It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
:-D :O
@ardi_yusman hehe edo kan emang bkan karakter egois.. Hehe dan Edo udah punya pacar, cuma akn disebut di chapter berikutnya..hehe
inget mention gue ye
thanks
cc @hananta
thanks @galaxy_meja
Akhir yang misterius untuk kita di waktu itu..
Aku bahkan masih berpikir, benarkah aku mencintaimu?
Pada suatu tempat, di kala kita bersama saat itu. Aku melihat masa-masa itu dengan jelas serasa aku bisa menyentuhnya dan merasakannya. Seakan semua itu baru saja terjadi kemarin.
Tiap detik aku selalu memikirkanmu. Aku bisa mendengar suara yang perlahan terputar dalam melodi yang sendu. Kamu terlihat begitu serupa dengan warna jingga yang menghias senja.
Kamu yang bisa mencerahkan hari-hariku pada waktu lalu, bahkan percikan setiap kenangan-kenangan yang kita lalui bersama masih begitu nampak jelas.
Dimanakah tepatnya kita sekarang?
Dalam jarak dan waktu yang memisahkan, karena aku yang tak cukup percaya diri terhadap hatiku.
Untuk sebuah perasaan tak bernama yang berada di tempat yang sama.
Aku menghindar.. Mencoba memberi waktu untuk bisa mengubah hatiku..
Apa kita bahagia sekarang?
Aku memutar kembali kenangan-kenangan kebersamaan kita di setiap senja..
Aku masih saja belum bisa melupakanmu..
-
-
Untuk pertama kalinya setelah lebih dari 16 bulan, aku membuka kembali akun Fb-ku dan mengecek email lamaku.
Aku masih terpaku melihat betapa banyaknya pesan yang dikirim bocah itu padaku.
"Kak, warna jingga di senja hari ini lebih indah dari biasanya. Apa warna jingga dalam senja di sana juga seindah di sini? Zizi kangen Kak Irga "
"Kak, Zizi kangen banget sama Kak Irga Apa Kak Irga juga kangen Zizi? Kenapa Kakak ngilang dan gak ada kabar? Zizi sedih banget "
"Kak Irga, gimana kabar kakak? Selamat naik kelas 12 Kakak Apa kakak punya banyak teman di sana? Jangan lupain Zizi, sama teman-teman di sini ya Kak :') "
"Kak Irga, Zizi sekarang jadi ketua osis gantiin Kak Anjas. Apa Kak Irga bangga sama Zizi? Zizi ngebayangin Kak Irga, tersenyum bangga untuk Zizi saat ini :') "
"Kak, Edo udah punya pacar sekarang. Hoho, lucuan pacar Edo sih! Tapi gantengan Zizi dong Zizi masih nunggu kakak :') "
"Kak, udah mau UAN nih, belajar yang rajin ya Kak. Jangan main basket terus! Semoga Kakak bisa sekolah di LN dengan beasiswa.. Aamiin :') "
"Zizi pikir, Zizi sudah capek nunggu Kak Irga. Tapi kenapa yah, kok Zizi masih aja nunggu Kakak padahal mah udah capek banget. Saat kakak melihat senja suatu hari nanti, mungkin aja Zizi udah gak di sana lagi untuk menunggu kakak melihat senja."
Itulah beberapa email dan pesannya di inbok Fb-ku, yang membuat air mataku mengalir deras saat ini.
Bocah itu masih menungguku, di saat aku melarikan diri dari perasaanku!
Kubuka satu persatu photo bocah itu dari album photonya di Fb. Bocah itu masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Dia masih bocahku yang lucu dan menggemaskan.
"Ariafzi Pratama Kak.." Itu pertama kalinya dia memperkenalkan namanya padaku. Masih aku ingat jelas bagaimana pertama kali aku melihat bocah itu.
Bocah itu berdiri di barisan paling depan, mungkin karena tubuhnya yang kecil dan tak terlalu tinggi. Dia masih memakai seragam SMP dengan celana biru pendek yang membuatnya semakin menggemaskan.
Mulut bocah itu komat kamit sendiri, sepertinya dia sedang menggerutu dengan panas yang menyengat di siang itu. Sesekali dia menyeka keringat yang bercucuran di dahi dan di lehernya. Bocah itu benar-benar hiper aktif! Dia sama sekali tak bisa diam, ada saja tingkahnya yang dia lakukan pada teman-temannya yang berdiri di sekitarnya. Aku mulai memperhatikan dia, dan tertarik pada setiap hal yang bocah itu lakukan.
Dia adikku.. Itu yang aku tanamkan dalam hatiku, saat rasa itu menyapa hatiku..
-
-
"Warna apa yang kamu suka, Zii?" Tanyaku saat itu pada bocah itu. Kami berdua sedang melihat langit senja dari balik jendela kamarku sore itu. Saat itu, hatiku merasakan pedih untuk pertama kalinya, saat bocah itu memintaku untuk berpacaran dengan anak perempuan, teman sekelasnya.
"Jingga.." Jawab bocah itu tanpa mengalihkan pandangannya dari luar jendela melihat langit senja.
Ya, semenjak saat itu aku menyadari sesuatu yang masih aku coba untuk mengabaikannya. Sebuah rasa yang lebih dari rasa sayang seorang kakak terhadap adiknya. Perasaan suka yang mendorong hasratku untuk bisa menyentuhnya.
Aku menyangkalnya! Aku mengabaikannya!
Masih kuingat jelas bagaimana emosiku saat mengetahui bocah itu memiliki perasaan yang sama denganku. Perasaan yang selalu aku coba untuk mengabaikannya. Aku masih tidak tahu harus bagaimana terhadapnya dan terhadap hatiku. Tentang sebuah rasa yang masih belum bisa aku mengerti..
Suatu kesempatan datang, saat Ayahku dengan tiba-tiba mengatakan bahwa aku harus ikut pindah bersamanya. Tanpa penolakan aku langsung menyetujui untuk ikut pindah bersama ayahku, bahkan aku berencana pergi melanjutkan study-ku di LN.
Masih kuingat air mata perpisahan dari bocah itu yang mengantar kepergianku.
Aku sadar saat itu, aku sedang melarikan diri dari perasaanku padanya. Mungkin jika kami berdua tak bersama lagi dan berada di tempat yang jauh terpisah, aku bisa mengubah hatiku untuk mendapatkan rasa yang lebih bisa aku pahami untuk bisa menerima sebuah perasaan.
Ternyata aku salah, aku tak pernah bisa melarikan diri dari perasaanku terhadapnya. Meskipun aku sudah mencoba untuk merubahnya dengan menempatkan orang lain di hatiku. Bocah itu tetap tak bisa tergantikan tempatnya di dalam hatiku.
"Gw tuh brengsek, Rid!" Itu kata yang aku tegaskan pada Farid, setiap dia berbicara tentang bocah itu yang selalu menanyakan tentang kabarku padanya.
Ya, aku seorang brengsek! Aku pergi menghindari bocah itu yang selalu menungguku, sementara aku di sini mengabaikannya dan malah mencoba menggantinya dengan orang lain. Walaupun aku tahu, dia tak akan pernah terganti.
-
-
"Kamu mau kuliah dimana?" Tanya Dhea, pacarku. Untuk pertama kalinya, kami jalan berdua lagi setelah kami melewati UAN minggu lalu.
"Aku belum tahu, kalo ada kesempatan aku maunya di LN." Jelasku datar.
"Kamu beneran sayang gak sih sama aku? Aku gak bisa LDR-an!" Ucap Dhea yang langsung membuatku hanya bisa terdiam tak bisa menjawabnya.
Yah, aku menyukainya, kami sudah hampir satu tahun berpacaran. Tapi kalau sayang yang dia maksud adalah cinta, rasa itu sudah di tempati bocah itu!
"Kamu selalu diam kalo aku nanya tentang perasaan kamu! Bahkan untuk ciuman aja harus aku yang memulai! Apa di hati kamu, masih ada perempuan di masa lalu kamu?"
"Ini tempat umum! Kita bahas itu nanti!" Ucapku memperingatinya yang mulai terpancing emosi.
"Aku sayang sama kamu! Tapi aku pikir, lebih baik kita akhiri hubungan ini!" Ucap Dhea dengan butiran air mata yang mengalir di wajahnya.
"Maaf.." Aku mencoba mengusap air matanya. Aku tak bisa melihat seorang perempuan menangis, apalagi penyebabnya adalah aku!
Dhea menepis tanganku, dia menghapus air matanya sendiri dengan perasaan kekecewaan-nya padaku. Tidak, aku tak boleh melakukan ini! Aku tak boleh menyakiti hati siapapun lagi!
"Kita bahas ini lagi saat perpisahan nanti. Kamu pikirin lagi gimana hubungan ini akan berlanjut atau gak. Aku mau pulang sendiri sekarang, jangan ikuti aku!" Dhea langsung berlalu pergi. Aku seperti seorang pecundang yang tak bisa mengejar pacarku seperti itu. Ya, ini bukan pertama kalinya terjadi!
Dhea pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik dariku. Dia berhak mendapatkan cinta yang tulus dari seseorang. Mungkin orang lain melihat kami berdua adalah pasangan yang sempurna, tetapi aku sadar, kami tidak benar-benar bahagia saat ini. Kebahagian yang tampak di luar hanyalah usaha kami berdua agar terlihat baik-baik saja.
Mungkin ini sudah saatnya aku melepaskan Dhea untuk membiarkannya mendapat kebahagian yang sebenarnya dari orang lain. Dan aku juga akan mengejar kebahagianku kembali bersama seorang bocah yang selalu menungguku dalam senja.
Semoga saja aku belum terlambat..
-
-
Zizi tidur dengan terus menggenggam tanganku. Aku membelai-belai kepalanya dengan lembut. Aku sangat merindukan bocah ini.
Aku sengaja meminta Farid dan Anjas untuk merahasiakan kedatanganku untuk memberinya kejutan. Rasanya aku ingin tertawa setiap mengingat bagaimana ekspresinya tadi saat melihatku. Hahah. Dia sama sekali tak berubah! Walaupun potongan rambutnya sekarang mengurangi keimutannya dan malah menambah ketampanannya.
"Belum tidur?" Tanya Farid saat melihatku keluar dari kamar Zizi. Ya, malam ini Farid dan Anjas juga menginap di rumah Zizi, dan mereka masih bergadang bermain PS di ruang tengah.
"Belum bisa tidur gw.." Jawabku singkat.
"Kita harus bicara deh, Ga!"
Aku mengikuti langkah Farid yang berjalan mendahuluiku. Farid ternyata mengajakku ke dapur dan kami duduk di meja makan.
"Apaan sih?" Tanyaku langsung pada Farid.
"Gw mau tahu alasan lu yang sebenarnya datang ke sini dengan tiba-tiba!"
"Gw mau bawa Zizi ikut sama gw.." Jawabku langsung.
"Lu gila? Lu mau asal bawa anak orang, emang gak ada emak bapaknya tuh anak!" Sambung Anjas yang tiba-tiba muncul.
"Pelan woy! Okha mana?" Tanyaku melihat sekitar, takut Okha mendengar percakapan kami.
"Udah masuk kamarnya, tuh bocah lebih nyebelin dari kakaknya deh, sumpah ngeselin banget!" Anjas menjelaskan dengan gemas. Aku dan Farid hanya terkekeh mendengarnya. Sebenarnya sifat Anjas dan Okha tuh sebelas duabelas. Gak jauh beda! Jadi ya kalo mereka disatuin emang cocok banget, cocok buat berantem! Heheh!
"Jadi maksud lu dengan bawa Zizi ikut sama lu tuh gimana?" Tanya Farid.
"Ya, enggak sekarang juga. Maksudnya, sekarang gw mau mastiin hubungan gw dulu sama Zizi. Nanti setelah dia lulus SMA, baru dia ikut gw, kuliah di sana." Jelasku.
"Jadi lu belok juga, Ga? Oh my God! Bukannya lu punya cewek ya?" Tanya Anjas tak percaya.
"Hmm, nanti gw akan putus sama Dhea."
"Jadi belum putus?" Tanya Farid menimpali ucapanku.
"Huufff!" Aku hanya bisa membuang nafas berat. Terlalu berat untukku menjelaskannya pada mereka berdua. Aku harap mereka berdua bisa mengerti tanpa harus aku jelaskan secara detail.
-
-
Dari pagi tadi aku bangun, aku sudah tak melihat Zizi di rumah, Tante bilang Zizi pagi-pagi sekali sudah berangkat sekolah. Ya, dari Farid dan Anjas yang bercerita bagaimana Zizi yang super sibuk semenjak menjadi ketua osis. Ah, aku bangga pada bocah itu!
"Irga, tadi Papa kamu telpon Tante. Kata Papa kamu nyariin kamu, kamu gak pamit liburan ke sini?" Tanya Tante mengintrogasiku. Aku baru saja pulang dari rumah Anjas.
"Maaf Tante, soalnya kalo Irga ngomong pasti Papa gak akan kasih ijin. Irga juga besok udah pulang kok, Tan.."
"Tante cuma gak enak sama Papa kamu, kamu harusnya ijin dulu sama Papa kamu, kasihan Papa kamu khawatir nyariin kamu. Kamu paham kan, sayang?" Tente mengusap bahuku memberi pengertian.
"Iya Tante, maafin Irga.."
"Ya udah, lebih baik sekarang kamu telpon papa kamu. Papa kamu bilang, Ponsel kamu gak bisa dihubungi.."
"Iya Tente, sekali lagi maafin Irga ya.."
"Iya sayang, gak apa-apa. Tapi, Tante harap jangan diulangi lagi seperti ini ya..!" Ucap Tante tersenyum menasehatiku. Aku pun tersenyum penuh terima kasih pada Tante yang sudah memahamiku.
Tadinya kami bertiga, aku, Anjas dan Farid berencana menjemput Zizi di sekolah untuk pergi jalan-jalan ke pantai. Tapi, Zizi mengatakan hari ini dia benar-benar sibuk mengurusi beberapa persiapan untuk perpisahan kelas 12. Jadi kami hanya menghabiskan waktu di rumah Anjas dan tak pergi kemana-mana.
Ada kekecewaan yang kurasakan saat aku menyadari Zizi sepertinya sudah berubah. Semalam saat kami tidur bersama, aku pikir, dia masih Zizi, bocahku. Tapi, aku salah! Saat pagi aku membuka mata, dia sudah beranjak pergi ke sekolah tanpa mengucapkan apapun padaku! Aku tersadar dia sudah berubah.
Dulu Zizi pasti akan menggoncang-goncang tubuhku untuk membangunkan aku. Dia akan memaksaku mengantarnya kesekolah, dan dia akan bersemangat saat aku mengatakan akan mengajaknya pergi jalan-jalan.
Mungkinkah aku sudah terlambat saat ini?
-
-
Zizi saat ini duduk di sampingku, dia masih diam dari lima menit yang lalu aku menanyakan padanya. Apakah masih ada kesempatan untuk aku dan dia.
Dia masih memakai seragam sekolahnya saat ini, karena seketika aku melihatnya pulang sekolah, aku langsung mengajaknya ke atas genteng rumahnya untuk melihat senja.
Ya, walaupun aku tahu, kesempatannya sangat kecil untukku, karena mungkin saja dia sudah berubah. Tapi, aku tetap harus mengatakannya! Aku tak ingin menyesal lagi untuk yang kedua kalinya.
"Kak.." Panggil Zizi pelan tanpa mengalihkan dari pandangannya.
"....." Aku menoleh melihat wajahnya, menunggu dia melanjutkan kata-katanya.
"Senja adalah saksi, berapa banyak air mata Zizi mengalir melihatnya seperti ini. Kalo senja bisa bicara, dia pasti akan bilang, kalo dia udah capek dengerin curhatan Zizi setiap harinya.."
"....."
Zizi menoleh menatapku dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Aku sendiri masih terdiam, menahan detak jantungku yang seakan takut akan berhenti saat mendengarkan kata-kata selanjutnya yang keluar dari bibirnya yang seperti bergetar.
"Harusnya Kakak gak kembali ke sini!"
Deg!
Lidahku kelu, ada sesuatu yang seperti menimpa dadaku sehingga membuatku sesak!
"Selama lebih dari dua bulan ini, aku berusaha melupakan Kakak. Aku bahkan sudah berhenti melihat senja. Seharusnya Kakak gak usah datang lagi ke sini!" Zizi terlihat gemetar dan lalu menundukan kepalanya.
"Apa udah terlambat, Zii..?" Tanyaku lirih mencoba melihat wajahnya yang tertunduk di hadapanku.
"Hati aku udah berubah, Kak.." Ucapnya terdengar terisak. Ada butiran-butiran air mata yang terjatuh dari matanya yang tersembunyi di balik wajahnya yang tertunduk.
Hatiku nyeri, perih, sakit! Bukan karena ucapannya yang mengatakan kalau hatinya sudah berubah.. Tapi, karena aku melihat betapa aku sudah begitu menorehkan kepedihan di hati bocah ini!
Aku memeluk tubuhnya yang bergetar. Kulihat warna jingga yang sudah memudarkan senja. Aku membayangkan bagaimana bocah ini menungguku setiap senja dengan kepedihan yang dia rasakan. Berapa banyak air mata yang sudah dia keluarkan hanya karena seorang sepertiku yang melarikan diri darinya! Aku tak mampu, tak mampu memaksanya untuk menahan kepedihan itu lagi..
Aku harus melepaskan kepedihan itu dari bocah ini..
"Zizi masih mau jadi adeknya Kak Irga kan?" Bisikku yang masih memeluknya.
Zizi hanya mengangguk-nganggukan kepalanya dalam pelukanku.
Langit sudah berubah warnanya menjadi gelap.. Senja sudah pergi, jingga sudah tak terlihat. Kami berdua saling diam turun ke bawah dari atas genteng setelah menyelesaikan semua perasaan yang dulu pernah tergantung.
Dia bukan lagi Zizi, seorang bocah yang menyukai warna jingga. Dia sudah berubah menjadi lelaki yang memahami warna jingga..