It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
enggak.. karena ini sudah jadi konsumsi publik
Cerita/novelnya pun updatenya di salah satu web thai...
Bukan dalam bentuk buku.
“Hallo, khun Phun dan Khun Noh.” Bibi di rumah ini sudah tahu namaku walaupun aku kesini baru dua kali, bisakah kalian menyangkanya? Aku tersenyum dan mengangguk dengan hormat kepada wanita yang nampaknya seumuran dengan ibuku. Maksudku, mungkin mulutku mulut ''cablak'' dan selalu bicara kasar, tapi aku juga punya sopan santun! Percaya deh sama aku!
“Bi Noi, bisa tanyain Pak Nhan dimana motornya Noh?” Phun bertanya mengenai keberadaan alat transportasi belahan jiwaku saat Bi Noi mengambil tas sekolah Phun. Dia sudah mau beranjak dari situ namun menoleh kembali dan tersenyum ramah ketika mendengar pertanyaan Phun.
“Nhan sedang mencuci motornya. Aku sudah melarangnya karena dari siang tadi beliau mengeluh sakit punggung. Sekarang Nhan sudah agak baikan, jadi dia mulai mencucinya saat ini.” Siapa yang menyuruh Pak Nhan untuk mencuci motorku, Bi?! Ya tuhan! Rasanya aku jadi sebuah beban disini. Lihat aku, menyiksa orang yang sudah berumur!
“Dimana beliau sekarang?” Aku cepat-cepat bertanya kepadanya. Aku tidak ingin menambah masalah lagi bagi orang-orang yang ada di kediaman Phumipat. Apalagi saat aku melihat senyum Bibi yang ramah, aku makin merasa bersalah.
“Pak Nhan ada disamping garasi. Dia baru saja mulai mencuci, jadi Bibi pikir dia belum selesai. Nggak papa kan kalau menunggu dulu, khun Noh?” Baguslah kalau beliau barusan mulai! Aku melempar tasku ke Phun dan buru-buru berlari ke garasi saat itu juga.
“Pak Nhan! Nggak usah repot-re…!”
Syuur!
Udah terlambat. Motorku sekarang basah kuyup dari selang yang dipegang Pak Nhan. -_-“ Aku kesininya kurang cepat. -_-“
“Aduh maaf, khun Noh! Saya selesaikan dulu sekarang!”
“Gak papa, Pak! Harusnya saya cuci sendiri. Bapak harusnya istirahat saja. Ini sudah malam.” Aku menjawab sambil mencoba merebut selangnya tapi Pak Nhan malah berlari ke arah yang berbeda. Aku mencuri pandang jam tanganku, sudah lebih dari jam 8 malam. Aku bukan laki-laki sejati kalau tetap mengabaikan Bapak tua ini mencuci motorku malam-malam dengan kondisi angin dingin bertiup seperti ini.
“Bapak tidak bisa melihatmu mencuci motor, khun Noh. Ini memang sudah menjadi pekerjaan Bapak.” Pak Nhan berteriak dari seberang motorku ini.
“Ayolah pak. Aku gak bakal bilang siapa-siapa. Bapak harusnya istirahat saja. Aku sudah bisa mencuci sendiri.” Aku balik berteriak kepadanya.
“Tapi, khun Noh kan tamu disini…”
“Noh dan aku akan menyelesaikan nyucinya pak. Bapak harus istirahat.” Suara ketiga muncul dari belakangku. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Siapa lagi kalau bukan anak laki-laki tertua dirumah ini? Aku menoleh dan melihat Phun sedang tersenyum. Senyumannya itu bagai perintah yang tidak mungkin ditolak oleh Pak Noh.
“Kamu yakin, khun Phun?”
“Iya pak. Sudah tinggalkan semuanya disini. Noh dan Saya akan meneruskannya.” Phun berbicara sebelum ia mendekati pak Noh dan meraih selangnya. Dia menyaksikan bapak itu berjalan menjauh tempat itu, menuju ruangannya.
“Nih, ayo cuci bareng-bareng.” Dia menoleh dan memberitahuku sambil tersenyum tulus. Aku mengejeknya dengan menaikkan alisku.
“Tuan muda Phun, apakah tuan muda sanggup melakukan ini?”
“Aku sudah pernah melihat caranya, Noh.” Dia menyemprokan airnya kebadanku. Asem bener dia! Sekarang aku basah kuyup!
“Brengsek! Aku jadi basah kan sekarang!
“Itu kan bajuku, kenapa kamu pikirin?” Dia mengolokku. Tapi dia nggak salah juga. Ini memang seragamnya. Aku sedang memeriksa basahnya seragamku saat aku menyadari Phun sedang sibuk melepas bajunya sendiri. “Woi!”
“Kenapa segitu kagetnya sih? Kamu berharap aku mencuci sepeda motormu dengan seragam lengkapku, khun Noh?” Oh, jadi sekarang aku yang salah? Terserah, lepas aja kalau mau. Aku menggelengkan kepala sambil melepas bajuku juga, tapi tetap memakai baju dalamku. Rasanya aneh kalau berjalan setengah telanjang di garasi orang lain. Aku bukan pemilik rumah ini. Phun hanya pakai seragam celana birunya saja sekarang.
“Siap-siap!”
Phun berteriak sambil menyemprotkan air ke seluruh bagian motorku. (Aku agak sedikit khawatir kalau dia merusak motorku.) Dia tidak lupa untuk menyemprot badanku juga. (Aku bukan motor!) Tapi jangan kira aku menyerah, karena sekarang aku juga memegang selang. Ahaha.
Suasananya menyenangkan saat mencuci motor, walaupun sudah gelap dan banyak nyamuk. (Banyak banget). Phun menggunakan sikat gigi bekasnya untuk menggosok pipa-pipa saat aku menuangkan shampo ke seluruh badan sepeda motor. (dan kadang juga sedikit menaruh shamponya ke badan Phun). Sekarang aku berpikir kalau aku gak salah kalau menduga Phun berasal dari keluarga yang super kaya. (Tampak dari, rumahnya yang sungguh besar dan jumlah pegawainya. Belum lagi kencan yang diatur oleh orang tuanya, semuanya benar-benar mirip dengan alur cerita film 20 tahun yang lalu.) Tapi bukannya dia terjebak dengan keadaan atau gimana. Dia mau bekerja keras (menjadi buruh) dan membantuku menggosok pipa-pipa itu. Hasil kerjanya baik juga. Aku terus menuangkan shampo ke arahnya. Aku sadar ternyata cowok ini bisa diandalkan.
Tapi sayangnya kenapa dia selalu menggodaku!
“Woi! Kamu nyuci motornya atau nyuci aku sih!? Brengsek!” Jangan terkejut. Makin banyak kami bicara, makin dekat hubungan kita. Kata-kata kotor terus-terusan keluar dari mulut kami. Masa aku tidak boleh membalas caci makinya? Nampaknya 80% waktu yang telah kami lewatkan, dia hanya berusaha mencuci tubuhku, bukan motorku. Memang brengsek dia. Tadi aku pakai baju dalam, tapi sekarang rasanya aku tidak memakai apa-apa. Aku bisa merasakan dinginnya udara sampai ke usus-ususku.
“Aku merasa kesal karena kamu masih pakai baju.” Trus aku harus memberikan darahku ke nyamuk-nyamuk ini? Ini kan darah, darahku!
Aku mencipratinya dengan shampo lagi. “Ayo kamu harus cepat selesaikan mandimu, jadi nanti bulu-bulumu bisa aku rapiin.” Sekarang seluruh badannya tertutup busa. Aku melihat ekspresi mukanya, membuatku tertawa terbahak-bahak.
“Anjir! Aku bisa gatal-gatal nanti!”
“Itu masalahmu!” Aku membalas teriakannya sembari mencoba untuk menghindari spons yang dia lempar kearahku. Tapi terlambat, aku tidak sempat menghindarinya. Sekarang kami berdua sama-sama berlumuran busa dari shampo cuci mobil ini.
Kalau satu kena, yang lain harus kena juga.
Nampaknya dia belum mau menyerah. Dia mengejarku dan mencoba melepas kausku. Aku tidak tahu kalau phun ini orangnya kompetitif. Lucu juga. Tapi dia tak mungkin mampu menangkap dan melepas bajuku! Tidak untuk saat ini! =p Aku melompat keluar dari jangkauannya.
Kita berlari mengitari motor ini, kami masih lanjut mengejar satu sama lain. Dia belum berhasil menangkapku memang. =p Tapi lantai garasi ini licin karena air, belum lagi sabunnya dan siapa-didunia-ini yang tahu ada zat apa lagi disitu. Ditambah lagi, aku menginjak spons yang Phun lemparkan tadi (yang dimana tidak berhasil aku hindari), dan aku terpeleset.
“AHHHHHHH!” Aku berteriak keras, dan mempersiapkan tubuhku untuk sebuah benturan yang pasti menyakitkan. Gimana nanti kalau tulang belakangku retak dan aku harus menginap lagi malam ini disini? (Itu lebih menakutkan dari pada harus menginap di rumah sakit.)
“Aw!” Tapi orang yang berteriak kesakitan bukan aku. Mataku masih kututup, tapi aku sadar, aku sama sekali tidak merasa sakit.
“Woi! Kenapa kamu bertingkah seperti seorang ksatria?! Apa itu nggak sakit?!” Aku sadar pemilik rumah ini berperan sebagai bantalan saat aku jatuh. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain memarahinya. Dia nggak harus menjadi ksatriaku yang memakai baju zirah. Aku berani bertaruh kalau kamu luar biasa kesaikat saat ini, dasar khun Phun idiot!
“Siapa yang bilang kalau aku menyelamatkanmu!? Kamu itu yang menimpaku!” Oh, benarkah? Oops, maaf. Mukaku menunjukkan betapa malunya aku sembari berusaha berdiri lagi. (Aku benar-benar basah kuyup, kalau kalaian bisa memerasku, pasti airnya bakalan memenuhi ember besar.) Aku pikir dia belum sadar kalau dia masih memeluk pinggangku karena reflek.
Tapi kalian tahu apa yang lebih tidak bisa diduga?
Seseorang datang datang pas diwaktu yang tepat.
P’Phun? P’Noh…?
***
Raungan motor tuaku (yang barusan dicuci bersih) mengisi jalanan gelap ini sebelum berhenti didepan rumahku. Wah, ngeremnya manis sekali, tukang ojekku!
“Jadi yang ini?” Dia bertanya kepadaku setelah dia memarkirkan motor didepan pagar biru ini. Ini pertama kalinya dia berada disini, ya, memang tidak sebesar rumahnya yang mirip istana itu. Maaf ya.
“Iya, yang ini. Maaf ya kalau nggak terlalu mewah, hahaha.” Aku memutuskan untuk sedikit sarkastik sebelum turun dari boncengan sepeda motorku. Phun menyetir motorku dari rumahnya, atas perintah Pang. Kalau nggak gitu, Pang pasti melarang untuk pulang kerumahku. Mungkin nanti aku akan menginap lagi dengan Phun. Kegilaan ini! Kalaupun seandainya aku menginap lagi disana, mungkin aku harus tetap pulang dulu untuk meminta restu atas pernikahaan kami. Aku juga akan berfoto bersama Ibu dan ayahku untuk kenang-kenangan, asal kalian tau! (Aku memanggil mereka Ma dan Pa.)
Kalian pasti penasaran apa yang terjadi setelah Phun dan aku jatuh saling menindih satu sama lain karena spons sialan itu, tadi saat mencuci motor. Tidak terlalu sulit lah untuk dibayangkan, nong Pang, penggemar yaoi yang juga adik perempuannya Phun, melihat kami dalam keadaan seperti itu. (Waktunya bisa pas banget!) Aku ragu itu hal yang baik atau buruk. Tapi aku rasa kejadian itu adalah hal yang baik bagi Phun tapi benar-benar mengerikan bagiku, anjir! Akhirnya, kami hanya menatap mata satu sama lain saat Pang melempar handuknya dan lari terbirit-birit (dengan bahagia).
Kejadiannya sungguh konyol sekali. Phun dan aku tertawa terguling-guling di lantai garasi (setelah aku berguling sambil menyingkir dari tubuh Phun!) Pada dasarnya kami menyumbangkan tubuh kami untuk digunakan sebagai kain lap dan menyeka lantai garasi dengan punggung kami.
Aku melihat langit malam (malam itu tidak terlalu banyak bintang) dari lantai (yang kotor). Langitnya indah dan entah kenapa aku merasa tenang sekali.
“Apa yang kamu bicarakan? Aku pikir rumahmu benar-benar menawan.” Dia menjawab dan menyadarkanku dari lamunan. (Aku hampir lupa tadi kami berbicara mengenai apa.) Dia membantu mendorong motorku masuk kedalam rumah setelah aku membuka gerbangku. Kemudian aku menutup pagar besar dan membuka pintu kecil di pagar itu agar dia bisa keluar.
“Oke, hati hati dijalan. Aku gak akan mengantarmu lagi.” Karena konyol kalau kita melakukannya. Akhirnya kami bersiap-siap untuk berpisah untuk pulang kerumah masing-masing. Dia tertawa sebelum mengayunkan tangan kearahku dan pergi dari sini.
“Oh iya, untuk uang untuk klubmu.” Dia berbicara tentang hal yang langsung menarik semua perhatianku. O.O
“Aku masih berusaha, tunggu sebentar lagi ya. Tapi aku janji, kamu bakal dapat gantinya.” Aku senang mendengar hal itu ^____^
Aku mengangguk dan membalas senyumnya. Dia melambaikan sebelum dia naik ojek yang kebetulan lewat disitu. Hari ini bener-bener kacau, tapi juga menyenangkan.
Bisa akrab dengan Phun itu rasanya nyaman.
Aku bangun tidur dengan bercak merah berada lenganku.
Aku berani taruhan kalau penyebabnya adalah sabun cuci motor semalam. Dasar cowok jahanam, dia terus-terusan menuangkan sabun itu ke tubuhku. Si bodoh Phun. Kulitku yang aslinya putih-cerah sekarang dipenuhi dengan bercak-bercak berwarna merah. Aku tidak ganteng lagi sekarang.
Cuma bercanda! Bercaknya cuma sedikit. =p Nggak ada efeknya bagiku. Dan itu juga tidak cukup untuk merusak ketampananku, haha! Tunggu, siapa tadi yang memanggilku sombong? Jaga omonganmu!
Omong-omong mengenai Phun, aku jadi ingat kalau jam tanganku ketinggalan dirumahnya. (Aku melepasnya kemarin sebelum mulai mencuci motor. Aku tak ingin Diesel1-ku terpapar air.) Lebih baik aku meneleponnya dan menyuruhnya untuk sekalian bawa ke sekolah. Aku bisa mendadak mati kalau kehilangan jam itu, kakekku membelikannya dari Australia.
Aku mengeluarkan HP dan meneleponnya langsung.
Aku harus mencoba dua kali sebelum akhirnya dia mengangkat panggilan ini. Aku pikir dia sudah berangkat ke sekolah sampai-sampai tidak mendengar teleponnya berdering. Tapi akhirnya dia mengangkat!
“Hey, ada apa, Noh?” Ishh, suaranya parau gitu. Kayak belum benar-benar bangun tidur. Bikin kesal saja. Jangan bilang dia dia masih tidur! Ini sudah jam 7 lewat!
“Lhoh, kamu nggak berangkat sekolah? Kok masih tidur?” Aku memarahinnya lewat telepon, tapi dia membalasnya hanya dengan menguap.
“Iya, aku nggak berangkat. Ada sesuatu yang kamu butuhkan?” Eh?!
“Iya, jam tanganku ketinggalan dirumahmu.”
“Oh iya. Jamnya sudah kusimpankan. Kalau ku bawakan besok gimana? Aku kayaknya tidak berangkat sekolah hari ini.”
“Ya. Gapapa. Tapi kenapa kamu harus membolos?” Nampaknya aku cerewet tapi aku tidak bisa menahan diri untuk mengajukan pertanyaan itu. Dia sekretaris OSIS dan siswa terhormat juga, trus kenapa seenaknya bolos sekolah seperti itu? Apalagi acara kompetisi sepak bola yang super kacau itu sudah dekat. Aku tidak bisa percaya ini.
Nampaknya dia ragu-ragu menjawabnya (atau cuma bayanganku saja ya?). Dia akhirnya menemukan kata-kata yang tepat. “Badanku sedang tidak enak. Ngobrolnya nanti lagi bisa nggak? Aku masih mengantuk.”
“Oke, oke.” Aku menutup telepon, tapi kata-katanya masih mengganggu pikiranku.
Jadi dia sedang tidak sehat?
***
Iphoneku menunjukkan pukul 8 pagi. Aku berada di depan rumah besar itu. Ini hari ketiga aku datang ke rumah ini berturut-turut. Apakah sekarang aku fans-yang-rela-mati terhadap rumah ini atau gimana ya? -_-“
Jadi apa yang harus aku lakukan? Haruskan aku menekan belnya? Aku masih berpikir sambil mondar-mandir di depan gerbang yang berwarna perak kekuningan. Apa yang harus ku lakukan? Sudah jam 8 lewat sekarang. Aku hanya ingin tahu apa yang salah dengan dirinya dan kenapa dia berniat untuk membolos sekolah. Kalau tidak sesuai dengan dugaanku, aku akan langsung pergi ke sekolah. Tapi emang sebenernya apa sih dugaanku…?
Argh! Yang pasti aku harus mencari tahu!
“Oh, khun Noh! Apa kamu datang kesini untuk menjenguk khun Phun?” Keberuntungan berada pada pihakku pagi ini. Bi Noi kebetulan sedang berada di dekat sini. Dengan gembira aku mendekati pagar itu. “Iya, Phun kenapa ya Bi?”
“Badannya sedang tidak sehat. Kenapa nggak masuk dulu, khun Noh?” Wanita tua itu membukakanku pintu yang lebih kecil. Aku menyapanya dengan hormat sebelum masuk ke dalam rumah.
“Jadi dia sakit apa, Bi?” Aku tak sadar melemparkan pertanyaan itu tanpa jeda. Dia hanya memberikan senyum ramah tanpa menjawab pertanyaanku.
Ja… Jangan bilang kalau Bibi dan Pang punya ide yang sama, Bi. -_-“
“Langsung saja naik dan lihat sendiri, khun Noh. Dia sedang tidur dikamarnya.” Ah biarin, terserah mereka mau berpikir seperti apa (Aku sudah terbiasa). Aku menunduk kecil kepadanya sebelum berjalan masuk kedalam rumah yang sudah mulai familiar di benakku.
Lantai di Lorong lantai dua sungguh mengkilat karena barusan dipoles. Patung kayu itu berada didekat kamarnya Phun. Aku berjalan lurus kedepan pintu dan berpikir.
Apa aku langsung masuk aja ya! Udah sampai disini juga. Aku memutar gagang pintu dan masuk kedalam. Kamu mengira aku bakal mengetuk dulu? Jangan harap.
“Woi, Phun!” Aku berbicara dengan keras, tanpa pertimbangan (dan tanpa sopan santun). Tapi aku terdiam langsung ketika menyaksikan manusia yang barusan aku panggil itu tidur dengan nyenyak di kasurnya.
Waah, seluruh tubuhnya berwarna merah kayak kepiting rebus (Aku lapar). Jadi dugaanku benar.
Aku menaruh tas sekolah di dekat pintu dan buru-buru masuk untuk memeriksanya.
Kulit phun biasanya putih cerah agak kekuningan. Tapi sekarang warnanya merah muda, sama seperti orang yang mendapat alergi. Bercaknya mirip dengan yang ada ditanganku waktu aku bangun tidur pagi ini. Tapi, di tubuh Phun, bercak itu tidak cuma ditangan saja, melainkan diseluruh tubuh. Nampaknya cukup menakutkan dan menyakitkan.
Sudah jelas ini salah siapa. Aku membuat keputusan yang tepat untuk mampir kesini sebelum ke sekolah.
Karena kalau aku tahu mengenai hal ini bukan saat ini, mungkin aku akan membenci diriku sendiri.
“Kulitmu sungguh sensitif, tapi kamu memaksakan diri untuk mainan sabun.” Aku mengeluh ke diri sendiri sembari duduk di pinggir kasur Phun. Aku melirik dan melihat obat alergi dan sebotol air putih. Aku rasa dia sudah minum obatnya. Mendingan lah dari pada tidak sama sekali.
“Kamu itu yang menuang sabun ke tubuhku.”
Oh, jadi dia nggak tidur?! Si brengsek ini sungguh licik.
“Kamu ternyata nggak tidur? Kenapa kamu pura-pura kayak orang mati dah?” Aku mengomelinya sambil mengangkat tangan berniat untuk memukulnya. Tapi aku merasa bersalah sehingga kuurungkan niatku. Pasien yang berwarna merah muda ini masih punya tenaga sisa untuk membalasku dengan senyuman.
“Wah, senangnya aku ada yang menjenguk.” Lucu sekali.
“Nggak… Aku kesini cuma mau mengambil jam tanganku.” Dia tertawa mendengar alasan bodohku. Terserahlah, aku membiarkannya kali ini. “Jadi, kamu udah minum obat belum?” Secara samar aku bertanya tentang keadaannya.
“Jam tanganmu ada disana, kamu harusnya berangkat sekolah sekarang.” Dia sakit, tapi masih sok pintar menyuruhku berangkat sekolah. Dasar Phun!
Aku menyipitkan mata dan menatapnya. Aku terus meyakinkan diriku agar tidak melukai orang yang sedang sakit, kemudian aku berdiri dan berjalan untuk mengambil jam tanganku di meja. Bukannya pergi kesekolah, aku malah duduk di sofa panjang di kamarnya. “Nggak ah, aku lagi nggak pengin sekolah. Aku main disini aja.”
Aku bisa mendengar cekikikannya. Benar-benar membuatku kesal. Kamu tahu kan, aku gak bakalan disni dan tinggal disini kalau kenyataannya kamu sakit gara-gara aku.
“Jadi rasanya gimana? Bagian mana yang sakit?” Aku berhenti basa-basi dan bertanya bagaimana keadaannya. Pesakitan itu menggumamkan sesuatu yang tidak jelas dengan mata tertutup.
“Cuma gatal-gatal aja. Gimana lenganmu?” Oh dia tahu tentang bercak merah dilenganku? Aku mengamatinya sejenak dan menggosoknya.
“Gapapa, gatal-gatalnya2 sedikit kok.”
“P’Ken bakal menghabisimu kalau kamu melakukan itu, Aku dengar dia lumayan posesif terhadap pasangannya.2” Dasar si brengsek ini.
“Pantatmu itu.” Aku selalu berbicara dalam hati kalau mau mengolok seseorang.
“Haha, nih pakai ini. Lumayan membantu.” Phun melambaikan jarinya sambil menunjuk daerah disamping tempat tidurnya dengan tetap terpejam. Aku mengikuti arah jarinya menunjuk dan melihat ada sebotol obat alergi, kemudian aku berdiri dan mengambilnya untuk ditaruh ke lenganku.
“Kamu sudah pakai ini juga belum?”
“Belum. Aku terlalu malas.
“Terus gimana caranya kamu bisa baikan?! Cepet pakai gih!” Dia menyuruh-nyuruh orang lain, tapi dirinya sendiri belum memakai. Aku berdiri disana dan menyaksikan dirinya sambil memasang ekspresi jengkel di wajahku.
Phun merenggangkan badannya sekali dua kali sebelum dia berhasil duduk dikasurnya. Biasanya wajahnya cukup tampan kalau dia sedang tenang, tapi sekarang dia nampak suram. “Aku bisa minta tolong oleskan? Aku terlalu malas.” Udah aku duga. Bukannya orang-orang bilang dia ini siswa teladan dan pekerja keras dan segala kebaikannya? Aku tantang orang yang mengatakan itu untuk melihatnya sekarang. Bohong, semuanya hanyalah kebohongan.
“Iya iya. Lepas bajumu.” Aku memberinya perintah sambil duduk ditepi kasur dengan obat ditanganku. Aku menunggunya membuka baju dan tersingkaplah semua bercak-bercak merah di seluruh tubuhnya. “Wah, banyak sekali.”
“Iya, nanti siang aku bakalan demam.” Kamu bisa melihat masa depan? Aku rasa hal semacam ini sudah sering terjadi.
Aku menekan kemasan obat itu, dan kutaruh isinya ditelapak tanganku. Aku mengamatinya sejenak sebelum memutuskan untuk nekat mengoleskan obat itu diseluruh punggungnya. Aku bisa merasakan tonjolan-tonjolan kecil yang kasat mata. “Kayaknya obat ini akan habis sekali pakai karena punggungmu luas sekali.” Aku menggodanya karena sepertinya dari tadi aku tidak tahu kapan bisa selesai mengoleskan obat ini dipunggungnya. Si brengsek ini kayaknya kurus, tapi bahunya itu sangat lebar sekali.
Phun tertawa karena godaanku sebelum dia berbalik menghadapku setelah punggungya selesai diolesi. “Capek?” Si pemalas ini punya nyali untuk bertanya kepadaku.
“Iya! Aku capek! Untuk bagian depan kamu bisa melakukan sendiri. Aku gak mau kamu nanti jadi bergairah atau gimana.” Aku ngomong begini hanya sebagai bahan lelucon tapi Phun menatapku dengan maksud tersembunyi.”
“Aku sudah bergairah nih.”
“Dih brengsek, yaudah sana selesaikan sendiri.” Ugh! Aku melempar kemasan obat itu ke tubuhnya. Aku bisa mendengar tawanya.
“Aku cuma bercanda! Cepetan diselesaiin, aku sudah kedinginan.”
“Terus kenapa kamu menghidupkan AC dengan kencang? Pikiranmu udah nggak waras atau gimana?” Memang aku mengeluh, tapi aku sudah menaruh obat alergi itu di telapak tanganku seperti yang ia minta.
Ruangannya senyap, hanya ada suara AC yang mengisi ruangan itu.
Aku tidak tahu harus ngobrol tentang apa dengannya. Dia juga tidak berniat untuk mengajakku ngobrol. Semuanya hanya membuat keadaan makin kaku. Aku mengakui, tanganku mulai gemetaran ketika secara tidak sengaja mata kami bertemu sebelum ujung jariku menyentuh dadanya.
Anjer, kenapa aku grogi gini ya? Kami sama-sama cowok. Dan dia juga nggak punya payudara kayak film yang udah diunduh sama Om untukku.
Aku mencoba menghitung satu sampai sepuluh di dalam pikiranku sambil mengoleskan obat di dadanya yang bidang itu. Tidak bisa disangkal kalau warna kulitnya agak sedikit gelap. Dia kurus, tapi tidak terlalu kering. Otot-ototnya juga tidak terlalu berisi, tapi juga tidak terlalu kecil juga. Kalau tubuhnya tidak ada bercak merah seperti ini, aku yakin semua gadis-gadis pasti menginginkan pemandangan semacam ini.
Aku terus mengoleskan obatnya karena aku khawatir lapisannya terlalu tipis, sehingga obatnya kurang manjur. Telapak tanganku bergerak dari bahu ke perut, kemudian sampai di dadanya.
Saat menggosok dadanya, aku bisa merasakan sesuatu bergerak dengan liar di baliknya.
Jantungnya berdetak sangat kencang, seolah-olah pemiliknya sedang grogi menghadapi sesuatu.
Hal itu membuatku mengrenyit dan menghentikan gerakan tanganku tepat diatas posisi yang seharusnya menjadi tempat jantung. Aku mendongak untuk melihat wajahnya, tapi dia berpura-pura melihat ke arah lain. “Apa? Sentuhan-sentuhan ini bikin jantungmu berdegup kencang ya?” Hahaha.
“Aku bakal mati dong kalau jantungku tidak berdetak.”Lihatlah dia, dia masih punya keberanian untuk berdebat denganku. Dia kelihatan lucu kalau sedang malu.
Aku menyeringai sebelum menyelesaikan ini. Kemudian aku memuntir putingnya karena aku ingin menghabisinya. “Aw! Apa-apaan itu?!”
“Aku gak bisa menahannya, sekarang sana tidur. Pakai bajumu lagi agar tidak demam. Aku masih butuh seseorang yang menolongku menangani masalah keuangan klubku.” Aku membantunya memakai baju kembali dan aku melihat dia ingin sekali memukul kepalaku dengan tangannya. Aku hanya bisa tertawa cekikikan.
“Aku mau tidur. Anggap rumah sndiri. Kalau mau main, hidupin konsolnya. Kalau mau makan, turun dan ambil apa aja di dibawah. Santai saja.” Dia memberitahu itu sebelum ia membungkus dirinya dengan selimut seperti anak kecil. Aku menyingkir dari tempat tidurnya dan mengangguk.
“Nanti siang aku bakal deman, Aku minta tolong rawat aku ya?” Dia menggumam dibawah selimut elektroniknya itu.
“Ya.”
Rasanya menyenangkan ya kalau punya seseorang yang bisa dipercaya, iya kan?
Catatan Kaki
1 - Mungkin merek jam tangan.
2 - KL notes : Ini permainan kata-kata dalam bahasa thailand. Noh bicara ke Phun kalau dia gatal-gatal (Khan Noi). Makanya Phun membuat lelucon mengenai artis yang bernama Noi Busakorn yang sudah menikah dengan Ken Theeradej.
Boom!
Efek suara bergema dari speaker milik Phun. Rasanya semacam terhina karena kalah dari game ini. Dilayar tertulis kalimat ‘game over.’ Berkali-kali aku melempar stick sebagai pelampiasan rasa frustas.
Xbox goblok. Kamu gak asik kalau diajak bermain. AI1-nya curang. Aku berpikir (untuk menyalahkan segalanya) sambil tiduran di karpet, aku kehabisan ide tetang apa yang bisa aku lakukan selanjutnya.
Siapakah yang bisa selalu baik setiap saat? Aku bukanlah karakter yang dirimu lihat di layar TV.
Ini siapa lagi yang menelepon ku? Aku menatap Hpku yang berdering dan bergetar di dalam tas yang kutaruh di sofa. Sebagian dari diriku merasa malas dan tak ingin menjawab itu, tapi disisi lain aku takut kalau suaranya mengganggu pemilik kamar ini. Nanti dia terbangun.
Jadi aku cepat-cepat meloncat dan mengambil HPku.
“Apa, brengsek?” Itu Om.
“Kenapa kamu gak berangkat sekolah hari ini?! Aku dihukum sama bruder, sekarang aku harus memunguti sampah di kantor guru tiap sore.” Suara Om meraung-raung, Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain tertawa. “Kok kamu bisa kena hukuman seperti itu?”
“Aku sedang ngobrol Dengan Mong, pakai gaya chatting-kertas2.”
“Terus, kok kamu bisa ketahuan?”
“Kalau di estafet, sampainya terlalu lama, jadi aku lempar saja kertasnya. Tapi pas banget Bruder menoleh dan melihatku.” Geblek. Makan tuh hukuman.
“Kau pikir aku bodoh, kan? Dasar lubang pantat.” Apa-apan dia? Kenapa dia harus menghinaku?
“Jadi kamu sekarang dimana? Kalau kamu nggak disini, siapa yang mau membantuku memunguti sampah?” Jadi pada dasarnya dia nggak khawatir terhadapku. Dia cuma ingin seseorang membantu dirinya. Teman yang luar biasa.
“Aku lagi ada perlu.”
“Keperluan apa? Atau kamu masih bersama Yuri dari kemarin?” Otaknya Om selalu berpikir hal yang palng jorok. Kalau dia disini, sudah kupukul kepalanya.
“Lubang pantat.” Kata itu adalah yang paling sopan digunakan untuknya.
Tapi sebelum Om sempat menjawab, ada ocehan-ocehan lirih dari Phun. “Dingin… dingin… dingin…”
“Lho, kamu lagi sama siapa?” Gila, nggak cuma menyalak seperti anjing, pendengarannya pun sama bagusnya. Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan semua ini. “Aku harus pergi dulu.”
“Dingin… dingin…” Suara Phun makin bergetar.
“Woi, kamu sedang bersama siapa?”
“Sampai ketemu hari senin nanti.” Aku memotongnya dan segera menutup telepon. Aku bergegas meraih remote AC dan menaikkan suhunya menjadi 30 derajat celsius. Bakalan panas nih nanti.
Aku memperhatikan angkanya yang sudah berganti dan aku bisa merasakah kalau udaranya sedikit lebih hangat. Aku melepas seragamku dan melemparnya ke sofa sebelum aku menghampiri Phun dan memeriksa keadaannya yang sedang bergulung dikasur.
Nampaknya dia benar-benar kedinginan. Dia berusaha meraih apapun yang bisa membuatnya hangat. Bibir dan seluruh tubuhnya mengigil kedinginan.
Walaupun aku gagal dalam pelajaran tentang kesehatan, aku tahu kalau ini merupakan tanda-tanda demam. Aku mulai panik karena aku tidak pernah merawat orang yang sakit seperti ini sebelumnya. Hal pertama yang aku coba lakukan adalah menaruh tanganku di dahinya untuk memeriksa suhu. Panasnya kayak seterika!
Yakin nih kamu nggak mau periksa ke dokter?!
Aku makin panik sekarang. Aku mondar mandir cukup lama sebelum aku mendapat ide untuk minta tolong seseorang memeriksanya. Saat aku akan berjalan ke arah pintu, seluruh tubuhku ditarik olehnya.
“Woi!” Aku berusaha memberontak saat lengan yang hangat ini mengelilingiku dan merasa terkejut disaat yang sama. Si brengsek Phun ini menarikku dan menyanderaku sekarang. Memelukku sangat erat. Aku mencoba untuk melawan dari pelukannya, tapi si brengsek ini tidak mau melepaskannya. Bukannya dia sakit? Kenapa di sekarang memelukku bagai ular anaconda?
“Brengsek Phun! Lepasin gak!” Aku mencoba membebaskan diri karena aku tidak terbiasa dengan keadaan ini, aku juga ingin minta tolong seseorang untuk mencari bantuan. Dahiku bertemu dengan lehernya, keributan yang aku buat sama sekali tidak ada gemanya. Dia benar-benar tidak sadar tentang apa yang terjadi dan malah memelukku makin erat.
“Dingin… dingin…” Aku masih bisa mendengar suara paraunya yang meracau terus-terusan. Aku akhirnya menyerah.
Aku mendongak, (dengan usaha yang luarbiasa) dan mengamati wajah Phun yang putih. Bercak-bercak merahnya sudah agak mendingan dari pada tadi, dan sekarang berganti menjadi muka yang pucat. Aku mengamati alisnya yang mengrenyit dan matanya yang tertutup rapat. Dia jelas menderita. Biasanya mata Phun selalu memancarkan keceriaan dan kebahagian, tapi sekarang sungguh menyedihkan. Bibirnya biasanya merah merona seperti gadis-gadis yang mengenakan riasan. Tapi sekarang, dia terlihat sangat lemah dan sungguh bukan dirinya yang asli lagi.
Aku tidak suka semua ini. Aku harus membuatnya mampu berdiri dengan kakinya sendiri dan bercanda lagi dengannya.
Ketika aku menyadari ini, aku memutuskan untuk pasrah dan membiarkan badanku menindih dadanya yang bidang dan membiarkan pemiliknya memelukku. Dia masih meracau karena kedinginan. Aku harap hal ini bisa membantunya, walau tidak terlalu berdampak juga.
Aku tidak tahu apakah ini hanya imajinasiku saja, tapi nampaknya sekarang dia lebih tenang. Ototnya tidak lagi kaku dan suhu tubuhnya sudah kembali normal.
***
I could be brown, I could be blue, I could be violet sky.
Nada dering yang tidak familiar memecah kesunyian. Itu penyebabnya aku terbangun dan menemukan Phun dan aku memeluk satu sama lain, seolah-olah kami adalah satu orang. -_-“ Yang lebih penting, wajahku masih menghadap ke tubuhnya. (Rasanya nyeri.)
Apakah biasanya orang-orang bertindak sejauh ini kalau merawat orang sakit demam? (Nggak juga.)
I could be brown, I could be blue, I could be violet sky.
Mr. Mika masih terus menyanyi dari HP milik Phun. Walaupun aku suka lagunya, aku perlu membangunkan pemiliknya untuk mengangkatnya. Aku menggoyangnya secara brutal karena satu, suaranya sangat keras dan mengganggu, dan kedua, aku ingin dia segera melepas pelukannya!
Phun terperanjat ketika aku menggoyangkan tubuhnya. Dia terbangun dan melihat kondisinya kami berdua dan dia makin terperanjat. “Woi!”
“Eits. Kamu yang melakukan semua ini kepadaku.” Dia ketakutan seolah-olah akulah yang memaksa diri untuk memeluknya. Aku bilang kepadanya saat berusaha melihat matanya. Dagunya bersentuhan dengan hidungku.
“Ap-apa yang telah kulakukan kepadamu?” Sadarlah kau! Dia sangat terkejut dengan semua ini. Dia bahkan tidak sadar apa yang telah ia lakukan. -_-“ Aku capek menanggapinya.. -_-“
“Nggak ada apa-apa. Suhu tubuhmu mendadak naik dan kamu terus-terusan meracau kalau kamu kedinginan. Aku berusaha memeriksa suhu badanmu dan nampaknya kamu menganggapku sebagai guling pemanas dan tiba-tiba menarik dan memelukku. Akhirnya jadi kayak gini deh.” Aku menjelaskannya bagian per bagian. Dia akhirnya paham dan mengangguk-angguk. Mukanya sudah tidak terlalu pucat seperti tadi lagi. Aku ikut senang untuknya, tapi…
“Kalau udah paham kejadiannya, sekarang lepasin pelukanmu lah.”
“Oh iya, maaf, maaf.” Dia mendorongku seketika itu juga. Baguslah. Aku berhasil menjauh dari tubuhnya dan duduk di tepi kasur. Aku menggoyangkan kepalaku kekanan dan kekiri karena dari tadi aku tidur dengan posisi yang tidak biasa. Badanmu rasanya nyeri kalau kalau tidur diatas badan seseorang, sumpah.
Why don’t you like me? Why don’t you like me? Why don’t you walk out the door?
Di detik ini, Mr. Mika sudah menyanyikan seluruh lagunya. Aku tidak ingin Mr.Mika kecapekan menyanyi jadi aku melihat hape Nokia warna hitam dimeja itu, dan kemudian aku melihat kembali ke arah Phun. “Kamu nggak mau menjawab itu?”
“Bisakah aku minta tolong lihatin siapa yang meneleponku?” Oh, dia menyuruhku melakukan sesuatu lagi? Tapi tanpa banyak bicara aku berjalan dan meraih telepon itu. Biarlah hari ini semuanya suka-suka dia.
Aku melihat foto sepasang cowok-cewek bercahaya di layar Nokia N81. “Aim…” Ku baca tulisan yang terpampang di layar itu.
“Oh, sini aku angkat.” Phun membuat gestur secara sungkan untuk menyuruhku membawakan HP itu. Jelaslah, pacarmu yang menelepon. Aku cepat cepat menghampiri Phun dan memberikan HPnya karena aku tidak ingin orang yang menelepon itu marah-marah.
“Hallo? Hei. Aku dirumah. Eh? Ada apa? Oh, Aku minta maaf. Bisa besok aja nggak? Aku sedang merasa tidak enak dan aku ingin istirahat dulu. Maaf ya.”
“Kok kamu gitu sih?! Kamu kan udah janji mau pergi bersamaku hari ini!” O_o?! Tadinya aku penasaran kenapa Aim menelepon dan semuanya terjawab ketika aku mendengar suara nyaring dari telepon itu. Orang disebelahku ini menjauhkan telepon dari telinganya. Phun meluruskan tangannya dan tersenyum masam kepadaku saat dia melihat aku nampak terkejut.
“Tapi… Iya… Pasti. Aku akan menjemputmu setelah kamu pulang sekolah. Sampai bertemu nanti.”
“Jangan bilang kamu akan pergi kencan.” Apa si brengsek ini nggak sadar kalau dia masih sakit?
“Bukan kencan kok, Aim cuma ingin beli beberapa sepatu.” Dia menjawabku dengan tempo lambat sembari menaruh HP di dekat bantalnya. Dengan cepat kuraih HP itu dan kukembalikan ke tempat aslinya, karena aku tahu, HP kalau ditaruh di dekat bantal itu tidak baik untuk kesehatan.
Keluar dari rumah dalam keadaan sakit itu juga tidak baik untuk kesehatan.
“Itu mah sama aja. Kamu yakin mau nekat pergi dengan kondisi semacam ini?” Aku bertanya kepadanya, benar-benar merasa jengkel dan putus asa. Phun cuma menaruh tangan di dahinya dan perlahan menutup matanya.
“Aku sudah baikan sekarang. Ditambah lagi, aku sudah terlanjur janji kepada Aim aku akan pergi.”
Kami mungkin sudah akrab sekarang, tapi aku tidak berada di posisi untuk berhak mencampuri urusan pribadi.
Tidak ada lagi yang ingin kusampaikan jadi aku membiarkannya tidur. Kepalaku sekarang berisi banyak pemikiran-pemikiran.
Catatan Kaki:
1 - AI, artificial Intelegence, kalau istilah indonesianya tanding sama komputer gitu
2 - chatting-gaya-kertas (Bahasa Inggrisnya MSN Paper Style) metode ngobrol dengan teman sekelas semacam chating mirip aplikasi chating, tapi menggunakan kertas sebagai medianya.
KL Notes : (Dalam Bahasa Thailand) Phun menggunakan cara bicara yang sopan saat melakukan sesuatu terhadap Noh. It was kind of adorable.
Hidupku serasa siaran ulang acara televisi dengan episode yang sama, karena aku kembali lagi tempat ini, padahal baru kemarin aku disini.
Banyak anak sekolah dan karyawan yang kantornya didekat sini, berjalan-jalan disekitar Siam Square, tempat paling trendi dan tersibuk di kota Bangkok. Jujur saja, hal paling aku benci setelah ular sebenarnya adalah berjalan kaki disekitar Siam Square karena keadaannya sungguh semrawut.
Dan yakin, kalau bukan karena sekarang ada yang sangat penting aku tidak bakalan mau datang kesini. Tapi bagaimanapun, aku sudah melambaikan salam perpisahan ke Phun sekitar setengah jam yang lalu dan sampai sekarang aku mengikutinya diam-diam.
Aku terus menggerutu dalam hati selama mengikuti dan mengawasi Phun kemanapun dia pergi. Aku tidak terlalu jauh darinya saat ini. Aku harus terus-terusan bersembunyi agar dia tidak bisa melihatku. Dan karena aku mengikutinya dari belakang, aku bisa melihat gadis-gadis yang berpapasan dengan Phun selalu cekikian bersama rombongannya. Lumayan lucu menurutku. Aku tidak akan tahu kalau dia itu ternyata komoditas langka dan seksi jika tidak membuntutinya.
Aku terus mengikutinya hingga dia mencapai tempat ia akan menemui… pacarnya.
Tapi nampaknya Aim belum tiba disini. Aku mengamati Phun saat dia berjalan masuk ke dalam Starbucks yang baru saja dibuka disebelah restauran Pachino. Aku bisa melihatnya dengan jelas duduk disamping tembok kaca. (Ya, secara teknis semua temboknya terbuat dari kaca tembus pandang). Jadi aku memutuskan untuk terus berpura-pura berjalan di dekat toko Jousse, sehingga aku bisa mengamatinya baik-baik. Toh dia juga tidak bisa melihatku, karena posisi tubuhnya membelakangiku.
Aku makin marah melihat Phun duduk disitu membaca sesuatu sambil dia menunggu Aim. Cewek itu sudah memaksa temanku (yang sedang sakit) untuk keluar rumah dan menemuinya, tapi bahkan sekarang dia berani datang terlambat? Semua ini sungguh mengesalkan.
Aku terus mondar mandir di area itu berkali-kali sampai penjaga tokonya curiga terhadapku, lalu aku memutuskan untuk pergi ke salah satu stan dan beli minuman. Aku kembali dan melihat Phun masih duduk di tempat yang sama. Dia ini mau ketemuan sama pacarnya atau cuma cari tempat baru untuk membaca sih?
Setengah jam kemudian, akhirnya aku melihat Aim berjalan ke arah Starbucks, masih memakai seragamnya. Untung, kulitnya sangat putih dan cerah, jadi dengan mudah aku langsung bisa menemukan dan mengawasinya agar tidak luput dari pandanganku. Aku dengan cepat berpura-pura menjadi pembeli di Jousse. (Penjaga tokonya mungkin semakin bingung karena baru sekarang aku masuk ketokonya, padahal mondar-mandirnya sudah dari tadi.) Karena aku tahu, celana seragam biru cerahku akan menarik perhatiannya. Penglihatan gadis-gadis dari sekolah khusus perempuan itu sungguh tajam karena mampu mengenali dengan cepat celana yang kami pakai.
Aku berpura-pura melihat pakaian yang ada di toko itu (semuanya pakaian wanita) sambil bolak-balik melirik mereka berdua. Nampaknya mereka cukup ceria. Tapi aku ingat, ketika Phun meninggalkan rumahnya tadi, demamnya sudah mulai kambuh.
Makanya sekarang aku khawatir.
Dengan sabar aku menunggu mereka menghabiskan kopi dan kue. Butuh waktu yang cukup lama sebelum akhirnya mereka meninggalkan tempat itu. Mengikuti mereka rasanya lebih mudah dari pada harus mengawasi di satu tempat. Paling nggak, tidak ada lagi penjaga toko yang menatapku dengan aneh. Aku terus mengikuti mereka melewati jalan pintas. Aku ingat kalau Aim tadi minta dibelikan sepatu.
Tapi ketika jalan pintas itu berakhir, aku terhenyak melihat gerombolan manusia yang memenuhi tempat ini. Tempat ini lumayan sumpek sampai aku merasa khawatir kalau Phun sudah tidak mampu berjalan lagi. Banyak wanita disini yang mampir sebelum mereka pulang kerumah. Lorong itu lumayan sempit. Dengan cemas aku mengawasi Phun. Gak cuma masih sakit, sekarang dia membawa tasnya Aim dan juga tas belanjaannya. Aku benar-benar ingin memukulnya saat ini juga karena sudah sok gentlemen.
Aku melihat Aim yang masuk keluar di banyak toko. Tapi nampaknya dia nggak terlihat sudah membeli sepatu, atau sesuatu apapun. Apa? Apa susahnya sih beli sepatu? Apa dia sedang mencari sepatu kaca Cinderella? Kenapa nggak mikir dulu sepatu macam apa yang diinginkan, sebelum masuk ke tokonya? Kenapa dia menyeret-nyeret temanku kesana kemari seperti itu?
Aku mengakui, kalau aku benar-benar kesal saat ini. Aku terus mengunyah sedotan sambil mengikuti mereka sudah cukup lama, bahkan sampai kakiku juga merasa nyeri. Ditambah lagi, langitnya sudah berubah warna menjadi ke-unguan.
Setidaknya, kami bertiga sudah sampai di aera pusat, yang dimana lebih ramai dari area sebelumnya. -_-“ Kenapa semua orang disini? Emang ada toko yang memberi barang gratis? Kalau ada, aku akan bawakan beberapa untuk Ma. Aku ragu kalau orang semacam Aim bakal membeli sesuatu dari tempat ini.
Seperti yang aku duga, mereka berdua berjalan tanpa arah. (Aku hampir kehilangan mereka beberapa kali.) Dari lantai satu sampai lantai tiga, melewati 29 Plaza. Mereka keluar dari situ tanpa membeli apapun. Aku masih melihat, hanya tas sekolah dan satu tas belanja yang berada di tangan Phun’s. (Sampai berapa lama lagi semua ini?)
Secara harafiah Phun sedang sekarat, kenapa kamu tidak bisa melihat itu Aim!?
Makin lama, aku makin kesal saat mengikuti mereka. Kami lanjut menyusuri trotar didekat Siam Square sebelum Aim menarik Phun masuk ke toko pakaian wanita.
Aku mendongak dan membaca papan namanya yang bertuliskan Indy. Toko ini juga menjadi toko kesukaan Yuri. Aku menggoncangkan kepalaku, gak mungkin aku masuk ke toko yang sempit itu. Aku memutuskan untuk masuk ke toko buku Dokya dan menunggu mereka sambil melihat-lihat buku.
Setelah cukup lama - cukup bagiku untuk menyelesaikan tiga buah komik - akhirnya aku melihat mereka meninggalkan toko pakaian itu. (Pastilah, aku menunduk di dalam toko buku itu.) Aku melihat Phun membawa tas yang ukurannya cukup besar, aku jadi menduga kalau Aim membeli semua barang di toko itu. Aku tidak punya bayangan apakah itu toko pakaian atau toko sepatu. Aku hanya berharap agar Aim membiarkan Phun untuk pulang sekarang.
Tapi… kenapa sekarang mereka bergerak menuju Siam Paragon?! -_-“
Aku memaksakan diri mengikuti pasangan itu. Jeez. Aku udah lelah, aku tidak bisa membayangkan gimana kondisi Phun sekarang. Dia masih sakit dan dia diminta untuk terus melanjutkan marathon ini. Kalau aku bisa, aku sudah menghampirinya, menarik kerahnya dan menyeretnya pulang kerumah. Tapi aku pikir, Phun juga tidak setuju dengan ide itu.
Siam Paragon tidak sepadat area lain, tapi area ini sungguh luas. Belum apa-apa, aku sudah merasa capek membayangkan betapa luasnya tempat ini. Jangan bilang Aim kesini untuk memaksa Phun berkeliling disini. Dia bakal mati! (Kalau bukan dia yang mati, aku pasti yang bakal mati).
Aku terus membuntuti hingga mereka masuk ke toko bermerk yang lumayan mewah. (Tanteku adalah pelanggan tetap disini.) Oke, baiklah. Nggak ada cara bagiku untuk mengikuti masuk kedalam sana.
Aku berkeliling di area itu karena pada dasarnya aku menjadi gila karena benar-benar khawatir atas keadaan Phun. Aku sempat melihat wajahnya sebelum dia masuk ke toko itu. Mukanya sudah kembali pucat , sama seperti keadaannya tadi pagi.
Siapa yang bisa menjadi baik setiap saat? Aku hanya manusia, bukan tokoh didalam drama TV.
Anjir! HPku berdering dengan lantang dari dalam kantong celanaku. Aku cepat-cepat menjawabnya tanpa melihat siapa yang meneleponku.
“Hallo?”
“Kamu lagi ngapain, Noh?”
Ini Yuri!
Aku tergagap, tapi kemudian aku sadar kalau tidak melakukan kesalahan apapun. “Lagi ada perlu, ada apa?”
“Nggak papa, aku dengar kamu membolos sekolah hari ini, jadi aku mau tanya keadaanmu. Aku khawatir karena aku pikir kamu sedang sakit.” Kalimat itu sesungguhnya membuatku tersenyum.
“Siapa yang memberi tahumu tentang semua ini?”
“Ada-lah seseorang, hehe. Aku lega kamu ternyata nggak sakit. Tapi sekarang kamu lagi dimana? Kok berisik banget.” Kalau aku memberitahunya sedang berada di Siam Paragon, dia bakal langsung menyusulku. Biasanya pulang sekolah, Yuri menghabiskan waktu disini. Otakku mulai bekerja bagai sebuah mesin.
“Ada perlu bentar, aku harus pergi. Dah.” Dan itulah yang terjadi! Aku tidak peduli kalau ada orang yang bilang aku ini kejam, tapi setidaknya aku harus menyelamatkan diri sendiri. ^^”
Phun dan Aim muncul sesaat setelah aku menutup teleponnya. Aku melihat tas berwarna merah cerah berlogo toko itu. Aku melihat kalau mereka sama-sama setuju tentang sesuatu, sebelum mereka bergerak lagi ke pintu masuk mall ini.
Akhirnya mereka pulang dari sini?! Gitu dong!! AKu meninju ke udara dan hampir lupa untuk terus mengikuti mereka.
Phun berdiri di depan mall ini sambil membawa segalanya (tas sekolah, tas belanja, dan dua kantung lagi) sambil menunggu taksi untuk Aim - Aim sedang memegang smoothie yang dia beli dari pujasera di Siam Paragon. Antrian taksi itu lumayan panjang seolah-olah itu antrian untuk beli tiket konser p’Bird Thongchai. Aku menyaksikan sendiri kalau Phun sudah mulai doyong kesana kemari.
Aku menyipitkan mata untuk memperhatikan temanku yang lumayan tinggi ini bergerak liar kekanan dan kekiri. Bahkan dari kejauhan seperti ini, aku bisa melihat kalau dia makin pucat seputih kertas. Aku mulai benar-benar ketakutan. Dan apa yang kutakutkan dari tadi benar-benar terjadi.
Semua barang yang sedang dibawa Phun jatuh ke tanah bersama dengan tubuhnya. Aku menolak untuk membiarkan kejadian ini berlanjut, aku berlari sekuat tenaga ke arahnya untuk menangkap tubuh Phun sebelum jatuh dan kepalanya menghantam tanah.
Tubuh Phun benar-benar panas seperti terbakar. “Phun! Kamu nggak papa?!” Aku bertanya tanpa mengharapkan jawaban. Aku memandang dengan tatapan panik ke arah satpam didekat situ supaya kami bisa mendapat taksi duluan.
“Noh?!” Aku mendengar suara Aim yang kebingungan, tapi aku tidak peduli. Aku menarik tubuh Phun ke air mancur didekat antrian taksi tadi. Aku melonggarkan ikat pinggangnya dan memunguti semua tas belanja Aim yang berserakan di tanah.
Aim mendekatiku. Tapi saat ini, aku bahkan tidak melihat wajahnya. Aku tahu, seharusnya aku tidak membiarkan hal ini terjadi. Sejujurnya, aku membenci diriku sendiri karena aku adalah orang yang membiarkan Phun meninggalkan rumahnya.
“Phun tidak sehat hari ini.” Aku memberi tahu Aim tanpa sempat melihat mukanya, jadi aku tidak tahu bagaimana dia bereaksi dengan semua ini. Aku kesusahan dalam mengendalikan emosiku.
“Noh!” Holyshit! Aku tersentak ketika mendengar suara lain itu memanggilku. Aku tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pemilik suara itu. Kenapa bisa-bisanya dia muncul saat keadaan genting seperti ini!?”
“Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu lagi disekitar sini? Oh, Aim? Phun?” Dia bertanya sambil terburu-buru belari mendekatiku. Dia cukup mawas diri untuk berhenti bertanya saat melihat Phun yang sedang tak sadarkan diri duduk disebelahku.
“Aku kan udah bilang lagi ada perlu. Kamu dan Aim bisa pulang sendiri kan? Aku akan membawa pergi Phun dari sini duluan.” Aku tidak menunggu jawaban mereka dan menyodorkan semua tas belanjaan ke Aim sebelum membantu Phun yang masih belum sadar untuk masuk kedalam taksi.
Nampaknya keadaan akan memburuk kalau aku membawanya pulang ke rumahnya sendiri. Aku rasa aku akan membawanya ke rumahku saja untuk saat ini.
Anak ini terus condong kesana kemari selama perjalanan.
Kadang aku mencuri pandang ke wajahnya - yang sekarang tidak lagi tampan - bahkan rasanya dia terlalu senyap. Aku memegang lengannya untuk memeriksa suhu tubuhnya. Aku melakukan itu juga karena memberi tahunya bahwa aku selalu bersamanya dan tidak akan meninggalkan dirinya.
Suhunya benar-benar tinggi sampai aku terpaksa bilang kepadanya, “Ayo kita periksa ke dokter.” Tapi tentu saja, nggak peduli bagaimanapun caranya aku memaksa, meminta, memohon bahkan mengancam dirinya, dia bersikeras dengan kalimat yang dia ucapkan 15 menit yang lalu. “Nggak papa, Aku nanti baikan sendiri setelah istirahat.” Emang aku kelihatannya seperti perawat bagimu? T____T
Aku terus mengoyang-goyangkan kakiku dengan tidak sabar sambil memberi tahu belokan-belokan yang harus diambil oleh supir taksi ini. Tidak butuh waktu yang lama, taksi berwarna biru ini terpakir didepan rumahku.
“Tidak semewah rumahmu memang, semoga kamu bisa tidur disini.” Aku bicara sarkastik. Tapi dia hanya membalas dengan senyum lemah. Dia tidak punya tenaga lagi untuk membalas hinaanku, aku sudah tahu itu. Haha.
Aku bertemu Ma dan Pa di ruang keluarga sambil memapah Phun masuk ke dalam. Aku harus bilang apa ke mereka?! Anak cowoknya membawa laki-laki asing masuk kerumah. Tapi Ma dan Pa gak mungkin punya pikiran yang sama dengan orang-orang di kediaman Phumimpat, kan? Hahaha….
“Hai, Pa! Ma!” Aku tetap menjadi anak yang baik walaupun terburu-buru menuju kamarku. (Aku takut kalau Phun mati ditanganku.) Tapi aku tetap harus menyapa dengan sopan orang tuaku untuk mengamankan aset-asetku (dalam hal ini uang saku).
“Sudah makan malam belum, Noh? Eh? Temanmu kenapa?” Ma adalah orang pertama yang menyadari ada sesuatu yang salah. Tapi Ma bertanya cukup keras sehingga Pa menoleh dan akhirnya melihat juga. “Siapa itu yang kamu bopong?”
“Ha-Hallo.” Phun menyapa mereka dengan cara yang cukup menyedihkan. Dia sedang sakit tapi masih sok sopan. Aku berpikir seperti itu saat menyaksikan dia berusaha keras mengangkat kedua tangannya untuk menghormati mereka.
“Ini temanku. Dia terlalu sakit untuk bisa pulang kerumah. Bolehkan dia menginap disini?
“Cepat, bawa dia naik supaya bisa lekas tiduran, aku akan bawakan obatnya nanti.” Ma-ku sungguh manis sekali kan? Tapi sebenarnya, semua orang disini baik hati. Kalau nggak, mana mungkin Om, Keng dan lainnya sering main kesini.
Setelah mendapat lampu hijau, aku buru-buru memapahnya naik dan masuk ke kamarku.
***
“ Tidurlah disini. Maaf ranjangnya tidak sebesar punyamu.” Aku kepayahan membantu menidurkannya di kasur. Kelihatannya dia merasa lebih nyaman setelah ada kasur yang menyangga punggungnya.
Dia menggumam pelan saat mengucapkan terimakasih tapi aku tidak memperhatikannya. Aku terlalu sibuk menyesuaikan AC-nya agar tidak terlalu jomplang dengan kondisinya sekarang. Sambil merasakan agar ruangan tidak terlalu dingin.
Karena demamnya yang lumayan tinggi, dia memeluk selimutku seolah-olah merupakan harta karun. Haah. Dia harusnya merawat dirinya lebih hati-hati.
Tok tok tok.
“Masuk.”
“Ma membawakan obat untuk temanmu. Ini. Dia demam kan?” Aku tersenyum lebar ketika melihat sebotol air minum dan obatnya. “Iya benar. Aku nanti menyuruhnya berterima kasih kalau dia sudah bangun.”
“Iya. Jadi ini siapa? Ma tidak pernah melihatnya sebelum ini. Kamu sudah memberi tahu keluarganya?” Ma-ku biasanya hanya bertemu dengan si brengsek Om, si lubang-pantat Keng, dan pecundang-pecundang lainnya. Seseorang dengan reputasi yang baik seperti Phun belum pernah menginjakkan kaki disini. Aku merasa bersalah ke Ma.
“Dia teman sekolah, Ma. Namanya Phun. Dia sakit parah, jadi aku membawanya kesini. Aku baru mau menelepon keluarganya untuk memberi tahu kalau dia disini.” Aku menjawab Ma sambil melihat orang yang tertidur pulas di kasurku. Sekarang Aku sudah lumayan lega.
“Ganti bajunya dan seka badannya dengan handuk basah ini, ya sayang. Dia pasti gak nyaman tidur dalam keadaan seperti itu.” Dia memberitahuku sebelum meninggalkan kamarku. Oh, benar. Aku hampir lupa tentang itu. Aku tidak seharusnya membiarkan dia tidur dengan memakai celana jeans seperti ini.
Aku memandang sejenak cowok yang terlelap pulas ini sebelum aku berjalan mengambil ember kecil, handuk kecil dan satu set pakaian bersih.
“Phun. Phun Phun! Bangun dan minum obatnya dulu.” Butuh sesaat sebelum dirinya berhasil bangun. Aku memberinya pil dan air, dan membiarkan dia tidur kembali. Dia terlihat mengerikan. Aku jadi nggak tega membiarkan dia membersihkan dirinya sendiri.
“Mau menyeka badanmu dulu nggak? Tidurmu nggak akan nyaman kalau kondisimu seperti ini. Sini aku bantu.” Aku menggodanya sembari melepas kaus yang ia kenakan. Aku benar-benar kesusahan melepasnya. (Bahkan melepas kausmu sendiri kamu tidak mau?). Akhirnya, cowok itu terlentang tanpa baju di tempat tidurku. Dadanya bergerak naik turun. Susah membedakannya kondisinya untuk saat ini, apakah dia benar-benar tertidur atau dia sudah tidak punya tenaga untuk bergerak.
Aku memutuskan untuk tidak berbicara lagi, dan mulai memeras handuk untuk menyekanya. Aku mulai dari wajahnya yang tadi pucat, tapi sekarang sudah merona kembali, dan kemudian lehernya yang panjang - aku lumayan kesulitan agar tidak membuat kegaduhan.
Aku menatap wajah Phun sambil memindahkan lengannya yang panjang. Sekarang suhunya tidak sepanas saat masih di taksi tadi. Tapi masih sedikit hangat. Aku menyeka bergantian antara lengan dan lehernya sebelum lanjut menyeka perutnya dengan lembut.
Aku mencelupkan handuk dan memerasnya sekali lagi sebelum lanjut menyeka perutnya hati-hati karena tadi dia berkeringat saat di Siam. Aku hanya ingin dia merasa nyaman. Nampaknya otot perutnya menegang saat aku menyeka bagian itu.
“Ah…”Anjir, kenapa dia harus mengerang?!
“Kenapa kamu mengerang seperti itu?! Kau membuat keadaan menjadi aneh.” Aku meneriakinya dan menekan perutnya keras-keras sampai aku bisa merasakan otot perutnya. Dia tertawa kecil.
“Kamu membuatku grogi.” Mungkin dia sudah tidak terlalu sakit kalau dia bisa membalas pembicaranku.
“Kamu kayaknya tambah parah. Cepat lepas celanamu.” Blak-blakan aku memberinya perintah sambil mencelupkan kembali handuknya kedalam air. Phun nampaknya tersadar dari lamunannya dan membuka matanya lebih lebar.
“Hah?!”
“Kenapa kaget gitu? Memang kamu mau tidur pakai celana jeans? Kalau udah baikan, lepas saja sendiri. Kecuali kamu mau aku yang melepaskannya untukmu?” Aku memarahinya sambil berkacak pinggang. Ternyata aku juga bisa terlihat mengancam, haha. Aku menatap ke mata cowok yang masih terkejut itu. Aku megoyang kecil kepalaku sebelum aku bergerak dan mulai melepas kancing celana dan menarik resletingnya.
“Woi!”
“Kenapa kamu sok malu-malu dihadapanku? Aku janji nggak bilang kesiapa-siapa deh kalau anumu ternyata kecil. Yah, kecuali temen-temen klub musikku, anggota OSIS lainnya, trus semua anak-anak kelas 11, dan teman-teman pacarmu di sekolahnya.” Tuh, kurang baik apa aku? Hahaha. Secara alami, Phun memegang celana jeansnya seolah-olah itu adalah harta terakhirnya yang paling berharga.
“Kita-kita nggak perlu melakukan ini.”
“Apa-apan sih kamu?! Kita sama-sama cowok! Udahlah jangan sok jaim gitu! Tinggal lepas aja! Lepasin gak! Lepasin! Cepet Lepasin!” Jangan kira pesakitan seperti dia bisa melawan aku yang masih sehat. Aku tidak perlu menggunakan banyak tenaga untuk membuka kepalan tangannya yang menggenggam erat celananya dan melepasnya.
Kalian jangan berpikiran kotor! Aku tidak sampai menyentuh celana dalamnya!
“Cuma jangan ngaceng aja kalo aku sedang membersihkan kakimu, aku tidak bisa menghadapi itu.” Aku mengingatkannya terlebih dahulu sembari memeras handuk dan kembali menyekanya. Aku mendengarnya tertawa, nampaknya dia mulai bisa bersantai. Aku sedikit bahagia karena bisa menang melawannya atas sesuatu.
Aku mandi meninggalkan Phun setelah selesai menyekanya tubuhnya. Aku sudah mematikan HP kami berdua agar bisa tidur tanpa ada gangguan.
Aku mulai berpikir tentang semua hal yang terjadi sejauh ini saat air dari pancuran mulai membasahi tubuhku.
Phun dan aku sebenarnya sudah mengenal satu sama lain jauh sebelum awal SMP sampai SMA sekarang. Jadi nggak aneh kalau waktu masih kecil kami juga sering berpapasan satu sama lain. (Waktu kecil, Phun belum ganteng seperti sekarang ini, hahaha.)
Dari apa yang bisa aku ingat, dia itu orangnya baik. Bukannya melebih-lebihkan tapi bisa dikatakan kalau dia itu sempurna. Dia tinggi, tampan, pintar dan berasal dari keluarga yang kaya. (Lama-lama kalimat itu mirip slogan.) Dia dikenal orang-orang karena kelakuannya yang baik. Kemampuannya juga hebat dimusik, olah raga dan bahasa. Pada dasarnya, dia punya segalanya. Yang lebih penting, pacarnya juga luar biasa cantik sampai membuat orang-orang tidak bisa berhenti membicarakan dirinya.
Tapi bagian yang paling aneh… Untuk seseorang yang sempurnanya kelewatan, aku tidak pernah mendengar satupun orang yang menjelek-jelekannya sampai sekarang. Nampaknya tidak ada orang yang membenci dirinya. Kalau ada yang bicara seperti itu, biasanya karena orang itu iri akan Phun.
Akhir-akhir ini aku sering memikirkan hal itu, sebelum aku mengenal Phun tentunya. Aku membayangkan kenapa, cowok punya ego yang besar. Rasanya gimana gitu kalau ada orang yang punya sesuatu yang melebihi milik kita. Ada juga orang yang benci akan mental seseorang dan langsung mengajak bertarung satu sama lain. Tapi semua itu tidak pernah terjadi terhadap Phun. Semua orang percaya kepadanya dan dia juga punya teman yang baik disekitarnya.
Aku selalu penasaran tentang hal itu. Tapi sekarang akhirnya aku tahu jawabannya, terima kasih kepada hari-hariku belakangan ini.
Semua terjadi bukan karena Phun sempurna saja. Bagiku, aku bisa melihat sesuatu yang lebih dari kesempurnaan yang ia miliki. Tiga hari terakhir ini, dia berhasil membuktikan kepadaku bahwa kesempurnaannya itu sesungguhnya cuma hanya dirinya yang berusaha baik ke semua orang tanpa disertai rasa pamer.
Phun memperlakukan semua disekitarnya dengan penuh perhatian dan niat yang tulus. Aku bisa melihatnya dari cara Phun memperlakukan Aim, caranya memperlakukanku, dan caranya dia memperlakukan semua orang disekitarnya. Kadang dia memang sok pintar, tapi dia orang yang pantas di dekati, bukannya di buang dipinggir jalan.
Sekarang saat aku lebih akrab dengan Phun, aku tidak bertanya-tanya lagi kenapa semua orang suka kepadanya mengingat kenyataan banyak cowok disekolah kami yang lebih keren dari pada dirinya.
Mata yang memancarkan keberanian dan ketulusan adalah jawabannya.
Phun itu bukan orang biasa.
Aku melihat Phun tertidur pulas saat aku keluar dari kamar mandi. Dia sudah pakai baju yang aku berikan tadi.
Aku menaruh tangan di keningnya dan menyadari kalau tubuhnya sudah lebih baik. Tapi nampaknya dia masih kedinginan, aku bisa mendengar gumamannya yang lumayan menyedihkan.
“Aku akan mematikan lampunya ya.” Biasanya aku tidak pernah tidur seawal ini. Tapi kalau aku mengabaikan orang sakit yang lagi tidur ini demi bermain DotA, bukankah aku menjadi orang yang jahat nantinya? ^^”
Aku mencoba mendengar jawabannya, tapi aku hanya bisa mendengar gumaman yang tidak jelas. Tapi asal menduga saja kalau dia sudah memberikan ijin untuk mematikan lampu, haha. Jadi aku menekan saklar, dan membiarkan semburat cahaya bulan purnama berjalan melalui celah pintu baklon kamarku. Cahaya bulannya sudah cukup terang membantuku untuk melihat wajah Phun.
Aku tidak bisa menyangkal kalau aku penasaran apa yang sedang terjadi dialam kepalanya ketika dia mengrenyitkan alisnya. Senyum nakalku tergambar di wajahku ketika aku meraih punggungnya dan membelainya dengan lembut, berharap ini bisa sedikit membantunya untuk tenang.
“Mmm…” Dia melirih ketika aku menyentuhnya sebelum dia menggulung badannya lebih rapat. Aku mulai bosan tidak bisa tidur karena ACnya diatur pelan, malah sekarang peran benda itu berganti menjadi pemanas ruangan. Dasar orang ini.
“Dingin…” Kata-kata ini muncul ketika sudah malam. Aku tertawa kecil sebelum aku mulai berbaring di kasur.
Aku mengamati temanku ini terus menggigil. Sesaat kemudian, aku mendapatkan sebuah ide.
Aku meraih tangannya dan menaruhnya melewati badanku. Aku bersiap-siap dengan reaksi kagetnya. Dia memandangku dengan tatapan penuh tanda tanya.
Aku tersenyum nakal. “Apa kamu nggak kedinginan? Aku rela kok menjadi pemanasmu satu malam lagi.” Hal ini bukan hal yang aneh kan kalau terjadi antara teman? (Meskipun, aku belum pernah melakukan hal ini bersama Om. Orang gila tidak pernah sakit. Om tidak pernah terkena demam. Kadang aku berharap kalau dia sekali-kali sakit agar mulutnya bisa sedikit lebih tenang.)
Phun nampaknya terkejut dengan kalimatku, tapi aku tidak tahu kenapa alasan dia sebegitu terkejutnya. “Aku… Seharusnya aku gak boleh. Aku tidak ingin menjadi beban bagimu.” Em, bukankah ini sudah terlambat bagimu untuk mengatakan hal itu, bro?
Aku mendesah atas sikap keras kepalanya sebelum aku mulai bersandar dan menaruh kepalaku di dadanya yang hangat. Lalu kemudian, aku membungkus tubuhnya dengan lenganku. “Yah, kamu itu terlalu perhatian kepadaku. Bukannya tadi siang demammu turun karena kamu memelukku? Mungkin demammu malam ini juga bisa turun kalau melakukan hal yang sama. Besok hari sabtu, kita bisa beristirahat lumayan lama.” Aku memberitahunya seraya mendekatkan kepalaku ke dadanya. Nampaknya Phun masih ragu-ragu haruskan dia memperlakukan aku sebagai mesin penghangat.
“Aku… Aku gak mau kamu ikutan sakit.”
“Aku bukan orang lemah, Aku nggak gampang kena demam kayak kamu.”
“Bukannya aku gampang kena demam, semuanya gara-gara kamu menyiramku dengan sabun cuci motor itu.”
“Udah diam dan tidur aja sana.” Kenapa dia masih mau adu mulut denganku? Apa dia masih punya sisa tenaga yang lumayan banyak? Aku sendiri sudah mulai mengantuk, jadi aku menyenggolnya sedikit tanda kalau dia harus istirahat. Sesaaat kemudian, tubuh Phun tidak setegang tadi. Pelan-pelan dan dengan enggan dia menaruh tangannya disekitar tubuhku.
Aku bersandar ke tubuhnya yang hangat tanpa bergerak sedikitku. Tapi kemudian, aku bisa merasakan seseorang memutuskan untuk mendekapku dengan sepenuh hati.
Di momen ini, aku tidak tahu pasti apa yang kami lakukan. Yang aku tahu, aku hanya ingin memeluknya, tanpa mempedulikan alasannya.
Kami mendengarkan jantung kami berdetak seirama dibawah sinar lembut rembulan.
“Mimpi indah ya.”
“Selamat malam.”
Sabtu pagi sudah datang dan aku adalah orang pertama yang membuka mata.
Kemarin aku bilang kalau dia boleh memelukku, dan ternyata dia benar-benar memanfaatkan kesempatan itu. Yaelah! Dia masih menempel bagai lem ketubuhku! Aku melirik lengannya dan kemudian penasaran kenapa aku bisa anteng semalaman gara-gara dipeluk oleh Phun. (Biasanya kalau tidur, aku tidak bisa diam, tanpa sadar bergerak kesana kemari. Dan kadang, saat bangun tidur aku sudah berada dilantai.)
Aku menekuk leherku untuk melihat manusia yang sedang memelukku layaknya memeluk seorang istri. Tunggu dulu! Itu bukan perumpamaan yang bagus! Aku ulangi lagi! Aku mendongakkan leherku untuk melihat manusia yang sedang memelukku layaknya orang yang punya hutang.
Oh… perumpamaan yang pertama yang lebih bagus, yah? Terserahlah. Kalian pasti tahu apa yang aku maksud. Pokoknya, dia memelukku sangat erat.
Maksudku, aku masih berusaha keras mendongak agar bisa melihat wajahnya, tapi masih saja terhalang oleh dagunya. (Badanku terlalu sakit untuk bergerak). Aku hanya bisa merasakan hembusan napas dari hidungnya karena dia masih tertidur. Ah, aku merasa sangat panas sekarang. AC-nya memang masih hidup, tapi seolah-olah kayak dimatikan. Aku makin menempelkan tubuhku ke tubuhnya agar bisa memeriksa suhunya. (Jangan berpikiran yang kotor-kotor.)
Dia sudah lebih baik dari hari kemarin. Masih sedikit hangat memang, tapi aku bisa melihat kalau demamnya sudah reda, dari banyaknya bulir keringat didadanya.
Baiklah, aku harus pergi sekarang dan menjadi tuan rumah yang baik. Aku mencoba keluar dari pelukannya, tapi aku hanya sempat bertindak sebentar sebelum Phun sadar.
“Hah…?”
“Lepasin aku sebentar, aku nanti balik lagi.” Aku memberitahunya sembari mencoba mencari celah untuk keluar pelukannya, tapi si pemilik tangan ini tidak mau melepaskanku.
“Kamu mau kemana?” Kenapa dia bawel sekali sih? -_-“ Aku memandangnya dengan tatapan kesal. “Lepasin aja lah.”
Dia melepaskan pelukannya ketika mendengar ketegasan dalam intonasiku. Haha, kayak Phun bisa aja melawan Noh yang Agung! Gak mungkin lah!
Aku berguling menjauhi dadanya dan mengambil napas sebentar. Sudah sewajarnya-lah bagi orang yang dipeluk semalaman dengan erat. Aku beradaptasi sedikit agar membuat keadaanku lebih nyaman sebelum menyeret tubuhku keluar dari ruangan ini.
“Istirahatlah saja kamu! Aku keluar sebentar!” Lebih baik dia istirahat saja atau tanggung sendiri akibatnya nanti.
***
“Nong Noh, wah bangunnya pagi sekali.” P’Ann, yang secara teknis adalah pengasuhku, menyapa dengan suara riang pagi ini. Tapi, apakah sepagi yang dia kira? -_-“
Aku menengadah ke jam dinding, jam 10 tepat. Aku memang bangun lebih pagi sih hari ini. Biasanya aku baru keluar kamar kalau sudah siang, hahaha. Mungkin karena kepanasan yang bikin aku bangun. -_-“
“Ada makanan apa, p’Ann?” Hal pertama yang aku tanyakan adalah makanan. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang menunjukkan bagaimana tabiat aslinya Noh. Aku seharusnya melihat keadaan sebelum bertanya, karena p’Ann sedang membawa keranjang pakaian yang lumayan besar. Keluarga kami tidak punya banyak pembantu seperti ditempatnya Phun. Kami hanya punya p’Ann dan p’Im yang menjagaku sejak aku masih kecil. Kami sangat dekat sampai kami sempat berpikir untuk jadi saudara angkat saja. Tapi omong-omong, dimana p’Im hari ini?
“Aku beli daging babi yang sudah diasinkan dari pasar tadi pagi. Kami berpikir akan menggorengnya dan membuat sup untukmu. Tapi aku nggak tahu dimana p’Im sekaranng. Dia mungkin sedang menggosip sama Bi Daeng di tempat jual rujak pepaya.” Dia berbicara sambil memunguti handuk milik (salah satu anggota) keluarga ini yang tergeletak di sofa ruang keluarga (biasanya sih aku, heh heh).
“Aku mau mencuci dulu, baru nanti aku kembali kesini dan masak sesuatu untukmu, nong Noh.”
“Iya gapapa, gapapa. Aku akan buat makanan sendiri. Gimana caranya bikin benda ini?” Aku menjawab dengan cepat karena tidak mau menambah pekerjaannya dan aku juga berpikir kalau cowok pesakitan di lantai atas itu harus makan makanan yang tidak terlalu berat semacam asinan daging goreng.
Aku meraih bungkusan bubur instan Knorr, dan mengamatinya dengan penuh ketertarikan.
“Kalau itu, tinggal ditaruh di panci, kasih air sedikit dan di masak selama 4 menit sampai nasinya mengembang. Kalau sudah mengembang berarti udah selesai.” Kayaknya simpel. Aku buat ini saja ah.
“Makasih, p’Ann. P’Ann lanjutkan saja tadi mau ngapain, aku bisa masak ini sendiri.” Aku berbicara sambil memberikan senyuman-terlebarku agar dia percaya. Aku berjanji tidak akan sampai membakar dapurnya.
Aku bisa mendengar suara kuah sup mendidih saat nasinya mulai mengembang seperti yang dibilang p’Ann. Aku memakai sendok besar untuk mengaduk sambil berpikir apa yang bisa kutambahkan ke dalamnya.
Aku berjalan untuk meraih telur dari kulkas. Aku memecahkannya dengan ragu-ragu, aku tidak pernah melakukan hal ini seumur hidupku!
Telurnya nggak terciprat di tanganku dan bentuknya masih utuh. Aku masih lebih hebat daripada Om. Setiap kali si brengsek itu mencoba untuk memecahkan telur, hasilnya akan selalu menjadi telur orak-arik tanpa perlu di orak-arik. Wah, mungkin aku punya kemampuan tersembunyi dibidang masak memasak? Aku harus mencoba menjadi seorang koki. Siapa yang memanggilku sombong lagi? Cuma karena aku pamer bisa memecahkan telur tanpa membuatnya berantakan?
Setidaknya, aku bisa mendapatkan sedikit rasa percaya diri karena berhasil menyelesaikan semua ini. Aku membuat bola-bola kecil dari daging cincang dan memasukkannya ke dalam panci itu. Aku mencoba apa yang p’Ann pernah lakukan dulu. Wah, kelihatannya enak. Mungkin mendingan ini buat aku saja sendiri. Tunggu, nggak, nggak. Bocah itu masih sakit. Dia yang harus makan ini, mending aku menunggu asinan daging goreng dan supnya matang. Haha, bakalan lebih kenyang.
Aku terus mengaduk sampai (aku mengira-ira) dagingnya sudah matang, mematikan api dan menuangkan apa yang telah aku buat ke dalam mangkuk yang sudah aku siapkan sebelumnya. Aku menaburkan sedikit cilantro diatasnya. Wah cantik sekali bentuknya! Siapa coba yang sudah membuat ini? Bahkan Chef McDang bakal terkesan dengan makanan ini!
Aku tersenyum nakal saat mengagumi karyaku ini sebelum mendekati p’Ann - yang sedang berdiri dekat mesin cuci - agar bisa pamer kepadanya. (Tapi dia nggak terkesan dengan karyaku sedikitpun! Kenapa nggak terkesan?! Ini mahakaryaku yang terbaik yang pernah kubuat!) Sayangnya aku nggak bisa pamer ke p’Im karena dia tidak berada disini. Aku bisa aja mampir ke tempat jual rujak pepaya cuma buat pamer, tapi diluar udah panas. Dan Ma dan Pa, mereka sedang bekerja. Mungkin aku harus memfotonya?
Aku harus memamerkan ini juga ke Phun.
***
Dor! Dor! Dor! Boom! Dor! Dor! Boom!
Apa-apaan!? Hal pertama yang aku lihat adalah si pesakitan itu sedang main Video Game.
“Brengsek, udah gak sakit lagi kamu?” Aku memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Si brengsek ini konsentrasi ke layar TV 29 Inch dan bahkan tidak menengok ke arahku.
“Aku bosan nggak ngapa-ngapain. Kamu memanggilku sok mewah karena aku punya Xbox 360, tapi kamu sendiri punya PS3? Benda ini lebih bagus daripada punyaku, dan kamu nggak pernah mengajakku main ini.” Dia berbicara sambil menembaki monster-monster itu. Saat ini juga, aku ingin menyiramkan bubur panas ini ke atas kepalanya.
“Kamu nggak pernah tanya sih. Mau makan ini atau tidak? Aku sudah berusaha keras untuk membuat ini, mungkin aku harus membuangnya saja.” Dia cepat-cepat menoleh tanpa mem-pause permainannya. Haha, dia kena pukul monsternya dua kali. Rasain tuh.
Tapi nampaknya dia sudah tidak peduli dengan permainan itu lagi. Dia menaruh kontrolernya sebelum buru-buru melihat isi mangkuk di tanganku. Aha. Menggugah selera kan?
“Kamu buat ini sendiri?!”
“Iya lah!” Aku membanggakan pencapaianku sebelum aku menaruh nampan di meja kecil samping TV dan konsol permainanku. “Makan nih. Kalau rasanyanya nggak enak tambahin Maggi sendiri ya.”
Nampaknya dia benar-benar terpesona dengan semua ini karena dia dengan cepat merebut sendoknya dan mendorong bubur itu masuk kedalam mulutnya. Dasar bodoh. “Panas!”
Dia pikir dia lagi makan es serut apa? Dia memang pintar segalanya, tapi mendadak bodoh kalau lagi makan bubur panas itu. -_-“ Aku jengkel.
Dia mengeluh, tapi terus-terusan menyendoknya (dia cukup pintar kali ini karena dia tahu harus meniupnya terlebih dahulu.) kemudian menaruh kembali sendok itu dan meminum air putih yang tadi juga aku bawakan. “Diih, ini bubur instan ya? Aku pikir kamu menghabiskan waktu untuk memasak bubur asli. Tadinya aku sempat terharu.”
“Tamak sekali dirimu. Perjuanganku membuat ini nggak gampang tahu! Ada telur sama daging cincangnya. Bahkan aku sampai menaburinya dengan cilantro diatasnya, lihat kan?” Udah nampak jelas kalau aku sangat bangga dengan masakanku.
“Iya, kelihatan. Makasih banyak ya, lumayan enak kok.” Dia bilang buburnya enak, tapi aku memergokinya menaruh Maggi cari kedalam mangkuknya. Wah bukankah dia sungguh jujur denganku?
Aku tidak mau mengamatinya makan terlalu lama, (karena nggak mau ikutan lapar). Aku melihatnya sebentar lalu mengalihkan pandanganku ke permainan yang tadi ditinggalkan oleh Phun. Pilihan game yang bagus, dia sedang memainkan Devil May Cry 4. Aku sudah main game ini sejak dua bulan yang lalu, tapi tak kunjung selesai. Aku berpikir, mungkin karena kemalasanku, atau memang aku payah dalam permainan itu.
Saat aku mulai memegang kontrolernya, aku mendengar suaranya.
“Kamu nggak makan, Noh?”
“Nggak.” Aku mulai memencet tombol-tombolnya.
“Emang kamu nggak lapar?”
“Lapar sih, tapi nggak terlalu, aku bisa menunggu sampai nanti siang.” Aku tidak sedang diet atau gimana. Aku cuma menunggu p’Im untuk memasakkanku sesuatu, hehehe.
Phun kemudian diam. Saat aku sadar, tiba-tiba dia sudah duduk disebelahku membawa mangkuk berisi bubur itu.
Aku meliriknya sesaat karena aku sedang berkonsentrasi ke permainan ini. Sampai saat satu sendok penuh bubur itu menyentuh bibirku, aku sadar apa yang terjadi.
“Eh?! Apa-apaan ini?!”
“Ayo makan bareng. Aku tidak kuat menghabiskan bubur ini sendirian.”
“Buburnya nggak terlalu banyak kan.”
“Ayolah.” Dia terus mencomel jadi terpaksa aku membuka mulutku untuk menerima satu sendok penuh bubur itu. (Aslinya Aku lapar sih.) Wow, bubur instan buatanku ternyata enak juga.
Butuh waktu yang cukup lama bagi kami berdua untuk menghabiskan bubur itu sambil bermain game (walaupun cuma aku sendiri yang main) dalam kesunyian. Phun makan sesendok, kemudian dia mendulangku. Aku berusaha meraih bubur yang berada di bibirku dengan lidah, tapi tidak berhasil.
Mungkin Phun melihat betapa menyedihkannya usahaku untuk membersihkan sendiri bibirku, sebelum dia mulai tertawa dan membersihkan sisa makanan itu dengan ujung jarinya.
Aku menoleh kearahnya untuk berterima kasih (gangguan kecil ini tidak bisa merusak konsentrasiku bermain, aku memang pandai bermain), tapi hal itu malah berakhir dengan wajah yang hanya berjarak kurang dari satu inchi dari wajahku. Aku teriak karena terkejut sebelum menjauhi wajahnya. “Anjir gila! Kamu menakutiku!”
Tapi dia tidak membalas berteriak. Aku melihat Phun menaruh mangkuknya perlahan-lahan dan memutuskan untuk bergerak maju medekatiku. Wajahnya sangat dekat hingga aku bisa melihat detail-detailnya.
Mulutku rasanya ingin berteriak untuk minta diberikan sedikit jarak tapi matanya yang berkelip-kelip seolah-olah menghipnotisku dan mencegahku untuk bergerak. Jantungku berdegup makin kecang. Pikiranku terisi penuh dengan berbagai campuran rasa penasaran dan keinginan yang kuat untuk berusaha memahami semua ini.
Semua kegaduhan yang tadi ada sekarang benar-benar lenyap, Aku memblokir segalanya yang terjadi disekitarku.
Wajah Phun semakin mendekat. Wajahnya yang putih kekuningan sekarang menjadi merah merona padahal demamnya sudah hilang.
Aku bisa merasakan bibirnya yang merah hampir menyentuh bibirku. Hidung kami sudah bersentuhan satu sama lain.
Kelopak mataku tiba-tiba terasa berat dan kemudian aku membiarkannya terjatuh.
Kemudian mendadak aku tersadar kembali sepenuhnya.
Apa yang kami lakukan?!
Ditengah kebingunganku, aku mendorong Phun menjauh dengan penuh tenaga hingga ia terjungkal. Nampaknya dia juga benar-benar terkejut dengan apa yang sedang terjadi.
Kami duduk disini menatap satu sama lain ketika belum sadar sepenuhnya sesaat sebelum aku mengalihkan pandanganku ke tempat lain.
“Aku… Aku akan mengambil obatmu. Aku tidak mau kamu sakit lagi.”
Saat ini, aku tidak peduli lagi untuk mencari jawaban kenapa jantungku berdegup sangan kencang, hingga rasanya seolah-olah mau melompat keluar dari dadaku.
Aku menampakkan diri masuk sekolah hari senin ini dengan keadaan yang sungguh berantakan.
Aku mencoba untuk tidak memikirkan apa yang terjadi hari sabtu kemarin, tapi otak telah mengkhianatiku. Karena tidak peduli apapun yang sudah aku coba lakukan, mau duduk kek, berdiri, tidur, lihat sepak bola, main video game, bahkan cuma bergeraksatu langkah kecil didalam kamarku sendiri…
…yang muncul dalam benakku adalah wajah Phun yang bergerak mendekati wajahku.
Matanya yang menawan. Pandangan itu seperti pandangan penuh kehangatan yang biasa ia berikan kepada orang-orang disekitarnya, yang dimana, aku sudah mulai terbiasa dengan hal itu. Tapi sekarang, Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari tatapannya itu. Rasanya, Phun punya banyak hal yang ingin dia sampaikan saat aku melihat kedalam matanya. Aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Aku terlalu bingung untuk mengabaikan semua itu dan terus bergerak maju dengan hidupku.
Setelah mendorong Phun dan kabur untuk mengambil obatnya, aku tidak menyangkal kalau seluruh tubuhku gemetar. Pengalaman yang aku alami ini adalah pengalaman baru yang sama sekali belum pernah terjadi dihidupku. Aku tidak pernah punya perasaan seperti ini ke siapapun selama aku hidup. Bahkan Om, yang merupakan sahabat karibku, juga tidak seperti ini. Kalaupun kulitku dan Om saling bersentuhan, rasanya nggak seperti ini. Dengan Yuri juga begitu, dia yang biasanya selalu menyangkutkan diri kepadaku. Tapi dia juga tidak pernah berhasil membuatku memiliki perasaan seperti ini.
Rasanya aneh, karena pada dasarnya aku merasa akan jatuh pingsan, tapi juga ada rasa ketakutan diwaktu yang sama. Rasa penasaran mengisi pikiranku dan Aku sudah terlalu putus asa untuk mencari tahu hal apa yang mungkin terjadi setelah ini. Tapi ada sesuatu dari dalam yang berteriak kepadaku kalau hal ‘itu’ juga tidak menutup kemungkinan untuk terjadi.
Setelah kejadian itu, hal yang tersisa antara Aku dan Phun hanyalah sebuah kesunyian. Rasanya, kami masuk sangat dalam ke pikiran kami masing-masing. Phun nampak punya sesuatu yang sungguh banyak untuk dipikirkan. Sementara itu, aku terlalu kebingungan, bahkan sampai membuat obrolan basa-basi, aku juga tidak mampu.
Satu hari penuh sudah berlalu, dan kami hampir tidak menukar satupun kata sama sekali. Saat malam datang, Phun sudah sembuh, jadi aku mengendarai sepeda motorku menuju ke rumahnya.
Sampai saat ini, kami belum bertemu atau melihat satu sama lain lagi. Sangat aneh, bagaimana perasaan kosong didadaku saat dia tidak berada didekatku. Kalau dipikir lagi, hanya 4 hari sejak semua hal ini mulai terjadi antara aku dan dirinya.
Empat hari yang kelihatannya sangat lama. Rasanya menakjubkan bagaimana kami mampu membuat semua pengalaman itu dalam waktu yang lumayan pendek. Dari awalnya yang kita hanya sekedar saling tahu sampai menjadi teman yang sangat dekat. Memang orang bilang, sesama cowok itu mampu menjadi teman dengan cepat dan cenderung mengikuti arus saja, tapi seumur hidup, tidak ada orang selain Phun yang bisa membuatku mampu memberikan kepercayaan secepat itu.
Secepat itu sampai aku…
“Woi! Kenapa kamu sudah melamun saja!?” Suara Om yang keras dan berada didekat telinga mengganggu pikirannku. Si brengsek ini membuatku kesal, anjir.
Aku mencoba untuk tidak terlalu menaruh perhatian kepadanya dan meletakkan kepalaku di atas meja supaya aku bisa berpura-pura tidur. Tapi, dia memusatkan segalanya kepadaku dan menarik leherku, terpaksa aku berusaha bangun agar tidak tercekik. “Jangan tidur dulu woi! Hari jumat sabtu minggu kemarin kamu kemana? Tiga hari kemarin itu?”
Dia melemparkan pertanyaan yang sangat sulit bagiku untuk menjawabnya. Apa yang harus aku katakan kepadanya?!
“E-emang kenapa?”
“Pacarmu benar-benar menggila karena mencoba menghubungimu. Kamu mematikan HP-mu tiga hari berturut-turut, brengsek.” Konsentrasiku terhadap pertanyaan Om mulai terpecah karena aku terlalu sibuk mencari alasan agar Phun dan Aku tidak berada dalam masalah. Hari jumat dan sabtu, aku mematikan HP karena aku tidak mau ada yang mengganggu Phun (karena bisa membuat kondisinya memburuk dan aku tidak mau terus-terusan membuat makanan untuknya.) Tapi aku mematikan HP hari minggu kemarin karena…
Sejujurnya aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.
Nampaknya Om sadar, bagaimanapun kerasnya dia berusaha, dia tidak akan mendapat jawaban keluar dari mulutku. Dia terus-terusan mendesah cukup panjang. ”Seriusan nih, emang ada yang terjadi ya antara kamu dan Phun?”
“HAH!! APAA?!” Asu! Aku tidak tahu bagaimana orang lain bertindak, kalau mengadapi situasi yang mirip dengan yang aku alami, tapi Aku membuat kegaduhan yang benar-benar keras. Terlalu keras, sampai-sampai seluruh teman sekelasku menengok dan melihat ke arahku. Om menarikku dan menaruh tangan bodohnya yang (rasanya) asin untuk menutupi mulutku. “Brengsek lo! Kenapa kamu harus berteriak?!”
Aku mencoba memberontak agar lepas dari dekapannya sebelum dia melepaskan aku. “Maksudku, apakah ada sesuatu yang terjadi antara kalian? Pacarnya Phun nggak bisa menghubunginya juga tiga hari terakhir.”
“……………”
Om dan diriku sudah berteman selama bertahun-tahun. Sudah wajar baginya untuk memahami sesungguhnya apa arti aksi diamku ini.
“Santai aja, kalau nggak perlu kasih tahu kalau nggak mau. Cuma, pikirkan baik baik kalau kamu mau melakukan sesuatu. Nih catatan kemarin jumat. Keng dan aku menuliskan buat kamu.” Dengan tenang dia berbicara sambil mememberikan sebuah catatan untukku. Aku sadar kalau Om memberi tahu semua ini bukan karena dia tahu apa yang benar-benar terjadi. Walaupun begitu aku tidak punya keberanian untuk menatap balik matanya.
“Makasih, bro.” Aku berbicara setelah menerima catatan itu. Om menepuk bahuku beberapa kali seolah-olah dia ingin memberikan dukungan moral kepadaku.
Temanmu ini baik-baik saja, Om.
***
Hari ini masih menjadi hari yang tidak masuk akal. Sebenarnya Aku menjalani hidupku secara asal-asalan. Aku sudah kelas 11, aku bertanya-tanya apakah aku bisa mampu melewati ujian masuk universitas dengan keadaan semacam ini.
Tapi tetap saja, aku terus mengentengkan segala hal. Kalau nggak, mana mungkin aku membolos dari kelas, siang ini dan tidur-tiduran di belakang gedung sekolahku bersama Om seperti ini. Tapi bagaimanapun, kenapa bocah ini selalu menempel di pantatku seperti kumbang kotoran yang selalu menempel pada kotoran yang berhasil ia kumpukan?
Aku mencuri pandang si kumbang ini sedang menggunakan iPod untuk menutupi matanya saat sedang mendengarkan musik. Aku tidak bersungguh-sungguh saat mengeluh mengenai Om. Aku tahu aku bakalan sedih kalau dia tidak lagi berada didekatku. Omong-omong, rumputnya enak buat di tiduri, dan suasananya juga tidak terlalu panas. Aku rasa ini adalah tempat sempurna untuk tidur-tiduran karena matahari tidak menyinari tempat ini karena terhalang oleh gedung, sehingga aku bisa bergulung-gulung sesuka hati. “Ahh~” Aku menguap. “Rasanya males banget. Haruskah kita tetap disini saja sampai nanti sekolah selesai?”
“Hooh. Gitu aja.” Si brengsek ini nggak pernah sungkan-sungkan untuk membujukku melakukan sesuatu yang salah.
“Oke.” Tapi aku juga nggak mengingatkan dia toh, ha.
Kami tiduran dengan diam di belakang gedung Administrasi itu. Kalau ada Bruder yang membuka jendela, sudah pasti kami akan langsung ketahuan. (Dan Pa akan memarahiku habis-habisan sampai telingaku menjadi kebas.) Tapi tidak ada yang bisa kami lakukan juga untuk memperbaikinya. Kalau balik ke kelas, kami juga akan dimarahi.
Aku melihat keatas menyaksikan langit biru diisi oleh awan-awan yang melayang, saling menumpuk satu sama lain. Awan-awan itu mengingatkanku pada penampilan sebuah drama. Tergantung imajinasiku, aku melihat awan bersatu, kemudian berpisah, dan kadang mereka membuat sebuah jalur yang bersih dari awan. Aku belum melihat satupun burung yang terbang melewati tempat ini. Aku rasa hari ini terlalu panas, sampai-sampai burung tidak mau bergerak sedikitpun. Semuanya diam, dalam satu kesatuan utuh. Disini juga sama sekali tidak ada angin yang berhembus.
Aku merasa ingin tidak ingin bergerak ketika mulai berpikir mengenai segala hal yang terjadi sejak pagi ini.
Apa yang terjadi dengan Phun? Hal itu benar-benar mengganggu pikiranku sejak dia memutuskan untuk diam seribu bahasa dari hari Sabtu. Aku kira, semuanya akan kembali seperti biasa saat kami kembali masuk sekolah hari Senin. Aku salah besar.
Sudah sangat jelas hal-hal yang berubah hari ini. Sejujurnya, aku juga tidak bisa mengingat kembali bagaimana kami berdua saling berinteraksi sebelum kami mulai menghabiskan waktu bersama-sama. (Samar-samar aku ingat, kami tersenyum satu sama lain di satu waktu, untuk menyapa sekedar sopan santun dan meminta sedikit bantuan.) Hal yang ada didalam tanda kurung itu terjadi sebelum 4 hari terakhir terjadi. Tapi kenapa… nampaknya segala sesuatu malah makin buruk diantara kami walaupun rasanya kami juga sangat dekat 4 hari terakhir ini?
Aku berangkat sekolah dengan keadaan linglung pagi ini. (Dan sebagai hadiah tambahan, aku datangnya telat.) Biasanya aku ketemu Phun karena bocah itu anggota OSIS. Biasanya bergaul di luaran sana dan melakukan sesuatu di sekitar gedung Administrasi, yang dimana dekat dengan gerbang masuk sekolah ini, jadi kalau pagi biasanya aku melihat dirinya.
Biasanya, aku sering melambaikan tangan untuk menyemangatinya. Aku ragu untuk melakukan hal semacam itu pagi ini, tapi aku ingin segalanya kembali ‘normal.’
Tapi si brengsek itu benar-benar menanggapinya dengan sikap acuh tak acuh. Dia nggak tersenyum balik atau melambai seperti yang ia lakukan biasanya. Emang dia kenapa sih?
Aku harus mengakui kalau aku benar-benar merasa terganggu, tapi aku mencoba agar tidak terlalu cepat emosi seperti cewek-cewek pada umumnya. Aku meyakinkan diri sendiri kalau mungkin dia hanya tidak melihatku saja. Tapi dari lubuk hatiku yang paling dalam, Aku tahu kenyataan bahwa mata kami bertemu sebelum dia cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Tapi, disaat yang sama, aku juga mengingatkan diriku sendiri kalau Phun nggak punya alasan untuk bertingkah seperti itu.
Pikiranku seperti itu bertahan sampai saat jam pelajaran ketiga tiba dan kami harus pindah dari kelas ke laboratorium bahasa. Phun dan Aku tidak biasanya berpapasan satu sama lain. Dan biasanya nggak aneh kalau kami sama-sama saling mengabaikan, tanpa perlu menyapa lagi. (Dulunya kami tidak terlalu akrab.) Sampai hari ini… rasanya aneh.
Phun terkenal karena keramahannya. (Nggak aneh kalau misalnya kamu dan dia ternyata kenal satu sama lain karena dia ramah. Aku tidak akan terkejut kalau nantinya dia akan menjadi politikus setelah lulus.) Dan seperti biasa, aku melihatnya dari jauh tersenyum lebar dan tertawa bersama teman-temannya. Dia juga melambaikan tangan ke arah teman-teman sekelasku. Dia juga bercanda bersama Rodkeng dengan memukul kepala satu sama lain.
Tapi kemudian Dia melihatku. Kalian coba deh bayangkan adegan ini. Kamu melihat seseorang yang senang-bahagia-gembira tersenyum saat dia berjalan mendekatimu. Tapi pas dia melihat dirimu…
Baginya aku ini apa? Kenapa ekspresinya menjadi datar sekali seperti itu? Sebelum semua ini, aku akan mengacuhkan semua ini dan mungkin akan memanggilnya untuk bertanya, kenapa diam saja. Tapi tidak untuk hari ini.
Aku tidak memiliki alasan kenapa tiba-tiba aku berbalik dan menggenggam tangannya. Aku sendiri terkejut, begitu pula Phun. Dia nampak benar-benar terkejut sembari aku mencoba mengubur dalam-dalam semua amarah yang aku miliki dan akhirnya mampu berbicara sesuatu dengan lantang.
“Hi!”
Tapi bagaimanapun, apa yang aku dapat sebagai imbalan dari pemilik tangan itu hanyalah sebuah usaha untuk melepas kabur dari genggamanku. Mata yang biasanya berisi dengan tatapan lembut, sekarang berputar perlahan turun melihat kearah lantai.
“Hi…”
Sapaan itu adalah satu-satunya kata yang aku dengar keluar dari mulut Phun hari ini.
Aku tidak melihat dirinya dimana-mana selama istirahat makan siang. Tapi kemudian aku sadar kalau dia benar-benar tidak ingin menemuiku jadi mungkin itu saatnya bagiku untuk mulai menghindari dirinya.
Aku tidak ingin bertemu dengan dirinya tanpa sengaja. Karena kalau dia memilih untuk sengaja untuk menghindariku lagi…
… Aku mungkin tidak akan mampu lagi menahan senyum palsu itu.
Desahan panjang keluar dari mulutku ketika aku mengingat kembali memori-memori tentang apa yang terjadi sebelumnya. Beruntungnya bagiku, sekarang ada angin semilir yang melewati tubuhku. Dia mampu mengurangi stressku entah kenapa.
Apa yang terjadi dengan Phun? Kenapa dia bertingkah kayak gini tiba-tiba?
Kalau emang dia malu, bukankah aku yang seharusnya lebih merasa malu? Dan gimana kalau aku tetap maju terus kemarin, tapi dia tetap melarikan diri dariku seperti ini?
Aku benar-benar tidak mau memikirkan semua ini lagi.
Aku menutup mataku dan membiarkan angin membelai wajahku. Setidaknya, angin itu seolah-olahalam sedang berbaik hati menghiburku. Aku suka dengan rasa sejuk angin semilir yang menyentuh ujung hidungku. Semua itu mengingatkan kembali kejadian di hari lain.
Rasa lembut dari napas Phun yang membelai hidungku masih terjebak jelas di otakku.
Aku mendapati diriku sendiri tersenyum tanpa sadar ketika memikirkan segala hal yang terjadi empat hari terakhir ini. Walaupun momen-momen indah itu sudah lewat dan tidak mungkin kembali, aku masih bisa mendapat banyak rasa bahagia hanya dengan memikirkan hal itu.
Angin yang berhembus pelan masih terus meniup seluruh tubuhku. Aku sedikit lebih sejukan, tapi aku terlalu nyaman dengan posisi ini hingga aku tidak ingin bergerak.
Byur!
Kampret! Emang aku jamban?! Jangan buang air sembarangan ke tubuhku!
Aku tersentak hebat dan tersadar kembali ke alam nyata karena air dingin itu. Om ternyata sudah kabur ke planet lain. (Mungkin karena dia sayang kalau iPod-nya basah.) Temanku sungguh baik hati. Jadi siapa yang punya keberanian untuk merusak momen relaksasiku ini?! Jangan sampai aku tahu! Kalau yang melempar air bukan Bruder, maka kamu benar-benar mati ditanganku!
Aku mengomel dalam hati saat aku menyeret tubuhku kebelakang untuk melihat tersangkanya. Aku berbalik dengan pandangan mata yang mengancam untuk melihat orang yang bertanggung jawab, yang dimana masih memegang ember di tangannya. Tindakan itu membuatku menyadari tersangkanya bukanlah Bruder [ Guru ] melainkan…
“Noh…”
“Phun…?”
“Aku gak percaya kamu tega melakukan ini. Emang kamu masih marah sama aku gara-gara kejadian waktu kita nyuci motorku kemarin?” Aku menggerutu sambil memeras bajuku yang basah. Walaupun cuacanya panas, aku menggigil kedinginan karena basah kuyup. Terpaksa aku melepas baju dan menjemurnya supaya cepat kering.
“Dan siapa juga yang nyuruh kamu tidur di tempat itu? Gimana caranya aku bisa ngerti kalau ada orang brengsek ada disitu?” Gak ada yang namanya kompromi kalau bicara sama si pembuat onar ini. Pengandaiannya sungguh tidak ada habisya. Tapi, dia masih mau mengulungkan handuk dari ruang OSIS.
“Itu air bekas pel yak?”
“Apa? Nggak! Itu air bersih dari dispenser. Aku mau mengganti galonnya tapi masih ada sisa airnya didasarny, jadi aku buang saja airnya.”
Aku berharap dia berbicara jujur. Aku menerima handuk kecil dari tangannya dan buru-buru mengeringkan tubuhku. Tadinya aku berniat untuk membiarkan tubuhku kering sendiri dengan cara membiarkan hembusan udara AC yang bekerja. Sementara itu, Om sudah balik ke kelas. Tapi sebelum dia pergi, dia memberikan kuliah panjang tentang aku yang sudah memilih tempat yang buruk untuk tidur-tiduran dan aku adalah alasan Om yang merasa tidak bisa menikmati ‘nikmat membolos’ itu. Jadi, entah gimana caranya, aku adalah orang yang bertanggung jawab atas semua ini, gitu?
Saat menggerutui Om didalam pikira, aku bisa merasakan ada handuk besar yang dilemparkan ke arahku. “Pakai itu untuk menutupi tubuhmu.” Phun memberitahuku.
Aku memegangnya, masih agak bingung. “Aku bisa pakai yang kecil saja, ini udah cukup untukku.”
“Pakai itu sekalian. Pakai itu… untuk menutupi tubuhmu sendiri.” Apa maksud dia sekarang? Kenapa aku harus menutupi tubuhku sendiri?
Nampaknya Phun bisa membaca isi pikiranku dari tatapan mataku yang kelihatan bingung. “Kamu nanti bisa demam.” Oh, gitu. Aku mengangguk sebelum menyampirkan handuk di bahuku dan kembali mengeringkan rambutku. Untungnya, celanaku tidak ikutan basah, kalau nggak, hari ini bakal menyebalkan sekali.
Waktu berlalu, sekarang cuma ada suara AC yang mengisi ruangan ini. Tiba-tiba rasa canggung menghampiri.
“Apa kamu nggak seharusnya ada di kelas?” Aku memutuskan untuk memecah keheningan ini.
“Aku menunggumu sampai benar-benar kering.”
“Demammu balik lagi nggak?”
“Nggak…”
“Jadi kenapa hari ini kamu mengabaikan aku…?”
“……….”
Pertanyaan itu bukannya aku lontarkan dengan tidak sengaja. Aku benar-benar ingin bertanya kepadanya. Aku menatapnya dalam-dalam. Aku ingin dia tahu, bahwa situasi semacam ini tidak akan membawa dampak apa-apa terhadapku.
Phun melihatku sekilas untuk beberapa saat sebelum dia berbalik untuk mengambil bukunya di atas meja.
“…bisakah kamu mengunci ruangan ini kalau kamu sudah selesai? Aku harus kembali ke kelas.” Itu jawabannya.
Dia memberi tahu kalau dia tidak lagi ingin seseorang seperti diriku menjadi temannya.
***
Kenyataannya, kebanyakan anak sekolah bakal senang untuk menghabiskan waktu setelah jam sekolah usai. Aku bukan salah satu dari mereka. Aku tiba-tiba merasa ketakutan sendiri kalau-kalau ada seseorang yang memanggil dan mengajakku ke suatu tempat.
Kata orang, kalau kamu makin takut dengan sesuatu, maka makin besar kemungkinan untuk menjumpai sesuatu itu. Jadi Yuri itu orang beneran atau hantu? Kalau aku tiba tiba mengeluarkan keringat dingin diseluruh tubuhku, maka hari itu juga dia akan meneleponku untuk mengajak menemaninya pergi ke suatu tempat.
Aku balik ke Siam lagi hari ini, dengan Yuri yang merangkul lenganku kali ini. Suara Yuri yang berbicara riang bersaing dengan musik yang diputar di dalam toko. Tapi, tidak ada satupun suara itu yang mampu menembus pikiranku.
Aku masih memikirkan tentang apa yang Phun bilang dan bagaimana dia bertingkah, yang dimana sangat menggangguku sepanjang hari. Aku tetap memikirkan hal itu walaupun Aku tahu tidak ada manfaatnya.
“Noh, menurutmu ini lucu nggak? Aku pengennya sih warna pink, tapi warna oranye juga cantik. Yang mana yang harus kubeli? Kamu bisa pilih yang biru saja. Noh? Noh? Noh?!” Suara keras terakhir, yang dimana menyebut namaku, menyadarkan dari segala lamunan. Sebenarnya, Aku sama sekali tidak mendengarkan satupun hal yang Yuri sampaikan kepadaku. Aku hanya dengar dia memanggilku namaku tiga kali.
“I-iya?”
Kurangnya perhatianku menyebabkan gadis yang memanggil namaku ini menggembungkan pipinya, mengungkapkan perasaannya yang tidak senang. Tapi itu semua langsung berubah menjadi sebuah senyuman. “Aku akan beli yang oranye dan kamu yang biru, oke?”
“Oh, iya. Harganya berapa?” Aku mencoba menyunggingkan senyum untuk orang yang tidak pernah kecewa terhadapku ini. Aku meraih dompet berniat untuk membayar benda itu, sama seperti apa yang akan dilakukan oleh pacar-pacar yang baik.
“Aku saja yang membayarnya. Aku membelikannya untukmu, Noh.”
“Sudah nggak papa. Kamu bayarinnya lain kali saja kalau kita beli barang yang mahal. Aku akan bayar yang murah-murah saja.” Aku memberi tahunya dengan nada bercanda, tapi gantungan kunci yang nampak bodoh ini ternyata harganya juga tidak murah.
Yuri tertawa, “Tentu!” Dia memberikan senyuman lebar sebelum membawaku ke kasir.
Setelah kami menerima gantungan kunci yang ditaruh didalam tas kuning kecil dari tokonya, Yuri buru-buru memasangnya ke tas sekolah kami masing-masing. Aku berdiri terpukau saat melihat dirinya memusatkan semua tenaganya untuk menyangkutkan gantungan kunci ini. Setelah beberapa saat, dia menengadah dengan senyuman dan memamerkan hasil karyanya. “Jangan dihilangin, oke?”
“Iya.”
Kami berjalan sambil menyatukan lengan kami disekitar toko pakaian ini untuk beberapa saat sebelum Yuri mengeluh kalau dia lapar. Sambil melucu dia memintaku pergi dari Siam Discovery menuju Siam Center agar kami bisa menemukan sesuatu untuk dimakan. Dan seperti biasa, Aku tidak pernah bisa menolak permintaannya.
Kami ngobrol sepanjang jalan sampai kami tiba di toko buku di salah satu lorongnya. Yuri menghentikan langkahnya dan melambai keseseorang.
Itu Aim dan Phun?!
Selama bertahun-tahun, aku tidak pernah bertemu dengan mereka berdua tanpa sengaja. Aku tidak tahu kenapa akhir-akhir ini kami selalu bertemu dengan mereka.
“Ayo sapa mereka!” Yuri tidak menunggu jawaban dan langsung setengah menyeret - setengah menarik tubuhku masuk ke dalam toko buku itu. Dia mengabaikan kenyatan bahwa aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak beranjak. “Aku pikir kita jangan ganggu mereka” Yuri tetap mengabaikanku.
“Wah, kebetulan sekali. Aku melihatmu buru-buru pergi dari sekolah, ternyata kamu janjian ya sama Noh.” Aim membuka mulut begitu Yuri dan aku menghampirinya. Phun berdiris disana melihat majalahnya dengan diam. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku ucapkan.
“Lihat, lihat, lihat! Bukankah gantungan ini sangat lucu? Noh membelikannya untukku barusan.”
“Wah, lucu sekali! Phun, mau nggak beliin aku juga?” Penyakit yang timbul saat gadis-gadis saling bertemu mungkin sudah mewabah. Di detik saat Aim melihat gantungan ini (yang dimana aku merasa benda ini terlihat bodoh) di tas kami, dia langsung menarik lengan Phun ketika dia masih membaca majalahnya.
Hal itu memaksa Phun untuk mendongak penasaran. “Hm?”
Sepasang mata tajam itu berhenti sejenak mengamati gantungan ini sebelum langsung menoleh ke Aim dengan sebuah senyuman. “Oh, ya pasti.”
“Belinya yang sepasang mirip punyanya Yu dan Noh, ya?”
“Iya.”
“Wah! Kalian tukang tiru! Omong-omong kalian sedang membaca apa?” Yuri menggangu percakapan antara Aim dan Phun sebelum dia mengijinkan diri sendiri membalik majalah di tangan Phun untuk melihat sampulnya. “EH?! Ini Apa?! Majalah Rencana Pernikahan?! Kalian berdua belum lulus SMA juga!” Suara Yuri membuatku menoleh dan melihat kearah majalah itu.
Phun berpura-pura melihat kearah lain agar dia tidak perlu menatap mataku sebelum dia mengambil majalah lain untuk dibaca. (Sekarang dia memegang majalah tentang Formula 1 ditangannya.) Ada tawa kecil yang datang dari Aim. “Cuma lihat-lihat aja kok, karena aku pikir gaunnya cantik-cantik.”
“Diih, apa kalian terburu-buru? Noh, apa kita harus melihat-lihat (majalah pernikahan) juga ya?” Yuri bertanya dengan nada tinggi sebelum menoleh ke arahku yang dimana membuatku tersentak.
“Apa… apa kamu pikir itu ide yang bagus?”
“Hahahaha.” Tawa Aim pecah setelah mendengar jawabanku. Pipi Yuri menggembung lagi.
“Kamu harusnya mengikuti arah candaanku, Noh. Aku sangat sedih sekarang.” Gimana caranya aku tahu kalau dia sedang bercanda?! Mungkin kami secara abu-abu setuju untuk menjadi pasangan, tapi nggak ada yang abu-abu mengenai pernikahan. Aku bisa berpikir untuk diriku sendiri, tahu. -_-“ Yuri memukul lenganku dua kali sebagai sebuah hukuman.
“Kami nggak akan mengganggu kalian lagi, kami akan cari makanan. Sampai bertemu disekolah besok, oke?” Kami memutuskan untuk pergi dari tempat itu setelah mengobrol. Yuri melambaikan salam perpisahan ke arah mereka, yang dimana mereka masih memegang majalah itu di tangannya. Aku memutuskan untuk ikut melambai dan mengikuti Yuri ke jalan keluar.
Aku sudah pasti sampai diluar toko buku ini, kalau seseorang tidak menarik lenganku.
Aku tersentak sambil memutar badan untuk melihat sebuah tangan menggenggam tanganku, tangan yang sangat aku kenal. Tangan itu bergerak perlahan dan mencoba memasukkan jarinya di sela-sela jariku. Apa yang dia lakukan? Aku menatap tangan itu dan kemudian menatap wajah Phun. Pacar Phun sepertinya tidak sadar tentang apa yang terjadi.
Bibirnya menyunggingkan senyum simpul kecil dalam waktu yang singkat. Dia meremas tanganku erat sebelum melepasnya kembali.
Aku tidak mengerti apa yang Phun coba beri tahu kepada diriku.
Kepalaku aneh karena rasanya hampa sesampainya aku di rumah. Sepanjang hari ini tadi, banyak hal yang harus kupikirkan. Tapi sekarang? Semua hal yang tadinya menggangguku memutuskan untuk melebur menjadi satu bola bundar putih yang melayang-layang didalam benakku dalam sekejab mata.
Mungkin tingkat stressku sudah melewati batas. Kalau aku memutuskan untuk lanjut memikirkan semua ini, mungkin aku akan berakhir tragis menjadi orang gila. Aku bergulung kesana kemari diatas kasur sebelum aku mulai merangkak untuk meraih game baru untuk kumainkan agar bisa menghilangkan, paling tidak, sedikit rasa stres ini. Tapi sayangnya, aku sama sekali sedang tidak berminat memainkannya.
“Phun brengsek.” Aku mengutuknya walau tahu kenyataan, kalau dia sedang tidak berada dihadapanku. Aku mendapat sedikit rasa puas meski begitu. Mengutuk orang itu sesungguhnya lumayan membantu.
“Phun brengsek! Lubang-pantat! Si aneh! Cabul! Playboy! Pelacur idiot! Kamu… Kamu itu… Kamu itu…!” Apa lagi ya yang bisa kukatakan?! Aku berpikir saat benar-benar kesal. Aku menendang bantal yang tergeletak dilantai. Bantalnya terbang ke sisi lain ruangan ini.
“Anjir lah…” Aku benar-benar tidak tahu kosakata apa lagi yang bisa disematkan untuknya. Aku mondar-mandir, bergumam sendiri seolah-olah aku sudah sangat terpojok, terjebak, tanpa jalan keluar. Tapi kemudian, aku mendapat sebuah ide.
Drok! Drok! Drok! Drok!
“Noh! Mau kemana kamu!? Hati-hati lah turun tangganya!”
“Aku mau pergi ke rumah teman, cuma sebentar kok!” Aku membalas teriakan Ma sebelum menaiki motor dan pergi.
***
Jadi disinilah aku, di rumah besar sekali lagi. Aku memarkirkan motor di depan kediaman keluarga Phumipat dan melihat kearah lantai dua. Aku bisa melihat kalau lampu di kamarnya Phun masih menyala, itu artinya dia sudah kembali ke rumah.
Bagaimanapun, apa yang akan aku lakukan disini? Apa yang harus kukatakan kepadanya? Gimana caranya kami bisa meluruskan situasi ini? Sejujurnya aku tidak tahu. Aku hanya tahu kalau kami butuh berbicara empat mata mengenai sesuatu.
Jalanan di depan kediaman Phumipat sudah menjadi sasana berolah raga pribadi bagiku, karena dari tadi aku terus mondar mandir sampai merasa pusing. Aku masih ragu apakah seharuskah aku masuk kedalam. Tapi tiba-tiba mobil besar bergerak mendekati gerbang itu dan kemudian aku mendengar seseorang memanggil namaku dari kursi belakang, bersamaan dengan itu, jendela perlahan terbuka. “P’Noh?”
Nong Pang?!
“Apa kamu kesini mau ketemu sama p’Phun?” Omong-omong tentang memalukan. Aku tiba-tiba merasa sebagai salah satu cowok gay yang terlewat terikat dengan pasangannya.
Tapi nampaknya dia sangat menikmati momen ini. -_-“
“Kenapa nggak masuk dulu?” Lihat itu? Aku memberinya senyum masam. Adik perempuannya Phun menekan tombol di remote untuk membuka gerbang besar itu. Dia juga mempersilahkanku memasukkan motor untuk ditaruh di sebelah mobil eropa cantik ini di garasi.
“Kamu biasa pulang malam-malam gini ya?” Aku mulai basa-basi sekedar bersopan santun saat dia menginjakkan kaki, keluar dari mobilnya. Aku bisa melihat kalau dia masih mengenakan seragam sekolah. Err, aku juga sih. Tapi setidaknya aku sudah mengganti sepatu dengan sendal.
“Aku ada les tadi. P’Phun bukannya sudah dirumah? Kenapa kamu nggak naik keatas dan langsung menemui dia saja?” Dia bicara kepadaku setelah dia melihat bahwa lampu kamar Phun menyala.
“P’Noh, apa kamu dan p’Phun sedang bertengkar?” Oh! Dia bakal dapet hadiah utama dengan pertanyaan itu! Kenapa indera-mu kuat sekali, nong Pang?! Aku lupa untuk membuat alasan ketika mendengar suara yang ceria melontarkan pertanyaan itu.
Bagaimana aku harus menjawabnya? “Ah… nggak juga. Sebenarnya, aku juga tidak tahu sih, heh.” Apakah itu layak disebut sebagai sebuah jawaban? -_-“
“Kenapa kamu berpikir seperti itu, nong Pang?”
“Yaa, sejak dia pulang dari rumahmu hari sabtu kemarin, dia nampaknya benar-benar tertekan dan makan tidak banyak seperti biasanya. P’Noh, tolonglah, jangan marah sama dirinya. Kadang dia memang bodoh dan cepat marah, tapi dia benar-benar mencintaimu.” (Coba dengarkan dia, membicarakan hal jelek mengenai kakaknya.) Sebenarnya, disini siapa yang marah dengan siapai? Dan tunggu, Phun mencintaiku?!
Rasa penasaran pasti tergambar jelas di wajahku karena Pang terus bercerita tanpa perlu bagiku untuk menanyakan sesuatu.
“Tawa P’Phun semakin keras sejak kamu datang ke hidupnya. Tentu saja, Aku melihat banyak gadis yang menjerit dan berteriak untuknya, tapi dia nggak pernah membawa satu orang pun masuk ke dalam rumah untuk menemuiku. P’Phun benar-benar mencintaimu, p’Noh. Aku bisa tahu itu.”
Aku memberinya senyuman putus asa sebagai jawaban, aku tahu dengan baik kalau semua kata-kata yang ia lontarkan hanyalahsebuah kebohongan belaka.
Phun nggak akan pernah mencintai seseorang seperti aku, Pang.
***
Pang dan Aku pergi berpisah jalan dan sekarang Aku berdisi didepan pintu kayu yang besar. Aku bertanya-tanya, haruskah aku mengetuk sewajarnya manusia, atau mendobrak pintu ini dan langsung memaki-maki pemilik kamar ini. (Aku lebih memilih yang nomor dua.) Aku punya banyak alternatif lain selain itu, tapi tetap hanya ada satu cara untuk melakukannya.
Aku memutuskan untuk mengetuk pintu kamarnya, tapi aku berpikir kalau dia tidak akan bisa melihatku melalui lubang intip. Aku berdiri di titik yang tidak terlihat dari lubang itu. Bukannya aku mencoba untuk memberinya kejutan. Aku takut kalau dia tidak mau membukakan pintu kalau melihatku berdiri disini.
Aku langsung masuk begitu pintu itu sedikt terbuka.
“Noh?!” Bagus. Kejutan~.
“Kamu nggak perlu berpura-pura jadi ninja. Ada apa?”
Mendadak aku merasa sangat kesal ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut Phun. Siapa yang dari tadi, kemarin dan sebelum-sebelumnya selalu mengindariku dan memaksaku untuk berpura-pura menjadi ninja? Alisku mengrenyit dan aku menatapnya. Dia masih memakai seragam sekolah. Nampaknya dia juga barusan sampai rumah.
“Udah makan malam belum?” Dia bertanya sambil berjalan mendekati kulkas-mini-nya. Dia memberiku sebuah Cola kalengan. “Oh, tapi kamu sudah makan bareng Yuri tadi. Aku lupa.”
“Dan kamu juga sudah makan bareng Aim. Kamu punya bir? Aku nggak mau ini.” Dia memberikan tatapan bingung tapi kemudian dia melempar apa yang aku minta ke arahku.
Aku menangkap kaleng itu dan aku bersandar malas di sofa. Phun menghampiri dan duduk disebelahku dengan sebuah kaleng bir ditangannya.
Kami duduk dalam keheningan sambil melihat apapun acara yang di putar di Cartoon Netwok yang Phun setel. Tidak ada satupun dari kami yang melontarkan sebuah kata. Aku bisa bilang kalau perhatian Phun tidak berada di TV itu karena dia juga tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sama seperti dia, Aku juga tidak memperhatikan Tom & Jerry sama sekali.
“Heemm…” Aku melepaskan desahan panjang saat berbaring makin dalam ke sofa sambil mendongakkan leherku.
“Ada masalah apa?” Phun akhirnya mengatakan sesuatu.
“Kamu ini lagi lihat apa sih? Acaranya bodoh banget.”
“Apaan sih? Kalau ga mau nonton, nih ambil remotnya, ganti dengan saluran lain sesukamu.” Dia menaruh remote di pangkuanku. Kenyataannya, aku datang kesini bukan untuk melihat TV bersama dirinya. Tapi Aku pikir diriku tidak akan mampu memulai percakapan untuk saat ini.
Aku mengganti-ganti saluran TV dan berhenti di saluran nomor 55 untuk sesaat.
“Oh, kamu memanggil acara TV-ku bodoh tadi, dan sekarang kamu sendiri nonton Winnie the Pooh?”
“Terserah, Aku ingin jadi Tigger.”
“Tigger?”
“Iya. Dia keren kan?”
“Tapi Tigger itu macan yang bodoh kan.” Phun memprotesku yang ku balas dengan mengrenyitkan kedua alisku.
“Dih, terserahlah.” Kalimat itu akhirnya menyimpulkan pembicaraan kami, apa saja yang termasuk bodoh dan tidak. Aku melihat Tigger melompat masuk kedalam kolam agar dia bisa bermain bersama Pooh. Aku tidak bisa menyangkal kalau tiba-tiba teringat kejadian siang hari tadi.
“Kamu membuatku basah kuyup hari ini.” Keluhanku nampaknya membuat Phun menyunggingkan senyuman. Dia tertawa kecil untuk sesaat sebelum menatap wajahku. “Siapa juga yang menyuruhmu tidur di tempat itu, Noh?”
“Nggak ada sih memang… tapi… tapi semuanya karena dirimu…” Aku menjawabnya tapi mataku masih tertuju ke layar televisi, walaupun perhatianku tidak disana. Dengan alkohol yang sudah masuk kedalam tubuhku, aku merasa lebih mudah untuk mulai berbicara. “Semuanya salahmu…” Aku mengulang sekali lagi agar dia mendengarkan.
“Memang aku melakukan apa?”
“Kamu mengabaikanku seharian. Aku sangat kesal sampai-sampai aku membolos kelas untuk tidur-tiduran di belakang gedung tadi. Dan bisakah kamu berhenti bicara terlalu resmi denganku?! Kamu ini kenapa?” Bagiku, rasanya dia sedang menyembunyikan sesuatu karena bertingkah sok sopan. Hal itu membuatku makin geram hingga Aku berteriak dan mematikan televisinya.
“…………………”
Kami terdiam untuk waktu yang lumayan lama. Hanya terdengar suara tenggorokan yang meminum bir tanpa berhenti sama sekali. Aku mulai bertanya kediri sendiri haruskah aku juga membuat diriku mabuk saat ini.
“Aku… Apa kamu tahu seberapa besar cintaku terhadap Aim?” Phun sekonyong-konyong bertanya kepadaku. Rasanya itu seperti seribu pisau yang menancap tepat di tengah-tengah hatiku.
“Gimana aku bisa tau? Itu kan urusanmu.”
“Gak peduli apapun yang Aim lakukan, Aku selalu memaafkan dia. Kalau dia sedang bertingkah menyebalkan, melakukan sesuatu dengan caranya sendiri atau ketika dia memaksaku untuk melakukan hal yang benar-benar tidak ingin kulakukan. Rasanya aku pasrah dengan segala jenis perintahnya.
“……..”
“Tapi kemudian hari Rabu datang, hari dimana kamu datang kepadaku untuk minta bantuan… dan sampai sekarang, sampai malam ini…”
“………”
“…. segala hal terasa aneh bagiku.”
Aku sudah muak dengan Phun yang berbicara kesana kemari tanpa tujuan yang jelas. “Jadi sebenarnya apa yang ingin kamu sampaikan? Apa yang kamu maksud dengan ‘aneh?’ Maaf, aku dapet nilai jelek dalam pelajaran bahasa.” Aku menatap wajahnya saat dia menarik napas dalam-dalam. Kemudian dia meneruskan kalimatnya tanpa sekalipun melihatku.
“Noh… bisakah kamu membiarkan aku untuk menjadi diri sendiri selama beberapa sesaat? Aku tidak bisa menahan diri karena menginginkanmu. Aku benar-benar tidak tahu malu karena sudah mencoba menciummu. Maksudku, Aku juga tidak tahu bagaimana perasaan ini muncul dan kapan mulai terjadi terhadapku. Saat aku menyadari semua itu, orang yang aku inginkan untuk selalu berada disisiku adalah kamu seorang. Setiap kali kamu datang untuk membantuku dan merawatku, Aku terus berpikir untuk diriku sendiri, Aku berharap, Akulah orang yang harusnya merawatmu. Aku memang bajingan brengsek karena tidak bisa jujur denganmu. Dan kalau kita sedang sendirian, Aku harus memaksa diri untuk berusaha tidak menyentuhmu. Apa kamu tahu kalau makin lama, perasaan itu makin susah ditahan? Bisakah kita menjaga jarak untuk sementara waktu? Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri saat ini.”
Phun selesai mengeluarkan isi hatinya. Rasanya seolah-olah dia sudah menyimpan semua itu jauh didalam lubuk hatinya dengan waktu yang sangat lama. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain duduk diam. Setiap kata-kata masuk melalui telinga kiriku, tapi kata-kata itu tidak semerta-merta keluar dari telinga kananku. Aku harus mengakui kalau semua hal yang terjadi ini, benar-benar diluar dugaanku.
Aku bisa mengatakan itu karena sudah melihat cara Phun menutup matanya rapat-rapat dan tampak sungguh merenungkan segala hal yang terjadi. Dia menaruh kedua telapak tanganya yang berkeringat di dahinya.
Kepalaku sekarang kosong. Rasanya seseorang sudah mengangkat sebuah beban seberat gunung dari dadaku. Sulit sekali untuk menjelaskan apa yang aku rasakan saat ini. Tapi ada beberapa hal yang membuatku masih ragu.
“Kenapa kamu… memaksa diri untuk berusaha tidak menyentuhku?”
Phun menggelengkan kepalanya, matanya masih tertutup rapat.
“Karena persahabatan diantara kita berdua, bagiku sungguh amat sangat bernilai dan tidak sepadan kalau aku berusaha mengkhianatimu. Karena kamu itu cowok, dan Aku juga. Karena kamu memiliki Yuri, seperti Aku memiliki Aim. Karena apa yang aku pikirkan mungkin akan membuat dirimu sangat membenciku dan mungkin kamu tidak akan mau menjadi temanku lagi. Apa kamu mengerti bahwa ada alasan yang menyadarkanku kalau aku tidak bisa melakukan ini? Bahwa segala yang aku lakukan adalah kesalahan. Dan Aku… Aku… Aku sungguh tidak tahu apa yang harus aku lakukan lagi.” Ini kali pertama aku melihat seseorang yang biasanya bisa diandalkan seperti Phun, menyandarkan dirinya di tembok. Suaranya begetar hebat saat dia lanjut berbicara.
“Aku… tidak ingin membuat segala sesuatunya menjadi makin buruk mulai saat ini.” Kata-kata itu menghantamku. Wajah Phun penuh dengan keputus-asaan. Wajah itu memberi tahuku, betapa lemah dan ringkihnya keadaan dia saat ini. Hal itu makin menonjolkan kenyataan bahwa laki-laki yang aku lihat di hadapanku ini bukanlah Phun Phumipat seperti yang semua orang tahu. Dia, yang berada didepanku ini, bukan siswa hebat, sekretaris OSIS dari sekolah kami.
Laki-laki dihadapanku ini adalah Phun. Hanya Phun. Bocah cowok yang mencoba untuk memproses semua perasaannya itu. Dan nampaknya dia tidak akan mampu melewati semua ini.
Aku tidak bisa menyangkal kalau aku melihat sekilas bagian kiri wajah Phun yang sudah berubah dari tadi, tapi memikat disaat bersamaan. Aku tidak tahu pikiran mana yang menginspirasiku untuk menggengam tangannya, berharap bisa menyalurkan - semacam kekuatan batin untuk dirinya.
“Kalau kita mengabaikan semua alasan itu, kalau kita berhenti berpikir tentang menjadi seseorang yang dilihat orang lain, atau mengabaikan apa yang dibilang orang salah dan benar untuk dilakukan…” Aku mencoba mencari sebuah kejujuran dari tatapan mata yang saat ini berisi banyak pertanyaan dan rasa kebingungan.
“…apa yang benar-benar ingin kamu lakukan?”
Phun memberi jeda sesaat untuk menatap mataku dalam-dalam sebelum dia meraihku dan menarikku ke dekapannya. Wajahnya dan segala yang ada di situ bergerak mendekati wajahku. Dan aku kembali merasakan perasaan yang aku alami kemarin.
Bibirnya yang berwarna oranye muda menghimpit bibir milikku sebelum dia membisikkan sesuatu kepadaku.
“Aku menginginkan dirimu, Noh.”
Kalau, katakanlah kami memutuskan untuk tetap melanjutkan momen ini tanpa mengkhawatirkan konsekuensi yang mungkin akan kami hadapi nanti di masa depan, apakah itu mungkin (untuk dilakukan)?
Buat bung TS, ini bener ngambil dr terjemahannya VA kah? kalo bener, mending disebutin jg nama ybs, kasian udh cape2 nerjemahin ke bahasa indonesia.
Gimana pendapat empunya trit sebelah? cc: bung @chlorox