It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Unprince @Zhar12 @nad4s1m4 @Tsu_no_YanYan @Adamy @kaka_el @sasadara
---
PART 4
----
Untuk kesekian kalinya, Cliff berhutang pada Aida. Jika saja wanita itu tidak segera menarik Henry ke salah satu ruangan begitu menginjakkan kaki di kediaman Silvercrow, tentu saat ini pemuda itu tengah makan malam bersamanya dengan pakaian yang biasa ia kenakan saat kerja di pub. Sangat tidak serasi. Cliff bahkan sempat bertanya pada Henry, mengapa pemuda itu tidak berganti dengan setelan. Bukankah ia sudah menyuruh Henry untuk bersiap-siap? Dan jawaban Henry sukses membuat Cliff kesal dan mendiamkan Henry selama perjalanan. “Ini kan hanya makan malam.”.
‘Hanya’ katanya? Che!
Sekali lagi ia bertemu dengan Henry dalam setelan formal, tampak rapi, bersih dan memikat. Jas merah marun yang ia kenakan sangat pas dengan surai tembaga dan manik darahnya. Mengingatkannya pada pertemuan pertama mereka, pada pandangan pertama yang membuatnya uring-uringan. Dan sungguh bodohnya ia saat melihat Henry keluar dengan setelan itu, Cliff berdiri bagai orang tolol yang tidak mampu melepas pandang dari pemuda bersurai tembaga itu. Damn! Cliff merasa sesuatu berdesir di perutnya, menyadarkan diri dan segera mengalihkan wajahnya yang terasa hangat ke arah lain.
“Bagaimana? Henry tampak tampan, bukan?” Wajah Aida berseri, selalu seperti itu ketika melihat Henry, tangannya merangkul tangan kanan pemuda itu erat.
Sekali lagi pandangannya menyapu wajah Henry, terjebak dalam pesona manik darah itu sekali lagi. “Kau indah” kata itu meluncur dengan bebas dari mulutnya.
Henry tersentak, merasakan wajahnya terasa panas tiba-tiba. Perutnya terasa melilit mendengar pujian itu. Bukan tampan, rupawan atau hal lainnya. Kata ‘indah’ yang terasa ambigu itu malah mampu membuat perutnya terasa aneh, seolah ada sesuatu yang bergerak liar di dalam dan memberontak ingin keluar.
Sial! Sial! Sial! Cliff terus mengumpat dalam hati, merutuki betapa mempesonanya Henry dengan wajah merona merah hingga ke telinga itu. Kedua matanya bahkan menolak untuk berpaling sedetikpun. Membuat dadanya berdebar hebat. Sepertinya dia harus memeriksakan diri ke dokter besok. Ada sesuatu yang salah dengan jantungnya. Ketika matanya bergulir ke belah bibir pemuda itu, Cliff yakin seratus persen kalau otaknya telah rusak. Bagaimana bisa ia berpikir untuk segera meraup bibir merah itu, membayangkan rasa anggur dan pagutan liar yang bisa mereka lakukan?
Goddammit! Otaknya telah kacau.
“Nah, boys. Waktunya makan malam.” big thanks to Aida. Cliff bisa lepas dari siksaan batin semenit dan bergegas ke ruang makan setelah mengajak Henry.
Henry duduk di sebelah Aida, tampak tenang melahap menu utama makan malam. Kepala keluarga Silvercrow duduk di garis tengah meja, di antara Cliff dan Aida. Cliff tentu tak akan melewatkan kesempatan untuk memperhatikan pemuda yang kini tengah duduk di seberang meja. Sesekali ia melirik Henry, terkagum sekaligus terkejut pada cara makan pemuda itu. Bagaimana tidak? Henry yang berasal dari kawasan kumuh makan dengan table manner yang tepat. Mengejutkan ketika pemuda itu memilih sendok, garpu, atau pisau yang tepat untuk setiap hidangan. Gerakan pelan dan tenang saat mengunyah, dengan tubuh yang tegap dan siku yang menggantung tidak tersandar di meja.
“Tidak kusangka kamu tahu menghadapi sebuah perjamuan.” Ucap Cliff ketika menu utama telah berakhir. Mereka hanya perlu menunggu makanan penutup beberapa menit lagi.
Henry mengerutkan kening menatap Cliff. Lagi-lagi pemuda bangsawan itu menyinggungnya, menarik amarahnya. Ia nyaris meledak, melemparkan sumpah serapah untuk pemuda yang tidak tahu cara menjaga ucapan itu, sebelum ia menyadari bahwa ia tengah berada di meja makan. Henry melirik Graham yang tengah menatapnya dan Cliff dengan pandangan berminat. Sepertinya pria itu tengah menunggu suatu pertunjukan yang menarik.
Henry melempar senyum pada Cliff setelah mengelap sudut bibirnya dengan serbet. Dengan tenang ia berkata. “Tentu saja, Mr. Scarlet. Meski saya tidak berasal dari kalangan bangsawan seperti Anda, tapi saya paham bagaimana cara menikmati sebuah perjamuan. Bukan begitu, Aida?” dan melempar senyum manisnya pada Mrs. Silvercrow, yang ditanggapi dengan tawa pelan nan anggun dari wanita itu.
Damn! Bagaimana bisa senyum seorang pemuda tampak memabukkan ketimbang segelas wine? Cliff menelan ludah dan merasakan jantungnya nyaris melompat keluar. Ini pertama kalinya Henry tersenyum padanya, senyum manis yang mampu membuat tubuhnya bereaksi tidak karuan. Ciff tidak pernah siap menghadapi sikap Henry yang bermanis muka di hadapannya. Biasanya pemuda itu menjawabnya dengan sinis yang diselipi dengan marah. Namun dengan sikap tenang dan senyum manis itu? Sungguh, Cliff yakin pemuda itu bisa membuatnya mabuk.
Oh, great! Bagaimana bisa ia berpikir seperti itu?
“Aida mengajari Henry table manner saat ia masih kecil, Mr. Scarlet. Tentu ia sudah tidak asing dengan hal-hal seperti ini.” Penjelasan Graham yang ditimpali tawa anggun Aida menjelaskan semuanya. Membuat Cliff bertanya-tanya, seberapa dekatkah pemuda itu dengan keluarga Silvercrow hingga pemuda dari garis kumuh itu memperoleh kelas table manner yang hanya diperuntukan oleh kalangan bangsawan?
“Kamu pasti sangat beruntung, Henry.” Ucap Cliff.
“Tentu saja.”
Pemuda bersurai emas itu nyaris membenturkan kepalanya ke meja ketika untuk kedua kalinya Henry melemparkan senyum padanya. Bagaimana bisa ia terpikir untuk kedua kalinya mencium bibir pemuda itu?
Perjamuan makan malam berakhir ketika seorang pelayan pria menghampiri Graham, berbisik dan membawa pria itu pergi bersama Aida, meninggalkan Cliff dan Henry yang masih menikmati makan malam mereka. Tentu ada sesuatu yang lebih penting tengah terjadi. Cliff tidak beranjak mengikuti, mengambil kesempatan yang ada untuk berbicara empat mata dengan Henry.
“Kamu selalu membuat saya terkejut.” Cliff meletakkan sendok sup, menatap Henry yang kini melempar tatapan bingung padanya.
“Maksud anda?”
That’s it! Itu dia! Itu Henry yang biasa ia lihat. Henry yang selalu berbicara sinis dan menatap tajam penuh curiga padanya, tanpa senyuman maut. Harusnya Cliff tahu bahwa pemuda itu bersikap manis karena Graham dan Aida sedang bersama mereka. Hal ini membuat Cliff sedikit kesal. Seolah pemuda itu benar-benar menganggapnya seperti penyakit.
“Harusnya kamu lebih sering bersikap seperti tadi.”
“Bersikap seperti tadi? Sikap seperti apa?” Henry meletakkan sendok supnya, tak lagi berminat.
“Tenang dan tersenyum padaku. Itu akan membuatmu tampak lebih indah.”
Henry terpaku untuk beberapa saat sebelum ia melempar pandang. “O-oh ya?” namun rona merah di pipinya tidak luput dari pandangan Cliff, membuat sudut bibir pemuda itu terangkat membentuk seringai.
“Well, well, well. Tidak kusangka seorang Henry suka untuk dipuji. Tidak kusangka.”
Kedua rubi yang tersinggung itu kini menangkap kedua safir yang memancarkan kejahilan. “Tentu saja, semua orang suka untuk dipuji. Begitu pula anda, bukan? Sang bangsawan tentu selalu haus akan pujian dan rasa hormat.”
Henry berhasil melunturkan kejahilan di mata Cliff, yang kini memancing amarah pemuda itu. Ia hendak membalas, namun seorang pelayan lebih dulu menghampirinya, berkata bahwa Graham sedang menunggunya di ruang kerja. Cliff berdiri, menatap Henry yang juga menatapnya dengan sorot kemenangan, membuat Cliff berdecih dan berlalu pergi. Oke, kali ini Henry menang.
Sialnya, ia menyadari Henry selalu menang.
Di ruangan yang tampak terang oleh cahaya lilin dan perapian yang menyala, Graham tampak gelisah. Pria paruh baya itu tidak berhenti berjalan bolak balik di sisi meja kerja. Aida duduk, tampak tenang, namun nyatanya wanita itu jauh lebih gelisah, tidak berhenti menggenggeam erat telapak tangannya yang basah oleh keringat. Raut wajahnya yang diliputi oleh rasa cemas terlihat jelas oleh cahaya dari perapian. Cliff tampak membeku di depan meja, menatap kosong pada jendela di luar, di belakang kursi kerja Graham. Pembahasan yang baru beberapa detik lalu kembali melintas di wajahnya.
“Kami sudah menemukan pelakunya, Mr. Scarlet.” Begitu ucapan Graham ketika Cliff telah berada di ruangan kerja pria itu. Namun ada raut lain yang tertangkap oleh Cliff di wajah Graham. Raut cemas? Sementara Aida terduduk di kursi di sisi perapian, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
“Bukankan ini berita bagus, Mr. Silvercrow? Kita bisa menangkap mereka dan menghukumnya.” Jelas, Cliff ingin ketiga pelaku dihukum atas tindakan tidak masuk akal yang secara tiba-tiba dan tanpa alasan menghajarnya. Ia nyaris mati saat itu jika Henry tidak berada di sana.
Graham menghela, bukan denngan kelegaan. Ada semacam beban berat yang ikut bersama helaan itu. “Tentu, Mr. Scarlet. Tapi, ketiga pelaku ditemukan tewas di perbatasan kota.”
Cliff mendengus geli. “Bukankah itu bagus, Mr. SIlvercrow? Ini hukuman setimpal atas apa yang telah mereka lakukan bukan?”
Graham tersenyum, namun raut yang tidak dimengerti itu membuat kening Cliff berkerut. “Ya. Tapi mereka meninggal dengan tidak wajar, Mr. Scarlet.”
“Apa maksud anda?”
Pria paruh baya itu menelan ludah. “Tubuh mereka kering dan amat rapuh bagai mumi. Seolah seluruh darah dan energi mereka telah tersedot habis.”
Cliff tersentak, merasakan tenggorokannya yang tercekat. Kedua irisnya membulat sempurna, merasakan rasa dingin di punggungnya bagai es batu yang tiba-tiba dimasukkan ke dalam setelannya. “Apa mungkin…?”
“Ini sudah pasti. Kami menemukan begas gigitan lebar pada ketiganya. Sangat jelas membuktikan bahwa makhluk itu berada di sini. Di Sara.”
“Ini tidak mungkin. Bukannya makhluk itu telah tiada? Maksudku, anda jelas-jelas telah membunuhnya di perbatasan dua puluh tahun lalu.”
Graham kini melempar pandang ke jendela, menatap butiran salju yang terjatuh dengan pelan. Melemparkan ingatan pada kejadian dua puluh tahun yang lalu. Masih jelas ketika ia menghadapi mimpi buruk yang nyata itu di depan wajahnya. Masih teringat jelas jeritan itu terdengar di telinga. Masih jelas sosok itu hancur oleh pedangnya. Atas tindakannya itulah ia memperoleh gelarnya saat ini. Ia bergerak gelisah ke sisi meja.
“Saya masih mengingatnya dengan jelas. Saya telah membinasakannya, banyak saksi kala itu.”
“Lalu, bagaimana bisa?”
“Apa mungkin ia telah berketurunan sebelum kematiannya?” Aida membuka suara, kini tak lagi menyembunyikan wajah. Raut kecemasan dan ketakutan terlihat jelas di wajahnya. Pertanyaan wanita itu membuat rasa takut menyelinap di raut cemas Graham, dan menambah rasa dingin di punggung Cliff.
“Itu tidak mungkin. Jelas-jelas makhluk itu yang terakhir. Lagipula makhluk itu membutuhkan sebangsanya untuk berketurunan, bukan?” Graham jelas masih ingat bahwa makhluk yang ia binasakan itu adalah yang terakhir di garis generasinya. “Lagipula, jika memang makhluk itu telah memiliki keturunan, tentu kini ia telah membalas dendamnya sejak bertahun-tahun lalu.”
Aida menunduk, menangkupkan tangannya yang terasa basah oleh keringat. Seharusnya ia merasa lega, namun rasa takut masih menghinggapinya.
“Lalu, bagaimana?” Cliff kali ini membuka suara.
Graham mengusap dagu, berpikir. “Saya akan menyelidiknya. Ini masih kasus pertama. Namun saya akan memerintahkan pengawal untuk waspada.”
“Kalau begitu saya akan ke pusat kerajaan. Mengabari hal ini.”
“Tidak, kita tunggu hingga kasus berikutnya. Akan buruk jika berita ini menyebar dan menimbulkan kepanikan.”
“Baiklah, kalau begitu saya akan segera kembali ke Timur untuk mempersiapkan pasukan. Hanya untuk berjaga-jaga.”
Dan setelah perdebatan itu lah situasi menjadi seperti ini. Ia telah memutuskan untuk segera kembali dua hari kemudian. Setelah kunjungannya ke Sara berakhir. Dan tiba-tiba bayangan Henry terlintas di benaknya, menyadarkannya dari lamunan. Dan pemuda itu masih berada di ruang makan. Buru-buru ia pergi meninggalkan ruangan dan mendapati ruangan yang telah kosong. Tidak ada Henry di sana.
“Tuan Henry sedang berada di balkon.” Pelayan yang sedang membereskan piring tengah memberitahukan padanya.
Balkon yang sama, posisi yang sama, Cliff melihat punggung Henry sama seperti di pesta yang lalu. Ia menghampiri, berdiri di sebelah Henry. Pemuda itu pun menatap entah apa di luar sana, seperti yang dulu ia lakukan. “Sedang menatap apa?”
“Gak ada.”
Cliff tersenyum. Ia memandang Henry dari rambut tembaganya, wajah dan garis rahangnya, bibir merahnya dan garis lehernya yang menggoda, bahu hingga pinggang yang mengingatkannya pada obsesinya dulu. Membawa pinggang itu ke tangannya. Mengingatnya membuat pemuda itu tertawa pelan.
“Ada apa?” Henry melirik padanya.
“Kamu begitu menggoda.” Ucapnya disela tawa.
Henry mendengus, melempar wajah. Namun rona merah itu tertangkap di mata Cliff, sungguh membuat pemuda tembaga itu tampak manis. Cliff bersandar pada pagar balkon, menatap Henry, menyapu wajah pemuda itu yang kini kembali menatap entah apa ke depan. Melihat wajah pemuda itu membuatnya enggang untuk kembali ke timur. “Henry.”
“Hm?”
“Bisakah kamu bersikap biasa padaku?”
Henry melirik dari sudut matanya, sebelum kembali menatap ke depan. “Bersikap biasa? Saya sudah bersikap biasa.”
Cliff berdiri, sepenuhnya menghadap Henry. “Maksudku…” ia mengangkat tangan, hendak meraih bahu pemuda itu sebelum Henry dengan cepat bergeser, membuat dada Clif terasa nyeri meski berkali-kali pemuda itu melakukannya. “…seperti ini. Tidak menghindariku.”
“S-saya…”
“Apa karena aku bukan Bree?” ada rasa kesal terselip di ucapannya, merutuki Bree ketika menyebut nama pria bersurai gelap itu.
Henry menatap bingung padanya, sebelum akhirnya pemuda itu mengerti. “Bukan seperti itu. Bree dan saya tidak memiliki hubungan seperti yang anda pikirkan.”
“Lalu apa? Katakan!” seru Cliff. Sungguh Henry membuatnya frustasi.
Henry menggeleng, membuat Cliff mengusap rambutnya frustasi, tidak mengerti dengan tingkah Henry selama ini.
“Kalau begitu biarkan kali ini saja.” Nada suara Cliff merendah dan lembut. Henry hanya menunduk, tidak memberikan respon apapun padanya. “Hanya kali ini saja, kumohon.”
Cliff awalnya ragu, ia menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk menghadapi penolakan Henry. Namun ketika tidak ada pergerakan dari Henry, ia segera meraih sebelah tangan pemuda itu. Menggenggamnya erat. Cliff bisa merasakan hentakan di awal, namun Henry seperti menyerah, membiarkan tangan Henry digenggam erat oleh Cliff. Cliff memainkan genggamannya, beralih menautkan jemari mereka, memasukkan setiap jari Henry ke sela jemarinya. Sungguh, Cliff bisa merasakan perutnya bergolak hebat, ke dada hingga ke bawah perut. Ada sensasi aneh yang menyengat kulitnya yang membuatnya tak ingin lepas.
Cliff mendekat pada Henry yang kini menghadap padanya, menunduk menatap tangannya. Satu tangan lain membelai rambut tembaga yang halus itu, membuat Henry tersentak namun tidak menjauh. Tangannya turun ke pipi, mengelus dan mengagumi betapa halusnya kulit pemuda itu. Beralih ke dagu dan mengangkat wajah Henry, mempertemukan kedua safir dan kedua rubi itu, menenggelamkan dalam euphoria yang tiba-tiba menghujam perutnya.
Entah apa yang merasukinya, Cliff tidak bisa melepaskan sedikit pun pandang dari kedua mata Henry. Bagai tenggelam dalam lautan darah. Ia melepaskan tautan jemari, menangkup wajah Henry dengan kedua tangannya yang secara spontan ditanggapi Henry dengan menyentuh setelan depan Cliff, tepat di dada hingga pemuda itu bisa merasakan debaran yang hebat. Ada rasa enggan ketika Henry ingin mendorong Cliff menjauh.
“Aku sudah katakan kalau kamu indah, bukan?”
Wajah Cliff mendekat, sedikit memiringkan wajah hingga akhirnya ia tidak mampu menahan godaan bibir Henry yang membuat pandangannya begitu mabuk. Hingga akhirnya bibirnya bertemu dengan bibir Henry dalam waktu yang singkat. Awalnya dingin menyengat. Kecupan kedua membuatnya ketagihan, dan tidak ingin melepaskan bibir itu dari bibirnya begit saja.
Henry berusaha mendorong pemuda itu menjauh darinya ketika sengatan aneh dan menyakitkan terasa di bibirnya. Namun sengatan itu membuat tenaganya menghilang tiba-tiba. Kekuatannya meleleh bersama perasaan nyeri yang hebat di perutnya dan dada. Punggungnya juga ikut merasakan rasa yang sama, hingga secara tidak sadar kedua tangannya mencengkeram erat setelan depan Cliff.
Cliff tersenyum di sela kecupannya yang semakin intens ketika merasakan setelan depannya diremas oleh Henry. Menyadari bahwa Henry menerimanya, menikmati ciumannya yang membuatnya nyaris gila. Ya, gila. Jika hanya melihatnya saja membuat mabuk, maka mencium bibir Henry membuatnya nyaris gila. Nyaris hilang kewarasan dan tidak berhenti menikmati rasa bibir Henry, yang seperti ia bayangkan, bagai anggur yang memabukkan.
Tangan di wajah henry turun perlahan ketika Cliff merasakan tidak ada perlawan lagi untuknya. Ia merengkuh pinggang itu dengan kedua tangannya, merasakan lingkaran yang pas dalam rengkuhannya. Ciuman memabukkan yang tidak berhenti, kedua safirnya tak menutup, tak bisa lepas dari kelopak Henry yang menutup, menikmati ciuman yang ia berikan. Dan ketika ia semakin menikmati bibir Henry, safirnya pun tertutup.
Cliff menggigit bibir bawah Henry hingga membuat desahan mengalir keluar dari mulut pemuda itu, membuat debaran jantung Cliff semakin menggila. Perutnya berdesir hebat hingga menimbulkan sensasi aneh di bawah sana, ketika ia berhasil memasukkan lidahnya, mengajak pemuda itu dalam ciuman yang lebih memabukkan.
Cliff terdorong kuat, melepaskan ciuman, menatap tidak mengerti pada Henry yang kini menutupi mulutnya yang basah dan wajahnya yang merah. Cliff tentu panik. Apa mungkin ia telah melakukan kesalahan dalam ciuman mereka? Ia tentu berusaha melakukan dengan baik, menikmati setiap gerakan, berusaha memberikan kenikmatan pada pemuda itu juga. Tapi kenapa Henry mendorongnya menjauh? Bukankah pemuda itu menikmatinya juga? Cliff mendekat. “Henry, ada apa?”
Tidak ada jawaban. Namun Cliff kembali merasa terluka ketika Henry kembali pada keadaan penolakannya. Henry melangkah mundur, melemparkan tatapan yang Cliff sulit artikan. Sebelum pemuda itu berlari pergi.
Tadi aku bingung, itu setelan apa setelah. Beberapa katanya setelah depan xD apa mataku tambah minus? XD
Ciuman yang sangat indah :x
@adamy haha bakal muncul ggs. wkwkwk. masa ciumannya indah? hahaha gak tau gimana, jadi nulisnya gitu aja.
@d_cetya mungkin denial
#pasangmukahorror
Soalnya sikap Hanry aneh. Dia kaya nahan sesuatu supaya gak keluar.
Tapi kayanya Hanry juga gak sadar sama keadaannya ya..
Eh, tapi vampire kan gak 'hidup' ?
#korbanceritafantasy