-
“Ini aku yang masak, hebat kan? Cowok tampan kaya aku bisa masak lagi..” ucapnya sombong sambil menyodorkan kotak bekal padaku. Haikal, juniorku ini cukup berani masuk kelasku meskipun dilihat banyak temanku. Tanpa banyak tanya aku langsung memakannya, mendadak dadaku terasa berbunga-bunga dan mulutku terasa hangat, makanan lezat dari mana ini? aku kembali melanjutkan makanku tergesa-gesa karena aku sangat menyukai makanannya yang terasa gurih, manis dan pedas ini. aku sampai tersedak karena terlalu cepat makan, dengan tertawa dia menyodorkanku minum.
Aku rasa aku mulai menyukai kehadirannya.
Semakin hari kami semakin akrab, dia sampai menginap di kosanku yang berantakan, dia membuat kosanku bersih dan rapi. Aku belum pernah tinggal di tempat serapi ini, dia juga mengerjakan tugas matematikaku yang memuakkan itu, dia sangat nyambung ketika aku ajak mengobrol bola, game maupun anime. Aku benar-benar tidak percaya ada orang sehebat dia, dia sempurna.
Kami tidur di kasurku yang kecil, dia tidak protes. Dengan senyuman indah dia merapatkan tubuhnya denganku, “Kak Rio, kok kuat sih?”
“Banyak-banyak latihan..” jawabku singkat, entah kenapa aku tidak mampu menghentikan tanganku yang mulai bergerak mengusap kepalanya.
“Kaka juga ganteng, aku suka banget hehe..” dia menyusupkan wajahnya di dadaku. Aku terdiam kaku, rasanya nafasku sesak. Di dekat gadis pun aku tidak pernah segugup ini. aku benar-benar dibuat pasrah malam itu, dia memainkan daguku yang kasar, “Jenggotnya baru dicukur ya?” tanya Haikal. Aku hanya mengangguk.
Tapi betapa manisnya ketika dia menggesekkan pipinya ke daguku, “Hehe geli..” ucapnya cekikikan. Aku masih kaku dengan posisiku. Haikal justru memelukku, melingkarkan kakinya pada pahaku sedangkan tangannya memainkan dadaku. “Kaka aku mau selalu di dekat kaka ya? Aku gak mau pisah. Kaka mau jadi pacar aku?”
Mataku semakin membulat, rasanya aku mau pingsan, dadaku mengembang seolah meletus dan mengeluarkan banyak bunga. Apa aku jatuh cinta? Aku tidak berani menjawab tapi yang pasti gestureku menjawab semua. Aku semakin perhatian dengannya, memberikan kecupan mesra atau membalas senyumnya.
Aku juga sering membawakannya bunga, dia sangat manja, membuatku gemas. Hubungan kami manis, sangat manis.. penuh kemanisan tapi ternyata manisnya dia lama-lama bikin enek, Haikal itu terlalu rumit.
*Ketika mau berangkat sekolah.*
“Kakak gak jemput aku? Kak nanti aku telat!!!” teriaknya dari telepon.
Aku yang mengendarai motor terpaksa mengangkat HP-ku karena puluhan kali berdering dan itu memuakkan, dia sangat tidak sabaran, “Iya iya sayang sabar. Ini sudah di jalan.”
“Kakak gimana sih!! Kemarin janjinya gak telat lagi!!! Kaka ingkar janji ya.. kaka ini kok ngeselin. Kak kalau janji itu harus di tepati!!!”
PRWEEETTT
Suara peluit polisi.
Dan sialnya, karena menelepon sambil mengendarai motor, aku kena tilang! Gak pakai helem lagi, pasal berlapis, uang terkuras.
*Ketika di kantin.*
Aku membawa dua mangkok bakso ke meja kantin, biasanya jam begini aku tidur tapi Haikal memaksaku menemaninya, mau gimana lagi si raja ini tidak mau dibantah, “Ini kok ada daun sopnya?” protes Haikal.
Aku menaikkan kening, “Emangnya kenapa dek?”
Wajahnya seolah shock, “Kakak, aku itu kan gak suka daun sop! Baunya gak suka.”
Aku mengangkat bahu, “Ya aku gak tau, dek..” jawabku santai.
“Loh kok gak tau kak! Kakak itu kan pacar aku harusnya kaka tau tentang aku kan!!!” ucapnya nyolot. Sumpah ini membuat wajahku memerah karena kesal, orang-orang di kantin jadi menyorot kami.
“Yaa yaa..” aku hanya menjawab malas-malasan.
“Gitu ya kaka! Kakak gak ada rasa bersalahnya sama sekali.” Ucapnya dengan nada kecewa.
Aku menggebrak meja dengan kesal, aku ganti baksonya dari pada bawelnya semakin kumat.
*Ketika telat balas sms*
-Kak aku kangen..- bunyi smsnya.
-yaampun dek, baru aja pulang sekolah.. baru aja ketemu di sekolah.-
-jadi kaka gak kangen aku? TwT –
-Kangen kangen..- jawabku malas.
-Masa?-
-Yee yee..-
-Kaka jawabnya gak niat banget sih? Kaka berubah nih!-
Aku yang melepas seragamku mulai pergi ke kamar mandi, berusaha membersihkan badan dan juga pikiranku yang tertekan.
Ternyata itu membuat inboxku penuh.
-Kak!! Kok gak di bales sih?!!-
-Kak?-
-KAK RIO!!!-
-Aaaarghh nyebelin ya kakak nih!-
-kaka sms-an dengan uke lain ya? QAQ tega!!! Kaka tega!!!-
-KAKA RESE!!!-
-Kak ayo balasss balassss-
-NYEBELIN SUMPAH MAU AKU CEKEK HAH!-
-Oh gitu ya kaka, nyuekin aku. Aku udah gak tahan lagi kak diginiin terus. Kita putus...-
Selesai mandi rasanya aku seolah terkena serangan jantung membaca sms terakhirnya, mataku terasa panas. Putus? Hanya karena hal sepele? Sumpah labil banget, baru kali ini aku ketemu orang yang hidupnya terlalu drama.
Aku meremas rambutku kesal, aku tidak bisa menahan tangisku karena bagaimana pun aku terlanjur cinta dengannya. Tapi dengan santai aku balas, -OK-
Gak sampai tiga detik langsung dapat balasan, -Jadi kakak mau putus? Gak ada bujukin aku? Aku Cuma ngambek kak!!! Kaka nih ga pengertian ya. Bujukin kek, apa kek bikin aku luluh gitu... tega kaka ini, jangan-jangan ada uke lain.-
Aku lelah, aku pun berbohong, -Ya ada uke lain.- balasku singkat. Dan semenjak saat itu aku tidak menerima lagi pesan darinya.
Sesak memang, rasanya hilang... aku tidak mengerti kenapa aku bisa segalau ini hanya karena orang yang drama dan labil kaya dia? Kaya cewek sumpah. Aku baru pertama kali patah hati dan saat itu aku benar-benar bingung bagaimana cara mengatasinya sehingga aku berkelahi setiap hari, aku jadi jauh lebih sensitif, aku tidak suka bicara, tapi hanya memukul, nilaiku anjlok, hidupku hancur. BENAR-BENAR HANCUR KARENA CINTA!!! Aku benci sikapnya, benar-benar benci tapi aku menangis meraung karena aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku bahwa bagaimana pun dia, aku mencintainya.
Aku lihat dia santai saja dengan teman-temannya, kami tetap bertemu di club karate, dia baik-baik saja. Bahkan dia bersikap manis seolah tidak terjadi apa-apa, ini membuatku nyeri. Tapi aku bisa lihat matanya yang sembab karena banyak menangis. Aku kembali jatuh cinta jika dia semanis ini, entahlah... kenapa dia bisa serumit ini? kenapa ketika pacaran dia tidak semanis ini? kenapa dia tidak belajar menghargaiku sebagai kekasihnya, aku justru lebih betah menjadi temannya karena ketika kami pacaran dia terlalu rumit, banyak perintah, sensitif, labil, drama.. pokoknya benar-benar bikin kepala mau meledak.
Apa mungkin perasaanku yang salah? Mungkin sifat dasar manusia, ketika tidak memiliki, rasa antusias itu sangat besar. Tapi ketika sudah dimiliki justru tidak semenyenangkan dulu. Manusia selalu menginginkan apa yang tidak dimiliki.
Aku yang tangguh kini rapuh, hanya bisa menatap foto-foto kami di handphoneku, dan lagu-lagu di radio itu sangat mewakili perasaanku.
Aku yang lemah tanpamu
Aku yang rentan karena
Cinta yang tlah hilang darimu
Yang mampu menyanjungku
Selama mata terbuka
Sampai jantung tak berdetak
Selama itu pun aku mampu
Untung mengenangmu
Darimu, kutemukan hidupku
Bagiku, kau lah cinta sejati
Bila yang tertulis untukku
Adalah yang terbaik untukmu
Kan kujadikan kau kenangan
Yang terindah dalam hidupku
Namun tak kan mudah bagiku
Meninggalkan jejak hidupku
Yang tlah terukir abadi
Sebagai kenangan yang terindah
-Samsons, Kenangan terindah-
Tapi kami tidak pernah balikan meski sebesar apapun cintaku, hingga aku harus menghabiskan empat tahun dalam kesendirian, aku belum mampu menerima orang lain memasuki hatiku.
-Haikal POV-
Empat tahun yang lalu memang manis, padahal hanya setengah tahun masa jadian kami tapi aku tidak mengerti apa yang membuatku terlalu mencintainya dan tidak mampu menerima cinta lain. Dia hanya pemuda kasar yang tidak mengerti cara menghargaiku, dia selalu melakukan kesalahan, dia tidak mengerti aku. Tapi aku tetap mencintainya..
Aku sadar, aku mungkin terlalu rumit untuknya, dia pasti tertekan di dekatku. Andai saja diberi kesempatan, aku akan berubah. Tapi sayangnya dia memiliki uke lain, aku paling tidak bisa terima jika ada orang lain dalam hidupnya.
Aku benci dia dan sangat bersemangat untuk menghajarnya hari ini. tanganku berbunyi saat aku perenggangan, dan nama kami pun disebutkan si pembawa acara.
Tapi mendadak di atas tas Rio ada HP yang berbunyi. Aku tidak mungkin memanggilnya karena dia sudah di ring lebih dulu. Karena penasaran aku pun membuka HP itu, ternyata sebuah note yang bertuliskan ‘4th anniversary Rio Haikal’ mataku langsung berkaca-kaca, dan aku lebih terkejut saat melihat wallpapernya ada foto kami berdua yang terlihat mesra saat masih SMA dulu, aku bongkar album fotonya penuh dengan foto-fotoku yang terunggah di instagram.
Aku buka sms dan teleponnya, hanya ada sms-sms dan bbm yang berurusan kampus, bahkan ada bbm dari gadis-gadis cantik atau uke cakep hanya dia read. Aku menangis sambil menutup mulutku dengan tangan. Apa Rio masih mencintaiku seperti dulu? Jangan-jangan dia single? Tapi kenapa dia tidak mengatakannya? Kenapa dia tidak berusaha mempertahankanku?
Sialnya si menejer menyeretku untuk segera ke ring. Wajahku benar-benar suram, moodku hilang. Kupingku berdengung, tidak bisa mendengar apa yang diucapkan orang-orang. Tau-tau Rio sudah menendangku hingga terpelanting, aku bangkit tapi tidak mampu membalas, dia kembali meninjuku, “Apa kau mencintaiku?” teriakku.
“Kau gila, ini bukan waktu yang tepat!” tendangan Rio kembali membuatku tersungkur.
“Aku mencintaimu, kau mencintaiku kan!” tanyaku dengan mata berkaca-kaca.
“Profesional! Jangan kecewakan menejermu, lakukan tugasmu layaknya fighter sejati.”
Dengan bringas aku menghantamnya, menindihnya kemudian melumat bibirnya, orang-orang terperangah, “Kau mencintaiku?” tanyaku antusias.
“Kau rumit, kau membuatku lelah.”
“Waktu itu aku hanya remaja labil! Itu wajar kan? Aku masih mencari pelajaran. Aku bisa berubah, semua perpisahan ini menyakitkan.”
“Oh ya? Memangnya sekarang sudah gak labil?’’
Aku meremas pipi Rio, “Aku pasti bisa berubah! Kau cinta aku kan kak? aku lihat semuanya di Hpmu. Kenapa kau tidak berusaha mempertahankan hubungan kita?”
“Kau pangeran yang tidak pernah mau dibantah. Aku hanya menuruti semua perintahmu.”
Aku memukul dada Rio kesal dan tangisku mulai berhamburan, “Kalau begitu aku perintahkan kau menjadi pacarku lagi!”
“Yes, My lord...”
Senyumku merekah, seolah dunia hanya milik kami berdua. Astaga butuh empat tahun bagi kami mampu memetik hikmah ini. meskipun dia tidak bisa memenuhi segala mauku, dia selalu membuatku kesal, ataupun aku yang kelewat bawel dan drama, kenyataannya kami saling mencintai. Hanya saja satu kelemahan kami, tidak bisa menerima kejelekan masing-masing.
Dan detik ini juga kami belajar saling mengerti dan memperbaiki.
END
Maaf kurang greget, Cuma mau ngasih makna aja dalam cerita. Karena kebanyakan kita ngalamin masalah ini kan di dunia nyata. Jadi akhir2 ini suka ngasih pesan moral di tiap cerita :v step awal tobat, kurangin NC alias porn XD
Ditunggu karya selanjutnya n jangan lupa Tag klu update diFB.Trim's^^
Pacarku Kere (CERPEN ke 5)
Author: Lian48 (fb: Lian seme)
Genre: Romance, frienship, angsT
Rate: Teen
Hope u like it~
-Kiky POV-
Tanpa memperdulikan pendapat orang lain, sepanjang jalan di desa ini aku menggenggam tangannya, tersenyum sambil menyapa beberapa petani yang ingin pergi ke sawah. Aku dan kekasihku, Indra memulai hari-hari baru yang lebih berwarna, meskipun satu kenyataan pahit... kami sama-sama kere, yaah susah bersama-sama biasa kami jalani.
Indra berlari pelan ke pinggir jalan, dia mengambil setangkai bunga liar kemudian dia serahkan dengan wajah ceria, “Untukmu...”
Aku tersenyum manis saat mengambil bunga itu, tapi mendadak aku merintih, “Aduh...” aku lirik tanganku berdarah, rupanya bunga hutan yang berwarna ungu ini berduri, entah mengapa firasatku langsung buruk tentang kelangsungan hubungan kami... ah Cuma perasaanku saja mungkin. Aku sedikit kesal akan kecerobohan Indra tapi saat dia memasang wajah bersalah aku menjadi iba, dia menarik tanganku untuk dihisapnya. Wajahku memerah, jariku di mulut Indra. Astaga astaga apa yang aku pikirkan! Wakeup Kiky, ini sudah pagi.
Aku mulai menarik tanganku, “Aku gapapa kok, Dra.. kita lanjutin ya jalannya, nanti telat sampai sekolah.” Ucapku kemudian melanjutkan gandengan kami.
Tiba-tiba terdengar suara motor dan motor itu berhenti di depan kami, saat dia melepas helm terlihat cowok tampan keturunan bule campur Indonesia, Namanya Nathan murid baru di sekolahku, “Hei, kamu..” ucapnya sambil menunjukku. “Kita kayanya sekelas ya hehe..” ucapnya ramah.
Aku membalas senyumnya, “Iya, Nathan kan?”
Dia menyodorkan tangannya menyalamiku dan Indra secara bergantian, “Iya, aku Nathan. Kamu?”
“Aku Kiky dan dia Indra.”
Nathan mengangguk-angguk seolah mengerti, “Oh ya... bareng Yuk, Kiky? Sekolah masih cukup jauh loh..” tawarnya dengan nada ramah.
Aku melirik Indra, “Gak, makasih, Than. Aku bareng Indra.” Ucapku sambil berjalan lurus.
Tapi Nathan menjalankan motor Ninjanya itu pelan mengikuti kami, dia perlihatkan jamnya, “Sudah mepet loh, nanti kamu telat..”
Indra meremas bahuku, “Kamu ikut Nathan saja, lagian tadi kamu belum sarapan takutnya pingsan lagi waktu upacara kalau kejauhan jalan.”
Aku merengut, “Tapi, gak mau ah!” rajukku.
Sayangnya Indra mendorongku mendekati motor Nathan, “Hati-hati ya Than bawa motornya, titip Kiky..” desisnya pelan.
Nathan tertawa, “Sipp bro, jangan khawatir.” Ucapnya ceria. Aku masih terpaku menatap Indra yang ada di belakangku, ada perasaan tidak nyaman, aku merasa seolah berhianat dari kesengsaraan. Tapi Indra hanya tersenyum melambai ke arahku.
Semua kemirisan itu bertambah ketika upacara bendera di mulai, terlihat Indra yang bajunya basah karena keringat berlari namun ketahuan petugas sekolah bahwa dia terlambat, dia terpaksa di jemur di depan kami, dipermalukan di depan ratusan murid. Harusnya aku ada di sampingnya, sengsara dan malu bersama-sama. Saat aku mencoba maju, ada tangan yang menangkapku, “Hei mau kemana? Hormat.. benderanya mulai dinaikan.” Perintah Nathan. Aku hanya menghela nafas berat dan melakukan penghormatan pada bendera.
Indra adalah kakak kelasku, dia berada di kelas tiga sedangkan aku kelas dua SMA sekarang. Di sekolah hanya saat jam istirahat kami bisa bersama, sedangkan Nathan kini menjadi teman sekelasku yang entah kenapa terus merapat denganku. Aku akui dia memang sangat tampan, dengan wajahnya yang bule asia mirip Keanu Reeves, bertubuh tinggi, beraroma harum dan juga kaya raya tapi aku menyukai Indra yang memiliki wajah asli Indonesia, kulitnya yang coklat, matanya yang bulat dan tubuhnya yang standar.
Aku merasa lucu sendiri ketika mengingat kejadian minggu lalu, Indra mentraktirku makan batagor, dia menggenggam tanganku sambil berbisik, “Aku menyayangimu, Ky..”
Jantungku rasanya mau meledak, awalnya aku hanya sekedar kagum dengan Indra yang menjadi kapten sepak bola, ya kedekatan kami terjalin karena kami satu tim dalam club sepak bola di desa kami. Aku tidak bisa menjawab saat itu karena aku tidak bisa mengerti cinta sejenis, tapi aku hanya mengganggam tangannya dan meletakkannya di dadaku dengan senyuman malu. Indra tersenyum puas saat dia mengerti gestureku.
Ditembak di depan gerobak batagor. Aneh sekali.
Tapi Indra cukup sibuk, sepulang sekolah dia harus bekerja sambilan membuat batu bata di desaku, katanya untuk memberi tambahan makan untuk adik-adiknya. Kebersamaan kami sangat jarang, padahal dimasa-masa kasmaran ini aku memiliki emosi yang cukup labil karena aku selalu kangen dan kangen, rasanya sakit jika berjauhan dengannya terlalu lama.
Dan malam itu aku terlalu rindu dengannya, nekat menggunakan obor aku berjalan menyusuri jalanan sepi yang disamping-sampingnya banyak pepohonan dan rumput, sedangkan rumah warga jaraknya renggang-renggang.
Setelah lima belas menit berjalan di kesunyian, akhirnya aku sampai juga di rumahnya, aku mengetuk perlahan, cukup lama aku mengetuk tapi tidak ada respon, aakh aku benar-benar kesal sehingga aku gedor pintunya dengan keras. Muncul seorang wanita yang lebih dewasa dariku sambil mengucek-ngucek mata, “Eh ding Kiky, kanapa ding?” tanya Kak Diang dengan logat Banjarnya. (Ding = adek)
Aku tersenyum memaksa, “Ada leh Indra-nya ka?” tanyaku.
“Guring inya, ding ai.. kelapahan bagawi seharian..” (Dia tidur dek, capek kerja seharian..)
“Kada bisa dibangunkan kah, kak?”
Terlihat Kak Diang menggaruk pipinya sambil berpikir, “Tunggu dulu lah, kaka cubai banguni..”
Saat kakanya Indra masuk ke dalam, aku Cuma duduk di depan pintunya, tidak lama kemudian terdengar langkah kaki, aku langsung menoleh. Aku lirik wajah Indra kurang bersahabat, “Ngapain?” tanyanya singkat.
Aku langsung menggembungkan pipi dengan kesal, “Mau ketemu kamunya lah..” jawabku ketus.
Terlihat Indra melirik jam, “Malam-malam begini? Udah jam setengah sebelas, ky. Kamu mendingan tidur ya..”
Mataku berkaca-kaca karena kesal, “Bentar nah..” lirihku.
Indra berjongkok di depanku sambil menguap, “Ngantuk ky, udah malem..”
Aku pukul bahunya kesal, “Kamu gak hargain kedatangan aku jauh jauh hah! Aku juga ngantuk tapi aku gak bisa tidur sebelum ketemu kamu!!”
Indra tertawa pelan sambil mencolek daguku, “Chiee yang kangen, chiee..” ejeknya.
Aku membuang muka kesal, “Nyebelin.. Kamunya pasti gak kangen.” gerutuku.
Tapi secara mendadak Indra menarik daguku, kemudian mengecup bibirku pelan, aku terdiam kaku. Aku menjauhkan wajah karena mukaku terlalu panas, astaga.. begini kah rasanya ciuman? Dia ciuman pertamaku! Aku menunduk malu sambil meremas-remas tanganku, “Ko-kok gitu sih! Kan harusnya ijin dulu!”
Indra tersenyum lembut, dia genggam tanganku sambil menciumnya, “Iya my prince, boleh cium lagi gak?” eh? Dia benar-benar izin, dan ini sukses membuatku terdiam membatu. Aku tidak tau harus menjawab apa, “Diam artinya boleh nih..” desisnya di dekat kupingku, aku merinding dan terpejam. saat itu lah dia jadikan kesempatan untuk kembali menciumku, bukan sekedar ciuman namun juga lumatan yang halus, hangat dan lembab, semakin lama semakin panas membuat ada yang bangun sehingga celanaku menyempit.
“Su-sudah! Aku mau tidur!” ucapku salah tingkah, aku kembali mengambil obor yang aku tancapkan di tanah, saat aku menoleh aku bisa lihat Indra tertawa yang membuatnya semakin manis.
Tapi rasa manis ini tidak berlangsung lama, Nathan yang kekeuh untuk mengantar jemput aku membuat kebersamaanku dengan Indra semakin menipis, apalagi Indra keluar dari club karena harus memperketat jadwal kerjanya. Sudah jarang bertemu, dia tidak memiliki HP pula, ini sukses membuatku menggigil geram. Sedangkan Nathan semakin menempel saja denganku, Nathan sebangku denganku, dia memiliki nomer HP-ku, mengsms nyaris tiap menit dengan banyolan-banyolannya yang menyenangkan, kadang dia meneleponku berjam-jam, heran padahal sudah bertemu setiap hari.
-Indra POV-
Rindu, itu yang aku rasakan sekarang. Seminggu terakhir sangat sulit menemui Kiky, Cuma saat upacara aku bisa melengkungkan senyum ketika bisa melihat wajahnya yang putih dihiasi jerawat-jerawat merah, setelah itu mungkin dia pergi ke kelasnya yang cukup jauh dari kelasku.
Tapi hari ini aku berusaha memperlakukannya dengan baik, sengaja aku buat dua buah kotak bekal yang berisi nasi goreng special buatanku, saat jam istirahat aku berniat mengajaknya makan bersama di taman belakang sekolah.
Sengaja aku datangi kelasnya sayangnya tidak ada sosok Kiky di kelas itu, aku bertanya dengan teman sekelas Kiky, “Dek ada liat Kiky gak?”
Dia menghentikan tatapannya pada buku, “Tadi aku lihat sama Nathan... mungkin ke kantin.”
Aku tersenyum lembut, “Makasih ya dek...” ucapku sebelum akhirnya meninggalkan kelas itu. Nathan ya.. aku merasa terancam akan sosok orang itu.
Dan benar saja, sesampainya di kantin aku lihat Kiky sangat bahagia. Nathan menyuapinya mie, dia tertawa-tawa sambil menepis tangan Nathan, “Apaan sih lebay ahaha..” ucap Kiky sambil memencet jeruk nipis ke wajah Nathan.
“Aduh duh... essh..” ringis Nathan sambil mengusap matanya.
Kiky terlihat panik, menarik wajahnya dan meniup-niup matanya, “Sorry sorry! Gak bermaksud, suer!” wajah Kiky sangat dekat dengan Nathan. Aku tidak suka.
“Ah kamu nih... atit tau..” rajuk Nathan.
Kiky mencubiti pipi Nathan kemudian mencubit hidungnya, “Ahaha manja banget sih.. gini doang..”
Aku langsung berbalik, memejamkan mataku sambil meremas dada. Aku tidak sanggup melihat lebih dari itu, langsung kumasukkan ke bak sampah bekal tadi karena nafsu makanku sudah hilang. Mataku yang panas tidak bisa aku tangkal, aku berlari ke toilet kemudian menangis sejadi-jadinya. Semudah itu kah bahagia tanpaku?
Semenjak saat itu aku tidak pernah lagi menghampiri Kiky, kabar terakhir yang aku dengar ayahnya sakit keras dan dibawa ke rumah sakit, dia sampai absen berhari-hari. Sayangnya aku yang tidak memiliki motor dan biaya ke kota cukup mahal, untuk makan keluargaku saja susah.
-Kiky POV-
Mataku masih bengkak karena menangisi sakit ayahku, dia batuk darah hingga pingsan beberapa hari lalu, aku sangat takut dia kenapa-kenapa. Ditambah biaya rumah sakit yang mahal membuatku semakin tertekan, keluargaku kikir, mereka sama sekali tidak mau membantu ayahku.
Dengan langkah lemah aku mendatangi administrator, berusaha mengetahui biaya yang harus ditanggung, “Berapa biaya untuk Imam Khairudin?” tanyaku lemah.
“Pembayaran untuk pak Imam Rp. 0, tadi ada seseorang yang sudah melunasi semua biaya dan juga biaya untuk operasi besok.” Aku tercengang mendengar ucapan itu. Hah? Orang baik mana yang mau membantuku disaat genting seperti ini, aku menengok kesana kemari tidak ada orang yang aku kenal. Hingga akhirnya aku kembali ke depan ruangan ayahku, tapi tidak ada ayah disana.
Aku panik sambil menghampiri suster yang memberesi kamar ayah, “Sus, pasien disini mana?” tanyaku khawatir.
“Oh baru saja di pindahkan ke ruangan VIP.” Aku tambah tercengang. Akhirnya aku berlari untuk memeriksa tiap jendela ruang VIP dan itu ayah dengan ibu yang duduk di depannya.
Dan aku tersentak saat melihat ada Nathan duduk di sebuah sofa panjang, pasti ulahnya. Aku langsung menarik Nathan keluar ruangan, “Than kamu yang lunasi biaya ayah?”
Terlihat Nathan bingung menjawabnya, “Eummm sedekar membantu semampunya.”
Aku melirik ruang rawat ayah yang sangat mewah, bahkan ada tv dan kulkas, “Than.. aku gak enak terlalu sering repotin kamu. Pasti suatu hari aku ganti uangmu, tapi jangan ruang VIP ya. Aku gak mampu.”
Nathan tertawa pelan, “Nyantai aja Ky, kamu gak usah pikirin gimana bayarnya, aku sungguh-sungguh tolong kamu, aku ikhlas Ky. Kamu baik, ramah, cakep... ya aku Cuma mau kamu lebih bahagia.”
Aku langsung memeluk Nathan, merasa sangat bersyukur akan kehadirannya disaat sekarang. Tapi disisi lain pikiran jahatku muncul, aku semakin muak dengan Indra yang tidak ada perhatian-perhatiannya di saat aku terpuruk begini, dia seolah hilang ditelan bumi, buat apa aku punya pacar yang tidak berguna. Astaga kenapa aku berpikiran seperti ini? bagaimana pun Indra kekasihku, aku berusaha bertahan mencintainya apa adanya.
Saat aku mulai aktif sekolah, aku menunggu Indra di depan kelasnya, aku berhasil kabur dari Nathan dengan alasan ingin ke toilet dulu. Kulihat mulai ramai orang-orang keluar dari kelasnya, saat Indra terlihat aku langsung menariknya, aku tersenyum semanis mungkin meskipun aku sangat kecewa dengan semua tindakannya selama ini, tapi aku berusaha menjadi kekasih yang tidak rumit, aku tidak mau kami bertengkar karena hal-hal sepele, terus aku simpan rasa kecewaku karena aku ingin selalu di dekatnya, “Apa kabar Dra?”
“Baik..” jawabnya singkat kemudian berjalan lagi. Aku menatapnya kecewa dan terus mengejarnya.
“Dra, umm ada waktu bentar?”
“Aku harus pulang...” ucapnya dengan wajah datar.
Indra berubah, kenapa dia mengabaikanku? Apa dia memiliki pacar lain, rasanya aku mau meledak dan memaki-makinya, tapi aku tetap tersenyum manis dan menggenggam tangannya, “Bentar aja temani aku ya..” Indra tidak mau menatapku, hingga aku merapatkan tubuh dengannya dan meletakkan ke dua tanganku di dadanya, aku mendongak menatap Indraku yang lebih tinggi. Menatapnya dengan tatapan polosku.
Wajahnya memerah meskipun ekspresinya datar, “Yaudah bentar aja..” desisnya pelan.
Aku langsung berjingkrak semangat yes akhirnya aku berhasil, aku tarik dia ke kantin, “Pak baksonya dua dan es jeruk dua..”
Indra langsung menahan tanganku, “Aku gak punya uang buat tratir kamu..”
“Yaudah kita bayar sendiri-sendiri..” ucapku lemas.
“Aku benar-benar gak bawa uang.”
Sabar sabar, haruskah aku mengusap dada sesering ini, “Gak usah dipikirin, aku yang bayar..” ucapku akhirnya, apa boleh buat tabunganku harus terkuras. Bagi orang lain mungkin uang dua puluh enam ribu tidak ada artinya, tapi itu sangat berarti buatku yang seharinya hanya diberi jajan tiga ribu. Tapi aku mau saja berkorban, walau dengan hati sedikit tidak ikhlas. Rasanya kesal, Indra yang dominan nyatanya tidak memberiku kemudahan, rasanya lagi lagi kalimat itu muncul, ‘Kenapa pacarku tidak berguna?’
“Makasih.. umm ada apa, Kiky?”
Aku menarik nafas dalam-dalam, rasanya aku mau memaki-maki dia kenapa kamu berubah? Kenapa kamu gak berguna? Kenapa kamu bikin perasaanku kacau, tapi aku memaksakan senyuman palsu itu lagi dan menggenggam tangannya, “Aku kangen, Dra..” desisku pelan.
Indra langsung menarik tangannya, “Banyak orang disini. Gak pantes.”
Tuhaan.. demi apapun aku ingin menangis meraung-raung sekarang! Kenapa Indra begitu menyebalkan? Aku sabar, benar-benar sabar bisa bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, bahkan dia tidak menanyakan keadaan ayahku. Mana perhatiannya?
Sedangkan Nathan selalu ada untukku, aku terpaku ternyata dia bukan orang kaya sombong yang jaim makan-makanan kampung, saat ke rumahku dia makan lalapan kangkung, ikan bakar dan sambel terasi begitu lahap, tidak seperti bule kebanyakan yang makannya steak atau spagettie. Dia juga mengajakku berjalan-jalan di kota, kami berfoto-foto saat di museum, di monumen, dan mall.. aku sangat jarang ke mall karena jauh dari desaku, aku juga bisa merasakan AC mobil yang nyaman.
Nathan berbagi banyak keindahan denganku, dia juga baik, aku sangat antusias. Astaga... apa semua kekesalanku terhadap Indra muncul karena aku membandingkannya dengan Nathan? Karena aku tidak bersyukur dengan Indra.. tapi... coba kamu bayangkan posisiku, ketika seorang teman saja bisa sangat berguna untukmu, lalu pacarmu yang kere tidak berguna, bagaimana tidak marah?
Nathan membelikanku tablet, kali ini aku merasa dia terlalu berlebihan, “Than... kamu jangan kaya gini. Aku gak bisa terima semua kebaikan kamu, aku gak sanggup balas budi...”
“Kamu gak usah terlalu banyak berpikir, cukup jadi pacarku sudah membuatku bahagia..” desis Nathan sambil menggenggam tanganku.
Aku terdiam beberapa menit, menjadi pacar Nathan? Bule tampan yang memilik harta dan juga hati yang baik? Siapa yang bisa menolaknya? Aku bisa... aku menggeleng pelan, “Maaf Than... Aku sudah punya pacar.”
“Indra? Come on beb, kemana dia saat kamu perlukan? Saat kamu terpuruk? Apa pembuktian cintanya? Mana pengorbanannya? Tidak ada kan...”
Nathan benar, aku menangis sekarang, aku hanya bisa tertunduk sambil meremas tanganku. Tapi mendadak Nathan menarik bahuku, aku tersentak saat merasakan bibir lembabnya menciumku dengan ganas, aku langsung menampar Nathan.
“Aku gak mau! Than, kamu memang sahabat yang baik, aku benar-benar menyukaimu. Tapi apapun posisi Indra, aku berkomitment dengannya. Apapun yang terjadi aku gak bakal tinggalin dia.”
Nathan menghela nafas berat, “Aku sayang kamu, Ki. Kamu manis, baik, nyambung ngobrol denganku, aku benar-benar nyaman dengan kamu, kamu tulus gak kaya temen-temen aku di kota. Hemmh... aku akan terus nunggu, Ky, sampai hatimu benar yakin buat milih aku.”
Bagaimana pun merebut kekasih orang lain itu tidak baik, bukan?
--
Ulang tahunku yang ke 17, sangat sedih karena Nathan tidak menjemputku, dia bilang sedang sakit dan terpaksa absen hari ini. ulang tahunku akan semakin buruk pastinya. Dan Indra, apa dia mengingat ulang tahunku? Ini ulang tahunku yang sangat penting, ah.. mungkin aku terlalu drama, ulang tahun atau bukan sama saja kan?
Kelas tertutup, tumben? Saat aku membuka kelas, terdengar teriakan, “Surprise!!!”
Teman-teman sekelas? Aku tercengang melihat kelas yang dihias sedemikian rupa, teman-teman memakai topi ulang tahun, menebar kertas-kertas kecil wah mereka akan kena amuk pak guru nanti. Dan aku semakin tersentuh saat seseorang keluar dari balik kain, Nathan membawa kue ulang tahun besar dengan lilin 17 tahun dan juga tulisan ‘Happy birthday My lovely Kiky’ aku benar-benar pangling, pasti Nathan yang merancang semuanya. “Make a wish!” ucapnya girang.
Aku memejamkan mata sambil mengucapkan doa dalam hati. ‘Terimakasih atas segala nikmat ini, tapi semua ini membuatku semakin angkuh. Sadarkan aku agar kembali mencintai lelaki manisku, ingatkan aku bahwa bisikan-bisikan akan gemerlapnya dunia ini tidak menjamin kebahagiaanku. Berikan aku arti bahagia yang sesungguhnya...”
Aku pun meniup lilin tadi diiringi tepuk tangan teman-teman.
Mendadak ada seseorang muncul dari pintu kelas, “Ramai sekali..” ucapnya. Teman-teman mulai menyingkir untuk memberi jalan.
“Hm..” gumamku dingin saat mengetahui orang itu adalah Indra.
“Ada acara apa ini?” tanyanya dengan wajah polos. Dia tanya ada apa? Disaat semuanya tau dan merayakan, kekasihku sendiri tidak tau? Bayangkan betapa nyeseknya.
Aku mau meledak sekarang, melirik bell masuk masih 15 menit lagi, aku menarik Indra ke luar sekolahan, “Kamu tau hari ini hari apa?” tanyaku dingin.
“Memangnya hari apa?” tanyanya balik dengan wajah polos.
Aku mendidih, aku tinju wajahnya dengan keras, “Kau menyebalkan!!! Pacar macam apa hah yang tidak tau ulang tahun pacarnya sendiri? Kamu kemana aja Ndra? Kamu gak kaya Nathan yang selalu berkorban buat aku, selalu ada buat aku dan juga berguna buat aku. Kamu apa? Bahkan waktu buat aku saja kamu gak punya!!! Aku capek aku capek!! Aku benar-benar capek... aku bela-belain nolak Nathan Cuma untuk orang tolol kaya kamu tapi kamu kaya gini sikapnya hah?”
Wajah Indra menjadi suram, aku tau membandingkannya dengan orang lain itu salah, tapi ini kenyataannya bukan? Wajah Indra mendadak ceria, “Aku Cuma pura-pura gak tau kok.. nih aku punya hadiah untuk kamu..”
Saat dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya aku menepis benda itu hingga jatuh ke tengah jalan, “Persetan dengan hadiahmu! Kita putus, aku capek!”
Indra berlari ke tengah jalan untuk mengambil hadiah itu kemudian terdengar suara benturan keras.
BRUUUKKK KREEEKKK KREEKK..
Aku berbalik, kulihat Indra tertabrak dan terseret di bawah kolong mobil itu beberapa meter, aku berlari cepat, aku langsung menutup mulutku dan air mataku terhambur melihat kondisi Indra yang menggenaskan terlindas di ban mobil. “DRA! INDRA!!!” teriakku sambil membungkuk.
Aku lihat Indra masih sadar, matanya menyipit karena banyak darah mulai masuk ke matanya, “Ah.. enmm Kiky... si-simpannhh hadiahku i-ini baik-baik.. aku haraphh eumm kau dengar isinya.. essh aku mencintaimu Ky..” Tangan Indra yang bergetar menyerahkan kotak kepadaku, sebuah kotak musik? aku menangis histeris sambil berteriak minta tolong, Nathan mengemudikan mobilnya untuk mengantar Indra ke rumah sakit, aku yang duduk di belakang terus menangis dengan kepala Indra yang aku pangku, tubuhku yang berlumuran darah tidak lagi aku perdulikan, suaraku rasanya hilang karena tenggorokanku yang tercekat.
Aku buka kotak musik itu, terlihat ada boneka dua lelaki sedang berdansa dan aku mendengar suara Indra disana, “Happy birthday to you.. happy birthday to you.. happy birthday happy birthday, happy birthday kiky~ wah pacarku sudah dewasa ya, sudah 17 tahun, berarti boleh dong ehem? Ahaha aku bicara apa coba... Masalah Nathan.. dulu kau pernah bertanya, ‘Kau tidak cemburu Nathan menjemputku terus?’ sebenarnya aku cemburu, sangat cemburu... tapi aku bisa apa? Aku tidak punya motor, aku kere... aku ingin kau bahagia, aku ingin kamu baik-baik saja, bisa merasakan kemudahan hidup meskipun aku harus mengorbankan perasaanku, aku tidak perduli, yang penting kamu gak capek, kamu gak kepanasan. Aku hanya bisa memberi kesengsaraan untukmu. Tapi ternyata keputusan yang aku pilih salah, kalian semakin dekat, aku lihat kalian sangat mesra di kantin, kau tau rasanya? Sakit... rasanya dadaku tercabik-cabik melihat kamu bahagia dengan orang lain, aku hanya orang yang tidak berguna. Bahkan ayahmu sakit pun aku tidak bisa membantu karena keterbatasanku. Aku bisa apa... aku tidak mungkin banyak menuntut, aku hanya pasrah dengan hubungan kita, oh ya aku meminta maaf, akhir-akhir ini aku tidak punya waktu untukmu, saat itu aku melihat kotak musik mengesankan ini di suatu toko mainan, harganya sangat mahal untukku, tapi aku rasa akan sangat cocok untuk hadiah kenangan yang bisa kau simpan kapan pun, dengan keuanganku yang sedikit aku berkerja mati-matian, bahkan aku harus membuang hobiku karena memperketat jadwal kerjaku, semua untukmu. Mungkin ini hanya benda bodoh tidak bermanfaat bagimu, tapi kau bisa mengenangku kapanpun, bahwa aku sungguh-sungguh mencintaimu, akan selalu mencintaimu, sampai nafas terakhirku...”
Aku menangis menggigil mendengar pernyataan Indra, dan aku lebih terpukul saat tangannya menjadi dingin dan denyut nadinya hilang, “Dra! Dra kamu kuat kan! Aku mohon Dra... tolong bertahan... aku juga mencintaimu.. maafin aku yang salah menilaimu.. maaf Dra! Tolong jangan hukum aku begini..”
Aku hanya bisa menangis dalam penyesalan atas ketidak syukuranku. Tapi ini mungkin jawaban dari doa ulang tahunku, menyadarkanku dengan cara yang menyakitkan.
END
Terinspirasi dari hidupnya kak Rhea dan juga kisah cintaku dengan cowokku yang kere lol