It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Dari sini semuanya dapat terlihat. Bukan dari atas pencakar atau dasar kaki langit. Teras dengan ubin yang berpetak. Warnanya memudar ditambah dengan satu atau dua bagian yang patah memperlihatkan bagian dasarnya yang kecoklatan. Tak hanya itu, debu yang sudah berdiam disana tampaknya semakin lama semakin bersahabat saja. Namun tak peduli seperti apa tempat itu, semuanya dapat dilihatnya dari sana ketika dunianya terbaring disana.
[ Emil POV ]
Angin mulai menyibakkan beberapa helai rambut menjauhi pelupuk mata. “Iiiish” Bukan hanya rambut, debu pun ditiupkannya ternyata dan nyangkut juga ke mata. Gue udah sadar ini tempat memang kotor. Dan bukannya gue gak peduli, sapu udah ada di tangan gue sedari tadi. Hari ini memang gue dapat jatah untuk bersih-bersih pekarangan belakang. Bukan hal yang mudah bagi gue buat kesini, baru menginjakkan kaki di sini saja gue sudah ke-distract. Bukan mata gue, tapi hati gue.
Kaki gue udah gak mau nurut, akhirnya gue duduk dulu dengan dagu yang gue sandarkan ke bangku teras. Mata gue masih sakit gara-gara debu yang masuk tadi. Di belakang pekarangan ini, sudah satu minggu Jordan terbaring. Hati gue rasanya benar-benar hancur. Tiga bulan terakhir ini, dia adalah segala-galanya bagi gue, dunia gue ya ada di dia. Batu besar yang ada di tengah pekarangan ini jadi saksi kepergian Jordan. Di sampingnya, ada pohon besar dengan tangkai besar yang menyerupai huruf y. Pohon tua itu menjulang tinggi bak menyeruak ke angkasa dengan barisan rumput menyelimuti kakinya. Sebenarnya gue takut berlama-lama memandang ke arah sana karena pohon angker yang katanya usianya sudah lebih tua dibandingkan dengan rumah yang gue tempati ini.
Benar saja. Tak lama, gue melihat ada yang aneh di balik rerumputan tadi. Gue jadi merinding tidak karuan. Gue juga yakin anginnya jadi berbeda dari yang tadi.
“Woooooooooiiiiiiiiiiiiii”
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa. An.. Ancol lu.”
Sialan. Loncatlah si ancol itu dari belakang rerumputan tadi. Tentu saja itu membuat gue kaget setengah mati. Dia Sena, bocah yang bawa pergi Jordan dari gue.
“Mau apa sih sen? Kalau gue jantungan lu mau tanggung jawab?”
“Lah, lu mau bersih-bersih malah bengong. Gue cuma mau ambil kesempatan sedikit”
“Gak waras yah, emang lu sen” Gue akhirnya berbalik dan berniat masuk ke dalam rumah.
“Mil…” Tiba-tiba Sena manggil gue dengan suara yang lebih halus. Gue akhirnya berhenti dan melihat Sena berjalan mendekat.
“Lu kok gitu sih mil. Lu tau kan gue gak suka liat lu nangis lagi” Gue gak ngerti sebenarnya apa yang dimaksud Sena sampai akhirnya Sena meletakkan kedua tangannya di pipi gue sambil menyeka air mata yang tanpa gue sadari sudah ada sedari tadi. Kayaknya ini gara-gara debu yang tadi masuk ke mata gue.
“Apaan sih sen. Ini gara-gara tadi mata gue kelilipan. Gue gak nangis kok.”
“Lu gak usah bohongin gue mil. Gue tuh lebih suka liat lu senyum kaya gini.” Sena menarik kedua pipi gue. Dan tarikannya benar-benar terasa.
“Aaaawww. Sakit, gila lu sen !”
“Biarin mil, gue gak peduli. Lu nyadar gak sih, hati gue lebih sakit kalau liat lu nangis” Kedua tangan sena melingkari badan gue. Pelukannya hangat tapi entah kenapa itu malah bikin gue tambah kesal. Gue tau sebenarnya di dalam hatinya Sena lagi cekikikan.
“Lu gak usah lebay ya. Gue tau lu cuma mau mainin gue”
“Mil.. Gue cuma minta satu dari lu. Lu jangan merhatiin makamnya Jordan terus, gue jadi merasa bersalah lagi kan. Gue lebih suka lu liatin gue aja”
“Aaaawwww” Akhirnya gue pukul kepala Sena pakai sapu yang dari tadi ada di tangan gue. Ini anak isi kepalanya memang agak bermasalah. Ada untungnya juga sapu ini gue bawa.
“Kok lu jahat sih mil sama gue?”
“Lu tuh yang jahat. Ngambil Jordan dari gue. Puas kan lu?”
Akhirnya gue masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Sena di luar. Sekarang gue marah lagi sama Sena padahal tadinya gue berniat mau baikan sama dia. Oh iya, kenalin gue Emil, Emilord Januar. Sebenarnya terkadang gue malu sama nama gue. Biasanya orang-orang akan berspekulasi bahwa manusia dengan nama seperti gue ini ya berparas western. Tapi apadaya, gue hanya manusia berparas Indonesia asli. Tapi tenang, spekulasi orang-orang itu akan sedikit terbayarkan dengan paras gue yang memang di atas rata-rata. Mereka tentu sadar gue ganteng, dan gue lebih sadar lagi dengan kegantengan gue ini. Hmmm, sedikit tentang fisik gue, tinggi dan berat gue proporsional. Tinggi gue sekitar 170 cm. Rambut dan mata gue hitam pekat layaknya orang Indonesia kebanyakan.
Sudah satu tahun ini gue merantau dari Jakarta dan tinggal di rumah kos di Bandung sejak gue kelas tiga SMA. Dan tak disangka, universitas yang gue pilih juga terletak disini. Sebentar lagi gue akan mencicipi jadi seorang mahasiswa. Rumah kos gue ini ada dua lantai dengan tiga kamar kos di tiap lantai. Sekarang penghuni rumah kos ini ada 5 orang : gue, Sena, Rahman, Kai, dan Hari.
Selain gue dan mereka berempat, sebenarnya tiga bulan lalu Jordan tinggal disini. Dia sudah jadi sahabat terbaik buat gue. Tapi gara-gara Sena dia pergi meninggalkan gue dan semua kenangan indah bersama gue. Ini semua karena si An.. Ancol Sena.
*****
- Part 2 -
[ Sena POV ]
Nama gue Sena. Satu hal, gue ini cowok bukan cewek. Sedikit tentang gue : tinggi : 178 cm, berat : ???, rambut : coklat-bergelombang, mata : coklat, keturunan : Jerman-indo, Hobi : Gangguin Emil
Sudah sejak SMP, gue kenal Emil. Perumpamaan antara dia dan gue ibarat dua sisi pada satu mata koin. ‘Otak gue miring ke kiri, Otak dia miring ke kanan’, kurang lebih seperti itu. Namun entah kenapa sejak pertemuan itu, sepertinya kami terbelit benang takdir yang mencekik kami di bangku SMP, SMA bahkan di universitas yang sama. Jujur gue tidak keberatan, serius. Namun pihak sebelah rasanya bereaksi terlalu berlebihan layaknya merapi atau merbabu siaga III. Mungkin ini dipacu karena gue punya sedikit ketertarikan untuk godain dia. Rasanya ada kepuasan tersendiri, tapi lama kelamaan dia mulai pintar godain gue balik. Tapi itu malah bikin gue tertantang.
Gue dan Emil berasal dari Jakarta namun kami tinggal dan bersekolah di Bandung sampai sekarang. Emil, sosok yang menurut gue tergambarkan oleh ‘kutu loncat’. Dia mudah terdistraksi dan terobsesi dengan ini itu. Kalau penyakitnya yang satu ini sudah mulai kambuh, gue bakal langsung angkat tangan.
Contohnya seperti tiga bulan lalu, ketika Kai membawa Jordan tinggal di kosan kami. Emil langsung terobsesi berat sama Jordan. Dan gue gagal paham dengan apa yang dilihat dia dari Jordan. Gue akui Jordan itu lucu dan dia terlihat manja banget sama Emil. Setiap hari, Kalau gue boleh lebay, rasanya tiada ruang dan waktu yang bisa memisahkan kebersamaan dua makhluk itu, Emil sama Jordan. Dasar EDAN.
Tapi Tuhan berkata lain. Kejayaan edan couple ternyata jatuh di tangan gue. Seminggu lalu, tanpa sengaja gue menabrak Jordan. Awalnya Jordan hanya mengeluarkan darah dari kepalanya, tapi lama kelamaan dia terlihat seperti epilepsi. “Sen, kok badannya Jordan kejang-kejang sih sen? Gue harus gimana Sen?” “Kita bawa aja sekarang ke rumah sakit!”
Akhirnya setelah gue dan Emil sampai ke rumah sakit, Jordan bukannya sembuh tapi dia malah berpulang ke Rahmatullah meniggalkan gue dan Emil. Detik itu juga, kejayaan edan couple lenyap menjadi sejarah. “Ini udah waktunya Jordan mungkin mil. Atau dia memang punya kelainan, tadi aja dia kejang-kejang kan?” Aneh. Usaha gue menghibur dia gagal total. Emil tidak merespon ucapan gue. Saat itu, gue bak tersambar petir. Emil berhenti bicara sama gue.
*****
Ini sudah satu minggu sejak Emil berhenti berkomunikasi sama gue. Tapi tadi pagi gue lihat dia kayaknya lagi cari perhatian banget sama gue. Mungkin ini waktu yang dikasih Tuhan buat bicara dan baikan sama dia. Hari ini gue berniat membuat kejutan buat dia. Gue mau bawa dia jalan-jalan keluar.
Sedari tadi gue amati, Emil lagi duduk di teras sambil lihat ke arah makam Jordan. Gue berusaha mengendap-endap supaya dia tidak terganggu dengan kedatangan gue. Tapi belum sepuluh menit gue bicara sama dia, dia marah lagi bahkan dia pukul gue pakai sapu. Mungkin cara pendekatan yang gue pakai salah. Emil malah lari ke kamarnya di lantai atas. Mau tidak mau, akhirnya gue susul dia ke atas. Dari luar, dia tampak berbaring dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.
“Mil, lu kenapa? Lagi sakit? Pms?” Tapi gak ada respon dari Emil.
“Lu pasti kedinginan ya pake selimut gitu. Sama gue aja lu dingin banget.” Gue akhirnya bersandar ke kasur yang ditiduri Emil.
“Apa gue gak bisa gantiin Jordan?” Entah kenapa kata-kata itu tiba-tiba keluar gitu aja dari mulut gue. Tak lama, Emil mulai mengalihkan pandangannya ke arah gue. “Rambut gue lembut kok, sama kaya punya Jordan. Lu suka ngelus-ngelus kepala dia kan. Gak percaya? Coba sini tangan lu.” Tangan Emil, gue tarik perlahan ke kepala gue. Awalnya dia diam aja, tapi lama kelamaan dia mulai mengelus-ngelus kepala gue. Rasanya enak, gue jadi kangen mama gue di Jakarta. “Mesra banget ya kita, lu sama gue.” Baru aja gue bilang gitu, kemesraan itu berakhir gara-gara dia jambak rambut gue.
Cara ini ternyata tidak berhasil. Akhirnya gue terpaksa pakai cara terakhir. Gue pun membisikkan sesuatu ke telinga dia.Tapi bukannya dengerin gue, Emil malah tampak kegelian bak cacing kepanasan karena suara gue. Sebelum kesabaran gue habis, gue ambil kertas yang ada di atas meja dan gue tulis kata-kata itu di atas kertas. Setelah gue memperlihatkan tulisan gue, akhirnya Emil mengangguk setuju. “Hail yes !!!”
******
[ Emil POV ]
Sore itu akhirnya gue pergi sama Sena ke tempat yang dia janjikan. Gue bukannya mau cari pengganti Jordan, tapi gue mau cari sosok lain yang bisa mengobati luka hati gue gara-gara kepergian Jordan. Gue yakin banget kalau Jordan bisa ngerti sama keputusan ini.
“Jordan, lu baik-baik aja kan disana?”
Menengadahkan kepala ke atas sambil memandang indahnya langit. Rasanya sekarang gue bisa paham apa yang dirasakan sama pemain ftv waktu ada adegan ini.
“Nnggh” Tiba-tiba ada sesuatu yang masuk lagi ke mata gue. “Sen, hujaaaaan! Payuuuuung!” Gue sok-sok manja ke Sena soalnya gue gak mau kebasahan.
“Ntar gue ambil dulu di mobil.”
Gara-gara gue sekarang Sena lari lagi ke tempat parkir mobil. Tiba-tiba gue jadi merasa bersalah, kasihan juga dia. Kalau gue boleh jujur, sebenarnya dia itu tipe cowok yang gentle banget. Bahagia banget kayaknya cewek yang bisa naklukin hatinya dia. Kalau gue jadi cewek, tipe cowok kayak dia itu yang gampang buat dimanfaatin. Tapi tetep aja ke-gentle-annya itu terkubur sama isi kepala dia yang bermasalah, isi kepalanya gak jelas, gak sepaham pokoknya sama gue. Di balik itu semua, gue gak habis pikir kenapa gue selalu dijadiin objek sama dia. Dari diri gue yang apa adanya ini, emang ada apanya sih?
“Mmm, gak boleh.” Gue berfikir dua kali kalau gak ada gunanya buat gue kasihan sama dia. Itu memang resiko dia. Dia harus bertanggung jawab sampai akhir. Kayaknya dia bakal lama. Gue akhirnya langsung pergi dan berteduh di dalam pet shop yang ada di samping jalan sambil nunggu dia.
Di luar, gue lihat sesosok cowok, sepertinya sebaya sama gue atau mungkin lebih muda beberapa tahun. Dia bawa koper yang lumayan besar dan beberapa tas jinjing. Mungkin dia anak baru yang mau pindahan. Dari arah yang lain, Sena datang sambil senyam-senyum, kayaknya sih dia senyum ke arah gue soalnya waktu gue celingak-celinguk disini ga ada orang lain selain gue.
Cowok yang tadi bawa koper besar itu tiba-tiba datang mendekati Sena. Kayaknya dia mau pinjam payung soalnya dari yang gue lihat, Sena pakai satu payung terus dia jinjing payung lain kayaknya sih buat gue. Satu hal tentang Sena. Dia itu orangnya kaku luar biasa sama orang yang baru atau gak dia kenal. Kasihan banget gue lihat cowok itu. Dia pasti jadi canggung sama Sena.
“Iiiih. Kenapa dia malah diem aja. Gue kan bisa sepayung berdua sama dia.” Gue gerah lihat kelakuan Sena yang diam aja kayak patung. Padahal tadi udah gue puji kalau dia cowok gentle. Akhirnya gue keluar dari pet shop sambil teriak-teriak.
“Seeeeen!!! Lu sini masuk dulu!”
Gue pun berbalik masuk lagi ke pet shop diikuti Sena dan cowok itu. Tunggu.. Cowok itu ternyata ikut masuk juga kesini, mungkin dia mau berteduh.
“Lu udah nemu yang cocok mil?”
“Belum. Menurut lu yang cocok buat gue yang mana sen?”
“Yang ini bagus.” Tiba-tiba anak cowok itu menunjuk ke arah kucing anggora berwarna keemasan dalam jeruji kandang. Gue sama Sena jadi sedikit heran sama gelagat anak itu. Kok dia bisa tahu apa yang mau gue cari. Sena sudah janji sama gue kalau dia mau beli kucing anggora baru sebagai pengobat hati gue atas kepergian Jordan. Jordan, satu-satunya kucing yang menurut gue, paling banyak kesamaannya sama Garfield. Besar, lembut, warna keemasan, tapi sayang dia gak bisa bicara bahasa gue.
“Menurut lu gimana sen? Yang ini lucu ya?”
“Iya. Ini lucu banget. Aku suka.” Cowok itu jawab pertanyaan gue lagi, kembali dengan senyum polosnya. Jujur, gue agak bingung. Akhirnya gue sok-sok akrab sama dia.
“Maaf. Mmmm.. kamu mau pindahan ya?”
“Iya. Emmm.. Maaf juga. Kok kamu bisa tahu nama aku? Mungkin kita pernah kenalan di suatu tempat? Aku memang agak pelupa.” Dia kembali menjawab dengan senyum polos yang sama.
Kayaknya sekarang gue mulai ngerti situasinya. Satu sen ternyata belum cukup di hidup gue. “Kalau boleh tahu. Kamu mau pindah kemana sekarang?”
“Aah. Rumah kos green Anyer. Kamu tahu tempatnya?”
Sial, Sial, Siaaaal !!! Itu kan kosan gue. Gue harap malam ini gue gak bakal bawa pulang dua sen ke kosan.
*****
@3ll0 : ya kira-kira kayak gitu. makamnya ada di halaman belakang kosannya mereka. semoga part 2 nya bisa membantu
ajak yg lain jga ah @balaka @cute_inuyasha
ma @Tsu_no_YanYan
@Adi_Suseno10