It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
di up duluuu *ngarep*
hmm... tapi ya udah deh klo mau istirahat dulu... dari pada ntar sakit ya malah ntar ngga bisa up klo sakit ({})
^^
Tue, January 7th, Senior Year -- 11:31 p.m.
Hari yang melelahkan! Bahkan tak kalah melelahkannya dengan saat-saat aku menjadi mahasiswa baru di kampus paling melelahkan se-Indonesia ini. Kenapa bisa begitu? Aku akan ceritakan nanti, karena sekarang aku sudah kelelahan. Aku ingin beristirahat.
Aku tengah bersiap untuk tidur ketika suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar dari luar kamar. Aku mendengus kesal karena masih saja diganggu hingga selarut ini. Berbagai prasangka pun muncul di kepalaku. Siapakah orang yang menggangguku itu? Apakah Iril? Chandra? Bang Zaky? Atau temanku lainnya? Tidak puaskah mereka mengerjaiku sepanjang hari? Sigh.
Hari ini adalah hari ulang tahunku. Ya, hari ulang tahunku, terima kasih atas ucapannya. Terima kasih juga kepada teman-temanku yang telah repot-repot membuatkanku pesta kejutan. Meski kenyataannya, aku tidak terkejut sama sekali, dan bahkan aku sudah tahu semua skenario mereka. Tapi supaya asik, aku berpura-pura tidak tahu.
“Wow, it’s really surprising! Thank you guys,” kataku ke mereka saat tiba-tiba aku masuk ke kamar Iril yang dipenuhi orang, balon dan konfetti. Lucu juga sih. Tapi, bagian ini juga akan aku ceritakan nanti, karena sekarang aku ingin melihat siapa orang yang menggangguku malam-malam begini.
Aku berjalan sedikit malas ke arah pintu. Aku menarik napas dan mengatur mimik muka, bersiap dengan kemungkinan kejutan terakhir di hari ulang tahunku. Namun, saat aku membuka pintu, aku tidak menemukan siapapun. Aku arahkan seluruh pandanganku ke penjuru koridor kosan, tapi tetap tidak ada siapa-siapa. Kosan memang sedang sepi karena masih libur semester ganjil. Hanya ada aku, Iril, Bang Zaky, dan Chandra di sini. Dan setahuku mereka semua sudah tertidur jam sebelas tadi. Mereka pasti lebih kelelahan dibandingkanku sehingga tidur duluan. Lalu, siapa orang yang mengetuk pintuku tadi? Apa dia bisa disebut orang?
Seberani apapun aku melawan ketakutan, aku tidak bisa menafikkan kenyataan bahwa Depok ini dipenuhi dengan berbagai hal menyeramkan. Dari ancaman kejahatan oleh manusia sampai ulah jahil makhlus halus. Walau begitu, aku bukan tipe penakut, aku hanya waspada, karena hal-hal buruk bisa datang kapan saja.
Dug!
Aku sedikit kaget ketika kakiku tanpa sengaja menendang sebuah kaleng biskuit besar berbentuk tabung yang tergeletak di ubin lantai depan pintu. Kaleng apa ini? Siapa yang meletakkan kaleng ini di sini? Sejak kapan ada di sini? Apa isinya? Apa tujuannya?
Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku dan solusi paling cepat untuk menjawabnya adalah dengan membuka kaleng tersebut. Aku dengan sigap mengambil kaleng itu dan menarik tutupnya. Isinya adalah sebuah Boneka Matryoshka bergambar wanita gemuk yang mengenakan pakaian tradisional khas Rusia. Wanita itu memegang keranjang makanan, yang mungkin berisi roti mentega. Senyumnya mengembang, pipinya merah merona, dan bola matanya besar berwarna hitam. Aku segera membuka badan boneka tersebut, namun isinya kosong, hanya secarik kertas yang digulung yang ada di dalamnya.
Boneka Matryoshka adalah boneka kayu yang dapat diisi dengan boneka-boneka lainnya yang lebih kecil. Seharusnya, yang kudapati di dalam boneka terluar ini adalah boneka lain dengan ukuran yang lebih kecil. Akan tetapi, boneka ini kosong dan didalamnya malah terdapat sebuah gulungan kertas.
“Ada 7 boneka. Temukan boneka ke dua di halte Pocin arah bikun biru. Enjoy the game. Happy birthday.”
Itulah pesan yang ditulis dalam gulungan kertas tersebut. Aku melipat kertas itu dan menyimpannya ke dalam saku celanaku.
Aku kembali memandangi Matryoshka yang sudah aku letakkan di meja kamarku. Jadi ini kado ulang tahun? Kado yang menarik. Siapa yang mengirimkannya untukku? Itu masih misteri, yang pasti aku semakin tertarik.
***
Tue, January 7th, Senior Year -- 11:53 p.m.
“Ril, bangun, Ril,” kataku seraya menggerak-gerakkan badan Iril. Iril, yang sedang nyenyak-nyenyaknya tidur, tampak kesal dan hendak berteriak lebay. Namun, ketika dia membuka matanya, dia langsung mengurungkan niatnya dan malah tersenyum ke arahku. Sial, aku tahu maksudnya.
“Kenapa beib, kok bangunin gw malem-malem begini? Nggak bisa tidur ya? Sini, ayang kelonin,” ujar Iril sembari meraih tanganku, hendak menarikku ke pelukannya. Sontak, aku menarik badanku, dan menjauh darinya.
Bodohnya aku! Aku seharusnya sudah tahu hal ini akan terjadi. Hal sama yang sering berulang. Tapi kenapa ya aku merasa tidak waspada setiap Iril akan melakukan hal tersebut. Ya, tentu saja karena dia bukan ancaman buatku. Dan hal ini juga tidak penting. Sekarang yang lebih penting adalah misteri Matryoshka itu.
“Ril, lo tahu nggak siapa yang naruh kaleng ini di depan kamar gw?” tanyaku ke Iril yang sedang membenarkan posisi duduknya sembari senyum-senyum.
“Siapa emang?” tanyanya balik.
“Kalo gw tahu, gw nggak akan nanya lo, Nyet.”
“Hehehe. Gw nggak tauk, Nji. Lo kan biasanya lebih banyak tauk daripada gw.”
“Ya, siapa tahu lo liat ada orang yang lewat depan kamar lo. Kamar lo kan lebih deket sama pintu keluar.”
“Nggak tuh. Apa emang isinya?”
“Boneka.”
“Oh my God!!! Boneka? Lo dikasih boneka, Nji? Boneka apa? Boneka Barbie? Boneka Jelangkung? Apa Boneka Chukky”
“Sssttt.. Jangan berisik, Ril. Jangan lebay!”
“Ups, sorry, sorry. Kelepasan. Hehe.”
“Ya udah deh. Toh lo nggak tau. Gw keluar dulu ya.”
“Eh, lo mau kemana? Kok pake jaket begitu?”
“Gw mau ke kampus.”
“Hah? Gila malam-malam gini ke kampus. Mau ngapain?”
“Boneka yang gw omongin tadi Matryoshka, Ril.”
“Oh. Itu nesting doll dari Rusia kan?”
“Iya. Tapi isinya kosong. Cuma ada tulisan yang isinya petunjuk buat boneka selanjutnya.”
“Lah? Kok?”
“Itu kado ultah, Ril. Kayaknya orang yang ngasih ke gw tahu sifat gw yang suka main detektif-detektifan. Makanya dia ngasihnya terpisah-pisah gitu.”
“Hahaha. Nggak niat banget tuh yang ngasih. Ngerjain orang malahan.”
“Justru dia niat banget, Ril. Sampe bikin ginian.”
“Hmmmm iya sih. Terus lo jadi ke kampus sekarang?”
“Iya.”
“Nggak besok aja?”
“Nggak.”
“Sendirian?”
“He-eh.”
“Gw ikut!”
“Nggak perlu, Ril. Lo mah bikin rempong nanti.”
“Yah, jangan gitu dong. Gw kan nggak pengen lo kenapa-napa, Nji.”
“Yang ada kalo lo ikut, lo yang kenapa-napa.”
“Bodo! Yang penting lo nggak kenapa-napa. Lo nggak takut apa kalo sendirian?”
“Bukannya lo yang biasanya ketakutan ya, Ril?”
“Eh itu... Kalo sama lo mah gw nggak akan takut. Hehehe.”
“Huh, dasar! Awas ya sampe lo bikin rempong!”
“Siap!! Yuk, capcus.”
“Eh, bawa jaket, Ril. Di luar dingin loh.”
“Nggak ah. Depok lagi panas-panasnya begini. Yuk ah jalan. Lebih cepat lebih baik.”
“Ini Januari, Ril. Tadi sore aja hujan deres kan? Dingin di luar.”
“Gw kan nanti pengen tinggal di luar negeri, Nji. Kudu latihan tahan dingin.”
“Awas ya, kalo lo sampe rempong karena kedinginan.”
“Kalo gw kedinginan, kan ada lo yang bisa ngangetin gw, Nji. Hahahay.”
“Sial! Terserah deh. Yaudah, yuk!”
***
Wed, January 8th, Senior Year -- 00:17 a.m.
“Nji, lo yakin kita lewat sini?” tanya Iril sedikit ketakutan.
“Iya. Lo tau kan, potongan yang kita dapet di Halte Pocin cuma satu. Masih ada lima bagian lainnya,” jawabku sembari membaca kembali gulungan kedua yang aku temukan di dalam Matryoshka.
“Temukan boneka ketiga di Halte PNJ. Good luck.” Itulah pesan dari gulungan tersebut.
Aku dan Iril pun berjalan menyusuri trotoar pedestrian kampus. Kami melewati Balairung, rotunda, dan Gedung Rektorat UI. Area kampus tengah malam seperti ini memang sangat sepi, dan sangat spooky. Beberapa kali terdengar suara-suara aneh yang membuat dada berdebar kencang. Belum lagi hembusan-hembusan ringan yang membuat bulu kuduk merinding. Aku tahu aku harus tenang. Di saat seperti, padangan mata bisa tertipu. Bisa melihat hal yang tidak-tidak, hal-hal yang sebenarnya tidak ada.
Iril tiba-tiba berjalan mendekat ke sampingku dan menarik bajuku. “Kenapa, Ril?” tanyaku ke Iril yang memasang wajah cemas.
“Nji, jangan jauh-jauh dari gw. Gw takut,” bisik Iril pelan.
“Hahaha,” aku terkekeh melihat tingkah kekanak-kanakannya Iril.
Namun, Iril justru semakin mendekatkan badannya ke badanku. Dia menggamit lenganku dan kami berjalan beriringan bak sepasang pengantin baru. Inilah kerempongan yang harus aku derita karena membawa Iril. Aku harusnya sadar kalau dia ini seorang penakut. Sigh!
“Katanya nggak akan rempong,” cibirku ke Iril yang kemudian ditanggapi dengan wajah cemberut.
Kami terus berjalan meski tidak ada obrolan seperti biasanya. Iril yang seharusnya ramai juga tidak banyak bicara. Mungkin dia benar-benar takut. Dan tiba-tiba perjalanan kami terhenti. Sesosok makhluk berwarna putih bergerak cepat di depan kami. Sangat cepat hingga yang tertangkap mata hanyalah sebuah garis putih memanjang yang kemudian menghilang. Apa itu??
Belum sempat aku menerka jawabannya, sosok itu kembali muncul tiba-tiba. Sontak kami terperanjat kaget. Iril semakin erat menggenggam lenganku sembari menggumam berbagai macam doa, dari Al-Fatihah sampai Ayat Kursi. Aku mencoba menenangkannya dan menganggap kalau sosok itu hanya halusinasi.
“Nji, balik aja, Yuk,” kata Iril tiba-tiba.
“Kenapa?” tanyaku, mencoba mengulur pembicaraan sembari berjalan, supaya niat untuk kembali semakin kecil.
“Lo tauk kan kalo di sini itu banyak hantunya?” balas Iril.
“Masa’ sih?” lanjutku. Aku sedikit tersenyum melihat tingkah lucu Iril yang ketakutan.
“Itu loh, kejadian cewek yang gantung diri di rektorat.”
“Cewek yang mana, Ril? Yang katanya wajahnya pucat, matanya melotot, lidahnya menjulur keluar, dan kepalanya terkulai ke bawah karena lehernya patah?”
“Anjrit! Anjrit! Lo malah nakut-nakutin gw, Nji.”
“Eh, abis baca doa jangan ngomong jorok. Ntar doa lo nggak mempan.”
“Astaghfirullah..”
“Lagian kita udah hampir empat tahun di kampus ini masih aja lo suka parno sama hantu-hantu UI.”
“Jangan songong, Nji. Justru setan suka gangguin mereka yang sok berani.”
Aku terdiam, sedikit membenarkan perkataan Iril. Aku melirik Iril yang mengelus dada. Dia tampak sudah mulai tenang. Meskipun eratan tangannya masih sama kencangnya. Aku sampai kerepotan berjalan karena harus menyesuaikan langkah dengan Iril.
“Nji, kita salah ambil rute nih,” ujar Iril.
“Hah?”
“Kita abis ini nggak lewat kuburan Bikun kan? Itu lebih angker, Nji. Ada bis hantu di situ. Terus kita pasti bakal lewat Menara Air. Disitu juga nggak kalah angkernya.”
Aku setuju dengan Iril. Rute yang kami ambil, dari Pocin-Balairung-Rotunda-Kuburan Bikun-Menara Air-Halte PNJ, adalah rute mematikan. Hantu-hantu kampus konon memang berkumpul di area itu. Aku tahu diri, aku tidak boleh sembrono.
“Oke, Ril. Kita lurus aja, lewat MIPA,” usulku ke Iril.
“Nah, iya lewat MIPA. Fakultas itu kan isinya santri, Nji. Orang-orang soleh. Pesantren UI lah pokoknya. Pasti setan-setan nakal nggak berani berkeliaran di situ,” terang Iril sedikit menghilangkan rasa takutnya.
“Iya. Tapi lepasin tangan gw ya. Pegel nih, dari tadi jalan tempel-tempelan begini,” pintaku ke Iril.
“Berasa perangko ya, hehe,” sahut Iril cengengesan.
Iril pun melepaskan genggamannya dari lenganku. Aku merasa sedikit lega. Namun belum sempat kami berbalik arah ke Fakultas MIPA, tanpa sadar langkah kami sudah mengarah jauh ke kuburan bikun. Seolah ada yang menarik tubuh kami untuk mendekat ke sana. Dan kami pun berhenti seketika. Dari arah kami berdiri, kami dapat melihat Menara Air yang menjulang tinggi. Menara Air yang sangat dikenal dengan hantu penunggunya yang jahil. Mampus!
Iril kembali menggenggam lenganku yang kali ini lebih kuat. Tiba-tiba angin kencang berhembus bersama suara-suara aneh yang datang entah dari mana. Aku melirik ke arah Iril yang sudah mematung dan mulutnya komat kamit. Sedangkan aku mencoba untuk berbalik dan mengganti arah, namun rasanya sangat sulit. Badanku sulit digerakan. Aku mulai merinding.
Suara-suara aneh terdengar semakin jelas. Seperti suara perempuan tertawa, tetapi juga seperti suara sedang menangis. Suara itu bergesekan dengan angin. Membisik sampai ke telinga. Dan tanpa sadar, pandanganku terpaku ke arah Menara Air. Sebuah bangunan putih seperti corong yang konon ditinggali makhlus halus.
Suara-suara itu terdengar semakin dekat. Sampai membuat indra pendengaranku terasa ngilu. Belum lagi bulu kudukku yang mulai berdiri. Tapi, suara itu lambat laun terasa jauh. Dan dalam sekejap suara itu lenyap; suasana pun menjadi sangat hening. Namun, keheningan itu justru serasa mencekik. Seolah memberi tanda bahwa akan ada sesuatu yang akan muncul tiba-tiba.
Deg!
Itu? Aku mencoba mengelak menatapnya. Namun tidak bisa. Aku tak menyangka mataku akan menangkap sosok itu. Kakiku terasa terpaku di tanah. Mulutku begitu susah berteriak seolah sedang disekap. Dan badanku bergetar menerima rasa kejut yang mengalir ke sekujur tubuhku.
Deg!
Sesosok kuntilanak bergaun merah tiba-tiba muncul di hadapanku. Wajah penuh darah. Matanya melotot. Ekspresinya datar. Hingga kemudian dia tersenyum lebar menunjukkan gigi-giginya yang hitam dan merah.
“Huwaaaaah!!! Setan!!!!”
Aku dan Iril menjerit bersamaan. Dalam sekejap kami lari terbirit-birit membalik arah, menuju Fakultas MIPA. Kami terus berlari tanpa berani melihat ke belakang. Sedikit terseok dan hampir terantuk di bebatuan. Hingga akhirnya kami berhenti dan mengatur napas. Memikirkan hal-hal lain yang dapat mengalihkan pikiran.
Aku memandangi Matryoshka yang aku pegang. Ya, Matryoshka menyimpan misteri yang lebih menarik daripada kunti merah di kuburan bikun barusan. Aku pun membulatkan tekad. Merangkul Iril dan mengajaknya melanjutkan perjalanan.
Meskipun FMIPA tidak kalah horornya dengan kuburan bikun atau rektorat, terutama dari gedung-gedung tuanya yang minim penerangan, sugesti bahwa penghuni fakultas ini alim-alim cukup berhasil mengecilkan kesan horor itu. Kami pun berhasil melewati fakultas ini dan akhirnya sampai di Halte PNJ (Politeknik Negeri Jakarta). Dengan segera, aku mencari dimana Matryoshka itu disembunyikan. Biasanya dia dibungkus plastik dan diikat di kayu penyangga atap halte. Tapi aku tidak menemukannya. Yang aku temukan hanya gulungan kertas yang dibungkus plastik.
Aku segera membaca isi dari gulungan kertas itu.
“Boneka yg kamu cari ada di halte seberang. Mudah bukan?” itulah isi tulisan dalam gulungan tersebut.
Dengan segera, aku beranjak ke seberang jalan dan mendekati Halte Pusgiwa. Iril mengikutiku dari belakang sembari celingak-celinguk memeriksa kondisi sekitar.
Aku langsung menemukan tempat Matryoshka disembunyikan. Semuanya memiliki letak yang sama dengan sebelumnya. Jadi aku bisa mudah menemukannya. Aku pun sigap membuka Matryoshka ketiga itu. Lagi-lagi isinya hanya gulungan kertas.
“Temukan yang ke-4 di Halte FT.” Hanya itu pesan yang tertulis di kertas itu.
Aku segera menarik Iril dan mengajaknya ke Halte FT. Kami kembali menyusuri trotoar jalan.
“Jangan lewat Pusgiwa, Nji,” usul Iril.
“Yudah. Kita lewat jalan biasa aja ya. Tapi lama gapapa?”
“Gapapa, Nji.”
Aku dan Iril pun berjalan menyusuri trotoar luar Pusgiwa – FT. Iril berjalan mengikutiku di belakang yang sesekali kulirik karena aku khawatir dengannya.
“Ril, kenapa?” tanyaku ke Iril yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Iril hanya meringis. Tangannya disedekapkan ke tubuhnya dan bahunya ia angkat sedikit ke atas. Dia terlihat sedikit menggigil. Aku yakin dia kedinginan.
“Apa gw bilang. Bakal dingin kan? Lo ngeyel banget sih kalo dikasih tau,” gerutuku.
“Hehe, nggak dingin kok,” bantah Iril cengengesan.
Aku pun berjalan mendekatinya, lalu melepas jaketku dan memakaikannya ke Iril. Iril terdiam, lalu dengan cepat melepas jaket itu.
“Nji, gw gapapa. Ntar kalo lo yang kedinginan gimana? Kalo lo sakit gimana?” cerosos Iril.
“Berisik! Udah pakai aja,” balasku ketus.
“Nggak. Nggak mau. Lo aja yang pake. Nih,” tukas Iril sembari menyodorkan jaket itu ke arahku.
Aku diam sebentar. Lalu kuraih jaket itu dan memakaikannya kembali ke badan Iril. Dengan sedikit memaksa tentunya. Dan Iril pun hanya terdiam.
“Kali ini dengerin gw. Kalo lo yang sakit bisa lebih repot, Ril. Sakit lo kan lebay,” sindirku sembari terkekeh.
Aku melanjutkan langkahku ke tujuan berikutnya. Iril mengejarku dari belakang, berjalan di sampingku, lalu berbisik, “Makasih, Nji.” Aku pun tersenyum mendengarnya.
***
Wed, January 8th, Senior Year -- 00:58 a.m.
“5 Huruf.”
Hanya itu yang tertulis pada gulungan kertas di Matryoshka ke-empat yang aku temukan di halte FT. Hmmm, sepertinya si pemilik asal Matryoshka ini ingin mengajakku bermain teka-teki. Aku suka itu. Jika mengikuti pola sebelumnya, maka lima huruf yang dimaksud adalah nama-nama halte bis kuning di UI. Halte dengan lima huruf di antaranya FISIP, FMIPA, Pocin, Menwa, dan Kukel. Aku langsung melingkari FISIP, karena jika aku urutkan dari ketiga halte sebelumnya, maka lokasi halte-halte tersebut akan membentuk sebuah lingkaran. Tidak sepenuhnya lingkaran, tapi setidaknya rute halte-halte itu melingkari gedung-gedung perkuliahan. Supaya lingkarannya berlanjut, maka dari FT, tujuan selanjutnya adalah FISIP.
“Lo yakin, Nji?” tanya Iril ragu.
“Lumayan. Nggak ada salahnya kita coba,” jawabku sembari mempercepat langkahku.
Aku dan Iril pun sampai di halte FISIP dan menemukan Matryoshka kelima. Iril sempat diam lalu berdecak kagum dan tidak henti-hentinya memujiku. Lebay. Tapi nggak apa-apa deh, biar nggak sepi. Makin spooky aja nih UI dini hari begini.
Aku langsung membuka gulungan kertas kelima dan mendapati petunjuk selanjutnya.
“3 Huruf.”
Aku langsung bisa menebaknya. Halte bis kuning tiga huruf, pasti MUI. Iril pun bisa ikut menebaknya. Dan dengan langkah cepat, aku dan Iril berlari ke Halte MUI.
Setibanya di Halte MUI aku tidak langsung mengambil Matryoshka keenam. Aku beristirahat sejenak dan mengatur napas. Tubuhku benar-benar letih. Selain karena akumulasi rasa lelah seharian, juga karena berjalan jauh dari satu halte ke halte lainnya yang hampir setara dengan mengelilingi kampus yang super luas ini. Ditambah lagi karena aku baru saja berlari mengejar Iril yang langkah kakinya sangat cepat. Wajar, dia atlit lari. Aku tidak bisa secepat dia.
Iril berinisiatif mengambilkan Matryoshka keenam. Aku langsung meraihnya dari tangan Iril. Matryoshka keenam ini yang paling kecil dibandingkan Matryoshka sebelumnya. Apa muat jika ada gulungan kertas seukuran tadi di dalamnya?
Saat aku membuka Matryoshka keenam ini, aku tidak menemukan gulungan kertas apapun. Isinya kosong. Apa kertasnya ditaruh di luar dan jatuh ya?
“Nggak ada kertasnya, Ril. Pas lo ngambil, ada kertas atau apa gitu di luarnya?” tanyaku ke Iril.
“Cuma gitu, Nji. Sama kayak apa yang gw kasih ke lo,” sahut Iril.
“Apa mungkin jatoh ya? Bantuin nyari yuk,” ujarku sembari memeriksa daerah sekitar halte.
Iril juga ikut memeriksa sekeliling halte. Dari rerumputan di belakang halte, kotak sampah, hingga selokan. Namun hasilnya tidak ada. Tidak ada kertas yang kami cari.
Butuh sekitar 20 menit sampai akhirnya kami menghentikan pencarian kertas itu. Aku dan Iril duduk, menghela napas panjang.
“Terus gimana, Nji?” tanya Iril sembari melirikku.
“Kayaknya memang yang ini nggak ada kertasnya deh,” ujarku sambil memandangi Matryoshka keenam.
“Padahal itu baru yang keenam kan? Katanya ada tujuh kan?”
“Iya, Ril. Tapi gw kepikiran sesuatu sih?”
“Apaan, Nji?”
“Agaknya gw tahu dimana Matryoshka terakhir.”
“Anjiiiis, lo bisa tahu dari mana, Bray?”
“Ada deh. Yuk ikut gw.”
Aku dan Iril pun berjalan menuju Halte Pocin. Jika benar lingkaran, maka titik terakhir adalah titik paling awal, yaitu Halte Pocin. Ada dua halte di sana yang saling berseberangan. Jika yang awal aku temukan di halte untuk Bikun jalur Biru, jalur pulang ke asrama, maka yang terakhir seharusnya berada di halte untuk jalur Merah, jalur berangkat dari asrama.
Setibanya di Halte Pocin, aku langsung mencari Matryoshka terakhir. Namun, tidak aku temukan. Yang ada hanyalah bungkusan plastik kecil yang berisi gulungan kertas. Tanpa berpikir lama, aku langsung membukanya.
“Happy birthday, Panji. Matryoshka terakhir menyusul di hari ultahmu berikutnya. Harap sabar menunggu. -Your secret admirer.”
Sial, orang ini benar-benar membuatku penasaran. Padahal tinggal potongan terakhir, tapi dia menunda memberikannya. Apa aku harus sabar menunggu selama setahun? Itu terlalu lama. Tidak, aku bisa gelisah penasaran kalau begini. Aku harus segera mencari tahu siapa pengirim Matryoshka ini. Meski pada akhirnya aku bisa tahu siapa orangnya di ultahku tahun depan, aku tetap ingin tahu orang itu sekarang. Aku ingin tahu lebih dulu dan mengantisipasi reaksiku. Siapa sih sebenarnya orang itu?
“Udah, yuk, Nji. Kita pulang aja,” ucap Iril seraya meraih lenganku.
“Bentar dulu, Ril. Siapa tahu ada petunjuk yang lain di sini,” ujarku sambil melepas genggaman tangan Iril.
“Nji, pulang, yuk. Please..”
Aku melirik ke arah Iril yang sudah memasang wajah cemasnya. Apa dia masih ketakutan?
Suasana kampus memang semakin sunyi. Bahkan bunyi dedaunan yang bergesekan dengan aspal pun bisa terdengar. Angin berhembus pelan, lalu kencang. Hawa dingin menghantam tubuhku yang aku baru sadar kalau aku sudah tidak memakai jaket lagi. Sontak, aku menggigil sebentar.
Tepat ketika aku dan Iril memulai langkah untuk pulang, perasaan aneh tiba-tiba muncul. Rasanya tidak asing. Seperti ketika kami berada di kuburan bikun.
Jarum jam sudah mendekati angka dua. Bunyi gemuruh sayup-sayup terdengar dari arah jalur biru. Bunyi itu datang bersamaan dengan angin yang berhembus kencang. Membuat bulu kudukku kembali berdiri. Suara itu semakin mendekat. Detak jantungku berdegub sangat cepat.
Iril sudah berada di sampingku dan menggenggam lenganku. Tubuhnya gemetar dan bibirnya komat kamit. Aku tak banyak mengomentari, karena aku pun sedikit merasa takut.
Aku dan Iril kembali terpaku. Sulit sekali untuk menggerakkan kaki. Sebenarnya aku sangat ingin pergi dari tempatku berdiri. Tapi ada bagian dalam diriku yang menahanku untuk tetap pada posisiku sekarang. Rasa penasaran. Iya, aku penasaran tentang asal bunyi aneh itu.
Angin terasa semakin dingin merasuk ke tubuhku. Aku memeluk tubuhku erat. Aku memfokuskan pandanganku ke sekeliling. Memastikan aku tidak sedang berhalusinasi. Dan tiba-tiba bunyi gemuruh itu lenyap. Suasana kembali menjadi sunyi.
Namun, sebuah bayangan dari ujung jalan jalur biru terlihat mendekat. Bayangan itu semakin lama semakin dekat dan jelas. Bis kuning! Sebuah bikun berjalan pelan ke arah kami tanpa mengeluarkan suara. Ekor mata kami mengikuti gerak bikun itu hingga akhirnya bikun berhenti di seberang halte tempat kami berdiri.
Dari balik kaca bikun yang transparan, bikun terlihat ramai. Di dalamnya terdapat penumpang yang berdiri berdampingan memegangi gantungan tangan. Penumpang-penumpang itu menunjukkan ekspresi yang sama. Kosong. Dingin. Dan mengancam.
Tiba-tiba para penumpang itu menyatukan pandangan mereka ke arah kami. Deg! Wajah mereka benar-benar menyeramkan!
“Setaaaaaan!!!!!!”
Jerit Iril sembari berlari kencang meninggalkanku yang masih terdiam. Tatapan mata penumpang itu semakin menusuk. Membuat nyaliku ciut dan tubuhku gemetar. Tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari mengejar Iril. Aku berlari dan berlari. Sesekali tersandung dan hampir terjatuh karena langkah cepatku yang tidak beraturan.
Bruuk!
Aku tersungkur jatuh. Ada rasa ngilu yang tiba-tiba menjalar ke sekujur tubuhku. Aku berusaha bangun tapi rasa ngilu itu kembali muncul, dengan intensitas yang lebih kuat. Asalnya dari kaki kiriku. Dan kaki kiriku menjadi sangat sulit aku gerakkan.
Aku pernah mengalami kecelakaan yang membuat kaki kiriku terluka cukup parah. Sepertinya ada tulang yang retak atau mungkin patah. Atau mungkin ada nanah yang menyumbat akibat luka dalam. Aku masih berusaha bangun tapi tetap tidak bisa. Bagaimana ini?
“Nji, lo kenapa?” teriak Iril sembari berlari mendekat ke arahku. Sepertinya Iril sudah berlari jauh, tapi menyadari kalau aku tidak bersamanya, dia pun kembali mencariku.
Aku tidak menjawab pertanyaan Iril. Aku hanya meringis menahan sakit.
“Omegat! Kaki lo kambuh lagi, Nji? Sakit ya? Duh, sakit banget pasti ya? Lo bisa jalan? Kita ke rumah sakit ya? Bisa bahaya kalo nggak tertolong!”
Iril panik berlebihan melihatku yang kesulitan untuk bangun sambil memegangi pergelangan kakiku. Aku hanya menggeleng dan tersenyum sekenanya. Hingga tiba-tiba Iril berjongkok di depanku.
“Buruan naik. Gw gendong!” ujar Iril sembari menoleh ke arahku.
“Gapapa, Ril. Gw masih bisa jalan. Lo papah gw aja kayak biasanya,” sahutku.
“Gw nolak. Buruan sini gw gendong!” tegas Iril.
Aku tidak bisa menolak permintaan Iril kali ini. Dan jika kuingat-ingat, aku memang sering gagal menolak Iril jika sudah memaksa seperti itu. Aku pun mendekap punggung Iril dan melingkarkan tanganku ke depan dadanya. Rasanya hangat. Mungkin karena aku yang sedari tadi melepaskan jaket dan dihantam dingin. Jadi, aku sampai merasa kedinginan seperti ini.
“Nah, gitu dong, Bray. Pegangan yang kuat,” kata Iril sembari bergerak bangun. Sejurus kemudian, Iril mengangkat pahaku dan menggenggamnya erat. Pun aku, yang mempererat pelukanku di punggung Iril yang hangat.
Iril mulai berjalan menggendongku. Kami berjalan pelan menuju kosan.
Udara semakin dingin. Langit terlihat semakin muram. Dan entah darimana datangnya rasa kantuk itu, perlahan aku mulai menguap. Aku lalu memejamkan mata dan menyandarkan kepalaku di salah satu bahu Iril. Rasanya nyaman. Dan tidak lama kemudian aku mulai terlelap. Ya, aku benar-benar terlelap.
***
Bersambung ke Chapter 2: The Birthday Celebration
@Unprince @octavfelix @harya_kei @Adamx @balaka @nick_kevin @bianagustine @Tsunami @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @arifinselalusial @fian_gundah @animan @kiki_h_n @rulliarto @bianagustine @jamesx @ffirly69 @littlemark04 @Rika1006 @Akhira @earthymooned @myl @exomale @AgataDimas @pujakusuma_rudi @yo_sap89 @DoniPerdana @kaka_el @fauzhan @muffle @notas @diodo @DM_0607 @greensun2 @Adhika_vevo @3ll0 @LeoAprinata @uci @kristal_air @MajestyS
Jika ada yg tidak ingin keseret, bilang ya. Maaf mengganggu.
NB: Yg mau liat TKP-nya, silakan backtrack ke page 6 & 7.
Nyaman banget pasti gendongan iril smpe panji ketiduran,,,
Huhhh pengalaman menegangkan liat makhluk halus kayak begitu.
but great job-lah buat ceritanya.
hii.... Merinding bacany. Apalagi malam ini, jendela kamarku pkai kain gorden putih tipis, krna gordenny krna lagi dcuci.
Yikes, bisa dbayangkan tidur dgn jendela ini lgsung trtuju ke arah jalanan gelap tanpa ad penghalang pandangan, waa......
Salut bang (y) @MarioBros jgn lupa istirahat
UI apakah memang serem gtu ya?