It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
gw emang fans kok tp gak sampe segitunya juga kali. masa ame klik kesal gitu. hehehe
Tuh kan dia bromance nya kamu. Ah, i miss my romance back then.
@RogerAlpha cie ciee yg suka sm si dia. sometimes I wonder how does it feel jatuh cnta sm co, I just think it's nice to see men couple taking care each other (emg dasar fudan -,-)..
Di Sumut atau riau nih? dulu pas jd maba, roomateku jg orang riau, logat melayunya mmg lucu sih.
bang Mario, aku senang dengan org yg rela putar haluan/hidupny demi org yg disayangi. Mereka jagoan yg patut dberi jempol krna ketulusanny. Tapi juga bisa terkesan ceroboh bagi org lain, krna nggk segitu juga kali pikir mereka. Cinta tdk memberi syarat, perjuangkan dgn jadi diri sndiri.
I got it, so fudan itu str8 yg suka sm gay? Like fujo? Basically, aku gak percaya, like i said, mgkn itu denial, atau perasaan yg terpendam. Let me test you *eh *salahfokus *modusan LOL
Salam kenal buat bang @balaka dan @Leo Aprinata besok pada imlekan kah? *brb *ngubungin mantan yg chinese
Sedihnya,
aye gak ikutan imlek roger paling cuma kumpul2 aje ama keluarga
selip2 dikit apaan tuh yo?
bener ngga ya?? *wks
@RogerAlpha okee roger.. ya begitulah aku gk terlalu musingin orientasi. have fun ajalah jalani aja gk pake baper.. wah boleh tuh dijadiin cerita yg di palembang.. aku jg pernah nemu short encounter di taman kambang iwak dulu..
@balaka agak ceroboh gmn gitu
@lulu_75 yaa kmn aja mbak? huhu.. iyatuh iril kodenya makin kenceng..
@muffle oooh gitu y.. oke deh..
iril jadian yuk, ntar ngga cuma panji aja yg punya pacar .. (^_^)
Chapter 10. Selamat membaca.
@Unprince @octavfelix @harya_kei @Adamx @balaka @nick_kevin @bianagustine @Tsunami @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @arifinselalusial @fian_gundah @animan @kiki_h_n @rulliarto @bianagustine @jamesx @ffirly69 @littlemark04 @Rika1006 @Akhira @earthymooned @myl @exomale @AgataDimas @pujakusuma_rudi @yo_sap89 @DoniPerdana @kaka_el @fauzhan @muffle @notas @diodo @DM_0607 @greensun2 @Adhika_vevo @3ll0 @LeoAprinata @uci @kristal_air @MajestyS @nawancio @4ndh0 @daramdhan_3oh3 @Vanilla_IceCream @TigerGirlz @Hehehehe200x @Widy_WNata92 @sonyarenz @RegieAllvano @AvoCadoBoy @Ndraa @arbiltoha @Sicilienne @Rifal_RMR @JimaeVian_Fujo @zeva_21 @ardavaa @RogerAlpha @sunset @Arie_Pratama @gatotrusman @RenoF
Harap beritahu ya kalo ada yg nggak mau keseret lagi. Danke
Mon, April 1st, Senior Year – 07:03 p.m.
“Nji, seminar proposal lo gimana?” tanya Baim sembari meletakkan piringnya di meja kantin tempatku duduk sekarang.
“Gw belum, Im. Jadinya besok,” jawabku pendek.
“Diundur lagi, Nji?”
“Iya, Im.”
“Hmmm... Semangat deh ya.”
“Iya, Im. Gw agak khawatir sih karena persiapan gw agak berantakan.”
“Sok insecure lo, Nji. Seberantakan-berantakannya lo, gw yakin lo masih lebih rapih daripada gw. Dan daripada Iril pastinya. Hahaha..”
“Gw serius, Im. Gw ngerasa sekdil nih.”
“Lo jangan gitu lah, Nji. Lo tuh alasan si Iril jadi rajin dan semangat begitu ngejar skripsinya. Gw juga nggak nyangka orang semager dia bisa lancar begitu.”
“Iril itu aslinya memang rajin, Im. Dia kalo udah pengen sesuatu pasti getol ngerjainnya. Cuma karena dia nggak punya tuntutan aja makanya dia jadi suka selow.”
“Iya juga sih. Iril itu suka sembarangan dan susah diatur. Seolah dia punya aturan dia sendiri.”
“Ya. Pokoknya kita harus saling dukung lah. Biar bisa wisuda bareng-bareng.”
“Iya, Nji. Terutama lo. Jangan bikin si Iril kecewa ya. Lo udah janji kan mau wisudaan bareng dia. Karena itu kan dia jadi rajin kayak begitu.”
“Hahaha ya gitulah dia. Kita jadi rumpiin Iril gini, Im. Kayak ibu-ibu gosip.”
“Aih, lo yang mulai ya, Nji.”
“Kok gw? Lo kali yang mulai, Im.”
“Nggak! Lo yang mulai!”
Aku terdiam. Aku tahu aku harus mengalah atau amarah Baim akan tersulut. Susah ya.
“Iya, iya gw yang mulai,” ujarku malas.
“Nah, gitu dong! Pokoknya kita harus semangat, Nji!” kata Baim keras.
Aku mengangguk lalu menyeruput jus manggaku.
“Semangat apa nih?” sela seseorang dari belakangku. Tanpa melihatnya aku sudah tahu kalau orang ini adalah Iril. Huft! Baru saja dibicarakan orangnya sudah langsung muncul. Memang dasar kuping kelinci!
“Semangat 45, Ril,” jawab Baim ngawur.
“Widih! Masih lama keleus tujuh belasannya,” sahut Iril.
“Hmmmm,” dengung Baim malas.
“Lo udah gak sabar tujuhbelasan ya, Im? Mau manjat pinang?” samburng Iril.
“Yaelah, gw juga cuma becanda kali, Ril,” dengus Baim kesal.
“Wow wow! Jadi becanda toh? Gw perlu ketawa nggak nih, Im?” lanjut Iril.
“Ril! Lo bisa diem nggak? Atau ini piring bakal gw jejelin ke mulut lo!” Baim mulai marah.
“Wih segitunya lo Im. Mau nyuapin gw aja sampe sepiring-piringnya,” goda Iril semakin menjadi.
“Lo diem atau ini garpu melayang ke mata lo!” gertak Baim.
“Bahkan sekarang lo nggak tahan ngeliat mata gw yang mempesona ini ya, Im?” lanjut Iril sembari mengedip-kedipkan matanya.
“Taiiiiik!” teriak Baim yang membuat seisi kantin memusatkan perhatiannya ke kami.
Duh mulai lagi nih. Aku harus hentikan atau kegaduhan lebay bakal terjadi di sini. Sigh.
“Ril, lo udah makan?” tanyaku memulainya.
“Belum nih, Nji,” jawab Iril.
“Makan dong. Entar sakit loh,” sambungku.
“Suapiin,” rengek Iril lebay.
Bruuuuk!!
Terlambat. Baim sudah beraksi. Dia sudah memukul meja dan membuat suara gaduh.
“Iril taik! Lo diem dulu bisa gak sih?!? Ganggu selera makan aja! Jijik banget ngeliat lo sok imut kayak gitu! Amit-amit!” teriak Baim tidak karuan.
“Apa, Im? Gw imut? Hahaha..” Sial, Iril malah meladeni.
“Taiiik!!!” bentak Baim.
“......” semua terdiam.
“Ssstttt... Jangan ngomong jorok dong kalo lagi di tempat makan! Ganggu selera makan aja!” gumam seorang junior cowok dengan tampang menyebalkan.
“Hey! Diem lu!” gertak si Baim dan junior itu pun terdiam seketika.
Tiba-tiba orang yang duduk depan junior itu berbalik badan dan menatap baim. Seorang om-om. Tapi bukannya marah, malah om-om itu senyum dan ngedipin mata ke Baim. Dan Baim pun diam seketika. Ya ampun, jadi ini rahasia Baim supaya nggak marah-marah. Dia takluk sama om-om ternyata. Ckckck.
Suasana akhirnya kembali tenang. Baim diam karena takut dilihati oleh om-om di seberang meja. Sedangkan Iril diam karena mulutnya penuh dengan nasi yang aku suapin.
“Pelan-pelan, Nji,” protes Iril yang kesulitan mengunyah dan menelan nasi karena terus menerus aku jejali. Supaya mulutnya penuh dan tidak berisik lagi.
“Kalo protes, gw gak akan suapin nih!” ancamku.
Iril pun diam. Huft!
“Cuit cuit... Kalian romantis banget sih. Jadi ngiri deh,” ujar Putro yang tiba-tiba datang. Iril tidak merespon akrena kesulitan menelan makanannya.
“Ngiri lo, Put?” sahut Baim ketus.
“Lo juga ngiri ya, Im? Awas jangan marah ya, kalo marah berarti lo cemburu,” ujar Putro.
“Cih!” Baim mendengus menahan marah.
“Azeeekk.. Gw direbutan nih,” gumam Iril bangga setelah selesai dengan kunyahannya.
“Selamat ya, Ril,” timpaku nyinyir.
“Tapi tenang aja, Nji. Ayang Iril akan tetap setia kok sama ayang Panji,” lanjut Iril.
Dengan cepat, Putro dan Baim memelototi Iril. Dengan cepat pula aku menjejal mulut Iril dengan suapan berikutnya. “Sabar, Nji. Ngasuh bayi memang harus sabar,” gumamku dalam hati.
***
Tue, April 2nd, Senior Year – 11:17 p.m.
“Panji, lo dimana?” tanya Ajeng di ujung telepon.
“Masih di kereta, Jeng,” sahutku cepat.
“Udah lewatin stasiun mana?”
“Baru Pasar Minggu.”
“Wah, buruan, Nji. Lo bisa telat seminar.”
“Iya, Jeng. Gw udah buru-buru daritadi. Tapi keretanya ketahan di Manggarai.”
“Yudah, gw coba ulur yang di sini ya.”
“Ya, makasih banyak ya, Jeng.”
“Sip-sip. Lo coba ngomong juga ke Bu Firda.”
“Iya, iya.”
“Oke, hati-hati, Nji. Kaki lo belum sembuh bener kan?”
“Iya, Jeng. Gw bakal hati-hati kok. Yudah ya.”
“Sip!”
Tuuuuuut....
Aku menutup telepon Ajeng itu. Aku mencoba duduk tenang dan mengatur emosiku. Tapi jujur, aku sangat khawatir akan terlambat. Apa jadinya kalau kesan pertamaku di depan dosen pengujiku buruk?
Dreeeet.... Dreeeeet....
Sebuah panggilan masuk. Dari Putro. Aku langsung mengangkatnya.
“Halo, Put. Kenapa?” tanyaku cepat.
“Nji, form A5 yang pindah TPS buat mahasiswa rantau, lo masih megang nggak, Nji?” sahut Putro.
“Ada di lemari arsip di sekre, Put.”
“Dimananya, Nji? Kok gw cari-cari nggak ada ya?”
“Di deket tumpukan file Kestari.”
“Nggak ada, Nji.”
“Duh, entar dulu deh Put. Gw lagi panik seminar proposal nih.”
“Oh sorry, sorry. Yudah deh. Ntar gw cari lagi.”
“Yudah ya.”
Tuuuuuut....
Aku segera memutus panggilan Putro. Saatnya menghubungi Bu Firda. Melobi-lobi supaya bisa menahan dosen pengujiku. Tapi sebelum aku menelponnya, HP-ku bergetar kembali dan sebuah panggilan masuk. Dari Chandra.
“Ada apa, Chan?”
“Nji, lo masih ada kertas origami nggak? Gw minta dong.”
“Ya ampun. Gw kira apaan. Yaudah ntar aja deh, ya.”
“Yah, sekarang dong, Nji. Gw balik ke kosan nih.”
“Gw lagi nggak di kosan, Chan.”
“Yah, lo dimana emang? Apa gw pinjem kunci kamar lo sama Mamy?”
Tuuuuuuut..
Aku langsung memutus telepon Chandra yang tidak penting itu. Bikin kesal saja. Daripada repot bolak balik, kenapa nggak beli aja sih? Lagian buat apa coba mahasiswa tingkat akhir mainan kertas origami. Sigh!
Aku pun akhirnya menghubungi Bu Firda. Aku menjelaskan semua kondisiku dan untungnya dia bisa mengerti. Aku beruntung punya dosen pembimbing seperti dia. Meski dosen pembimbing dua-ku sangat tidak aktif dan kurang peduli, rasanya Bu Firda saja sudah cukup.
Setelah hampir satu jam di kereta, aku akhirnya sampai di kampus. Aku berjalan terburu-buru ke ruang seminar. Tentu saja karena aku sudah terlambat. Jadwal seminar proposalku seharusnya mulai tepat setengah dua belas tapi aku baru sampai di kampus. Seperti biasanya, aku harus medical check up di RSCM setiap selasa, tapi ternyata kereta pulang sempat tertahan di pintu masuk stasiun Manggarai, cukup memakan waktu dan membuatku terlambat. Ya Tuhan, aku tidak bisa tenang kalau begini. Sepanjang jalan saja aku terus dihubungi Bu Firda.
Aku ingat semalam aku sudah begadang untuk menyiapkan bahan presentasi. Sedikit ribet karena laundry-ku belum selesai, jadi aku juga harus menyiapkan kemeja untuk hari ini sendiri. Belum lagi harus bolak balik ke fotokopian untuk memperbanyak proposal. Begini ya rasanya jadi deadliner. Benar-benar membuat stress dan tertekan.
Sebenarnya aku bisa minta bantuan teman kos yang lain. Tapi bukan gayaku untuk mempercayakan pekerjaan ke orang lain. Hasilnya sering kurang memuaskan. Lagian aku juga sedikit gengsi, karena aku sudah biasa mandiri dan jarang sekali merepotkan orang lain. Yang pasti, aku juga sadar kalau teman kosanku yang lain juga sedang sibuk. Bang Zaky dan Iril sibuk dengan skripsinya. Chandra sibuk dengan proyeknya dan sekalipun aku minta tolong kepadanya, pasti dia minta bayaran. Huft.
Aku akhirnya tiba di depan ruang seminar. Aku langsung disambut oleh Ajeng dan beberapa teman sejurusan yang terlihat cemas menungguku. Aku pun berhenti mengatur napas. Menyeka beberapa peluh keringat yang tertahan di dahiku.
Aku segera masuk ke ruang smeinar. Aku merapikan bajuku dan memandangi beberapa dosen penguji yang terlihat kurang nyaman. Sial, aku baru sadar kalau pengujiku adalah dosen-dosen yang aku juga kurang nyaman dengan mereka. Apa aku bisa melewati ini?
“Lama banget kamu. Kamu presentasi lima belas menit saja ya,” kata Pak Burhan, salah seorang dosen penguji itu.
Aku hanya mengangguk. Bu Firda mengepalkan tangan menyemangatiku. Begitu pula dengan Ajeng dan beberapa teman lainnya. Aku tersenyum menanggapi mereka.
Lima menit kemudian aku lewati dengan sangat berat. Bukan karena dosen pengujiku, tapi karena aku yang merasa gugup. Aku kurang persiapan. Atau bagiku, presentasiku ini terlalu buruk, sangat tidak sesuai dengan jiwaku yang selalu menginginkan kesempurnaan.
Memasuki sesi tanya jawab, dan aku semakin merasa payah. Sesi ini menjadi semakin berat karena dosen penguji yang bertanya banyak hal aneh. Dari metodologi yang menurut mereka kurang cocok, sampai ukuran sampel yang menurut mereka kurang banyak. Yang membuatku kesal adalah jawaanku sudah benar, tapi dosen-dosen itu seolah mencari-cari kesalahanku. Ya, aku merasa mereka sengaja melakukan itu kepadaku.
Sesi diskusi memberikanku sebuah kesimpulan bahwa aku tidak bisa lulus semester ini. Metode survey lapang partisipatif mengharuskanku menghabiskan waktu yang lebih banyak untuk mengumpulkan data. Sampelku yang kurang juga seharusnya ditambah yang tentunya menambah lamanya pengambilan data. Aku sadar hal itu, tapi menurutku hal tersebut masukan dari dosen-dosen itu tidaklah sepenuhnya benar. Seharusnya penelitian mahasiswa S1 tidak perlu seribet itu. Cukup menggunakan metode yang benar dan dapat membuat desain penelitian yang tepat. Tapi sepertinya dosen-dosen itu memasang ekspektasi yang tinggi padaku. Dan bahkan mereka terus menerus mengungkit bahwa persiapanku terlihat kurang matang, sehingga lebih baik diperpanjang saja dan lulus semester depan.
Seminar proposal pun ditutup dan aku menyalami dosen-dosen itu. Aku berjalan menunduk kelaur ruangan. Rasanya sangat malu dan mengecewakan. Aku pun duduk di salah satu kursi di korider gedung. Aku mengatur emosiku supaya tidak terbawa perasaan. Aku sangat sadar kalau hal ini bukanlah yang aku inginkan. Dan aku juga sadar bahwa persiapanku memang sangat berantakan. Inilah penyesalan terbesarku.
“Sabar, ya, Nji,” hibur Ajeng sembari menepuk-nepuk bahuku.
Aku hanya tersenyum kecut menanggapi Ajeng.
“Semangat, Panji. Ibu tahu kok kemampuan kamu,” timpa Bu Firda yang ternyata sudah ada di dekatku.
Aku mengangguk.
“Kamu sebenarnya bisa lulus semester ini. Coba kamu seminar dari awal, pasti bisa disiasatin tuh. Meski harus nambah sampel dan waktu makin lama, ibu yakin kamu bisa nyelesaiinnya. Tapi yah memang kamu seminarnya paling akhir sih. Jadi mau nggak mau harus perpanjang karena nggak mungkin ngejar seminar hasil secepat itu,” ujar Bu Firda.
Aku kembali mengangguk mendengarkan perkataan Bu Firda. Aku tahu. Aku juga sadar kalau sebenarnya aku bisa lulus semester ini sekalipun sampelku ditambah dan penelitianku menjadi lebih panjang. Karena inilah aku sangat menyesal. Aku menyesal kenapa aku sampai menunda-nunda pengerjaan skripsiku. Aku menyesal karena aku sempat pesimis tidak bisa mengerjakan skripsiku akibat kakiku yang dioperasi. Padahal semua itu mungkin saja. Mungkin ini memang pukulan untukku. Aku harus instropeksi diri.
***
Wed, April 3rd, Senior Year – 07:43 a.m.
“Assalamualaikum, Ma,” ucapku ketika panggilan teleponku diangkat oleh Mama.
“Walaikumsalam, Honey,” sahut Mama.
“Ma, aku mau ngasih kabar.”
“Kabar apa nih?”
“Tapi sebelumnya aku minta maaf ya.”
“Ada apa memangnya?”
“Ma, aku nggak bisa lulus semester ini.”
“Kok bisa Honey?”
“Penguji di seminar proposalku agak resek, Ma. Mereka minta aku nambahin sampel dan manjangin field survey-ku. Jadi aku nggak akan bisa kejar seminar hasil. Tapi memang wajar sih, Ma. Di Krim itu memang susah kalo udah pilih skripsi, seniorku aja dari enam yang seminar skripsi yang dilulusin cuma dua. Nggak nyangka kalo aku juga bernasib sama kayak empat lainnya.”
“Hmmmm...”
“Maafin aku ya, Ma.”
“Iya, gapapa. Kamu ini kan udah gede, Nji. Kamu sudah dewasa untuk membuat keputusan. Mama yakin kamu udah berusaha keras kan? Kamu juga nggak menginginkan untuk menunda kelulusan kan?”
“Iya, Ma.”
“Mama sama Papa mah yang penting kamu sehat di sana. Lulus cepat bukan berarti cepat dapat kerja kan?”
“.....”
“Ya, udah. Setelah ini, kamu harus mulai fokus. Semakin lama kamu garap penelitian, skripsimu bisa makin matang dan makin bagus.”
“......”
“Dan sambil disambi apply-apply scholarship kalau kamu mau ngelanjutin S2.”
“Iya, Ma. Makasih ya.”
“Yaudah. Istirahat dulu sana.”
“Baik, Ma. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
Aku menutup telepon dan melempar ponselku ke kasur. Rasanya kacau sekali. Aku dulu selalu optimis akan bisa lulus empat tahun. Tapi ternyata banyak hambatan yang mengalihkan perhatianku hingga aku terlewat dengan jadwal seharusnya. Arrghhhh..
Aku jadi begitu suntuk tapi tidak ingin keluar rumah. Aku juga menolak ajakan anak-anak kosan untuk keluar. Aku merasa belum siap membiarkan orang lain tahu kalau aku tidak bisa lulus semester ini. Terutama Iril.
Dreeettt... Dreeeettt...
Ponselku bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Tomori. Aku langsung mengangkatnya.
“Halo, Mori-kun,” sapaku.
“Halo, Panji. Ohayo,” balasnya. (*Pagi)
“Ada apa?” tanyaku cepat.
“Kamu lagi suntuk ya?”
Aku terdiam. Dari mana Tomori tahu kalau aku sedang suntuk?
“Kamu pasti lagi suntuk. Aku bisa tahu itu. Biasanya kamu menyapaku dengan bahasa Jepang. Dan tidak langsung menanyai apa mauku sampai aku yang mengatakannya. Ucapanmu yang pendek-pendek dan langsung to the point ini nunjukkin kalo kamu lagi nggak pengen banyak ngobrol. Pati karena kamu lagi suntuk.”
Ah, tepat sekali tebakan Tomori. Aku memang lagi suntuk.
“Iya, aku lagi demot banget nih,” sahutku lemas. (*demot/ demotivated = kurang motivasi/kurang semangat)
“Kamu nggak ada kuliah kan hari ini?” lanjut Tomori.
“Nggak kok,” jawabku singkat.
“Kita jalan yuk. Kebetulan aku lagi kosong.”
“Kamu nggak ada kerja?”
“Aku siang ini ada pertemuan di RIK, tapi aku udah di Depok dari pagi, jadinya sekarang kosong.” (*RIK (Rumpun Ilmu Kesehatan): Gedung baru untuk fakultas RIK di Kampus UI Depok, seperti FK, FKG, FKM, FIK, dan Fakultas Farmasi).
“Yudah, aku lagi nganggur juga kok di kosan.”
“Good! Aku udah di depan kosan kamu nih.”
Lagi-lagi aku terdiam. Aku terpesona dengan Tomori yang selalu punya timing yang tepat. Dia pria yang penuh kejutan.
Aku segera keluar dan mengunci pintu. Untungnya aku sudah mandi dan berganti baju, jadi tinggal pergi. Sesampainya di depan teras, Tomori langsung menyambutku dengan senyuman.
“Kamu udah nggak pake tongkat lagi?” tanyanya yang aku baru sadar kalau aku sudah tidak membawa tongkatku.
“Oh iya. Duh, aku lupa,” sahutku.
“Udah, nggak perlu dibawa lagi. Buktinya kamu udah bisa jalan lancar kan? Lagian begini kan lebih keren,” ujar Tomori yang membuatku sedikit tersipu malu.
Tomori langsung membukakan pintu depan BMW hitamnya. Kami pun melaju memasuki area kampus. Setelah memakirkan mobilnya di depan perpustakaan pusat, kami berjalan kaki menuju pinggiran danau UI di sebelah Balairung. Aku dan Tomori pun duduk menikmati udara pagi yang segar di kampus hijau ini.
“Gimana? Udah nggak terlalu suntuk kan?” tanya Tomori tiba-tiba.
“Ya, makasih, ya,” sahutku.
“Kalau mau, kamu boleh cerita ke aku,” lanjut Tomori.
“Hmmm... Aku baru bisa lulus semester depan nih. Rasanya sangat mengecewakan. Buat diriku sendiri, buat orang tuaku, dan juga teman-temanku,” kataku sedikit menggumam sendu.
“Semua itu pasti ada hikmahnya, Ji. Aku tahu kamu bisa ambil pelajaran dari ini,” tukas Tomori.
Aku mengangguk. Aku tidak ingin mengungkit-ungkit soal skripsi lagi. Aku khawatir keceplosan dengan apa yang aku pikirkan. Aku sempat berpikir kalau aku terdistrak karena rasa sukaku ke Tomori. Tapi aku tidak boleh mengatakannya karena aku tahu Tomori ini seorang perasa, dia sangat sensitif, aku takut dia justru tersinggung. Aku takut jika aku kehilangan Tomori.
“Aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Tomori memecah lamunanku.
“Tentu,” sahutku.
“Jika seekor burung tidak mau bernyanyi, apa yang akan kamu lakukan? Bunuh burung itu! Buat dia bernyanyi! Atau tunggu?” sambung Tomori.
“Hmmmm aku pilih yang kedua, buat burung itu bernyanyi,” jawabku.
“Pilihan yang bagus!” sela Tomori.
“Hah? Maksudnya?” tanyaku bingung.
“Mau dengar sebuah cerita?” lanjut Tomori.
Aku kembali mengangguk. Cerita? Ya, cerita adalah cara interaksi Tomori yang aku suka. Aku selalu suka mendengarkan cerita-ceritanya. He’s a good story teller. Sangat cocok denganku yang punya imajinasi tinggi. Aku jadi tidak kesulitan membayangkan cerita-cerita Tomori.
Tomori menceritakan sebuah kisah dari buku karangan Eiji Yoshikawa, Taiko, sebuah novel epik tentang perang dan kejayaan di zaman feodal Jepang. Novel itu menceritakan tentang impian tiga orang pria untuk menyatukan Bangsa Jepang di tengah masa kehancurannya saat itu. Di kutub ekstrim pertama, adalah seorang Oda Nobunaga yang karismatik tetapi brutal, dan ambisinya justru menghancurkannya sebelum impiannya tercapai. Di kutub lainnya adalah Tokugawa Ieyasu, seorang bijak, penyabar dan pemberani yang dewasa tetapi memiliki pasukan yang lemah dan bertindak sangat hati-hati alias lambat. Tapi dari semuanya, adalah Toyotomi Hideyoshi, seorang anak petani biasa yang cerdik, yang mampu mengubah rival menjadi teman, dan mengubah musuh menjadi sekutu dan akhirnya paling berhasil mewujudkan impian untuk menyatukan Bangsa Jepang tersebut.
“Saat ditanya apa yang akan dilakukan dengan burung yang tidak mau bernyanyi itu, Nobunaga akan menjawabnya dengan ‘Bunuh burung itu’, Hideyoshi akan menjawab ‘Buat burung itu bernyanyi’, dan Ieyasu akan menjawab ‘Tunggu burung itu sampai bernyanyi’. Nobunaga merepresentasikan jiwa seorang penakluk, Hideyoshi seorang pemikir, dan Ieyasu seorang penyabar. Karena kamu menjawab seperti Hideyoshi, aku harap kamu bisa memikirkan cara terbaik untuk bangkit dari kekecewaanmu itu.”
Aku terdiam. Benar sekali ucapan Tomori. Selain tertarik dengan ceritanya, aku juga terpesona dengan caranya menghiburku. Sangat cerdas dan penuh filosofi. Aku semakin kagum padanya.
“Terlebih karena kamu seperti Hideyoshi, aku yakin kamu akan berhasil mewujudkan impianmu. Seperti dia yang berhasil mewujudkan impian untuk menyatukan Jepang. Jadi, jangan sampai kekecewaan hari ini menjadi bayang-bayang pada impianmu esok hari. Kamu harus bangkit dan jadikan ini sebagai awal semangat baru,” tutup Tomori sembari tersenyum teduh kepadaku.
Aku membalas senyumnya lalu mengangguk memantapkan hati. Kadang kita perlu jatuh untuk tahu bagaimana caranya bangkit. Meski sulit mencari cara yang tepat untuk memulainya kembali, aku tidak boleh menyerah. Aku harus memikirkan cara yang tepat untuk bangkit. Ya, aku harus memanfaatkan nasib lulusku yang tertunda ini dengan sebaik mungkin.
“Panji?”
Sebuah suara tiba-tiba memanggilku dari belakang. Aku dan Tomori langsung berbalik ke arah sumber suara itu. Ternyata Indah, teman satu fakultasku yang dulu pernah sama-sama menjadi pengurus BEM bersamaku.
“Lagi ngapain, Nji?” tanya Indah lagi.
“Nggak ngapa-ngapain kok. Lagi santai aja di sini,” ujarku menutupi.
“Oooh... Gw kira lagi ngapain. Hehe,” kata Indah seraya tersenyum penuh arti.
“Heh, jangan mikir macam-macam ya.. Lo mau kemana emang, Ndah?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Gw mau ke perpus nih, Nji. Biasalah skripsian,” jawab Indah santai.
Aku manggut-manggut. Ya Tuhan! Aku kembali teringat skripsi. Oke lupakan, lupakan!
“Oh ya, sekarang Iril makin sibuk ya?” tanya Indah selanjutnya. Sigh, akhirnya dia juga yang mengalihkan pembicaraan. Tapi bicara tentang Iril, justru aku semakin teringat dengan skripsi.
“Iya, Ndah,” jawabku pendek.
“Lo jagain dia kan, Nji? Iril kan biasanya kalo lagi serius suka nggak perhatian ke badan dia sendiri.”
“.......” aku hanya terdiam.
“Apalagi dia ngebet banget pengen lulus semester ini kan?”
“.......”
“Gw sampe semangat sama skripsi gw juga karena ngeliat Iril yang jadi rajin begitu.”
“.......”
“Gw pengen wisudaan bareng dia.”
“.......”
“Makanya gw agak khawatir ngeliat dia yang jadi rajin begitu, takutnya dia kena gejala typus lagi.”
“.......”
“Nji?”
“Iya.”
“Lo dengerin gw kan?”
“Iya, Ndah. Gw dengerin lo kok.”
“Sip. Gw minta tolong ya. Nitip Iril. Hehe.”
“Sip sip. Ngomong-ngomong lo masih aja perhatian sama dia ya, Ndah?”
“Aigo, pertanyaan lo, Nji, gitu benget. Iya sih, Nji. Gw mah masih ngarepin dia. Meski dia udah nolak gw.”
“Susah move on ya, Ndah?”
“Ya gitu lah, Nji. Gw udah suka sama Iril dari Maba. Lo inget kan dia gokil banget waktu itu.”
“Hahaha, iya tuh. Dulu gw sampe malu. Padahal baru kenal sama dia.”
“Lo aja yang cowok malu, apalagi gw yang cewek. Gw malu banget, Nji, waktu itu. Tapi karena itu, gw jadi susah lupain dia.”
“Hmmmm gitu ya? Semoga lo ada kesempatan kedua deh, Ndah.”
“Iya, Nji. Pokoknya sampe kesempatan itu tiba, gw nitip Iril ya. Gw nggak rela dia jadian sama cewek lain. Kalo sama lo gapapa deh. Hehe..”
“Gila! Lo kira gw cowok apaan?”
“Hahaha becanda, Nji. Kalian kan sohib. Saling jaga. Saling ngasih perhatian. Bikin ngiri dah.”
“Udah, udah, Ndah. Malah jadi melow begini kita...”
“Cinca? Hmmm yudah deh, gw duluan ya.”
“Sip!”
“Oh ya, itu siapa, Nji? Temen lo? Cakep juga. Hehe.”
“Hush! Udah sana ke perpus!”
Indah pun berjalan menjauh dari aku dan Tomori. Sekarang hanya kami berdua di tempat ini. Ah, pikiranku sedikit lega sekarang. Aku senang ada Tomori yang bisa menghiburku.
Tiba-tiba sebuah pesan Whatsapp masuk. Dari Iril. Pasti dia baru bangun tidur. Kebiasaan buruk.
-- Guten Morgen, Liebe. LOL. Ciayo buat lulus semester ini. Semangat SKRIPSI !!! --
Aku hanya terdiam memandangi pesan dari Iril tersebut. Aku menelan ludah. Dan tiba-tiba rasa kecewa dan rasa bersalah bersatu menghantamku. Entah kenapa untuk yang satu ini, aku belum bisa memikirkan cara tepat untuk menanganinya.
Haruskah aku meniru Ieyasu dulu, sabar menunggu waktu mengungkap jawabannya? Aku sadar, aku tak benar-benar seperti Hideyoshi; aku lebih mirip Ieyasu. Ya, sepertinya aku memang harus menunggu. Menunggu sampai aku siap memberitahu Iril kalau aku tak bisa lulus bersamanya semester ini.
-- Iya, terus semangat, Bray XD -- Balasku ke Iril.
Sometimes, having dreams and promises is like keeping a bird. I should nurture it well for it to sing well. But then, if the bird doesn’t sing, I’m the type that will wait for it to sing.
***
Bersambung ke Chapter 11 : The Difficult Circumtances