It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
di ranjang 69 ramennya harganya berapaan ?? (´・_・`)
harga ramen di ranjang 69 harganya berapaan ?? (´・_・`)
#lol
ternyata beneran ada toh :'V
Panji selalu tahan banting diapain aja sama iril... sama si tomotomo malah klepek2 kayak perawan kasmaran.. sadar panji!! ingat skrpsi >:/
@Unprince @octavfelix @harya_kei @Adamx @balaka @nick_kevin @bianagustine @Tsunami @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @arifinselalusial @fian_gundah @animan @kiki_h_n @rulliarto @bianagustine @jamesx @ffirly69 @littlemark04 @Rika1006 @Akhira @earthymooned @myl @exomale @AgataDimas @pujakusuma_rudi @yo_sap89 @DoniPerdana @kaka_el @fauzhan @muffle @notas @diodo @DM_0607 @greensun2 @Adhika_vevo @3ll0 @LeoAprinata @uci @kristal_air @MajestyS @nawancio @4ndh0 @daramdhan_3oh3 @Vanilla_IceCream @TigerGirlz @Hehehehe200x @Widy_WNata92 @sonyarenz @RegieAllvano @AvoCadoBoy @Ndraa @arbiltoha @Sicilienne @Rifal_RMR @JimaeVian_Fujo
Harap beritahu ya kalo ada yg nggak mau keseret lagi. Danke
Tue, March 4th, Senior Year – 07:37 p.m.
Seorang aktivis HAM tewas di usianya yang masih cukup muda, 38 tahun, di pesawat Garuda Indonesia dalam sebuah penerbangan Jakarta-Amsterdam. Aktivis tersebut tengah terbang ke Belanda untuk melanjutkan studi S2-nya di Universitas Utrecht, namun belum sampai dia di negeri kincir angin itu, dia sudah terbunuh lebih dulu di langit Rumania.
Ketika itu, polisi meyakini kalau sang aktivis meninggal akibat diracun di dalam pesawat. Sempat disimpulkan bahwa racun arsenik telah dimasukkan ke dalam mie goreng yang disajikan untuknya di pesawat. Lain pula ceritanya dengan hakim, yang malah berpendapat kalau racun tersebut dituangkan ke dalam jus jeruk yang diminum oleh sang aktivis.
Namun, seorang ahli forensik membantah pendapat tersebut karena arsenik tidak akan larut dalam air dingin dan justru mengendap. Efek arsenik juga juga baru akan dirasakan setelah 30 menit. Yang berarti bahwa sang aktivis tidak diracun di pesawat melainkan di tempat lain sebelum dia memulai penerbangannya.
Ahli forensik itu berpendapat bahwa sang aktivis telah diracun di Bandara Changi, Singapura. Dan kemudian diketahui bahwa sang aktivis memang diajak minum di Coffee Bean Changi oleh si pilot Garuda. Diketahui pula bahwa sang aktivis sempat mengeluh sakit perut dan meminta obat maag. Sampai akhirnya dia muntah, kejang-kejang, dan tewas di pesawat.
Munir adalah nama sang aktivis tersebut. Siapa yang tidak mengenalnya? Namun, apakah semua kenal dengan orang yang mengungkap kasus pembunuhan Munir? Orang itu adalah seorang ahli forensik. Itulah cerita yang aku dapatkan dari Tomori di tengah makan malam kami di sebuah restoran Jepang di Jalan Margonda, Takarajima.
Resto Jepang ini berada di sebelah kanan Jalan Margonda jika dari arah Jakarta, yang berarti harus memutar balik jalurnya. Takarajima yang menyediakan berbagai menu ala Jepang seperti sushi, sashimi, udon, ramen, dan bento ini terbilang cukup ramai karena lokasinya yang dekat dengan kampus UI.
Meski tempatnya yang mungil, suasananya tergolong nyaman, sehingga disukai mahasiswa untuk dijadikan tempat tongkrongan. Dan seperti mereka, aku dan Tomori saat ini tengah menikmati santapan malam kami sembari membicarakan banyak hal.
“Cobain ini, deh,” kata Tomori sembari menawarkanku Sushi Volcano pilihannya. Aku tersenyum lalu mengambil sushi itu. sushi volcano ini berisi salmon mentah dan daging kepiting yang dilapisi dengan mayonaise pedas yang dipanggang dan ditaburi tobiko.
“Kamu juga cobain ini, ya,” tawarku ke Tomori sembari menyodorkannya Nigiri Tuna, nasi dengan tuna mentah di atasnya.
“Oishi!” sahut Tomori setelah melahap Nigiri Tuna itu. Dia tersenyum lalu menyeruput mocha dinginnya. (*enak)
“Arigato,” balasku. (*terima kasih)
“Untuk apa?” tanya Tomori.
“Untuk dinner dan ceritanya.”
“Aku yang harusnya terima kasih ke kamu yang udah mau nemenin aku makan dan mau dengerin ceritaku.”
“Nggak, nggak. Aku yang salut sama kamu. Aku semakin kagum sama dokter forensik dan tentunya sama kamu.”
“Hahaha, aku jadi malu.”
Aku dan Tomori tertawa bersama. Dan tiba-tiba, kami saling pandang. Tatapan kami saling bertemu. Aaak, sorotan matanya sangat menawan. Dia tampak berkarisma dan dewasa. Jantungku berdebar kencang. Perasaan apa ini?
***
Fri, March 7th, Senior Year – 11:23 p.m.
“Gimana, Panji?” tanya Tomori kepadaku yang baru saja ke luar dari ruang klinik spesialis tulang RSCM.
“Semakin membaik,” jawabku singkat sembari tersenyum.
“Oh ya, hari ini aku nggak bisa nganterin kamu pulang. Aku dapat tugas jaga mahasiswa Koas yang mau praktik di sini.”
“Hmmm yaudah gapapa. Aku bisa pulang sendiri kok.”
“Sebenarnya aku bisa nganterin kamu. Tapi kamu harus nunggu sampe jam delapan malam. Kamu mau nggak?”
“Asal ada yang bisa aku kerjain, aku mau.”
“Ada kok. Kebetulan kan ada mahasiswa Koas yang mau praktik, kamu bisa lihat nanti. Jadi kamu bisa tahu gimana proses forensik dilakukan.”
“Serius?”
Aku terdiam sebentar. Sial, aku baru ingat kalau aku harus pulang cepat karena ada janji pertemuan dengan Bu Firda, dosen pembimbingku. Tapi pertemuan dengannya bisa ditunda dan diganti hari sih. Aku tinggal melobi beliau saja. Kalau melihat proses autopsi, ini kesempatan langka. Aku tak boleh melewatkannya.
“Baiklah aku mau. Aku sudah lama penasaran ingin melihat langsung gimana prosedur pemeriksaan forensik dijalankan,” lanjutku.
“Sip, bagus kalau gitu. Yuk, kita makan siang dulu.”
Setelah selesai makan siang, aku menemani Tomori yang tengah bertugas mendampingi mahasiswa Koas melakukan pemeriksaan organ dalam alias autopsi pada beberapa mayat di ruang autopsi. Tomori adalah dokter muda Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPSDS) Patologi Anatomi. Bersama dua orang dokter konsulen, Tomori mendemonstrasikan prosedur autopsi kepada mahasiswa Koas itu.
Proses autopsi mulai dilakukan. Namun, ketika baru memulai insisi pada daerah leher, keluarlah cairan kental hijau dengan bau yang sangat menyengat. Pasien itu diduga meninggal karena infeksi Tuberculosis yang sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Tomori yang tampak tidak nyaman dengan kondisi pasien tersebut, mundur sebentar dan proses autopsi selanjutnya dilakukan oleh salah seorang dokter konsulen.
Tahap selanjutnya adalah mengeluarkan usus mayat tersebut. Namun, si dokter salah gunting yang menyembabkan salah satu bagian usus terbuka dan menumpahkan isinya.
Seketika, ruangan autopsi menjadi sangat bau. Aku yang sebelumnya sangat penasaran untuk melihatnya menjadi sangat mual dan tidak kuat berlama-lama di ruangan tersebut. Dengan segera, aku berpamitan dengan Tomori dan kemudian beranjak keluar dari ruangan tersebut.
Setibanya di luar, aku langsung mencari udara segar. Melupakan suasana di dalam ruang autopsi yang mebuat perutku mual. Aku pun duduk di bangku salah satu koridor rumah sakit. Tiba-tiba ponselku bergetar. Ada sebuah panggilan masuk. Dari nomor tak dikenal itu lagi. Sial, nomor ini mulai menerorku lagi. Setelah lama aku bisa melupakannya, dia ternyata kembali lagi. Siapa sih dia?
Aku segera menolak panggilan itu. Namun, tak lama kemudian sebuah pesan masuk dari nomor tersebut.
- Apa kamu baik-baik saja? Aku dengar kamu baru saja operasi. Jaga kesehatan ya. Get well soon. –
Itulah isi pesan tersebut. Siapa sih orang yang iseng ini? Meski aku tidak merasakan adanya ancaman darinya, aku tetap merasa terganggu. Tanpa berpikir lama, aku langsung menelpon nomor tersebut. Panggilan pertama ditolak. Panggilan kedua diabaikan. Dan panggilan ketiga akhirnya diangkat.
“Halo, siapa ini?” tanyaku cepat setelah panggilan teleponku diangkat olehnya.
“.....” tidak ada jawaban darinya.
“Maaf ini siapa?”
“.....”
“Tolong, jangan ganggu saya.”
“.....”
“Jika ingin berteman dengan saya, saya orangnya terbuka kok. Tapi jangan begini caranya.”
“.....”
“Halo? Apa ada orang di sana?”
Tuuuuut. Tiba-tiba teleponku diputus. Sigh! Aku menghela napas panjang.
Tak lama kemudian, ponselku kembali bergetar. Ada sebuah panggilan masuk. Aku melirik layar dan mendapati nomor yang sama meneleponku. Aku langsung mengangkatnya namun sambunganku langsung diputus. Aku jadi kesal kalau begini.
Dan ponselku bergetar lagi. Aku langsung mengangkatnya dan berteriak, ”Woy, jangan ganggu gw lagi!”
“Nji, lo kenapa?” sebuah suara terdengar dari ujung telepon. Iril?
“Iril? Oh sorry, Ril. Gw kira nomor anon yang nelpon gw.”
“Anon itu masih gangguin lo, Nji?”
“Iya. Padahal gw udah nggak dikirim-kirimin lagi surat kaleng. Terakhir itu yang ketujuh, Ril. Gw udah tenang padahal. Eh, tapi masih digangguin aja. Gw nggak tau deh ini stalker sama secret admirer maunya apa.”
“Kalo gitu lo harus hati-hati, Nji. Pokoknya kalo stalker lo itu macem-macem, bilang aja ke gw. Biar gw hajar! Hehe.”
“Sok jago berantem lu! Sama banci aja takut. Huhu.”
“Idih, itu beda kasus kali, Nji. Hahaha. Gw serius tapi mau jagain lo.”
“Woles bray. Gw yakin nih stalker nggak akan macem-macem. Dari gaya dia neror gw, gw rasa dia tau gw tapi nggak bisa deketin gw, makanya dia pilih neror gw dari jarak jauh. Mungkin dia nggak ada di Depok atau bahkan di Jakarta. Mungkin dia di kota lain.”
“Oh gitu ya. Ya udah de, pokoknya lo kudu hati-hati, Nji. Oh ya, lo dimana sekarang? Gw ke kosan nih tapi lo nggak ada. Padahal gw udah lama nggak ke kosan. Kan kangen. Huhu.”
“Hahaha. Gw lagi check up di RSCM, Ril. Tiap Selasa n Jum’at gw kan rutin ke RSCM.”
“Ooh, cepet sembuh ya, Bray. Gw sampai sekarang masih sering khawatir sama kaki lo itu. Eh, sama lo lah pokoknya. Huhu.”
“Iya, Ril. Makasih lah udah mau ngekhawatirin gw.”
“Oh ya, Nji. Lo weekend ini bisa nemenin gw nggak? Gw mau wawancara di narasumber penelitian gw di Margo, gw agak canggung kalo sendirian.”
“Nggak biasanya, Ril, orang kayak lo canggung.”
“Hmmmm soalnya ini profesor gitu. Gw takut nggak bisa nyepik. Mati gaya bisa-bisa.”
“Lo juga jago nyepik kan, Ril.”
“Yaah, ayolah temenin. Ntar gw traktir makan deh.”
“Huhu, bilang aja kalo lo lagi mau jalan sama gw, Ril.”
“Hehe. Lo tau aja, Nji. Iya nih, gw kangen sama lo. Lo kangen sama gw juga nggak, Nji?”
“Nggak!”
“Dih, judes banget sih. Hahaha..”
“Loh, kok lo malah ketawa, Ril?”
“Gw lagi ngebayangin wajah lo aja, Nji. Sok-sok judes begitu pasti imut banget. Huhu.”
“Ah, dasar lu!”
“Jadi gimana, Nji? Lo bisa nemenin gw kan?”
“Yah, sorry banget, Ril. Gw belum bisa nemenin lo.”
“Oh gitu ya. Lo udah ada acara?”
“Iya, Tomori ngajakin jalan ke Kota Tua.”
“Kok jalan-jalan sih? Kaki lo kan masih sakit begitu, Nji?”
“Daripada suntuk, Ril. Gapapa lah, Tomori bisa jagain gw.”
Tuuuuuut...
Sambungan teleponku dengan Iril tiba-tiba terputus. Apa jangan-jangan? Aku hendak menelepon Iril balik tapi sebuah panggilan masuk. Dari Putro.
“Halo, Put! Ada apa ya?” tanyaku cepat.
“Halo, Nji. Lo jadi ikut bantuin panitia pencerdasan pemilu kan?”
“Jadi, Put. Tapi gw bantu dikit-dikit aja ya. Lagi nyambi skripsian soalnya.”
“Beres itu mah. Sip, sip. Gw mau mastiin aja.”
“Yudah. Ada lagi nggak, Put?”
“Nggak ada kayaknya. Gw tutup ya. Bye, Nji.”
“Byee..”
Tuuuut..
Telepon dari Putro pun dimatikan. Aku hendak menelepon Iril kembali namun nomor yang suka menerorku justru menelponku lebih dulu. Sial! Masih saja mengganggu. Aku langsung matikan panggilan nomor asing itu. Tapi tak berapa lama nomor itu kembali menelponku. Hingga aku kesal dan men-shutdown ponselku. Sigh!
***
Sun, March 9th, Senior Year – 01:12 p.m.
Kami bergegas keluar dari kereta dan mendaratkan kaki di Stasiun Kota. Suasana stasiun ini selalu terasa nostalgia untukku, atapnya yang tinggi, desainnya yang bergaya eropa, dan tiang jam analog khasnya yang selalu mendapat perhatianku. Cahaya mentari bulan Maret yang cerah langsung menyambut kami ketika kami melangkahkan kaki ke luar stasiun. Aku sudah mulai bisa berjalan normal meski sesekali masih dibantu oleh Tomori. Terlebih karena sekeliling pedestrian yang dipenuhi oleh pedagang kaki lima dan para penumpang yang juga ramai menggunakan jalan sehingga kadang harus berdesakan.
Aku dan Tomori berjalan menyusuri tepian jalan utama, menuju alun-alun balai kota. Sesampainya di sana, pandangan kami langsung tertuju pada Museum Fatahillah yang tampak elegan. Namun, kami tidak langsung berkeliling, melainkan mampir ke Cafe Batavia untuk mengganjal perut karena belum sempat sarapan. Kafe ini menyajikan berbagai hidangan dengan beragam cita rasa mulai dari Barat hingga nusantara.
Setelah selesai mengisi energi, kami mulai menjelajah ke berbagai tempat bersejarah yang unik di kawasan Kota Tua ini. Hampir tiga jam kami berkeliling dari Museum Fatahillah, Museum Wayang, hingga Museum Seni Rupa dan Keramik. Kami melewatkan momen bersama dengan menyenangkan. Berbagi cerita dan bersenda gurau. Tidak lupa pula, kami mengabadikan banyak momen tersebut dengan foto bersama.
Aku dan Tomori akhirnya berhenti dan beristirahat salah satu sudut Taman Fatahillah. Tomori terlihat mempesona ketika meneguk air mineralnya, kemudian mengekspresikan rasa dahaganya yang hilang. Aku tertawa kecil melihatnya yang seperti itu.
“Hey, kenapa kamu tertawa? Ada yang salah?” tanya Tomori kepadaku yang masih tertawa kecil.
“Nggak. Hehe. Kamu lucu ya?” balasku.
“Lucu?”
“Iya, jadi mirip iklan Pocari Sweat yang dibintangi AKB48.”
“Hahaha, aku tidak secantik mereka kali. Aku kan tampan. Hehe.”
“Hehe, tapi ekspresi kamu mirip. Orang Jepang memang sangat ekspresif ya?”
“Iyakah?”
“Hahaha. Tuh kan?”
“Sudah-sudah jangan tertawa lagi. Aku bisa salah tingkah,” ujar Tomori sembari tersenyum.
“Oh ya, aku boleh mengatakan sesuatu?” tanyaku ke Tomori.
“Tentu. Apa itu?” tanya Tomori balik.
“Kamu punya senyum paling indah yang pernah aku lihat loh,” pujiku ke Tomori.
“Ah, aku jadi malu. Apa aku juga boleh mengatakan sesuatu?” lanjut Tomori.
“Ya, katakan saja,” jawabku.
“Senyum yang katamu paling indah ini bisa ada karena ada kamu,” ujar Tomori sembari tersenyum malu mengalihkan pandangannya.
Hah? Senyum indah Tomori karena aku? Aku juga ikut malu kalau begini. Aku yakin mukaku memerah sekarang. Apa Tomori serius mengatakan itu? Ya, ampun. Aku belum pernah merasa sekikuk ini sebelumnya.
“Panji. Aku boleh bercerita sesuatu lagi?” tanya Tomori tiba-tiba.
Aku mengangguk. Membenarkan posisi dudukku dan bersiap mendengarkan ceritanya.
“Aku sepertinya sedang menyukai seseorang,” ujar Tomori memulainya.
“.......” aku terdiam.
“Aku sangat tertarik dengannya. Padahal aku belum lama mengenalnya.”
“.......”
“Dia sangat menarik. Dia adalah lawan bicara yang sepadan. Dia adalah pendengar yang baik.”
“.......”
“Aku dan dia juga memiliki selera yang sama. Menyukai banyak hal yang sama. Dari buku sampai kuliner.”
“.......”
“Tapi, aku tidak tahu apakah orang itu menyukaiku atau tidak.”
“.......”
“Aku belum berani mengungkapkan perasaanku kepadanya.”
“.......”
“Aku takut ditolak.”
“.......”
“Mungkin karena kondisi aku dengannya yang tidak memungkinkan bersama.”
“.......”
“Meski aku bisa saja nekat, namun kami hidup di lingkungan yang mengikat, yang membatasi kami dengan norma dan aturan.”
“.......”
“Padahal jika aku mengedepankan egoku, aku berani membuang semuanya. Aku rela mengorbankan semuanya untuk bisa menghabiskan hidupku dengannya.”
“.......”
“Tapi aku lagi-lagi belum yakin apakah dia menyukaiku. Bagaimana menurutmu, Panji?”
Aku masih terdiam. Jantungku berdebar kencang. Siapa orang yang dimaksud Tomori. Orang yang baru dia kenal dan memiliki banyak kesukaan dengannya. Dia sangat ingin mengungkapkan perasaannya kepada orang itu tapi dia takut ditolak karena secara norma tidak memungkinkan. Apakah orang yang dimaksud itu aku? Apa benar aku? Apakah Tomori ingin menyatakan perasaannya kepadaku?
“Jadi, menurutmu apa yang harus aku lakukan, Nji?” tanya Tomori membuyarkan lamunanku.
“Hmmm.. Dekati dia lagi. Jika waktunya tepat, kamu nyatakan saja perasaan kamu kepadanya. Aku yakin orang itu tidak akan menolakmu begitu saja,” jawabku.
“Kenapa kamu bisa yakin?” tanya Tomori lagi.
“Karena kamu juga orang yang menarik. Kamu pintar, tampan, mapan, dewasa, dan menyenangkan. Siapa orang yang akan menolak orang sepertimu? Dan sepertinya, orang itu juga tertarik padamu,” ujarku. Aku sengaja mendasarkan perkataanku itu pada perasaan yang aku rasakan. Aku merasa kalau Tomori menyukaiku. Dan aku juga menyukainya. Namun, aku belum siap. Mengapa aku jadi suka sesama lelaki begini ya? Ah, aku jadi gila.
“Makasih, Panji. Kalau begitu aku akan berusaha lebih keras lagi,” tukas Tomori.
“Ya, tentu,” sahutku.
Tiba-tiba suasana menjadi sangat hening. Aku tidak tahu kemana lenyapnya suara-suara itu. Yang pasti, tidak ada perbincangan antara aku dan Tomori. Kami tetap dalam pikiran masing-masing. Yang aku tahu, dia tersenyum-senyum sendiri, begitu pula denganku. Apa yang Tomori pikirkan? Apa dia memikirkanku?
“Panji, ini!” kata Tomori tiba-tiba. Dia menyodorkan sebuah gulungan kertas kecil kepadaku. Kertas tersebut sedikit lembab dan tercium aroma manis darinya.
“Apa ini?” tanyaku cepat.
“Pesan rahasia. Buka di rumah ya,” ujar Tomori.
“Rahasia ya? Aku jadi penasaran. Jadi pengen cepat-cepat sampai di rumah,” godaku.
“Kalau begitu, ayo kita pulang,” tutup Tomori sembari beranjak dari duduknya.
Yaaah! Padahal aku masih ingin berlama-lama bersama Tomori. Tapi aku termakan candaanku sendiri. Rasanya aku ingin menawar, tapi aku gengsi. Lagian hari sudah semakin petang. Ya sudahlah, mungkin memang harus pulang.
Aku dan Tomori pun berjalan pelan menuju stasiun Kota.
Sepanjang jalan, Tomori terus memperhatikan langkahku. Sesekali dia membantuku berjalan karena tongkatku yang sedikit menganggu laju jalanku. Dia selalu tersenyum setiap melihatku. Senyum yang indah. Meski tidak ada pembicaraan panjang, aku merasa nyaman menghabiskan waktu yang panjang bersama Tomori seperti ini. Ya Tuhan, perasaan apa ini?
***
Mon, March 10th, Senior Year – 07:21 a.m.
Aku terbangun oleh suara gaduh di luar kamar. Ah sial, aku bangun kesiangan! Aku segera masuk ke dalam toilet lalu mengambil air wudhu. Meski sudah terlambat, aku tetap harus sholat. Lebih baik daripada tidak sama sekali.
Setelah menyelesaikan dua rekaat sholat shubuh, aku merebahkan punggungku ke lantai. Aku kembali teringat kenapa aku susah tidur semalam. Bagaimana tidak, aku sangat kepikiran dengan gulungan kertas yang diberikan Tomori sebelum kami pulang dari Kota Tua. Tapi sesampainya di kosan dan akhirnya aku bisa membuka gulungan itu, tapi isinya hanya tulisan PANJI. Tidak ada tulisan apapun selain itu di kertas tersebut. Apa sih maksudnya?
Aku sudah memandangi kertas itu berkali-kali. Tapi tetap saja tidak ada yang aku temukan selain kata PANJI. Ah, aku ingat kalau kertas ini berisi pesan rahasia. Dan ternyata memang rahasia. Aku semakin penasaran memikirkan maksud gulungan kertas ini. Tomori memang tahu hobiku. Dia tahu kalau aku suka dibuat penasaran begini. Tapi lagi-lagi aku tidak tahu bagaimana cara memecahkanya.
Aku sudah memikirkan berbagai kemungkinan. Apakah pesan ditulis dengan pena khusus sehingga menjadi transparan. Apa aku harus menyiramnya dengan cairan citrus? Apa aku harus membasahinya dengan minyak? Apa aku harus membakarnya seperti trik Potassium Nitrat? Apa yang aku harus lakukan dengan kertas itu supaya pesan rahasianya terbaca. Kalau aku bereksprerimen dan kertasnya menjadi rusak bisa bahaya. Padahal kertasnya sendiri sudah sedikit lembab. Jika semakin dibasahi, semakin hancur nanti. Apalagi kalau dibakar. Huft! Aku harus presisi dengan keputusanku.
Atau jangan-jangan kertas ini memang tidak berisi tulisan apapun selain kata PANJI? Pesan rahasianya bukan pada kertas ini, tapi pada sesuatu yang berhubungan dengan kertas ini. Tapi apa ya? Arrgghhh aku kesal. Kenapa akhir-akhir ini analisisku menjadi tumpul begini ya? Apa karena aku jadi sering kehilangan konsentrasi? Apa karena aku jadi semakin sering terbawa perasaan?
Praaak!!!
Suara gaduh di luar kamar kembali terdengar, membuyarkan lamunanku. Aku segera beranjak bangun, lalu melipat sajadahku. Aku bergegas membuka pintu dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.
“Nih, lo ambil aja semua!” teriak Iril ke Chandra sembari melempar tupperware berisi anggur.
“Yudah sini! Rempong banget sih lu!” balas Chandra meraih tupperware tersebut.
“Kalo minta bilang-bilang. Jangan asal ngambil. Terus kalo ngambil kira-kira. Jangan banyak-banyak. Nggak tau diri lu!” maki Iril ke Chandra.
“Yaelah lebay banget lu, Ril. Sama temen sendiri aja masih perhitungan!” sahut Chandra tak mau kalah.
Aku akhirnya tahu duduk perkaranya. Iril marah ke Chandra karena Chandra mengambil anggurnya tanpa seizinnya. Juga kesal karena sekalipun diizinkan untuk mengambil, Chandra tidak akan tahu diri untuk mengambilnya sedikit saja, tapi justru akan banyak. Karena saking kesalnya, Iril sampai melempar tupperwarenya dan memberikan semua anggurnya ke Chandra. Anehnya, Chandra justru senang dan tidak merasa bersalah sama sekali. Sigh! Aku harus melakukan sesuatu.
“Hey, hey. Sudah-sudah!” leraiku.
Iril dan Chandra terdiam memandangiku. Sepertinya mereka kaget melihatku yang memperhatikan mereka. Aku pun meraih paksa tupperware anggur itu dari tangan Chandra.
“Iril. Kalo makanan lo nggak mau diambil orang, lo simpen baik-baik dan jangan pamer. Chandra, please be considerate and be polite, jangan rakus dan sembarang sama barang orang lain,” kataku tenang. Tapi, Iril dan Chandra malah semakin terprovokasi dan melanjutkan pertengkaran mereka.
“Tuh dengerin, Chan! Tauk diri dikit lah jadi orang!” hardik Iril keras.
“Diem lu, Ril! Lebay banget cuma mau minta anggur aja udah kayak kebakaran jenggot!” balas Chandra.
“Lebay? Lo nggak tau aja itu anggur gw awet-awetin buat apa!” lanjut Iril.
“Iya lebay. Buat apa emang? Buat dimakan kan?” cibir Chandra.
“Iya buat dimakan. Dimakan Panji. Anggur itu buat Panji. Dari kemarin siang udah gw beli tapi gw belum sempet ngasih. Eh, malah lo yang makan. Kampret lu!” jelas Iril kesal.
Ya ampun. Jadi karena aku? Ah, kalau begini, mudah menyelesaikannya.
“Ril. Itu anggur buat gw kan?” tanyaku santai.
“Iya, Nji.” Iril mengangguk mantap.
“Yudah. Makasih ya. Dan Chandra ntar kalo mau minta bakal gw kasih kok,” kataku persuasif.
“Jangan kasih ke Chandra, Nji. Moral hazard!” sela Iril. (*Moral hazard : istilah dalam economy/finance yang merujuk pada situasi dimana seseorang mengambil risiko lebih besar karena tahu ada orang/pihak lain yang akan menanggung konsekuensinya. Iril sering memakainya untuk mengatai seseorang yang tidak tahu diri, dikasih hati minta jantung!)
“Udah, udah, Ril. Selow aja, Chan. Ntar lo gw jatahin kok,” sahutku.
“Sip deh, Nji. Repot lah sama Iril. Lebay banget jadi orang!” maki Chandra sembari meloyor pergi memasuki kamarnya. Sekarang hanya tinggal aku dan Iril yang tiba-tiba berubah cengengesan.
“Kenapa lu, Ril? Malah cengengesan begitu!” tanyaku ketus.
“Gw seneng, Bray,” sahut Iril sok imut.
“Seneng kenapa?”
“Seneng karena akhirnya bisa lihat sohib gw yang manis ini..”
“Idiiih, geli banget lu!”
“Geli aja tapi lo suka kan? Tuh lihat, muka lo merah. Hahahay..”
“Serius? Boong lu!”
“Kagak, bray. Lo manis banget lah..”
“Manis-manis... Lo kira gw gula!”
“Lo lebih dari gula, Nji! Lo anggur yang menggemaskan!”
“Aih, lebay! Mana ada anggur yang menggemaskan!”
“Hahaha, yudahlah pokoknya lo harus makan tuh anggur.”
“Harus banget nih? Lo nggak masang pelet kan, Ril? Hahaha..”
“Iya, gw masang pelet, Nji.”
“Kampret! Seriusan woy! Atau gw buang nih??”
“Jangan! Gw cuma becanda, Nji. Lo mah gitu banget.. Tapi manis sih. Hehe.”
“Manis! Anggur! Gula! Huh!”
Aku terdiam tiba-tiba. Ya tuhan, aku tiba-tiba terpikirkan sesuatu. Dengan cepat aku bernajak kembali ke kamarku.
“Mau kemana, Nji?” tanya Iril yang aku baru sadar dia masih ada di belakangku.
“Ke kamar, Ril. Makasih ya. Mmuuuach!” teriakku sembari menutup pintu kamar lalu menguncinya.
Ya, makasih Iril. Karena Iril aku jadi ingat suatu trik untuk mengungkap pesan rahasia. Kali ini aku sangat yakin kalau aku akan berhasil.
Obrolan dengan Iril yang dipenuhi dengan kata gula, anggur, dan manis mengingatkanku pada gulungan kertas dari Tomori. Aku mencium aroma manis dari kertas itu. Aroma itu seperti berasal dari bahan pembuat gula, yaitu tebu atau bit. Gula, anggur, pati fruktosa, dan bahan lain yang mengandung karbohidrat, adalah senyawa kimia yang tersusun dari hidrogen, oksigen, dan karbon. Jika dikeringkan, cairan gula yang ditulis di kertas menggunakan kapas bertangkai atau cotton bud akan menjadi transparan sehingga tulisannya akan terlihat jika diterawang ke sumber cahaya. Ya, itulah trik dari pesan rahasia Tomori. Kata PANJI hanya sebagai pengecohnya.
Dengan cepat aku pun mengambil setrika dan gulungan kertas dari Tomori. Aku membuka lebar kertas tersebut lalu mengeringkannya dengan setrika. Dan benar, sebuah tulisan transparan pun muncul. Sebuah tulisan beraksara Jepang. Cukup familiar, tapi aku tidak begitu yakin apa artinya. Aku memang menyukai Japanese Culture, tapi aku tidak begitu menguasai bahasanya. Aku harus mengeceknya.
Aku pun menarik kamus bahasa Jepangku dari tumpukan buku di meja. Dengan cepat, aku mencari-cari aksara yang sesuai dengan tulisan di kertas itu. Akhirnya ketemu! Aku pun menyocokkan aksara itu dan mendapati bahwa romanisasi dari tulisan itu adalah Daisuki desu.
Daisuki desu.
Aku sangat menyukaimu.
Apa Tomori benar-benar menyukaiku?
Benarkah ini? Ya, Tuhan! Aku juga menyukainya.
***
Bersambung ke Chapter 8 : Thing That’s Harder to Say
panjiiii terima terima terima \=D/
hoo~ so sweet nya overdose ka~
senyum" sendiri deh baca nya ^♡^
love this part ♡_♡