It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Unprince @octavfelix @harya_kei @Adamx @balaka @nick_kevin @bianagustine @Tsunami @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @arifinselalusial @fian_gundah @animan @kiki_h_n @rulliarto @bianagustine @jamesx @ffirly69 @littlemark04 @Rika1006 @Akhira @earthymooned @myl @exomale @AgataDimas @pujakusuma_rudi @yo_sap89 @DoniPerdana @kaka_el @fauzhan @muffle @notas @diodo @DM_0607 @greensun2 @Adhika_vevo @3ll0 @LeoAprinata @uci @kristal_air @MajestyS @nawancio @4ndh0 @daramdhan_3oh3 @Vanilla_IceCream @TigerGirlz @Hehehehe200x @Widy_WNata92 @sonyarenz @RegieAllvano @AvoCadoBoy @Ndraa @arbiltoha @Sicilienne @Rifal_RMR @JimaeVian_Fujo @zeva_21 @ardavaa
Harap beritahu ya kalo ada yg nggak mau keseret lagi. Danke
Sat, March 29th, Senior Year – 07:03 p.m.
Aku selalu suka dengan hujan. Terutama hujan di Bulan Maret. Hujannya pas, tidak terlalu lebat, tidak juga terlalu sedikit. Udara dingin membuat momen menjadi hangat. Terik yang hangat membuat angin merindu sejuk. Semua terasa pas pokoknya.
Dan aku tetap suka dengan hujan. Namun, aku tak pernah suka membawa payung. Jika hari hujan? Aku cukup mencari tempat berteduh. Jika tidak ada tempat berteduh? Tidak apalah, mungkin aku memang harus basah-basahan. Kadang, langit seperti ingin kita bermandikan airnya. Jangan sombong, manusia. Kamu mau langit kesal dan memaksamu mandi sampai tenggelam? Dengan banjir. Dengan hujan derasnya.
Aku selalu suka kota dengan banyak hujan. Namun, aku tak pernah suka tinggal di Bogor, yang orang bilang adalah kota hujan. Tidak ada yang menarik di sini. Dia tidak sedingin Bandung. Juga tidak segemerlap Jakarta. Hujan di sini pun biasa saja. Apa aku perlu pindah ke sebelahnya, ke Kota Depok? Depok? Ah, itu kota petir. Lebih menyeramkan. Aku tidak ingin tersambar olehnya.
Tapi Bogor tidak seburuk itu jika aku pikir-pikir. Masih ada makanan enak di sini. Masih ada udara sejuk di sini. Juga masih ada kedamaian yang tidak ada di Bandung atau Jakarta. Itu pun jika kamu mau mencarinya. Kamu tahu kan, kalau hal-hal baik tidak semudah itu kamu temukan?
Begitu pula tempat berteduh yang baik. Tak semua orang bisa menemukannya. Atau sudah kamu temukan, tapi tak bisa kamu dapatkan, karena sudah ada orang lain yang menempatinya. Pasrah deh, dapet tempat yang seadanya. Sedikit-sedikit kena rerintikan tidak akan masalah kan?
Baiklah, rerintikan ini sudah berlebihan. Ini tidak bisa dibilang berteduh jika aku jadi sebasah ini. Apa bedanya dengan hujan-hujanan? Apa aku harus mencari tempat yang lain?
Aku menyapu pandang ke sekeliling bangunan pertokoan di tepi jalan. Sepertinya sama saja. Sekalipun ada, mungkin di seberang jalan. Tapi masa sih aku harus menyeberang? Melewati hiruk pikuk jalanan yang dipenuhi kendaraan saling klakson begitu. Bisa-bisa aku makin basah karena menunggu kesempatan baik untuk bisa menyeberang. Ah, aku cari saja yang sederetan dengan sisi jalan ini. Ketemu! Dua blok dari bangunan tempatku bediri. Tapi aku harus melewati satu blok tanpa kanopi itu. Bisa-bisa aku basah kena hujan. Ah, tak perlu berpikir panjang. Aku terobos saja hujannya, yang penting aku bisa aman setelah sampai di sana.
Oke, aku sudah sampai di tempat berteduh yang lebih baik. Tidak ada lagi rerintikan di sini. Dan tidak lagi berdesakan dengan para peteduh lainnya. Aku memeras ujung kemejaku untuk menghilangkan rembasan air. Juga membersihkan ujung sepatuku yang terkena lumpur. Aku membungkuk untuk meraih bagian kakiku, lalu membersihkannya. Dan saat aku mengangkat badanku, sudah ada peteduh lainnya yang berdiri di sampingku.
Dia laki-laki. Sepertinya seumuran denganku. Tapi wajahnya terlihat lebih muda dan lebih tampan. Mungkin karena kulitnya yang putih dan terlihat kencang. Atau juga karena pipinya yang tembem dan bibirnya yang ranum. Jadi aku sadar kok, kalau dia memang lebih tampan dariku. Ah, tidak juga. Dia sama sepertiku. Punya sedikit garis hitam di bawah matanya. Seperti orang yang kurang tidur. Atau seperti orang yang baru saja menangis. Dia juga terlihat gelisah. Seolah menunggu-nunggu sesuatu.
Ada yang aneh dengannya. Kenapa bajunya tidak sebasah aku ya? Padahal hujan lagi deras-derasnya.
“Hey, berhenti ngelihatin aku,” ucap lelaki itu tiba-tiba.
“Oh eh, maaf,” jawabku canggung. Sial, aku jadi salah tingkah karena kepergok ngelihatin dia.
“Gapapa. Aku cuma nggak biasa dilihatin. Kamu beruntung bisa ngelihatin aku kayak tadi,” ujarnya narsis.
“Idih, kamu narsis ya?” balasku.
“Gapapa. Yang penting aku nggak sebasah kamu,” kata lelaki itu sembari melirik ke arahku.
“Iya nih. Aku basah banget. Kok kamu masih kering sih?”
“Aku juga basah tau.”
“Tapi kan nggak sebasah aku.”
“Sudah. Itu nggak penting. Kamu sendiri sudah berteduh kenapa masih basah begitu?”
“Aku tadi pindah tempat. Kena hujan lagi deh jadinya.”
“Oooh...”
“Aku sebenernya udah tau sih kalau hari ini bakal hujan.”
“Oh ya? Kenapa nggak sedia payung sebelum hujan?”
“Terlalu mainstream. Aku nggak suka jadi bagian orang kebanyakan.”
“Anti-mainstream maksudnya? Banyak orang berpikir kalau mereka orang yang sedikit tapi sebenarnya mereka adalah orang kebanyakan.”
“Maksudnya? Kata-katamu berat banget. Sulit aku mengerti.”
“Hidup itu penuh paradoks. Atau setidaknya kontradiksi. Orang bilang mereka suka hujan, tetapi mereka tak suka kehujanan. Orang tahu mereka sedang batuk atau radang tenggorokan, tapi justru saat itu mereka sangat ingin makan gorengan.”
“Aku kira hal seperti itu hanya ada di kepalaku. Ternyata juga ada di kepalamu.”
“Ya begitulah. Kamu mengira kamu anti-mainstream, tapi ada banyak anti-mainstream lain yang membuatmu menjadi mainstream.”
“Jadi kamu juga sudah tahu akan turun hujan? Tapi sengaja tidak membawa payung?”
“Aku tidak sepertimu. Aku hanya tidak suka dengan payung.”
“Apa menurutmu seorang pria terlihat aneh memakai payung? Karena jadi terlihat kurang macho?”
“Alasan itu untukmu. Aku punya alasanku sendiri.”
“Jika tidak keberatan, aku ingin mendengarnya.”
“Aku keberatan. Ceritaku itu bisa membuatku galau sepanjang hujan.”
“Tenang saja. Sebentar lagi hujan akan reda. Galaumu juga akan reda bukan?”
“Hmmm... Aku tidak tahu bagaimana memulai ceritaku.”
“Bebas saja. Aku tidak menuntut dan tidak menghakimi jika plot ceritamu berantakan. Kamu kan bukan penulis.”
“Maaf, aku seorang penulis.”
“Sial! Aku salah tebak. Hehe. Jadi kamu mau bercerita?”
“Aku sedang memikirkannya.”
“Oke, aku akan menunggu.”
“......”
“Lama sekali. Apa semua penulis selalu lama berpikir sebelum memulai ceritanya.”
“Mungkin.”
“Untuk kali ini lupakan saja hal itu. Aku tidak butuh karangan cerita yang indah.”
“Aku tidak mengarang cerita ini. Aku bukan penulis fiksi.”
“Kalau begitu kenapa lama sekali?”
“Aku ragu apakah aku bisa mengatasinya jika aku menjadi galau.”
“Kamu ini seorang pria kan? Kenapa melow sekali.”
“Meski aku pria, aku punya hak untuk itu. Dan kamu, yang katanya tidak akan menuntut dan menghakimi, sekarang justru sedang melakukan itu.”
“Seperti katamu, hidup itu penuh paradoks, penuh kontradiksi.”
“Sial! Aku termakan kata-kataku sendiri.”
“Hahaha..”
“Dan sial! Belum juga aku bercerita tapi aku sudah jadi galau.”
“Oh ya? Apa itu masalah?”
“Masalah.”
“Apakah itu parah.”
“Lumayan.”
“Separah apa?”
“Separah hujan tempo lalu. Yang menumbangkan pohon, melongsorkan tanah, meluapkan sungai, dan membanjiri Jakarta.”
“Ya, aku ingat hujan itu. Sampai-sampai aku tidak berangkat kerja hari itu. Jakarta pasti kena banjir pikirku.”
“Jadi kamu bekerja di Jakarta?”
“Iya. Capek banget rasanya tiap hari harus bolak-balik Bogor-Jakarta.”
“Bukankah enak tinggal naik kereta?”
“Kamu belum tau ya seperti apa kereta Bogor-Jakarta di hari kerja?”
“Seperti apa?”
“Seperti cacing sekelurahan yang disatukan dalam satu botol air mineral. Bukan yang satu setengah liter. Tapi yang lebih kecil dari itu. Lengket. Saling menempel dan berdesakan.”
“Separah itu kah?”
“Parah. Bahkan truk sapi sekalipun nggak akan tega membawa sapi sampai harus berdesakan.”
“Hmmmm aku jadi ingin mencobanya.”
“Kamu gila?”
“Hahaha, tentu saja aku tidak. Mana mungkin aku mau mencobanya. Aku punya mobil nyaman yang bisa aku bawa kemana-mana. Aku tidak perlu ke Jakarta pada jam-jam sibuk sepertimu. Dan aku juga tidak pernah ingin datang ke Jakarta.”
“Lalu, kenapa sekarang kamu di sini? Kenapa tidak berteduh di dalam mobil saja?”
“Mobilku baru saja masuk bengkel. Aku mau pulang. Aku sedang menunggu jemputan.”
“Kenapa harus dijemput? Tidak bisa naik angkot saja? Atau taksi malahan.”
“Aku pasti kena hujan kalau harus menaiki angkot. Kalo taksi? Aku sedang tidak membawa banyak uang. Makanya aku ingin pulang untuk mengambil dompetku yang tertinggal. Rumahku jauh.”
“Kenapa tidak bayar saat kamu nyampe?”
“Kamu banyak tanya ya? Pekarangan rumahku luas. Aku harus melewatinya untuk mengambil uang dan melewatinya lagi untuk membayar. Itu merepotkan.”
“Lebay!”
“Iya. Aku kan tidak punya payung.”
“Heran. Dari ceritamu, kamu seperti orang kaya. Punya mobil dan rumah dengan pekarangan yang luas. Masa sih tidak sanggup beli payung?”
“Aku kan sudah bilang kalau aku tidak suka payung.”
“Heran. Apa sih salahnya payung sampai kamu membencinya seperti itu?”
“Ah, kamu bikin aku jadi galau lagi. Padahal pikiranku sudah teralihkan.”
“Hehe, maaf.”
“Kamu harus tanggung jawab!”
“Hah?”
“Iya, kamu harus tanggung jawab karena udah ngerusak suasana hatiku.”
“Caranya?”
“Peluk aku!”
“.....”
“Hahaha, becanda kok.”
“.....”
“Kenapa diam?”
“Hmmmm kamu tidak malu apa kalau aku benar-benar mau memelukmu?”
“Kan cuma bercanda. Lagian memang apa masalahnya?”
“Kita sih biasa saja. Tapi orang lain?”
“Kenapa harus peduli dengan orang lain?”
“Karena orang lain suka menuntut dan menghakimi.”
“Itu bukan masalah. Tinggal jangan dipikirkan. Lagian kamu juga seperti itu kan? Cuma kamu saja yang berlebihan menanggapinya.”
“Iya sih. Tapi ada masalah lainnya.”
“Apa?”
“Hmmm...”
“Kamu nggak suka ya dipeluk cowok?”
“Justru karena aku suka. Aku takut jadi kebablasan.”
“Jadi horny maksudnya?”
“Ya gitu lah. Apalagi kamu ganteng. Lagi hujan gini pula, perlu yang anget-anget.”
“Kok bisa jadi horny?”
“Aku gay.”
“Pantes.”
“Udah tau? Jangan-jangan kamu sama kayak aku? Makanya punya radar.”
“Jadi, gay punya radar buat nemuin gay yang lainnya? Menurut radarmu, aku gay bukan?”
“Hmmm.. No clue sih.”
“See? Gay belum tentu bisa tahu orang lain gay kan? Begitu juga orang lain yang bisa tahu kamu gay, belum tentu dia juga gay kan?”
“Lagi-lagi kata-katamu susah aku mengerti.”
“Lupakan. Tapi, kok kamu sesantai itu come out ke orang asing kayak aku? Kamu nggak takut kalo aku ini homofobik dan mukulin kamu sekarang?”
“No clue. Kamu juga kenapa setenang itu tahu kalo aku ini gay?”
“Ya, untungnya aku bukan homofobik.”
“Tapi kamu gay?”
“Bukan.”
“Bi?”
“Bukan.”
“Denial?”
“Bukan.”
“Fudanshi?”
“Bukan.”
“Jadi?”
“Aku straight.”
“Oh, oke.. Aku sempat mikir sih kamu itu gay, minta peluk, dan tukang galau soalnya.”
“Hahaha. Kenapa bisa simpulin orientasi dari situ?”
“Ya, nggak ada salahnya kan?”
“Ada salahnya lah. Kesimpulan kamu buktinya salah.”
“Iya deh. Maaf.”
“Oke, dimaafkan. Ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa jadi gay?”
“Mungkin karena aku punya pengalaman yang kurang baik dulu waktu masih kecil.”
“Apa itu? Mau cerita?”
“Dulu aku sering main sama kakak kelas yang umurnya jauh. Aku masih kelas satu SD. Mereka kelas enam dan ada juga yang udah SMP. Kami sering main bareng di kamar sampai nonton bokep dan pegang-pegangan itu. Ituku sering banget dijadiin objek mereka.”
“Oke, cukup. Aku geli dengernya. Jadi karena itu, kamu jadi suka sama laki-laki.”
“Mungkin. Karena aku jadi terbiasa terangsang sama laki-laki. Jadi mati rasa kalo sama cewek, seseksi apapun mereka.”
“Sayang, padahal kamu tipe-tipe yang bisa dapetin cewek seksi. Orang lain udah tahu tentang orientasimu ini?”
“Iya. Aku udah pernah come out sama keluargaku.”
“Terus reaksi mereka?”
“Mereka ngusir aku dari rumah. Katanya cuma malu-maluin keluarga.”
“Jadi kamu udah nggak tinggal lagi bareng mereka?”
“Dulu pernah pulang lagi sih ke rumah. Tapi dicuekin terus. Jadi nggak betah.”
“Oh...”
“Pernah sih mereka berubah perhatian. Tapi ujung-ujungnya aku dikirm ke gereja. Disuruh terapi untuk membersihkan pikiran kotorku katanya. Banyak banget yang aku lewatin di sana. Dari dibacain ayat-ayat kitab sampe dicambukin punggungku. Lagi-lagi alasannya untuk ngilangin pikiran kotorku dan ngusir setan di dalam tubuhku.”
“Oke, cukup. Miris aku dengernya. Itu kapan kejadiannya?”
“Pas aku SMA.”
“Masih muda banget dong? Eh, tapi tidak ada kata muda sih untuk terjadinya sebuah gejolak hidup.”
“Iya.”
“Nggak nyangka kamu udah seberani itu.”
“Ya, mau gimana lagi. Ada kejadian yang bikin aku nggak bisa nutup-nutupin lagi.”
“Apaan emang?”
“Ortuku nemuin foto-foto cowok bugil di komputerku. Bahkan ada diariku yang isinya curhatanku tentang cowok yang aku suka.”
“Hmmm pantes. Tapi salut deh, sampe sekarang kamu masih bisa hidup.”
“Kesedihan jangan dibuat berlarut-larut. Bisa bikin galau. Harus move on.”
“Nyindir nih?”
“Menurutmu?”
“Agak tersindir sih. Tapi kesedihanku beda. Harap maklum kalau aku jadi galau. Apalagi setiap hujan begini.”
“Kenapa memang?”
“Aku pernah bikin kesalahan yang sangat besar. Tapi aku nggak bisa memperbaikinya. Aku udah kehilangan kesempatan itu.”
“Masa sih?”
“Iya.”
“Tentang cewek nih?”
“Iya.”
“Pacar kamu?”
“Iya.”
“Terus?”
“Ah, jebakan nih. Aku jadi galau nanti.”
“Kan bentar lagi hujan reda. Galaunya juga ikut reda kan?”
“.....”
“Ayolah....”
“.....”
“Nggak fair nih. Padahal aku udah cerita banyak ke kamu.”
“Cewek itu namanya Naya..”
“Terus?”
“.....”
“Hey, kok berhenti ceritanya?”
“Boleh aku memelukmu dulu?”
“Oke-oke..”
Aku pun memeluk lelaki itu. Badannya dingin. Bahkan hingga terasa sampai ke tulangku. Hingga membuat tubuhku gemetar dan merinding.
Tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna hitam menepi di depanku dan lelaki itu. Aku dan lelaki itu melepaskan pelukan dan memandangi mobil tersebut. Jendela kaca mobil dibuka dan lelaki di sampingku sekejap berlari menembus hujan, masuk ke dalam mobil itu.
“Hey!! Kok buru-buru amat?” teriakku kepada lelaki itu.
“Sorry. Aku harus duluan nih?” jawab lelaki itu setengah berteriak.
“Siapa namamu?” tanyaku mengejar.
“Azra-el..” teriaknya.
“Sampai ketemu lagi ya...” ujarku seraya melambaikan tangan.
Mobil itu menghilang di balik hujan lebat sore itu. Aku masih termenung mengingat percakapan dan pelukannya. Lelaki yang misterius, pikirku.
Hujan mulai mereda tetapi belum benar-benar berhenti. Tiba-tiba aku melihat seseorang melambai-lambaikan tangannya dari seberang jalan. Dia mengangkat-angkat HP-nya menyuruhku untuk melihat Hpku. Aku pun merogoh kantong celanaku dan mengambil HP-ku. Ada pesan darinya.
- Woy, betah banget lo di situ! Kesini aja, bisa sambil ngopi-ngopi kita –
Ya, benar. Toko tempatnya berdiri adalah sebuah kedai kopi. Oke deh, aku akan ke sana.
- Lama banget lo! Daritadi bengong di situ, emang nggak bosen –
Tiba-tiba pesan selanjutnya itu masuk. Bengong? Ah, langsung ku balas saja.
- Sabar woy! Gw nggak bengong kali. Tadi ada yang nemenin gw di sini –
Aku sudah hampir berjalan menyeberang jalan saat sebuah panggilan darinya masuk. Aku langsung mengangkatnya.
“Heh? Lo daritadi sendirian di situ.”
“Hah? Berdua kok. Gw sampe ngobrol banyak sama dia.”
“Ngawur lo!”
“Serius. Gw sampe kenalan sama dia. Namanya Azrael.”
“Kok kayak nama malaikat maut ya?”
“Ah, iya ya..”
Aku berpikir sejenak sembari berjalan menyebrangi jalanan. Pikiranku melayang ke lelaki misterius itu. Masa sih dia malaikat maut? Ada-ada saja.
“Rudi! Awas!!!”
Aku terpental jatuh tak tahu dimana. Sekujur badanku tersentak dan terasa sakit. Pandanganku kabur oleh rerintikan hujan yang jatuh vertikal ke mataku. Dan pelan, aku tak melihat apa-apa, selain gelap. Gelap. Hanya gelap.
“Anjirrr!! Serem banget cerpen lo, Nji!!” jerit Iril tiba-tiba ketika aku baru masuk ke kamar setelah selesai mandi sore. Iril ternyata telah membaca cerpen buatanku yang aku tulis di laptop-ku.
“Cerpen yang mana, Ril?” tanyaku.
“Yang judulnya ‘The March Rain’.”
“Oh.. Emangnya kenapa, Ril?”
“Dramatis, Bray. Gw jadi inget pas dulu lo bilang gimana cara bikin cerita yang bagus, lo bilang bunuh aja tokohnya, biar dramatis. Dan beneran jadi dramatis gini, Nji, cerita lo.”
“Loh, memangnya si Rudi, tokoh di ‘The March Rain’ pasti mati ya Ril? Itu open ending kali. Terserah pembaca mau menginterpretasikannya gimana.”
“Gw sih pilih tokohnya mati. Tapi, jadi satire sih, Nji, cerita lo kalo orang nganggep tokohnya mati.” (*Satire = menyinggung/menyindir)
“Satire gimana, Ril?”
“Lo buat seolah-olah gay bakal langsung kena celaka setelah come out ke malaikat maut. Agak nyindir gimana gitu.”
“Hahaha, itu mah pikiran lo aja yang lebay. Lagian multipretatif kali, Ril. Meninggal juga nggak berarti buruk kan? Bisa jadi itu jalan yang dikasih ke si tokoh untuk mengakhiri penderitaan hidupnya.”
“Iya, sih. Tapi btw, Nji, kalo gw yang meninggal gimana? Lo sedih nggak, Nji?”
“Pasti sedih lah, Ril. Tapi setelah itu gw pesta-pesta. Hahaha.”
“Ah, parah lu!”
“Dan gw yakin, Ril, seisi Depok bakal ikutan pesta ngerayain kematian lo. Hahaha.”
“Hiks, jahat. Males banget lah. Gw pundung nih.”
“Duh, duh. Jangan ngambek dong. Hehe.”
“Lo mah gk bisa diajak romantisan, Nji.”
“Kayak lo bisa romantisan aja, Ril. Pasti ujung-ujungnya becanda. Udah ah, jangan ngomongin mati lagi, Ril. Meski kita semua pasti bakal mati, pembicaraan tentang kematian cukup dijadikan pengingat kalau hidup itu harus dijalani baik-baik. Jangan disia-siakan.”
“Cakeeeep. Huhu. Eh, btw, Nji. Kok lo tumben sih nulis cerita bertema gay begini?”
“Kenapa emangnya, Ril?”
“Gapapa sih, Nji. Cuma gw jadi bertanya-tanya, apa jangan-jangan lo itu gay?”
“Dih, ngarang! Gw nggak gay lah, Ril.”
“Yaaah, padahal gw kira lo udah jadi gay sekarang.”
“Kenapa lo kecewa gitu, Ril?”
“Kalo lo gay kan, kita jadi bisa pacaran, Nji.”
“Aih, ogah ah pacaran sama lo. Jangan ngarep, Ril!”
“Ih, segitunya. Emang gw sejelek itu ya, Nji?”
“Nggak lah, Ril. Lo itu ganteng. Banyak cewek yang suka tuh. Tapi, emangnya lo mau pacaran sama cowok. Lo juga gay?”
“Kagak lah, Nji. Gw bukan gay. Tapi kalo pacaran sama lo, gw mau dah jadi gay.”
“.......”
“Hahaha, becanda kali, Nji.”
“.......”
“Eh, kaki lo gimana, Nji? Udah baikan kan?”
“Alhamdulillah, Ril. Udah mendingan lah.”
“Serius nih udah mendingan. Udah gapapa kan kaki lo, Nji?”
“Iya gapapa, Ril.”
“Yakin kaki lo gapapa, Nji?”
“Yakin!”
“Bisa jalan?”
“Bisa!”
“Besok minggu, yuk.”
“Hah? Apaan?”
“Katanya bisa jalan. Besok minggu yuk, jalan bareng ayang Iril.”
“Dih!”
“Hahahaha.”
“Nggak lucu, Ril.”
“Biarin. Hehe. Tapi seriusan, Nji. Kapan tuh lo bisa gak pake tongkat lagi?”
“Tengah bulan nanti moga-moga udah bisa lepas tongkat sih, Ril.”
“Amiin dah. Lo kudu banyak istirahat, Nji. Jangan sampe kecapean. Ntar nggak sembuh-sembuh.”
“Iya, Ril. Gw tahu kok.”
“Kalo tauk, harusnya lo nggak nerima tawaran Putro buat ikut kepanitiaan Pra-Pemilu, Nji.”
“Hah? Kok lo tahu kalo gw ikutan?”
“Udah ketebak kali, Nji. Orang kayak lo mana bisa diem soal ginian.”
“Ya sayang aja, Ril, kalo gw ngelewatin ladang kontribusi kayak gini. Seumur-umur jadi mahasiswa kan baru kali ini gw bisa terlibat ke gerakan pencerdasan Pemilu.”
“Lo dari dulu nggak berubah ya, Nji. Masih aja nasionalis. Huhu.”
“Kan gw selalu bilang, Ril. Kalo bukan kita yang gerak, siapa lagi? Kita ini agent of change, Bray.”
“Widih, mulai lagi! Gw berasa jadi maba yang lagi diceramahin senior gini. Hahaha.”
“Ah, dasar lu! Peka dikit kenapa sama gerakan mahasiswa. Biar nanti kalo lo jadi orang penting di negeri ini, nggak cuma bisanya mikirin diri sendiri, tapi pikirin rakyat juga.”
“Gampang lah itu. Nanti gw tinggal ikut program Indonesia Mengajarnya Anies Baswedan. Hahaha.”
“Halah, omong doang palingan lu! Awas ya, kalo lo udah jadi diplomat nanti, jangan kebetahan di negeri orang. Pulang lah, nengok Indonesia ini kayak gimana. Biar lo dapet motivasi lebih buat berkarya, Ril.”
“Huhu, bilang aja karena lo bakal kangen sama gw. Makanya lo nggak pengen gw kebetahan di luar negeri. Iya kan?”
“Idih, ngarep lu! Gw mah udah punya gebetan sekarang yang bisa gw kangenin.”
“Serius, Nji? Siapa?”
“Ada lah. Masih rahasia, Ril. Hehe.”
“Yah, sok rahasia-rahasiaan sama gw. Gw kan sohib lo sedunia akhirat, Brayy. Terus kenapa lo nggak malmingan sama dia sekarang?”
“Di luar kan lagi hujan, Ril. Lagian gw sama dia masih friendzone. HTS gitu lah.” (*HTS = Hubungan Tanpa Status)
“Tapi sinyal udah positif kan, Nji?”
“Lumayan.”
“Resiprocity nggak, Nji?” (*Reciprocity = istilah dalam Psikologi Sosial yang merujuk pada aksi untuk merespon suatu tindakan positif dengan tindakan positif lainnya, atau usaha membalas budi yang bersifat mutual benefit. Iril sering memakainya untuk menyatakan suatu aksi positif yang dibalas dengan reaksi positif pula, alias tidak bertepuk sebelah tangan)
“Kemungkinan besar iya, Ril. Sinyal kuat banget soalnya. Gw tinggal nunggu aja.”
“Hmmmm... Kalo sampe lo jadian sama dia, lo bikin nazar buat gw dong, Nji.”
“Nazar apaan, Ril?”
“Lari keliling UI seratus kali, Nji.”
“Gila! Capek banget dong. Bisa mati itu mah. Supaya apa coba?”
“Supaya lo juga ngerasain betapa capeknya gw buat ngerelain lo sama dia, Nji.”
“Kampreeet. Gombal banget lu!”
“Aih, gw serius kali, Nji.”
“Udah ah. Nazar lo nggak manusiawi, Ril.”
“Yah, lo mah nggak mau berkorban demi sohib. Gw kecewa, Nji. Hiks.”
“Lagian lo minta gw ngelakuin hal aneh kayak gitu. Kalo keliling lima kali mah masih mungkin. Ini seratus puteran. Atlit marathon dunia aja gw jamin nggak akan kuat.”
“Kalo nggak kuat berarti lo jangan sampe jadian ya sama gebetan lo itu, Nji.”
“Lah, kenapa jadi lo yang nentuin hidup gw mau gimana, Ril.”
“Payah, ah. Ternyata bener kata orang-orang. Kalo persahabatan gw sama lo cuma bertepuk sebelah tangan. No reciprocity!”
“Lebay! Mana ada sohib yang kayak lo. Harusnya lo dukung gw kali, Ril.”
“Hahaha iya deh. Palingan setelah itu gw bakal hujan-hujanan terus, Nji.”
“Kenapa jadi hujan-hujanan? Mentang-mentang abis baca cerpen gw?”
“Biar gw bisa nangis sekencang-kencangnya, Nji. Huhu.”
“Lah, nangis tinggal nangis. Kenapa harus hujan-hujanan?”
“Biar dramatis!”
“Halah. Lo kapan sih berhenti lebay. Belajar dewasa dikit lah, Ril. Dari dulu nggak berubah.”
“Kenapa harus berubah. Lo nggak suka gw yang kayak gini?”
“Nggak gitu juga, Ril. Gw cuma pengen punya sohib yang dewasa, yang bisa diandelin.”
“Jadi gw nggak dewasa nih, Nji?”
“Apanya yang dewasa. Lo masih kayak bocah gitu. Masih kekanak-kanakan.”
“Lo juga masih kayak bocah. Masih demen nonton anime.”
“Itu nggak ada hubungannya kali, Ril. Kan gw nontonnya anime dewasa. Bukan doraemon apalagi Chibi Maruko Chan.”
“Sama aja lah, Nji. Kurang-kurangin juga lah hobi bocah lo itu. Lo malah makin ke sini gw perhatiin makin sering nonton anime. Ini koleksi lo malah nambah banyak banget. Lo mau kelarin nonton sebanyak ini?”
“Ya enggak lah. Nyicil. Kalo malam doang paling gw tonton kalo lagi bingung mau ngapain.”
“Lah emang lo nggak ngerjain skripsi lo, Nji?”
“........”
“Oh ya, skripsi lo apa kabar, Nji?”
“........”
“Skripsi gw udah lumayan sih. Kemarin seminar proposal lancar dan dikit revisinya. Sekarang udah mulai garap bab 4. Nyicil lah. Huhu.”
“........”
“Kalo lo udah sampe Bab berapa, Nji? Pasti lebih jauh dari gw kan ya?”
“........”
“Ah, gw jadi sekdil kalo begini.”
“........”
“Nji, kok diem?”
“Eh, Ril. Menurut lo cerpen gw tadi gimana?”
“Yang ‘The March Rain’? Bagus sih. Tapi menurut gw cerita yang berasosiasi dengan hujan udah terlalu banyak, Nji. Gw rasa lo perlu nulis yang beda dan nggak klise.”
“Caranya, Ril?”
“Nggak tauk! Hahaha..”
“Huh, dasar! Menurut lo ada yang perlu gw edit nggak dari cerpen gw tadi?”
“Bagian dialog sih, Nji. Nggak ada keterangan penuturnya. Jadi, kalo bacanya nggak konsen, bisa hilang track siapa yang lagi ngomong.”
“Hmmm kalo itu memang style nulis gw sih, Ril. Kalo nggak mau hilang track ya harus konsen berarti. Lagian, cara nulis tanpa keterangan penuturnya itu gw pake kalo dialognya terjadi cuma antara dua orang dan nggak ada yang nimbrung.”
“Huhu iya juga sih. Semoga aja pembaca cerita lo bisa konsen kayak gw. Lagian lebih simpel juga sih, jadi nggak perlu beribet baca keterangannya. Toh harusnya kita udah tauk siapa yang lagi ngomong.”
“Iya kan? Terus, Ril. Ada lagi nggak yang menurut lo perlu gw perhatiin?”
“Gw, Nji. Perhatiin gw. Hahahay.”
“Halah! Serius nih, Ril.”
“Hmmm mungkin penggunaan nama Azrael perlu diganti. Jadi apa gitu. Soalnya kurang populer.”
“Oh gitu ya, Ril? Ya udah, nanti gw cari nama lain deh.”
“Ganti jadi Shinigami aja, Nji. Lo kan suka tuh jepang-jepangan. Hahaha.” (*Shinigami = istilah dewa kematian di Jepang)
“Ya, kali. Ini juga ada maksudnya tersendiri gw nulis Azrael.”
“Apaan, Nji?”
“Ada deh. Rahasia. Hahaha.”
“Lah? Lo gimana sih, Nji?”
“Ya, nggak gimana-gimana. Udah, udah, sekarang gw mau istirahat dulu ya.”
“Huft! Oke deh. Sukses buat skripsi kita ya, Nji. Doain gw ya supaya nggak ketinggalan sama lo.”
“.......”
Aku terdiam. Memandangi Iril yang beranjak keluar dari kamarku. Dia menoleh sebentar ke arahku, lalu tersenyum. Dan dalam hitungan detik, dia mengilang seiring ditutupnya pintu kamar.
Ya Tuhan! Skripsiku! Aku sampai mengabaikannya. Tapi mau ngerjain, kok rasanya malas banget ya?
Sigh! Aku menghela napas panjang. Lalu kujatuhkan tubuhku ke atas kasur. Memandang langit-langit kamar hingga memejamkan mata.
The March Rain.
Maret yang hangat tetap saja harus diusik oleh hujan. Aku menanti langit yang cerah. Aku ingin menikmatinya tanpa diganggu mendung yang menghitam. Meski aku tak bisa mengelak, bahwa seberapapun cerahnya langit, mendung itu pasti akan menunggu untuk menumpahkan air hujannya. Ah, aku benci hujan. Hujan di akhir Maret.
And I know that into each life, some rain must fall.
***
Bersambung ke Chapter 10 : If A Bird Doesn’t Sing
iril parah, keliling ui 1 kali pas nyari boneka aja cape, lah ini 100 ..
ih waw... part ini best of the best lah.. bagian paling bagus dari yg bagus.. *halah ribet kan* . suka pake banget sama cerpen nya panji. standing ovation lah buat tees, juara banget.. btw panji is real? mau dong dikenalin.. *manja2 lebay hahaha.
Intinya iril gak ngijinin panji buat punya pacar kalo syaratnya musti lari keliling ui 100x. Aq suka kalimat "aq rela jadi gay asal pacarannya sama kamu". Jadi inget sismance aq io,,,
tpi kasian jga ya iril kayak eh bner" suka sama panji
demen bner sama ceritamu bro susah di tebak nitip mention ya kalo lanjut