It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Nafsu yang menyelimutiku langsung hilang, aku berusaha menghentikan aktifitas ini. Tidak peduli Hilmi berusaha menyeretku kembali untuk fokus. Dia akhirnya menyerah ketika ponselku berhenti berdering. Aku langsung menelpon balik.
“Kamu dimana, Bi? Mama di kostan kamu lho?” suara mamaku, terdengar dia agak kesal.
“Lagi nginep di rumah teman, mah!” jawabku dengan nada sedikit terengah.
“Kok suara kamu kayak ngos-ngosan gitu?” tanya mama. Naluri mama sangat tajam.
“Abis main basket,” jawabku, kulirik Hilmi yang tampak buas karena perbuatanku.
“Yaudah, kamu kesini sekarang!” kata mama. Sebuah perintah yang tak bisa kutolak.
“Oke,” jawabku.
Hilmi memelukku sambil menciumi leherku, dia tidak akan rela kalau sudah kelewat tanggung begini.
“Mamaku datang, aku harus kesana sekarang!” kataku mencoba menolak.
“Ibu suri bisa menunggu sebentar,” bisik Hilmi sambil mengunciku.
“Hei, ayolah! Kamu tahu sifat mamaku kan?” ujarku lagi.
Sialnya dia berhasil menyentuh beberapa titik lemahku, aku akhirnya bertekuk lutut.
Lima belas menit permainan kilat ini, lima menit pendinginan dan aku langsung melompat mengambil bajuku.
“Nggak mandi dulu?” tanya Hilmi cuma bertopang dagu memperhatikanku.
“Trus aku didera mamaku?” sahutku.
“Biar aku antar kamu, Bi!” ujar Hilmi turun dari tempat tidur. Dia langsung memakai celana panjang training dan jaket kelabu. Tanpa dalaman apa-apa.
Pikiran kotorku berhembus membayangkan hal-hal mesum, meski semalaman ini aku puas melihatnya telanjang.
Hilmi tancap gas seperti pembalap kesurupan, jantungku hampir saja pindah ke pankreas. Tapi hal cukup itu terbayar dengan lima belas menit sampai di kostanku.
“Terima kasih,” ujarku.
Dia mengangguk, lalu mengacak-acak rambutku tanda sayang. Aku membuka gerbang dan berjalan masuk seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, beberapa detik kemudian aku sadar mama ada di lorong beranda melihatku masuk. Seharusnya dia tidak melihat pemandangan di depan gerbang.
“Itu tadi teman kamu?” tanya mama saat aku tiba di hadapannya.
Aku menganggukan kepala, “Mama ingat Hilmi kan? Itu dia! Lagi liburan ke Jakarta.”
“Hilmi teman SMA kamu?” tanya mama.
“Iya,” jawabku sambil membuka pintu kamarku. “Yang hampir mama angkat jadi anak?”
“Mama kira dia sudah pindah jauh ke Sulawesi,” gumam mama.
“Dia kangen saya, makanya kesini,” jawabku berkelakar. Beberapa dus kugeser supaya terlihat lebih rapi. “Oh, iya! Mau minum apa?”
“Yang biasa aja,” jawab mama. Dia duduk di tempat tidurku sambil melihat ponselnya.
Aku membuatkan segelas sirup dingin, esnya ambil dari kulkas umum. Sebenarnya agak waswas mama tiba-tiba datang. Tak ada angin tak ada hujan badai.
“Tumben mama datang?” ujarku.
“Mama mau lihat perkembangan skripsi kamu,” jawab mama sambil mencicipi sirup buatanku. “Kayaknya kamu kebanyakan main daripada seriusnya?”
“Tenang aja, masih balance kok!” jawabku. “Kan target saya tahun depan wisuda.”
“Setelah wisuda apa rencana kamu?” tanya mama. Nada bicaranya mulai seperti petugas interogasi.
“Cari kerja, meniti karir, cari pengalaman sampai punya gaji 40 juta sebulan?” jawabku.
“Itu aja?” tanya mama.
“Emang mau yang mana lagi?” sahutku. “Jadi model top celana dalam pria?”
Mama meneguk minumannya sedikit. “Papa dan mama sepakat ngejodohin kamu sama anaknya teman papa.”
“WHAT??!” seruku dengan reaksi yang berlebihan.
“Semua kami yang urus, kamu dan Cyntia tinggal duduk manis aja,” ujar mama seolah sudah menebak reaksiku.
Aku bahkan tidak tahu siapa itu Cyntia yang tadi dia sebut.
“Tapi, mah! Saya baru 21, mana siap saya nikah di usia semuda ini!”
“Kan mama udah bilang, kamu tinggal terima jadi!” kata mama seperti hakim agung yang tak dapat diganggu gugat. “Rumah, mobil, perkerjaan itu semua kami fasilitasi. Mestinya kamu bersyukur dong.”
“Bukan masalah itu, mah!” ujarku. “Rasanya sayang, masa muda saya harus didominasi sama tanggung jawab rumah tangga. Masih banyak hal yang mau saya capai.”
“Tadi bilangnya kamu cuma mau cari kerja, cari pengalaman sampai punya gaji gede?” kata mama seolah tidak mendengarkanku. “Menikah nggak berarti kamu kehilangan masa mudamu, Bi. Percaya deh!”
“Aku nggak bisa dan nggak mau menikah muda!” kataku dengan tegas.
Mama menghela nafas pendek. “Mungkin awalnya kamu merasa terkekang, tapi kalau sudah dijalani pasti kamu nyaman.”
“Aku gay!” ujarku dengan lantang.
Mama yang sedang meneguk sirupku langsung terbatuk-batuk. Dia menatapku lurus-lurus seolah sedang melihat artefak zaman batu.
“Akhirnya kamu come out juga,” ujar mama. Reaksinya sama sekali tidak kuduga.
“Mama tahu?” tanyaku terbelalak.
“Mama ini orang tua kamu, mana mungkin mama nggak tahu apa-apa tentang kamu?” ujar mama dengan santai tapi menusuk. “Mama juga tahu, Hilmi suka sama kamu sejak dulu.”
Aku seketika pucat.
“Kamu nggak perlu cerita apa yang kalian lakukan semalam,” kata mama. “Sekarang intinya mama minta kamu akhiri permainan ini. Lakukan apa yang mama minta, ini juga demi kebaikan kamu. Kamu tahu kan kamu anak mama satu-satunya? Kamu harus meneruskan garis keturunan keluarga, Bi.”
Mama meraih tanganku, mencopot cincin dari jari manisku. Seolah dia sudah tahu itu pemberian Hilmi. Mama meletakan cincin itu di atas buffet.
“Jadilah anak yang berbakti, Bi!” kata mama.
Kalimat itu menggema di telingaku.
OoO
Pintu kamarku diketuk pelan, tapi aku sedang malas menerima tamu. Kuabaikan saja seperti ketukan sebelumnya. Jika itu Hilmi, pasti dia akan cukup peka bahwa aku sedang terpuruk. Dia belum datang-datang juga, padahal aku menunggunya. Apa dia sedang sibuk menyiapkan kejutan lain? Semua akan jadi sia-sia.
“Bi!” sebuah suara membuyarkan duniaku. Memaksaku mengangkat kepala dan melihat sosok yang memanggilku.
Dia adalah Arphan, raut wajahnya tampak khawatir.
“Kamu kenapa, Bi?” tanya Arphan segera menghampiriku.
Arphan langsung mendekapku erat. Rasanya hangat sekali, seolah separuh bebanku terangkat. Meski sebenarnya yang aku harapkan Hilmi.
“Kamu udah makan?” tanya Arphan membelaiku.
Aku menggelengkan kepala, mulutku terasa kaku untuk mengucap kata “belum”.
Arphan meletakan bungkusan plastik hitam di depanku. “Ini aku bawa pisang keju.”
Pantas saat Arphan masuk, seolah ada aroma yang menggerakan semangatku. Aku bangkit dan membuka pisang kejuku. Ada dua porsi jumbo dan masih hangat pula.
“Makanlah!” kata Arphan duduk disampingku, sambil memperhatikan betapa lahapnya aku. Meski aku terkesan tak mengacuhkannya.
“Kamu ini paling jago bikin aku khawatir,” kata Arphan sambil tersenyum. “Beberapa hari ini kamu susah banget dikontak?”
Aku cuma tersenyum galau-sok-imut. Aku sedang malas sekali ngobrol dengannya.
“Tadinya aku mau ajak kamu jalan ke Kawah Putih,” ujar Arphan sambil mengeluarkan ponsel, sepertinya melihat notes-nya. “Lumayanlah buat penyegaran pikiran. Kamu tahulah, ada beberapa...”
“Mabro,” ujarku dengan suara separuh serak. Arphan langsung berhenti bicara. “Aku lagi mau sendirian aja. Boleh?”
Dia terdiam sebentar, lalu tersenyum dan mengangguk. Sempat dia mengecup pelan kepalaku.
“Selamat istirahat, my prince!” bisiknya pelan.
Arphan lalu pergi, dengan tidak lupa menutup pintu. Sekarang aku sendirian, seperti keinginanku. Aku berharap Hilmi muncul dari balik pintu itu. Yep, kutunggu saja sambil ngemil pisang keju ini.
Moga Bobby entar nyesel udah menyianyiakan Arphan.
@lulu_75
@Tsunami
@Wita
@octavfelix
@elul
@susucoklat
@erickhidayat
@Zaldy
@BenNext
@arieat
@half_blood
@d_cetya
@Chy_Mon
@arifinselalusial
lupa mention
next chapter saya mention deh
hehehehehe
thank's buat @3II0 yang udah bantu mention