It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
[NOW]
Dingin...
Itulah yang dirasakannya saat ini. Pria itu kemudian duduk lebih merapat kepada pria di sebelahnya. Dengan pasrah ia merelakan kedua telapak tangannya direngkuh oleh kehangatan adam yang duduk tepat di sampingnya. Kepalanya disandarkan pada bahu kokoh sang adam. Sudah berjam-jam pria itu duduk disana menunggu hujan yang tak kunjung reda
Sesaat dirasakannya sebuah kehangatan.
Dia tidak butuh selimut, dia tidak butuh coklat panas, dia tidak butuh genahar. Hanya pria hangat yang dibutuhkannya untuk membuatnya tidak lagi merasa kedinginan, membuatnya nyaman walaupun bajunya lecap oleh air hujan. Rasanya malam ini loka sedang mendukungnya untuk merasakan kehangatan adam yang kini mendekapnya erat. Dirasakannya kecupan lembut mendarat di keningnya yang basah. Sececah naim dirasakan olehnya, dan pria itu memohon kepada Tuhan agar naimnya tidak acap berlalu.
Banyak yang bertutur bahwa kota Bogor, tanah kelahirannya adalah kota hujan. Dan pria ini membenarkan itu. Rebasan air hujan membumi dari awan kumulus yang antap. Tak lupa dengan guntur yang meraung-raung di bumantara. Pria ini tidak gentar sekalipun harus menunggu hujan itu reda dalam waktu yang lama. Dia duduk di seliri kayu pada sebuah gubuk tua yang tak jauh dari tempat peristirahatan terakhir bagi manusia. Hanya di tempat ini pria itu bisa berteduh dari hantaman molekul-molekul langit.
Suara tetes hujan membentuk harmoni indah tatkala buliran molekul langit itu berantuk dengan tarup gubuk yang terbuat dari seng. Pria itu tidak merasa terusik, justru pria ini menikmati romantisme yang mungkin tidak akan pernah sama lagi seperti ini. Atau mungkin tidak akan pernah dirasakannya lagi pada lain waktu.
Satu hal yang mungkin tidak pernah pria itu rutuki dalam hidupnya adalah turunnya hujan. Kehadiran rinai sang hujan, entah deras atau hanya berupa gerimis, adalah ibarat kawan lama yang senantiasa mendampingi tatkala sepi datang menerjang begitu brutalnya. Sampai dirinya sering bertanya-tanya, mengapa hujan bisa dengan gampang membaca suasana hati, sebab ia selalu hadir di saat yang tepat.
Rindu. Ia adalah perasaan yang bertepuk sebelah tangan. Sebesar apapun kerinduan yang kau rasakan untuk seseorang, orang itu belum tentu akan membalasnya dengan merindukanmu jua. Lihat, betapa mudahnya melankolia merambahi akal sehat, mencuci otak sedemikian rupa hingga kini rindunya menjelma menjadi sesosok manusia. Siluet yang amat akrab tergambar di bola matanya.
“Rasanya sudah lama sekali ya kita tidak sedekat ini Bi.”
Ia menghembuskan nafas berat setelah mengucapkan kalimat tersebut dengan susah payah. Sebenarnya Romy sama sekali tidak pernah berpikir untuk bisa dekat seperti ini lagi dengan Arbi. Sudah cukup banyak memori yang berusaha ia hapuskan dari ingatannya, namun rasanya sulit untuknya menganggap Arbi tidak pernah hadir dalam kehidupannya.
Hujan deras tercurah dari langit ketika seorang pemuda menampakkan wujudnya di tempat ini. Jejak kaki pada tanah basah yang dipijaknya menciptakan endapan lumpur yang kian menebal pada ujung sepatu yang dikenakannya, dan sang pemuda masih terus berjalan, hingga akhirnya pada satu titik ia menghentikan langkahnya lalu memandang berkeliling.
Romy Oktario, nama pemuda ini. Usianya baru menginjak sembilan belas pada awal bulan Oktober lalu, namun dari kedalaman sorot mata serta ekspresi tegas yang tergambar pada raut wajahnya, jelas menunjukkan bahwa yang bersangkutan setidaknya telah mengenal sedikit banyak tentang asam garam kehidupan. Pemuda itu berperawakan tinggi, tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk, dengan kulit putih pucat khas Sunda, tulang pipinya tegas, alis matanya tebal, bibirnya tipis, dan sorot matanya tajam.
Di depan emperan toko kelontong, pemuda ini berteduh dari terjangan derasnya hujan. Sore itu langit lindap, seolah kehilangan binar terangnya. Yang ada hanyalah kumulus hitam. Sejak dulu Romy percaya, bahwa hujan mewakili kepiluan orang-orang yang tinggal di bentala ini. Beberapa meter dari tempatnya berpijak, Romy cukup peka untuk menyadari bahwa ada sesosok pria yang berdiri termangu menunggu hujan reda.
Namun kilatan cahaya yang menjalar di langit kelam segera menyita perhatiannya, memaksa kedua manik obsidiannya untuk terus terpaku melihat pemandangan di bumantara. Tapi tidak ada apa-apa di sana yang bisa dipandanginya lama-lama selain titik-titik air yang ditumpahkan oleh langit.
“Deras ya,” gumaman yang terlontar tanpa adanya sesuatu maksud.
Hanya saja, tiba-tiba ia merasa sentimental. Ada sesuatu yang tengah bergerilya dan merajang dirinya. Berkedok dan mengatasnamakan rindu yang tak sempat terucapkan.
Pria yang berdiri tadi itu kemudian menolehkan kepalanya, melihatnya dalam.
“Iya, deras,” gumaman itu terlontar dari bibir tipis pria itu.
Pria itu kemudian tersenyum hangat. Terlihat lesung pipi menghiasi wajahnya yang bersih. Sekilas melihat, Romy bisa menyimpulkan kalau pria itu lebih dewasa darinya. Terlihat dari penampilannya yang apik. Pria itu tinggi, dengan postur tubuh tegap, hidungnya lancip, surainya tertata dengan apik. Terlihat impresi cukuran di bawah hidung lancipnya, tipis, yang membuatnya terlihat perlente.
“Menurutmu apakah langit sedang bersedih—atau memberi berkah?” pria itu tiba-tiba saja melontarkan pertanyaan.
“Hmm,” senyumnya terpulas tipis, singkat, diberikan tanpa memalingkan muka kepada pria di hadapannya yang baru saja menanyakan sebuah pertanyaan yang manis.
Sedang bersedih ataukah memberi berkah dirimu, hei langit?
Menurut Romy, tidak keduanya.
“Kupikir langit sedang merindu hebat,” hebat sekali hingga ia harus menumpahkannya dengan hujan sederas ini. "Bagaimana menurutmu?"
Hujan bukan sekedar air yang turun. Pemuda ini tidak tahu pasti apa saja yang ada dalam tiap tetesannya.
Tapi baginya, hujan lebih banyak arti filosofisnya. Dalam cerita yang didengarnya waktu lebih muda dari sekarang, hujan diturunkan langit setelah dua kubu yang berperang kehilangan masing-masing anaknya; sebagai pengingat bahwa dengki hanya melahirkan kehilangan dan kesedihan.
“Merindu,” pria itu mengulang kata itu lagi dengan suaranya sendiri, dalam gumam yang lebih pelan setelah hening sesaat. Mata pria itu kini tertuju padanya.
Siapa yang dirindukan langit sebegitu hebatnya—bumi yang diantaranya selalu memiliki jarak?
“Pada siapa?” pria itu balik bertanya.
Hujan adalah berkah tersendiri bagi dirinya, tidak peduli apakah akan berdampak sama pada yang lainnya. Tungkainya melangkah mendekati bagian depan toko yang tidak terlindung atap. Sementara kedua matanya masih belum ingin melepaskan pandangan dari tirai air yang terbentang di luar sana. Perlahan membiarkan tetesan-tetesan rindu imajiner itu mengisi ruang hatinya, mungkin sampai ia tak sanggup membendungnya lagi.
“Pada sesuatu yang indah yang akan ia dapatkan setelah tangisnya mereda,” Romy bergumam, yakin dengan apa yang baru saja ia ucapkan.
“Pelangi.”
Into each life some rain must fall
But too much is fallin' in mine
Into each heart some tears must fall
But some day the sun will shine
Some folks can lose the blues in their hearts
But when I think of you, another shower starts
Into each life some rain must fall
But too much is fallin' in mine
Lantunan lagu milik Ella Fitzgerald mengalun merdu diiringi oleh orkestra alam dari buliran hujan yang menerpa atap toko kelontong tempatnya berteduh. Papan usang besar bertuliskan nama sebuah toko kelontong terpasang di atapnya. Toko kelontong bernuansa kolonial itu terletak di pusat kota Bogor. Sudah dua jam lebih mereka terjebak pada satu momentum yang sama di tempat yang sama. Setelah lama keheningan itu terjadi, pria tadi membuka percakapan kembali.
“Kasihan ya,” pria itu memecah keheningan sesaat.
“Kenapa?” keningnya mengernyit bingung.
“Bahwa apa yang ia tunggu baru bisa ia dapatkan hanya setelah ia bersedih.”
Maksudnya pelangi itu tadi.
Spektrum warna-warni yang melengkung menghiasi putih kebiruan langit setelah hujan memang tak henti menarik atensi. Sudah lama sekali, sudah lima tahun lalu sejak ia terakhir kali berjumpa pelangi. Mereka bilang, apa-apa yang dicintai selalu menyimpan memori. Termasuk memori masa kecilnya yang jauh dari kata bahagia.
Dibesarkan oleh seorang ayah, Romy kecil tumbuh menjadi sosok anak laki-laki yang mandiri, tangguh, namun keras dan rapuh. Romy kecil terkadang berharap dibesarkan dengan penuh kasih sayang seorang ibu yang selalu menceritakan dongeng dan memberikan kecupan sebelum mereka tidur—nope, dia tidak pernah mendapatkan itu dari sang ayah. Tentu saja bukan karena sang ayah tidak menyayanginya, hanya saja dia punya cara berbeda untuk menunjukkan rasa cinta kepada anaknya.
“Bukannya lebih baik menerima apa yang bisa ia dapatkan?” suara pria itu memecah lamunan masa kecilnya.
Langit masih bisa mendapatkan apa yang diinginkan sekalipun ia harus menunggu dan bersedih terlebih dahulu, sementara Romy tidak. Dia tidak akan pernah mendapatkannya walaupun tangis dan rindunya tak berujung. Pelangi itu belum pasti akan muncul di langit-langit hatinya. Bahkan matahari pun mungkin tak akan pernah datang lagi mampir dan menghangatkan sudutnya. Hanya hujan deras yang turun berkepanjangan, tanpa tanda-tanda akan pernah mereda. Menyisakan ruang hampa yang benar-benar tidak berisi apa-apa. Gelap dan dingin.
Andai saja semua yang ada di dunia ini begitu sederhana, seperti perkataan pria itu tadi, bahwa akan lebih baik menerima apa yang bisa didapatkan. Tapi bukankah manusia memang dirancang sedemikian rupa? Bahwa tidak akan pernah puas dengan apa yang bisa didapatkan. Selalu saja ada pembanding, selalu saja ada keinginan untuk mendapatkan lebih, dan semua itu menjadi tidak lagi sederhana.
“Apa kamu seseorang yang seperti itu?”
—yang merasa lebih baik menerima apa yang bisa ia dapatkan?
Getir rasanya kalau mengingat kenangan itu. Bahkan sampai hari ini, Romy belum mendapatkan pelanginya. Langitnya masih saja diselimuti oleh kumulus hitam, dan semakin hari kumulus itu semakin tumpat. Langit tampaknya masih setia menemani kemasygulan nuraninya. Buliran air mata langit masih saja turun, dan semakin deras. Romy merasakan kesedihan langit pada setiap tetesnya, entah untuk apa langit bersedih. Mungkinkah langit juga merindu?
—seperti ia yang merindu, dan akan selalu merindu?
Ia menghela nafas panjang, rasa asak menjalari sanubari. Ia rindu sekali pada sosok Arbi yang menjadi mataharinya. Dia sadar kalau dirinya ini hanyalah satelit alam yang meminjam cahaya bintang untuk dapat bersinar. Dibiarkannya rasa hangat itu menyelimuti malamnya walau hembusan bayu pun menyerangnya, membuat telapak tangannya kebas karena kedinginan. Kemudian, Romy meletakkan kedua telapak tangannya pada wajah sosok di sampingnya.
“Bi, aku kangen kamu,” ucapnya lirih.
Senyuman berhiaskan lesung pipi itu tergambar di imajinya, senyuman hangat yang selalu bisa menenangkannya, yang seolah mengucapkan kata non-verbal ‘tenang ada aku disini’. Semuanya tidak akan pernah lagi sama seperti dulu, dan rasa sesal merenggut perasaannya. Dalam hati, pria ini mengucapkan untaian kata maaf atas apa yang pernah terjadi antara dirinya dan Arbi.
Pepatah benar, rasa sesal selalu datang terlambat.
Ia tidak tahu untuk apa mereka bertemu, ia tidak tahu bagaimana semua kejadian itu menuntunnya ke suatu lembah penyesalan yang amat dalam. Namun semua itu masih dirasakannya hingga sekarang.
“Maafin aku ya Bi—”
“—karena aku udah pernah bikin kamu kecewa,” nada penyesalan tersirat dari suaranya.
Arbi masih tidak bergeming. Namun dirasakan olehnya belaian hangat pada surai hitamnya. Belaian yang rasanya tidak pernah berubah dan sama seperti dulu. Pria hangat itu selalu bisa membuatnya tenang, membuatnya nyaman. Malam ini Romy ingin sekali mengenang memori masa lalunya bersama Arbi, berdua saja.
“Ya—“ ucap pria itu ragu-ragu, “—mungkin?”
Selama beberapa saat keduanya kembali mendaratkan pandangannya ke langit, menatap hujan yang belum juga reda. Bukannya ia tidak suka hujan, tapi ia rasa semua manusia juga sama, bertanya-tanya kapan hujan reda ketika hujan turun, dan bertanya-tanya kapan hujan datang ketika dataran gersang.
“Kamu kenapa muram seperti itu?” nada penasaran terdengar dari pertanyaan sang pria anonim tadi.
“Soalnya muram saja tidak ada gunanya,” lanjut pria itu
Seharusnya ini masih tentang hujan.
Seharusnya.
Bukankah sejak awal percakapan ini semestinya juga tidak pernah terjadi? Konversasi yang tak disengaja ini lahir dari sebuah celetukan mengenai derasnya tirai air yang turun di luar sana, lalu, mengapa tiba-tiba melankolia mengambil kemudi arah perbincangan dua orang asing ini? Romy tiba-tiba menyesalkannya. Berpikir, apa sebetulnya poin yang berusaha disimpulkan dari pertukaran buah pemikiran antara dirinya dan seorang pria asing?
Seharusnya ini tetap mengenai hujan saja.
Jangan biarkan rindu itu kian menerjang dan menggerogoti sudut hati sampai mengilu. Buang saja rindu pada tempatnya, tapi, bukan di sini. Tidak saat ini. Pilunya bukan untuk dibagi. Tidak kepada seorang pria asing yang mengaku belum pernah tidak mendapatkan apa yang ingin ia dapatkan. Seseorang seperti itu mana mungkin akan paham, dan Romy pun tidak akan menuntutnya untuk sepaham.
“Tentu saja tidak. Kita bukanlah hujan, yang harus membiarkan tangisnya membanjiri muka bumi terlebih dulu untuk bisa mendapatkan pelangi yang ia mau.”
Romy berjalan mendekati pria itu. Tatapan manik obsidiannya ditujukan untuk kedua biner sang pria. Tak lama, bibirnya bergerak pelan membentuk sebuah kurva.
“Romy,” ia menggumam. “Romy Oktario,” menggumam dengan suara yang lebih terdengar pasti seraya menjabat tangan sang pria anonim.
“Arbi Satrio!”
Sebuah perkenalan diri singkat yang membuatnya menarik sedikit senyum di bibirnya ketika nama tersebut terlantun keluar dari bibirnya. Pria itu membalas dengan senyuman khasnya. Romy sangat senang bisa melihat lesung pipi itu. Sedekat ini. Bisa dirasakan olehnya tangan hangat sang pria ketika mereka berjabat tangan tadi. Rasa dingin yang sempat dirasakannya tadi, perlahan berganti dengan rasa hangat setelah perbincangan mereka tadi.
“Tinggal dimana?” Arbi bertanya.
“Tajur,” ucap Romy asal. Padahal dia sama sekali belum pernah ke daerah itu.
“Mau bareng? Saya tinggal di Lake Side, berarti kita searah kan,” Arbi menawarkan untuk pulang bersama.
“Hmm... gak usah, makasih. Saya masih pengen disini,” menolak secara halus tawaran Arbi tadi.
Romy bukannya tidak ingin bersama Arbi lebih lama lagi, hanya saja Romy takut kalau perkenalan mereka membuat Romy berharap banyak pada sosok Arbi. Siapa yang bisa menolak sosok semenarik Arbi. Setidaknya dari perbincangan singkat mereka, Romy bisa mengetahui kalau Arbi adalah orang yang cerdas. Dan Romy takut jatuh cinta pada pertemuan pertama yang tidak disengaja ini.
Ya! Perasaan ini tidak seharusnya tumbuh.
Manusia tidak seperti malaikat yang dengan mudah menjalankan seluruhnya sesuai firman Tuhan. Manusia memiliki hasrat serta hawa nafsu. Musuh terbesarnya. Seperti cerita Mitologi Yunani yang menceritakan kisah cinta Zeus kepada Ganymede, putra King Tros dari Troya. Sang penuang air pada akhirnya mati karena ketampanannya sendiri, karena hasratnya ingin agar ketampanannya abadi, karena hasratnya menjalin cinta dengan Zeus.
“Yasudah, saya akan temenin kamu disini, sampai kamu mau pulang,” dari nada bicaranya, tampaknya Arbi sungguh-sungguh.
“Kenapa begitu?” dia tergelitik untuk bertanya alasan pria itu menunggunya sampai mau pulang.
“Memangnya perlu alasan untuk berteman?” jawab Arbi.