It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Tsunami itu sudah hukum alam kam. wlwkwl:D
@erickhidayat bener om. Mudah datang, susah pergi.:(
@lulu_75 iya saya juga gak nyangma dia seperti itu. gak nyangma agi ketika...
@d_cetya tapi dia manis loh kak. hahaha
@dafaZartin wah wah. kalau saya snare kak. sempet mau tenor, tapi gak dipake semenjak ada quartom...
@abiDoANk makasih kalau mau membaca: )
@arieat kalau bisa itu juga:( tapi kalau sekarang bisa:))
@sasadara mohon bimbingannya:D
@Xian_Lee maaf gak ijin dulu sebelumnya. hehe: )
@TigerGirlz iya suka suka banget sama Loners to lovers. sayang banget kak blognya sudah dihapus. aaya juga pernah buat cerita di blog itu. wkwkwk...
Semuanya-bagi yang mau baca cerita ini- mungkin besok akan updte. sekarang baru setengahnya
@Tsunami itu sudah hukum alam kam. wlwkwl:D
@erickhidayat bener om. Mudah datang, susah pergi.:(
@lulu_75 iya saya juga gak nyangma dia seperti itu. gak nyangma agi ketika...
@d_cetya tapi dia manis loh kak. hahaha
@dafaZartin wah wah. kalau saya snare kak. sempet mau tenor, tapi gak dipake semenjak ada quartom...
@abiDoANk makasih kalau mau membaca: )
@arieat kalau bisa itu juga:( tapi kalau sekarang bisa:))
@sasadara mohon bimbingannya:D
@Xian_Lee maaf gak ijin dulu sebelumnya. hehe: )
@TigerGirlz iya suka suka banget sama Loners to lovers. sayang banget kak blognya sudah dihapus. aaya juga pernah buat cerita di blog itu. wkwkwk...
Semuanya-bagi yang mau baca cerita ini- mungkin besok akan updte. sekarang baru setengahnya
asal Korea"
<<< saya penggemar Sungha Jung.
Hujan rupanya masih turun diiringi dengan gempita petir yang terdengar sesekali. Aku dan Yudi-dia satu-satunya teman kelasku-berjalan langsam menuju kantin seolah saat ini adalah jam istirahat. Biasanya jika pelajaran Inggris kami berdua suka bolos pelajaran karena tak tahan dengan sistem belajar yang diberikan oleh guru. Bukan hanya kami berdua saja, siswa cowok pun kebanyakan gak tahan namun bedanya, aku dan Yudi selalu misah dari mereka. Kami berdua sering menghabiskan waktu di kantin atau membaca novel di perpus.
"Jar, mau beli mie ayam gak?" tawarnya ketika dia membeli semangkuk mie ayam dengan ukuran jumbo. Aku menggeleng untuk menjawabnya, lalu melihat kantin sekolah yang begitu jorok. Banyak tulisan disana-sini seperti, 'Aku sayang kamu, I love you, dan...," wait! Tulisan ini sedikit menggitiki hatiku. Aku melihat tulisan, ' Dilema milih kamu dan dia," dengan inial yang tertera dalam tulisan itu adalah T dan N. Apakah tulisan itu Raka yang membuat? Yah, pasti, pasti tulisan itu Raka yang buat. Gak bisakah inisial dalam tulisan itu inisialnya F!?
Akhirnya gara-gara tulisan yang tak sengaja kulihat, aku jadi berfikiran tentang Raka. 'Apa, sih menariknya Raka!?" kalimat itu terus kulontarkan pada diriku sendiri dengan harapan aku bisa terbebas dari perasaan hampa yang kusimpan. Aku lebih suka menyukai cowok tanpan tapi tidak mempermainkan wanita karena menurutku rasa itu harus dijaga, tidak untuk dipermainkan.
Aku duduk di samping Yudi dengan pandangan kosong. Meski dia bukan sahabatku, tapi Yudi sedikitnya tau tentangku, bahwa aku mempunyai masalah hidup walaupun dia tidak tau apa masalahnya. Begitu pun denganku yang tau masalah dia mulai dari percintaan atau sahabat. Dulu ketika kelas satu, Yudi pernah bersahabat dengan Raka karena waktu itu dia juga ikutan drumband. Yudi bercerita bahwa dia sering membantu Raka begitupun sebaliknya. Namun gara-gara perebutan posisi sebagai tenor-hanya angkatan sekarang ada quartom- dan Raka-lah yang terpilih untuk diikut lombakan, pertemanan mereka pun berujung menjadi permusuhan. Well, aku tau Yudi tidak mendramatisir keadaan sepertiku. Jika aku jadi dia mungkin aku akan galau, mengurung diri di kamar seraya membuat puisi semampu yang aku bisa. Tapi sudah kukatakan itu bukan aku, dan semoga saja tidak terjadi.
"Bagaimana capek gak latihannya?" ujar Yudi membuat pikiranku buyar begitu saja.
"Begitulah... Hanya saja cuaca yang jadi kendala. Kadang panas, kadang hujan, kadang panas tapi hujan. Ngomong-ngomong, bagaimana sih sifat Raka menurutmu, Yud?" aku sedikit mengulik kisahnya lebih dalam lagi. Bagaimanapun juga aku harus tau Raka dari sudut pandang orang lain, bukan hanya aku yang menilainya. Berhubung Yudi pernah dekat dulu, kurasa hal itu akan sedikit membantu.
"Jangan bahas itu, Jar. Males tau mengingatnya juga. Yang jelas kamu akan tau sendiri bagaimana sifat dia nanti." Yudi menyimpan mangkuk kosong ke dalam ember lalu membayar mie ayam yang dia pesan dengan uang sepuluh ribuan. "Mendingan kita baca-baca ke perpus. Aku pengen baca biografi yang kemarin kulihat di dalam etalase." Aku hanya diam tak berkomentar jika topik yang dibahas mengenai sejarah. Kadang aku heran kenapa Yudi suka banget sama sejarah. Sudah pasti dia mencari sejarah terbentuknya bumi di buku biografi yang tebalnya hampir sama dengan buku Harry Potter.
"Kenapa sih kamu harus suka sejarah? Bukannya novel lebih menarik?" omelku karena lagi-lagi setiap ke perpustakaan Yudi membaca sejarah.
"Lalu apa enaknya baca cerita tanpa ada gambar? Bukannya lebih baik nonton filmnya aja biar JELAS?" Yudi menekan kata 'JELAS' dengan raut muka menyebalkan. Aku mendengus kesal. "Sejarah adalah suatu hal untuk mengenang apa yang sudah orang-orang perbuat atau lakukan. Bukan hanya orang-orang saja, tapi apa yang sudah terjadi dengan cara alam sendiri. Sederhananya, dengan sejarah kamu akan mengerti arti hidup yang sesungguhnya." Aku melongo mendengar penuturan Yudi. Apakah aku yang telmi, atau memang kalimat yang diucapkan Yudi berbelit-belit?
"Kamu ternyata ada disini, Jar." Aku mendengar suara Raka dari arah pintu, dan itu memang benar. Dia melihat singkat ke arah Yudi, lalu menatapku kembali. "Mulai sekarang dan 5 hari ke depan kamu dispensasi karena lombanya sebentar lagi. Suratnya sudah diurus sama kak Tito, sekarang kita bawa alat lalu pergi ke lapangan desa," lanjutnya lalu menghilang dibalik pintu.
Aku melihat Yudi dengan pandangan tidak enak, seakan mengerti apa yang kurasakan, Yudi hanya mengangguk mafhum. Aku juga ikut mengangguk lalu pergi ke ruang alat. Disana sudah ada tasku, itu berarti aku tidak perlu ke kelas dulu untuk mengambil tas. "Kang, nih sabuknya," ucap Rizky memberikanku sabuk berwarna hitam legam. Aku menyambut sabuk itu lalu memasangkan ke tubuhku. Setelah siap, kami semua pergi ke lapang desa sambil memainkan parade di jalan raya.
Meskipun ini bukan parade pertama, entah kenapa aku tetap saja merasa malu diliatin oleh warga kampung atau kendaraan yang sengaja berhenti untuk melihat kami. Mungkin akan lebih baik jika anak kecil saja yang teriak-teriak, meloncat, mengekor di belakang seolah mereka termasuk dalam bagian anggota drumband. Tapi sayangnya that imposible! Sepertinya bukan aku saja yang mengalami nervous, Opik juga sedari tadi menundukan kepalanya dengan tangan gemetar, bahkan kakinya nyaris menubruk Putra yang notabennya pemain quartom juga, persis seperti Raka. "Coba saja kamu gak malas eskul, pasti kamu terpilih jadi anggota PDBI soalnya kalau ditinjau dari postur sangat pas sekali." Aku melirik Opik dengan raut wajah bingung. Sejujurnya aku bukan keluar sih di drumband karena aku tidak menyatakannya secara langsung, tapi karena aku malas latihan aku pun ber-asumsi bahwa aku keluar. "Jadi anggota drumband tingkat atas lagi. Persatuan Drumband Indonesia...," imbuhnya sebelum aku mau menjawab.
"Haha, bukan malas, tapi karena banyak tugas," kilahku sambil tertawa pelan. Opik meninju bahuku pelan lalu kembali fokus memainkan snare dengan pandangan lurus ke depan.
Ketika sampai di lapangan luas, kami semua berbaris dengan fosmasi yang sudah disiapkan. Tak ada sesi menarik di hari ini rupanya karena setiap display selesai, maka akan latihan dari awal lagi dan begitu seterusnya sampai waktu sudah menunjukan jam 5 petang, kami pun selesai.
"Sekarang anggota perkusi nginep, ya?" tanya Putra membuat langkahku yang tadinya super cepat menjadi pelan. Aku berjalan di samping Raka karena aesikit tertarik dengan kalimat yang diucapkan Putra tadi.
"Kata kak Tito sih, iya..." Senyumku tiba-tiba mengembang ketika mendengar penjelasan dari Aldi. Nginep? Pasti akan menarik!
"Pokoknya semua harus ikut!" tandas Raka dengan suara nyaring. "So?" ucapnya menggantung.
"Aku kayaknya gak akan ikut deh. Soalnya belum ngerjain PR," balasku sambil menahan tawa.
Namun belum sempat aku meluruskan, Raka lebih dulu mengatakan, "Yaudah sih gak papa, toh kami gak butuh kamu," ucapnya dingin. Tubuhku membeku seketika. Baru saja Raka mau berbicara denganku karena sejak Nila menelfonku yang isinya aku sok ngatur, Raka jadi menghindar, bahkan kusapa pun dia tidak menjawab. Sementara Opik, Aldi, Rizky dan Putra tertawa entah apa yang mereka tertawakan. Ataukah mereka tertawa karena aku memang tidak dibutuhkan? Oke, mungkin bagi mereka lucu, tapi bagiku tidak! Saat itu juga aku kembali berjalan cepat menuju sekolah dengan perasaan sakit yang aku sendiri bingung kenapa rasanya bisa sesakit ini.
Sesampainya disana aku menyimpan snare di ruang alat, mengambil tas, lalu pulang. Motor yang kutumpangi sedikit oleng ketika air mata merambas begitu saja. 'Apakah kebaikan mereka hanya kamuflase belaka?' batinku pilu. "Aarrgghh!!" teriakku kesal. Aku tau aku cengeng jika hanya mendapati kejadian seperti ini saja aku menangis. Konyol rasanya... dan anggapan itu benar ketika aku berpikir jernih. Kadang jika aku emosi, hal yang salah pun kuanggap benar. Baru ketika emosiku mereda maka aku tau bahwa yang aku lakukan adalah salah.
Aku mengendap-endap masuk ke dalam rumah karena takutnya ibu melihatku dengan keadaan kacau seperti ini. Sebelum masuk ke kamar aku mengambil dulu makan dengan porsi cukup besar. Hanya makanlah obat satu-satunya agar perasaanku menjadi lebih baik walaupun tidak sepenuhnya. Ketika makanan sudah habis, aku menatap langit-langit kamarku dengan pandangan kosong hingga aku pun... terlelap.
***
"Jar... Fajar... bangun nak..."Aku membuka mata lalu melihat bayangan ibu sedang membawa kopi.
"Ya, bu?" aku menguap panjang. Rasanya berat sekali untuk membuka mata. "Sudah pagi ya?" tanyaku kemudian seraya meminum kopi yang ibu buat. Biasanya jika aku sudah minum kopi buatan ibu, entah kenapa aku susah sekali untuk tidur.
"Sekarang jam 7 malem, nak. Itu ada temenmu di depan," balas ibu sambil merebut kopi yang kupegang kembali. Aku bangkit lalu berjalan cepat menuju pekarangan bakang rumah. Disana ada Opik dan Putra sedang mengobrol, lalu tersenyum ketika melihatku.
"Ayo cepet nginep, Jar. Si Raka jangan di anggap serius, dia cuman bercanda," bujuk Putra sambil merangkul pundakku.
"Emang kenapa? Bukannya gak ada aku juga kalian gak rugi?" ucapku sedikit sinis. Yeah, kejadian tadi sangat menyebalkan walaupun saat ini bukan masalah sih. Sudah kubilang hanya emosi sesaat.
"Tapi kak Tito nyuruh kamu buat dokumentasi movie maker," jawab Opik membuatku tidak bisa menjawab.
"Oke... bentar aku ganti dulu baju," kataku akhirnya.
Aku cuci muka, lalu setelahnya pamitan kepada ibu. Untungnya beliau mengijinkan. Setelah sampai disana, kami menuju ruang alat dengan tangan mendekap dada. Dingin sekali malam ini, bahkan kulihat bulu tanganku sedikit meremang. Sayup-sayup, aku mendengar suara gitar sedang dimainkan di ruang alat. Pasti itu Raka! Dan ternyata memang benar, Raka bernyayi lagu berjudul tetap tersenyum kawan dengan suara merdunya.
Lagi-lagi Raka terdiam ketika melihatku. Aku sedikit kikuk karena tatapannya terus terarah tanpa ada jeda meski hanya untuk mengedipkan mata. Namun tiba-tiba senyumnya mengembang dilanjutkan dengan tawa yang membahana. Aku hanya diam tidak bereaksi. "Kamu marah sama aku, Jar?" ujarnya sambil memegang kepalaku agar alu bisa melihat lurus, tepat di bola matanya. "Jawab, Jar?!" Raka menggoyang-goyangkan kepalaku ke depan dan ke belakang. Aku tetap tidak menjawab. Akhirnya Raka merangkulku dari bakang lalu menunjukan ekpresi konyol tepat di hadapanku. Sontak kini aku yang tertawa membahana.
"Iya, bawel amat sih!" aku melepaskan tangannya dari leherku karena takutnya aku semakin tidak terkendali. Tangannya saja ternyata membawa efek besar bagi tubuhku, apalagi jika... owshit! Jangan berfikiran jorok, Jar! "Btw bukannya aku disuruh bikin movie meker ya?"
"Soal itu... kami bohong, Jar. Hahaha." Putra tertawa yang langsung kusambut dengan pukulan dibahu.
"Dasar!"
"Sudahlah, Jar. Hari ini pasti seru kok..."
"Emangnya kak Titonya kemana?"
"Sibuk ngurusin kerjaannya di staf TU. Tenang aja, gak bakalan kesini kok."
"Yaudah... gimana kalau kita cerita han..."
"Huaaaaaa!!" teriak kami semua karena lampu tiba-tiba padam. Aku sibuk mencari HP untuk penerangan sementara Aldi berteriak keras. Kondisi semakin kacau ketika snare tiba-tiba jatuh ke bawah, membuat suara tambah bising dan nemekakkan.
"Woi kalian tetap tenang!" bentak Raka, namun tetap saja suara tidak terkendali. Meskipun ini bukan kali pertama kami menginap di sekolah, tapi entah kenapa energi saat ini sangat kuat sekali. Seperti ada yang memperhatikan dan mengikuti.
Ketika lampu kembali nyala, Opik merapal gak jelas, seperti akan menangis. "Pulang aja deh!" ucanya kemudian.
"No!" teriakku. "Lihat ini..." aku memperlihatkan stop kontak yang sudah mengendur. "Tadi kabelnya sama Fauz ketarik." Akhirnya setelah aku memberi tau penyebap lampu mati adalah kabel yang copot, mereka kembali tenang. Tak ada hal yang kami lakukan selain bernyanyi dengan gitar tua milik Raka. Ketika jam sudah menunjukan jam 11, kami semua pergi keluar mencari makan. Diperjalanan kami adu balap dengan Raka yang selalu jadi juara. Wajar saja karena Raka tidak membonceng seseorang lalu pulang jam 2 subuh.
Saat itu aku tidak bisa tidur karena bermacam-macam suara terdengar begitu jelas oleh telingaku. Seperti seseorang sedang berjalan, ketukan kayu, atau desau air. "Ayo sekarang tidur," ucap Raka. Aku yang berada di samping Raka ketika tidur hanya bisa memejamkan mata. Percuma jika membuka juga karena seisi ruangan ini sangat gelap. "Kalau kamu susah tidur, Jar. Bangunkan saja aku. Aku akan terbangun lalu menunggumu sampai tertidur." Aku menoleh menuju wajah Raka meskipun tidak terlihat. Kata-kata itu sukses membuat hatiku damai. A-aku merasa seperti orang yang berarti bagi Raka. Dan memang benar aku tidak bisa tidur. Akhirnya aku membangunkan Raka tepat jam 3, hingga saat itulah, aku benar-benar jatuh cinta kepada Raka. Ruang alat ini menjadi saksi akan ucapan Raka yang begitu indah. Aku aman menjaga dia. Pasti.
Tbc
# Huaaa jadi inget dulu ketika Raka berucal seperti itu. Jujur sampai saat ini aku masih saja mengingatnya. Itu adalah kalimat paling manis yang dia lontarkan. Juga ketika lampu tiba-tiba mati. Andai HPku yang dulu tidak kecemplung air. Rekaman hebohnya suasana itu kurekam untuk kenang-kenangan. Tapi sayang HPnya udah rusak. Rekaman ketika Raka nyanyi pun telah hilang
Hujan rupanya masih turun diiringi dengan gempita petir yang terdengar sesekali. Aku dan Yudi-dia satu-satunya teman kelasku-berjalan langsam menuju kantin seolah saat ini adalah jam istirahat. Biasanya jika pelajaran Inggris kami berdua suka bolos pelajaran karena tak tahan dengan sistem belajar yang diberikan oleh guru. Bukan hanya kami berdua saja, siswa cowok pun kebanyakan gak tahan namun bedanya, aku dan Yudi selalu misah dari mereka. Kami berdua sering menghabiskan waktu di kantin atau membaca novel di perpus.
"Jar, mau beli mie ayam gak?" tawarnya ketika dia membeli semangkuk mie ayam dengan ukuran jumbo. Aku menggeleng untuk menjawabnya, lalu melihat kantin sekolah yang begitu jorok. Banyak tulisan disana-sini seperti, 'Aku sayang kamu, I love you, dan...," wait! Tulisan ini sedikit menggitiki hatiku. Aku melihat tulisan, ' Dilema milih kamu dan dia," dengan inial yang tertera dalam tulisan itu adalah T dan N. Apakah tulisan itu Raka yang membuat? Yah, pasti, pasti tulisan itu Raka yang buat. Gak bisakah inisial dalam tulisan itu inisialnya F!?
Akhirnya gara-gara tulisan yang tak sengaja kulihat, aku jadi berfikiran tentang Raka. 'Apa, sih menariknya Raka!?" kalimat itu terus kulontarkan pada diriku sendiri dengan harapan aku bisa terbebas dari perasaan hampa yang kusimpan. Aku lebih suka menyukai cowok tanpan tapi tidak mempermainkan wanita karena menurutku rasa itu harus dijaga, tidak untuk dipermainkan.
Aku duduk di samping Yudi dengan pandangan kosong. Meski dia bukan sahabatku, tapi Yudi sedikitnya tau tentangku, bahwa aku mempunyai masalah hidup walaupun dia tidak tau apa masalahnya. Begitu pun denganku yang tau masalah dia mulai dari percintaan atau sahabat. Dulu ketika kelas satu, Yudi pernah bersahabat dengan Raka karena waktu itu dia juga ikutan drumband. Yudi bercerita bahwa dia sering membantu Raka begitupun sebaliknya. Namun gara-gara perebutan posisi sebagai tenor-hanya angkatan sekarang ada quartom- dan Raka-lah yang terpilih untuk diikut lombakan, pertemanan mereka pun berujung menjadi permusuhan. Well, aku tau Yudi tidak mendramatisir keadaan sepertiku. Jika aku jadi dia mungkin aku akan galau, mengurung diri di kamar seraya membuat puisi semampu yang aku bisa. Tapi sudah kukatakan itu bukan aku, dan semoga saja tidak terjadi.
"Bagaimana capek gak latihannya?" ujar Yudi membuat pikiranku buyar begitu saja.
"Begitulah... Hanya saja cuaca yang jadi kendala. Kadang panas, kadang hujan, kadang panas tapi hujan. Ngomong-ngomong, bagaimana sih sifat Raka menurutmu, Yud?" aku sedikit mengulik kisahnya lebih dalam lagi. Bagaimanapun juga aku harus tau Raka dari sudut pandang orang lain, bukan hanya aku yang menilainya. Berhubung Yudi pernah dekat dulu, kurasa hal itu akan sedikit membantu.
"Jangan bahas itu, Jar. Males tau mengingatnya juga. Yang jelas kamu akan tau sendiri bagaimana sifat dia nanti." Yudi menyimpan mangkuk kosong ke dalam ember lalu membayar mie ayam yang dia pesan dengan uang sepuluh ribuan. "Mendingan kita baca-baca ke perpus. Aku pengen baca biografi yang kemarin kulihat di dalam etalase." Aku hanya diam tak berkomentar jika topik yang dibahas mengenai sejarah. Kadang aku heran kenapa Yudi suka banget sama sejarah. Sudah pasti dia mencari sejarah terbentuknya bumi di buku biografi yang tebalnya hampir sama dengan buku Harry Potter.
"Kenapa sih kamu harus suka sejarah? Bukannya novel lebih menarik?" omelku karena lagi-lagi setiap ke perpustakaan Yudi membaca sejarah.
"Lalu apa enaknya baca cerita tanpa ada gambar? Bukannya lebih baik nonton filmnya aja biar JELAS?" Yudi menekan kata 'JELAS' dengan raut muka menyebalkan. Aku mendengus kesal. "Sejarah adalah suatu hal untuk mengenang apa yang sudah orang-orang perbuat atau lakukan. Bukan hanya orang-orang saja, tapi apa yang sudah terjadi dengan cara alam sendiri. Sederhananya, dengan sejarah kamu akan mengerti arti hidup yang sesungguhnya." Aku melongo mendengar penuturan Yudi. Apakah aku yang telmi, atau memang kalimat yang diucapkan Yudi berbelit-belit?
"Kamu ternyata ada disini, Jar." Aku mendengar suara Raka dari arah pintu, dan itu memang benar. Dia melihat singkat ke arah Yudi, lalu menatapku kembali. "Mulai sekarang dan 5 hari ke depan kamu dispensasi karena lombanya sebentar lagi. Suratnya sudah diurus sama kak Tito, sekarang kita bawa alat lalu pergi ke lapangan desa," lanjutnya lalu menghilang dibalik pintu.
Aku melihat Yudi dengan pandangan tidak enak, seakan mengerti apa yang kurasakan, Yudi hanya mengangguk mafhum. Aku juga ikut mengangguk lalu pergi ke ruang alat. Disana sudah ada tasku, itu berarti aku tidak perlu ke kelas dulu untuk mengambil tas. "Kang, nih sabuknya," ucap Rizky memberikanku sabuk berwarna hitam legam. Aku menyambut sabuk itu lalu memasangkan ke tubuhku. Setelah siap, kami semua pergi ke lapang desa sambil memainkan parade di jalan raya.
Meskipun ini bukan parade pertama, entah kenapa aku tetap saja merasa malu diliatin oleh warga kampung atau kendaraan yang sengaja berhenti untuk melihat kami. Mungkin akan lebih baik jika anak kecil saja yang teriak-teriak, meloncat, mengekor di belakang seolah mereka termasuk dalam bagian anggota drumband. Tapi sayangnya that imposible! Sepertinya bukan aku saja yang mengalami nervous, Opik juga sedari tadi menundukan kepalanya dengan tangan gemetar, bahkan kakinya nyaris menubruk Putra yang notabennya pemain quartom juga, persis seperti Raka. "Coba saja kamu gak malas eskul, pasti kamu terpilih jadi anggota PDBI soalnya kalau ditinjau dari postur sangat pas sekali." Aku melirik Opik dengan raut wajah bingung. Sejujurnya aku bukan keluar sih di drumband karena aku tidak menyatakannya secara langsung, tapi karena aku malas latihan aku pun ber-asumsi bahwa aku keluar. "Jadi anggota drumband tingkat atas lagi. Persatuan Drumband Indonesia...," imbuhnya sebelum aku mau menjawab.
"Haha, bukan malas, tapi karena banyak tugas," kilahku sambil tertawa pelan. Opik meninju bahuku pelan lalu kembali fokus memainkan snare dengan pandangan lurus ke depan.
Ketika sampai di lapangan luas, kami semua berbaris dengan fosmasi yang sudah disiapkan. Tak ada sesi menarik di hari ini rupanya karena setiap display selesai, maka akan latihan dari awal lagi dan begitu seterusnya sampai waktu sudah menunjukan jam 5 petang, kami pun selesai.
"Sekarang anggota perkusi nginep, ya?" tanya Putra membuat langkahku yang tadinya super cepat menjadi pelan. Aku berjalan di samping Raka karena aesikit tertarik dengan kalimat yang diucapkan Putra tadi.
"Kata kak Tito sih, iya..." Senyumku tiba-tiba mengembang ketika mendengar penjelasan dari Aldi. Nginep? Pasti akan menarik!
"Pokoknya semua harus ikut!" tandas Raka dengan suara nyaring. "So?" ucapnya menggantung.
"Aku kayaknya gak akan ikut deh. Soalnya belum ngerjain PR," balasku sambil menahan tawa.
Namun belum sempat aku meluruskan, Raka lebih dulu mengatakan, "Yaudah sih gak papa, toh kami gak butuh kamu," ucapnya dingin. Tubuhku membeku seketika. Baru saja Raka mau berbicara denganku karena sejak Nila menelfonku yang isinya aku sok ngatur, Raka jadi menghindar, bahkan kusapa pun dia tidak menjawab. Sementara Opik, Aldi, Rizky dan Putra tertawa entah apa yang mereka tertawakan. Ataukah mereka tertawa karena aku memang tidak dibutuhkan? Oke, mungkin bagi mereka lucu, tapi bagiku tidak! Saat itu juga aku kembali berjalan cepat menuju sekolah dengan perasaan sakit yang aku sendiri bingung kenapa rasanya bisa sesakit ini.
Sesampainya disana aku menyimpan snare di ruang alat, mengambil tas, lalu pulang. Motor yang kutumpangi sedikit oleng ketika air mata merambas begitu saja. 'Apakah kebaikan mereka hanya kamuflase belaka?' batinku pilu. "Aarrgghh!!" teriakku kesal. Aku tau aku cengeng jika hanya mendapati kejadian seperti ini saja aku menangis. Konyol rasanya... dan anggapan itu benar ketika aku berpikir jernih. Kadang jika aku emosi, hal yang salah pun kuanggap benar. Baru ketika emosiku mereda maka aku tau bahwa yang aku lakukan adalah salah.
Aku mengendap-endap masuk ke dalam rumah karena takutnya ibu melihatku dengan keadaan kacau seperti ini. Sebelum masuk ke kamar aku mengambil dulu makan dengan porsi cukup besar. Hanya makanlah obat satu-satunya agar perasaanku menjadi lebih baik walaupun tidak sepenuhnya. Ketika makanan sudah habis, aku menatap langit-langit kamarku dengan pandangan kosong hingga aku pun... terlelap.
***
"Jar... Fajar... bangun nak..."Aku membuka mata lalu melihat bayangan ibu sedang membawa kopi.
"Ya, bu?" aku menguap panjang. Rasanya berat sekali untuk membuka mata. "Sudah pagi ya?" tanyaku kemudian seraya meminum kopi yang ibu buat. Biasanya jika aku sudah minum kopi buatan ibu, entah kenapa aku susah sekali untuk tidur.
"Sekarang jam 7 malem, nak. Itu ada temenmu di depan," balas ibu sambil merebut kopi yang kupegang kembali. Aku bangkit lalu berjalan cepat menuju pekarangan bakang rumah. Disana ada Opik dan Putra sedang mengobrol, lalu tersenyum ketika melihatku.
"Ayo cepet nginep, Jar. Si Raka jangan di anggap serius, dia cuman bercanda," bujuk Putra sambil merangkul pundakku.
"Emang kenapa? Bukannya gak ada aku juga kalian gak rugi?" ucapku sedikit sinis. Yeah, kejadian tadi sangat menyebalkan walaupun saat ini bukan masalah sih. Sudah kubilang hanya emosi sesaat.
"Tapi kak Tito nyuruh kamu buat dokumentasi movie maker," jawab Opik membuatku tidak bisa menjawab.
"Oke... bentar aku ganti dulu baju," kataku akhirnya.
Aku cuci muka, lalu setelahnya pamitan kepada ibu. Untungnya beliau mengijinkan. Setelah sampai disana, kami menuju ruang alat dengan tangan mendekap dada. Dingin sekali malam ini, bahkan kulihat bulu tanganku sedikit meremang. Sayup-sayup, aku mendengar suara gitar sedang dimainkan di ruang alat. Pasti itu Raka! Dan ternyata memang benar, Raka bernyayi lagu berjudul tetap tersenyum kawan dengan suara merdunya.
Lagi-lagi Raka terdiam ketika melihatku. Aku sedikit kikuk karena tatapannya terus terarah tanpa ada jeda meski hanya untuk mengedipkan mata. Namun tiba-tiba senyumnya mengembang dilanjutkan dengan tawa yang membahana. Aku hanya diam tidak bereaksi. "Kamu marah sama aku, Jar?" ujarnya sambil memegang kepalaku agar alu bisa melihat lurus, tepat di bola matanya. "Jawab, Jar?!" Raka menggoyang-goyangkan kepalaku ke depan dan ke belakang. Aku tetap tidak menjawab. Akhirnya Raka merangkulku dari bakang lalu menunjukan ekpresi konyol tepat di hadapanku. Sontak kini aku yang tertawa membahana.
"Iya, bawel amat sih!" aku melepaskan tangannya dari leherku karena takutnya aku semakin tidak terkendali. Tangannya saja ternyata membawa efek besar bagi tubuhku, apalagi jika... owshit! Jangan berfikiran jorok, Jar! "Btw bukannya aku disuruh bikin movie meker ya?"
"Soal itu... kami bohong, Jar. Hahaha." Putra tertawa yang langsung kusambut dengan pukulan dibahu.
"Dasar!"
"Sudahlah, Jar. Hari ini pasti seru kok..."
"Emangnya kak Titonya kemana?"
"Sibuk ngurusin kerjaannya di staf TU. Tenang aja, gak bakalan kesini kok."
"Yaudah... gimana kalau kita cerita han..."
"Huaaaaaa!!" teriak kami semua karena lampu tiba-tiba padam. Aku sibuk mencari HP untuk penerangan sementara Aldi berteriak keras. Kondisi semakin kacau ketika snare tiba-tiba jatuh ke bawah, membuat suara tambah bising dan nemekakkan.
"Woi kalian tetap tenang!" bentak Raka, namun tetap saja suara tidak terkendali. Meskipun ini bukan kali pertama kami menginap di sekolah, tapi entah kenapa energi saat ini sangat kuat sekali. Seperti ada yang memperhatikan dan mengikuti.
Ketika lampu kembali nyala, Opik merapal gak jelas, seperti akan menangis. "Pulang aja deh!" ucanya kemudian.
"No!" teriakku. "Lihat ini..." aku memperlihatkan stop kontak yang sudah mengendur. "Tadi kabelnya sama Fauz ketarik." Akhirnya setelah aku memberi tau penyebap lampu mati adalah kabel yang copot, mereka kembali tenang. Tak ada hal yang kami lakukan selain bernyanyi dengan gitar tua milik Raka. Ketika jam sudah menunjukan jam 11, kami semua pergi keluar mencari makan. Diperjalanan kami adu balap dengan Raka yang selalu jadi juara. Wajar saja karena Raka tidak membonceng seseorang lalu pulang jam 2 subuh.
Saat itu aku tidak bisa tidur karena bermacam-macam suara terdengar begitu jelas oleh telingaku. Seperti seseorang sedang berjalan, ketukan kayu, atau desau air. "Ayo sekarang tidur," ucap Raka. Aku yang berada di samping Raka ketika tidur hanya bisa memejamkan mata. Percuma jika membuka juga karena seisi ruangan ini sangat gelap. "Kalau kamu susah tidur, Jar. Bangunkan saja aku. Aku akan terbangun lalu menunggumu sampai tertidur." Aku menoleh menuju wajah Raka meskipun tidak terlihat. Kata-kata itu sukses membuat hatiku damai. A-aku merasa seperti orang yang berarti bagi Raka. Dan memang benar aku tidak bisa tidur. Akhirnya aku membangunkan Raka tepat jam 3, hingga saat itulah, aku benar-benar jatuh cinta kepada Raka. Ruang alat ini menjadi saksi akan ucapan Raka yang begitu indah. Aku aman menjaga dia. Pasti.
Tbc
# Huaaa jadi inget dulu ketika Raka berucal seperti itu. Jujur sampai saat ini aku masih saja mengingatnya. Itu adalah kalimat paling manis yang dia lontarkan. Juga ketika lampu tiba-tiba mati. Andai HPku yang dulu tidak kecemplung air. Rekaman hebohnya suasana itu kurekam untuk kenang-kenangan. Tapi sayang HPnya udah rusak. Rekaman ketika Raka nyanyi pun telah hilang
@Tsunami
@erickhidayat
@lulu_75
@d_cetya
@dafaZartin
@abiDoANk
@arieat
@sasadara
@Xian_Lee
@TigerGirlz
@Kunet
maaf jika ada yanh ke mention. komen ya. )
haha sama dong. tapi Yiruma juga keren kok ..
maksudnya??
gpp hpnya rusak, kan msh terekam jelas di memorinya..