It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Perkenalkan namaku Fikar, nama lengkap ku adalah Zulfikar Muhammad. Aku sekarang adalah siswa kelas 12 SMA. Aku lahir pada tanggal 12 agustus 1996, jadi saat ini aku berumur 18 tahun. Aku adalah seorang SSA (same sex attraction). Aku lebih senang menyebut dengan istilah ini. Walau orang lain menyebut gay tapi aku tidak terlalu suka. Aku berbeda dengan gay kebanyakan, aku tidak suka aktivitas seksual yang mereka lakukan dan berusaha untuk tidak melakukannya.
Awal sadar menjadi SSA adalah saat kelas 6 SD entah kenapa aku selalu memandang teman sekelasku yang namanya Anas.
Balik ke masa SMA saat ini. Tentu banyak yang menjadi High School Crush ku, dari Alberto, hingga saat ini adik kelas bernama Arif. Ya selama ini aku Cuma berani menjadi pengagum rahasia. Tidak berani membuat kontak dengan Arif. Arif memiliki wajah yang imut, berkacamata dan berhidung mancung. Aku menjadi suka terhadapnya karena suatu ketika dia ku lihat tidak pakai kacamata dan seketika dunia ku teralihkan. Saat itulah momen bisa memandangnya, walau dari jauh, merupakan hal yang menyenangkan bagiku. Aku selama ini Cuma bisa berteman dia di facebook. Paling berani aku Cuma me like status dia.
Aku pikir jika aku harus memiliki pacar cowok aku akan mencari yang seperti Arif. Tapi semua berubah saat ada seorang facebook mengirim pesan pada ku. Lelaki berumur 26 tahun dengan penampakan sedikit berkumis dan berjenggot tipis itu menjadikanku mengubah haluan. Awalnya Cuma nyapa saja, dan berkirim pesan, kemudian bertukar no whatsapp. Memang aku bergabung dengan grup tertutup gay di kota ku. Rupanya dari sana lah pria bernama Prasetya atau yang biasa ku panggil mas Pras menemukan ku.
Sebelumnya aku tidak tahu penampakan mas Pras sebelum aku melihat avatar yang mas Pras pakai di whatsapp. Ya aku kagum, mas Pras memang memiliki wajah rupawan, dengan aura pria yang kuat. Saat itu, setiap saat aku merindukan mas Pras mengirim pesan, mengucapkan selamat pagi, selamat malam, dan tentu saja saat menyapa ‘adek’. Awalnya aku sedikit aneh dengan panggilan ini karena aku adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Tapi lama lama, aku terbiasa.
“adek… sedang apa?” ucap mas Pras saat di telepon.
“lagi belajar mas. Mas Pras sedang apa?”
“oh, mas Pras sedang sibuk banget nih”
“sibuk apa mas Pras?”
“sibuk memikirkan adek”
“aahhh gombal”, ku tinggikan suara ku mendengar rayuan mas Pras.
“ya udah deh, jika adek gak suka!” terdengar suara mas Pras yang sengaja di buat sendu.
“hehe… gak kok mas, adek juga selalu memikirkan mas Pras”, ucapku jujur.
“wah beneran dek?”
“bohong”, ucapku dengan bercanda.
“yeee adek gitu, tega membohongi mas.”
Aku Cuma tertawa.
“dek sabtu ketemu yuk?” tawar mas Pras.
“ketemu mas? Ketemu dimana?” tanyaku penuh ingin tahu, karena aku dan mas Pras beda kota. Jika ditempuh dengan sepeda motor mungkin sekitar 3 jam atau jika dengan bus 4 jam. Entahlah aku belum pernah ke sana.
“mas ada pelatihan di kota adek kamis jumat ini. Sabtu bisa ketemu dek”
“beneran mas?”
“iya, masak mas bohong sih?”
Aku menjelaskan pada mas Pras bahwa sabtu aku masuk sekolah sampai jam satu. Biasanya pada hari sabtu itu sekitar jam dua aku ambil dagangan. Iya selain aku sibuk dengan sekolah aku juga memiliki bisnis yang ku mulai saat kelas sebelas. Jadi bisnis yang ku jalani adalah menjual roti ke warung warung dan toko. Aku memasok roti dari pabrik bu Lek ku. Bu lek ku sejak dua tahun yang lalu memiliki usaha pembuatan roti.
Bisnis yang di mulai bu lek ku sebenarnya adalah kebangkitan beliau dari keterpurukan setelah gagal dalam rumah tangga. Bu Lek ku bercerai dengan suaminya karena perselingkuhan yang dilakukan oleh suaminya. Harus menghidupi kedua anaknya memaksa bu lek ku memulai usaha dan bisa sukses selama dua tahun ini. Aku yang awalnya tidak berpikiran untuk berbisnis dan focus ke sekolah jadi berpikir sebaliknya saat bu Lek ku menawari ku untuk menjual rotinya di kota ku. (kami beda kota dengan jarak tempuh sekitar 1.5 jam). Awalnya ragu dan malu ketika menawarkan roti-roti itu. Tapi karena memang roti yang dibuat bu lek ku berbeda dengan roti-roti kebanyakan, dengan cepat roti yang ku jual cepat diterima pasar. Setidaknya dari usaha ku saat ini bisa kredit sepeda motor dengan usaha ku sendiri.
Akhirnya aku dan mas Pras sepakat bertemu pada malang minggu atau sabtu malam. Mas pras sebenarnya mau ketemu siang hari agar malam nya bisa balik agar tidak perlu menginap lagi. Tapi karena demi pekerjaan ku, mas Pras setuju untuk bertemu pada malam hari.
Komunikasi kami sangat intens. Walau aku sudah bilang pada mas Pras kalau aku tidak bisa di telepon setiap saat. Selalu saja ada satu dua panggilan tak terjawab ketika aku mengecek hape.
“selamat siang adek sayang”, ucap mas Pras suatu siang ketika aku masih di sekolah. Saat itu aku masih di dalam toilet. Udah itu saja. Tanpa bicara yang lain kemudian ditutup. Walau awalnya aneh, lama-lama bikin melting juga, apalagi suara mas Pras yang merdu (atau mungkin begitulah ketika kita mendengar suara orang yang kita sukai). Kadang Cuma bilang “adek, mas kangen”. Yang jelas antara candu dan cemas ketika mas Pras telepon. Candu, seolah olah telepon mas Pras hal yang wajib. Jika gak telepon rasanya ada yang hilang. Cemas, karena siapa yang bisa menyembunyikan ekspresi girang saat seseorang yang kamu sukai telepon. Ibu ku kadang Tanya-tanya sapa yang barusan telepon jika aku tertawa sendiri. (jawaban “temen kok” sama sekali tidak meyakinkan tentu saja. tapi apa boleh buat emang mas Pras sekarang Cuma temen).
“Sedang apa mas Pras?” sapa ku suatu ketika lewat whatsapp. (setelah biasanya selalu mas Pras yang memulai chat duluan)
“mas gak sedang apa-apa kok”
“kirain sedang memikirkan adek, hehe” jawabku sedikit menggodanya
“hehe adek bisa aja. Aku selalu memikirkan adek, tapi adek pasti gak memikirkan mas” emot sedih.
“nggak kok mas, adek selalu memikirkan mas Pras.”
Mas pras menjawab dengan emot
“memikirkan untuk membunuh mas pras” emot devil.
“bunuh mas dek, bunuh mas. Mas udah gak sanggup lagi hidup tanpa adek di samping mas”
“ah mas Pras bisa aja gombalnya. Udah ah bu guru datang”
Aku pun menutup hape. Walau mas pras bukan satu-satunya PLU yang baru ku kenal. Tapi emang mas pras berbeda dengan PLU sebelumnya yang ku kenal. Kalau sebelumnya tidak pernah seperhatian mas Pras. Jujur lama-lama aku ter –distract dengan keberadaan mas Pras. Pas sekolah pas di rumah, pas jualan.
Hari kamis saat itu, mas Pras bilang kalau sudah di kota ku untuk memulai pelatihan sampai hari jumat malam. Entah kenapa aku semakin excited, dan penasaran untuk ketemu mas Pras. Selain itu aku juga sedikit khawatir apakah mas Pras ternyata ngondek (aku sedikit trauma dengan PLU yang terakhir ku temui karena ternyata ngondek). Atau mungkin mas Pras yang kecewa setelah melihat ku. Aku memang biasa saja. Tidak ganteng, tidak jelek menurutku. Walau mas Pras selalu memuji ku kalau aku ganteng. Yang jelas aku sedikit gugup untuk ketemu hari sabtu.
Tibalah hari sabtu malam minggu. Setelah ambil roti ke pabrik Bu Lek ku aku baru nyampe rumah jam 5 sore. Walau capek aku harus buru-buru agar tidak kemalaman. Aku pun langsung mandi dan melakukan persiapan. Yah jujur saja, aku bingung mau pakai apa. Rasanya selalu tidak pas akhirnya aku Cuma memakai kaos oblong dan kemeja kotak kotak dan celana jeans warna hitam. Untungnya malam itu tidak dingin. Rencana nya nanti ke alun-alun dan cari makan saja.
Ada chat dari mas Pras di whatsapp.
“adek jemput abang ke hotel ya? Jangan lupa bawa helm”
“iya mas, jam setengah tujuh mungkin nyampe hotel”
“oke dek, udah gak sabar nih”
“haha… adek juga nih” emot pipi memerah.
Ku tutup hape dan segera meluncur ke hotel mas Pras. Ibu Cuma melihat ku terburu-buru dan sempat bertanya mau kemana aku. Aku pun menjawab mau ke rumah temen. Ku lihat ibu dengan wajah penasaran memandangi helm yang ku bawa. Mungkin ibu ku berpikir aku membawakan helm untuk seorang cewek manja yang tidak mau membawa helm sendiri. aku pun tidak ambil pusing.
Jalanan sedikit lengang karena jam masih menunjukkan pukul 6 sore. Aku pun langsung memarkirkan sepeda motor dan menuju no kamar hotel mas Pras. Sebenarnya rencananya aku menunggu di loby hotel. Tapi mas Pras bilang tidak apa-apa langsung ke kamar hotel. Akhirnya dengan agak malu-malu aku bertanya letak kamar no sekian ke meja resepsionis. Aku sudah tidak terlalu ambil pusing yang resepsionis tadi pikirkan tentang aku.
Aku pun menuju lift dan langsung mencari kamar mas Pras. Aku pun sampai di depan pintu kamar mas Pras. Sempat terbersit mas Pras itu tidak nyata dan hanya mempermainkan ku. Dan pintu kamar yang ku ketuk bukanlah kamar mas Pras. Tapi tidak menunggu lama berdiri sesosok laki-laki yang persis ku liat pic nya di whatsapp. Tidak salah lagi itu adalah mas Pras.
“mas Pras?” ucapku sebelum melangkah masuk.
“adek fikar?” aku pun mengangguk. Kami pun berjabat tangan
Aku pun mengikuti mas Pras masuk dan mas Pras pun menutup pintu kamar hotel. Aku pun langsung duduk di pinggir ranjang.
“capek gak dek” ucap mas Pras memecah keheningan.
“enggaklah mas. Deket kok dari rumah.” Ucapku sambil
memandangi wajah mas Pras yang menurutku emang ganteng ketika melihanya langsung.
“oh… kalau capek istirahat dulu aja. Mas mau ganti baju dulu.”
Tanpa sungkan-sungkan mas Pras langsung menanggalkan bajunya di depan ku. Aku pun pura-pura focus ke hape. Sesekali aku melirik mas Pras.
“dek…” aku pun menoleh kea rah mas Pras yang sedang menenteng dua kemeja. Mas pras topless.
“buat kencan kita mana yang lebih bagus”, aku pun tersipu mendengar ucapannya barusan. Ada kemeja kotak-kotak dan kemeja biru gelap polos.
“yang biru aja mas”
“baiklah. Demi adek apa sih yang nggak”
“mas pras gombal mulu ah”
Mas pras hanya tertawa dan langsung memakai pakaian nya tadi. Mungkin sekitar 10 menit aku dan mas Pras siap meninggalkan hotel. Ketika berjalan di lorong hotel menuju lift mas Pras bilang, “sini dek, deketan jangan jauh sama mas”, tidak menunggu lama mas Pras malah langsung memegang tanganku. Seketika aku kaget dengan apa yang dilakukan oleh mas Pras. “tenang aja dek. Gak ada orang” bisik mas mas Pras di telinga ku. Aku pun merasakan genggaman mas Pras dengan erat. Sesampai nya di depan lift aku pun melepaskan genggaman mas Pras.
Sebenarnya degup jantungku langsung gak karuan ketika mas Pras memegang tanganku. Antara senang dan takut jika ada yang melihat. Kami pun sampai ke tempat parkir sepeda motor. Aku yang menyetir di depan. Membelah keramaian kota yang mulai menggeliat kami pun menuju ke penjual nasi goreng untuk makan. Selama perjalanan dengan sengaja sepertinya mas Pras meletakkan tangannya antara di pahaku kadang di perut ku.
Di depan alun-alun dekat masjid ada penjual nasi goreng yang menurutku sangat enak. Aku pun mengajak mas Pras untuk makan di sana. Kami pun duduk mengambil posisi yang nyaman. Terlihat dua tiga pembeli lain. Jam menunjukkan pukul 7 kurang. Mungkin masih sepi jadi kami tidak terlalu mengantri. Selama makan obrolan kami pun sedikit tidak bebas. Sesekali aku menginjak kaki mas Pras agar memelankan suaranya. Takut pembeli lain dengar dan curiga.
Setelah selesai makan kami pun ngobrol panjang lebar di bangku yang ada di pinggir alun-alun. Kami ngobrol banyak hal. Di sini mas Pras tidak sungkan ngobrol seputar PLU. Ya memang sih tidak aka nada yang dengar tapi tetap saja aku khawatir. Obrolan kami seputar bisnis yang ku jalani, sekolah aku, kerjaan mas Pras (dia seorang insinyur di sebuah konsultan). Dan seputar kehidupan PLU mas Pras.
“mas Pras pernah punya cowok gak?” tanyaku.
“pernah dek setahun yang lalu, mas punya cowok.”
“seperti apa dia bang?”
“gak lebih ganteng dari kamu pokoknya”
“ih serius mas” ucapku cemberut.
“dia masih mahasiswa dulu. Mungkin sekarang sekarang udah kerja dimana gitu.”
“kerja dimana?” ucapku.
“mas gak tahu. Udah ah gak usah bahas dia. Bahas kita aja ya?”
Aku pun tersenyum. Aku pun bercerita panjang lebar tentang crush ku di sekolah. kriteria cowok dan harapan-harapan ku jika punya pacar. Tiba-tiba gerimis walaupun ringan bikin tidak enak untuk ngobrol di tempat terbuka. Akhirnya kami memutuskan pulang sebelum hujan lebat. Mas Pras memaksa untuk menyetir. Katanya kasihan aku jika di depan karena tidak memakai jaket apalagi di tambah gerimis.
Aku pun ikut apa yang dikatakan mas Pras. Aku pun naik ke belakang.
“dek, peluk erat mas biar gak dingin.”
“ogah ah mas, malu”
“adek gak meluk gak bakal jalan nih” ancamnya.
“ah mas Pras curang”
Dengan terpaksa ku peluk mas Pras dari belakang.
“kurang erat dek”, protesnya.
Aku pun mengencangkan pelukanku. Sepanjang perjalanan ke hotel, jantung ku berdegup kencang semoga mas Pras tidak menyadarinya walaupun dadaku menempel di punggung mas Pras. Ketika mulai parkir hujan di luar semakin deras. Rencananya aku Cuma menurunkan mas Pras dan langsung pulang. Akhirnya mas Pras mengajak ku masuk ke hotel sambil menunggu hujan reda. Aku pun mengikuti dia di belakang, ketika sampai di lobby aku pun duduk di kursi yang kosong.
“kok duduk di situ?” Tanya mas Pras heran.
“lha emang mau menunggu dimana?” tanyaku balik.
“di kamar aja, lebih nyaman” ucap mas Pras.
Aku pun ragu awalnya. Tapi mas Pras langsung mendekatiku dan menarikku berdiri. Aku pun ikut ke kamar mas Pras. Sesampai di kamar,mas Pras menawariku sebuah kue di dalam kotak dan sebotol minuman. Aku pun mencicipinya. Kami pun meneruskan obrolan yang terputus karena gerimis tadi.
Tiba-tiba, “dek ada sisa kue tuh di pipi” tanpa bertanya jari telunjuk mas Pras membersihkan kue di pipiku. Dia menunjukkan jarinya yang ada coklatnya. Bukannya membuangnya mas Pras malah menelan ujung jari telunjuknya.
“dek boleh mas cium bibir adek?” Tanya nya minta izin. Atau dia mau bercanda. Terdengar aneh ada yang meminta izin untuk mencium. Aku pun mengangguk. Langsung saja bibir kami beradu. Ahhh Mas Pras mencuri my first kiss, batinku. Mas Pras mencium ku dengan lembut dan anehnya terasa manis. Mungkin karena kue yang barusan ku makan. Rasanya sangat lama ciumannya. Dan jujur tidak ingin ku lepaskan. Rasanya darah naik ke atas ubun-ubun.
Mas Pras melepas bibirnya dari bibirku. Yang aku heran ‘dia’ yang ada disana tiba-tiba saja sudah bikin sesak celana. Tiba tiba mas Pras melepas pakaiannya. Dengan spontan mas Pras mencium bibirku lagi. Kali ini dengan agak kasar dan sedikit dorongan. Aku pun terdorong sampai merebahkan tubuh ku di ranjang. Mas Pras di atas aku dibawah. Aku pun membalas semua ciumannya terhadap ku.
Jam 10 aku pun keluar dari selimut dan langsung memunguti pakaianku yang berserakan di ranjang. Berencana untuk segera pulang karena aku tidak ingin menginap karena pasti ibu nanti bakal bertanya-tanya.
“dek sebentar,” mas Pras berdiri membantuku berpakaian. “makasih ya untuk semuanya” ucapnya. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Aku pun keluar dan menuju tempat parkir sepeda motor. Malam yang tidak akan ku lupakan seumur hidup. (saat itu hanya saling BJ saja kok). Aku pun pulang dengan hati yang berbunga-bunga. Dan ketika sudah sampai rumah dan merebahkan tubuhku di ranjangku sendiri aku sudah tidak sabar untuk hari minggu besok ketika aku akan bertemu mas Pras dan mengantarnya pulang ke stasiun.
Jam 8 pagi kereta mas Pras akan berangkat. Aku pun sudah menuju hotel sejak pukul setengah delapan menjemputnya dan mengantarnya ke stasiun. Kami pun ngobrol sebentar di ruang tunggu.
“dek mas sayang sama adek”
“adek juga sayang sama mas”
“adek kapan kapan ke kota mas ya? Kan Cuma 4 jam.”
“kalau minggu depan gimana?” ucapku tanpa berpikir panjang.
“boleh, mas malah lebih seneng”
“baiklah, minggu depan deh.”
“beneran lho, mas tunggu. Awas kalau gak dateng”
“iya, adek janji deh”.
Tak lama kereta mas Pras datang, mas pras berdiri dan aku pun ikut berdiri. Mas Pras tiba-tiba memelukku. Aku pun membalas pelukannya. Tentu saja di stasiun sedang ramai tapi pelukan bukanlah hal yang aneh kan. Mungkin oran lain melihatnya sebagai ayah anak atau adik kakak. “aku cinta kam dek” ucapnya lirih sambil berbisik di telinga.
Belum sempat aku mengucapkan sesuatu mas Pras berlari menuju kereta. Aku tanpa pikir panjang langsung ambil hape dan mengetik, “adek juga cinta mas Pras”. Ku tutup hapeku. Dan pergi meninggalkan stasiun.
Sampai di rumah cepat-cepat ku cek hapeku. Ada tiga notifikasi
“makasih ya dek udah mau nganter”
“ku tunggu minggu depan”
Dan yang terakhir, “we are lovers, aren’t we?”
Langsung ku balas, “hu uum, we are lovers”. Tak lama mas Pras membalas dengan emot love dan kiss. Ya sejak saat itu mas Pras adalah pacar pertama ku. Mas Pras benar benar mengalihkan dunia ku.
Hingga suatu ketika pada hari selasa, ketika jam pelajaran sedang berlangsung aku iseng melihat hape. Di situ ada profil picture mas Pras dengan seorang perempuan, segera ku kirim pesan, “itu adik mas Pras kah?” ku lihat status dia sedang online. “bukan dek, itu istri mas.”
Bagaikan di sambar truk tronton di tengah jalan melihat balasan mas Pras. Jadi selama ini mas Pras adalah pria beristri. Rasanya dunia berhenti bergerak dan hanya suara mendengung di kepala. Rasanya tubuh lemas mengetahui fakta barusan, kalau pacarku adalah married man. Sisa pelajaran sampai pulang dan sampai di rumah sampai malam rasanya nge-blank.
Baru pukul sembilan malam aku membuka hape. Ada sepuluh panggilan tak terjawab semua dari mas Pras. Ku aktifkan paket data muncul beberapa pesan dari mas Pras. “dek, kok gak balas?”, “adek kaget?” “adek jangan kecewa sama mas Pras” “ayo dong dek diangkat atau di bales pesan ini.” “aku cinta kamu dek. Mas jadi gak doyan makan nih jika adek kayak gini”. Pesan terakhir benar benar membuatku pusing dan bingung.
“kenapa mas gak bilang kalau mas udah nikah?” aku pun mengiriminya pesan
“adek gak pernah Tanya”
“tanpa adek Tanya seharusnya mas bilang”
“mas pikir menikah itu hal lain”
“gak bisa gitu dong mas” protesku.
“maaf dek, dari awal mas berpikir memiliki istri dan memiliki pacar cowok dua hal yang berbeda. Beginilah mas menjalani hidup.”
Aku pun tidak sampai hati bilang egois atau mengirim kata-kata yang buruk kepada mas Pras. Akhirnya aku Cuma balas. “biar adek berpikir dulu ya mas?”
“iya dek.”
Aku pun kalut bingung galau, antara harus menutup komunikasi dengan mas Pras atau menerima fakta kalau dia married man. Jam sebelas malam, aku tidak bisa tidur dari siang juga rasanya tidak doyan makan. Setengah dua belas ada pesan masuk. Ku buka dari mas Pras mengirim sebuah poto. Poto seorang anak kecil, dengan caption “my lovely son, 3 years old”. Ku pandangi poto itu, wajah yang rupawan lucu dan mirip sekali dengan mas Pras.
Tidak bisa berpikir apa pun. Rasanya benar benar lemas. Galau tingkat presiden. Jam menunjukkan pukul 4 pagi dan tetap tidak bisa memejamkan mata. Sebentar lagi azan subuh berkumandang. Jam tujuh harus masuk ke sekolah. Rasanya ingin menghilang saja. Akhirnya dengan gontai aku ke kamar mandi dan ambil wudhu.
Setelah sholat subuh, entah kenapa aku langsung menjadi sangat ngantuk. Selain itu aku ketakutan dengan suara yang muncul di kepala ku sendiri, “tidak apa-apa, menjadi pacar pria beristri” dan aku pun tertidur. Jam 7 aku pun dibangunin ibu.
“Kar, bangun! udah jam 7. Km udah telat ke sekolah” ucap ibu sambil berteriak dan menarik selimutku.
“aku demam buk…” ucapku.
Ibuku pun memegangi dahiku. Memang dahiku panas. Ibu ku pun ke dapur mengambil kompres. Semoga ibu tidak curiga dengan sakitku. Aku pun terbangun jam 9 pagi setelah di kompres. Dari kemarin tidak makan membuatku lemas. Aku pun pergi ke dapur. Aku makan Cuma sedikit, walau tubuh lemas dan laper, ternyata rasanya tidak enak, sehingga Cuma setengah nasi yang ku ambil yang bisa ku telan. Aku pun balik ke kamar. Sebenarnya sudah tidak ngantuk tapi inginnya tiduran terus.
Aku memikirkan sebaliknya tentang mas Pras, bukan kecewa yang muncul tapi rasa lebih kagum dan semakin memujanya karena dia married man dan ayah berputra. Entah apa yang ada dipikiranku. Rasanya aku tidak bisa lepas begitu saja mengetahui kalau dia adalah married man.
“selamat pagi dek” 9.30. ada pesan dari mas Pras. Karena masih bingung ke depan nya seperti apa. Aku pun tidak membalas pesannya. Melanjutkan hubungan dengan mas Pras pria beristri. Rasanya benar-benar bukan ide yang baik. Putus hubungan dengan mas Pras aku juga tidak sanggup. Jujur aku mencintainya walau melawan nalar dan nuraniku.
Hari berikutnya hari kamis aku sudah tidak segalau hari rabu. Aku pun masuk ke sekolah. Walaupun sulit untuk focus ke sekolah tapi setidaknya aku bisa masuk sekolah. Aku dan mas pras sudah komunikasi seperti sebelumnya walaupun dalam hati selalu muncul, “boleh nggak sih chat mesra kayak gini dengan married man?”, “terhitung sebagai selingkuhan gak sih?”. tapi nyatanya aku selalu chat dengan mas Pras, rasanya tidak bisa berhenti.
Hari sabtu mas Pras mengirim pesan “dek hari minggu jadi ke sini kan?”
“jadi nggak ya?”
“kan udah janji sama mas”
“iya sih mas.”
“atau hari sabtu saja dek. Ntar nginep, jadi bisa main lebih lama hari minggu.”
“nginep dimana mas?”
“cari penginapan dek”
“gak punya uang mas”
“cari yang murah aja. Ada kok ntar mas cariin”
“nanti ya adek pikir dulu.”
“oke jangan sampai gak jadi, mas udah kangen banget sama adek”
“iya mas, adek juga kangen”
Akhirnya setelah mempertimbangkan berbagai hal. Aku memutuskan untuk menginap di kota mas Pras, jadi rencananya aku akan berangkat dari kota Bu Lek. Jadi ibu akan berpikir aku akan menginap di rumah Bu Lek dan aku bisa bilang ke bu Lek kalau aku mau main ke rumah temen dan harus menginap. Jam 3 aku berangkat ke kota bu lek ku tinggal. Rencananya sambil ambil dagangan. Setidaknya tidak akan pertanyaan yang akan membuatku berbohong.
Rencana yang sempurna. dari kota bu lek ku tinggal aku hanya perlu 3 jam naik kereta ke kotanya mas Pras. Dan kereta tiba pukul 9 malam. Di dalam kereta aku sudah tidak sabar bertemu mas Pras. Sepertinya aku menemukan mas Pras jauh lebih menarik ketika mengetahui statusnya. Tiba-tiba ada suara pesan dari mas Pras.
“dek ada penginapan murah 70 ribu. Sudah mas booking. Kabari jika sudah sampai”
Ah sepertinya akan menjadi malam yang panjang.
cerita ini hanya fiksi belaka jika ada persamaan peristiwa dan karakter hanya kebetulan belaka.