It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ahahaha belum, mungkin updet seminggu sekali //hoi ><
mungkin jovi kesikan main jadi lupa hahahaha //lah
hahaha aku justru seneng sama jarum *bakat maso*
HAHAHA boong kok >< kalo lagi happy juga updet cepet kok haha
Berhari-hari setelah pertemuan pertama mereka, mereka jadi semakin sering bertemu. Mungkin alasan awal Endi datang ke rumah sakit adalah untuk menjenguk dan menemani ibunya, namun entah mengapa sekarang bocah itu memiliki alasan lain.
Dia hanya ingin bertemu Jovi.
Selama lima hari belakangan, Jovi dan juga Endi sering menghabiskan waktu bersama dan melakukan hal apa saja, yang ternyata cukup mampu membuat mereka semakin dekat. Mulai dari merecoki suster jaga atau hanya sekedar bersantai di atap rumah sakit, seperti sekarang yang tengah mereka lakukan. Duduk berselonjor santai sambil bersandar pada pagar pembatas.
Endi menengadahkan wajahnya. Menatap langit biru yang tak tampak adanya awan satupun. Blazer sekolah dia letakan begitu saja di lantai. Lengan seragamnya ia gulung sampai siku dan juga dua kancing seragamnya ia buka karena gerah.
“Jov, kamu sebenarnya sakit apa sih? Kamu bilang, kamu masuk duluan dari mamaku, kan? Mama udah mau pulang hari ini nih. Terus kamu kapan?”
“Hem…” Hanya sebuah gerungan pendek yang keluar dari mulut Jovi, pasalnya kini ia tengah berkutat pada sebuah buku sketsa dan pensil.
Merasa tak puas dengan jawaban yang diberikan Jovi, Endi menolehkan wajahnya.
“Eh, jangan bergerak dulu! Tadi kan udah dibilangin supaya jangan bergerak.” Seru Jovi cepat.
“Tapi pegel tau! Leher aku kesemutan nih dari tadi mendongak terus.”
“Ya udah tahan aja. kita ngobrol aja kayak biasa. Dijamin pegel kamu ilang.”
“Sok tau.” Endi manyun.
Kemudian mereka berdua terdiam. Yang terdengar hanyalah suara hembusan angin yang mampu menerbangkan anak-anak rambut Endi yang sedikit menutupi dahi.
“Endi.” Panggil Jovi akhirnya, mencoba untuk memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka berdua.
“Apaan?” Endi membalas dengan nada senewen.
“Seragam kamu mirip sama seragam kakak sepupu aku deh.”
“Ah? Kenapa?” Endi refleks menoleh, tapi ketika dia melihat mata Jovi yang melotot sangar, dia kembali pada posisinya semula.
“Kamu pake blazer! Biasanya yang pakai begituan kan anak SMA aja.”
Endi terkekeh senang, “Iya dong. Aku keren kan pakai blazer?”
“Enggak.”
Niatnya memang Endi tadi mau menyombong, tapi mendengar ucapan yang menyakitkan dari mulut Jovi tadi membuatnya nyaris pundung di pojokan.
Jovi yang menangkap raut wajah dongkol Endi tersenyum kecil. Ia lalu melanjutkan kembali pekerjaannya yang tertunda; menggores-goreskan pensilnya di atas kertas putih dengan perasaan yang ringan, “Kamu lucu tau pake blazer itu.”
“Ha? Kenapa?” Endi berhasil untuk tidak bergerak dari posisi awal karena dia tidak mau menerima tatapan seram dari Jovi lagi.
“Blazer itu kegedean sama kamu.”
“Huh, kirain apaan.” Endi buang muka. Dia sudah tidak peduli lagi dengan Jovi yang teriak-teriak protes di sana.
“Eh, jangan ngambek dong. Masa kelas lima ngambek sih. Kamu bukan anak TK lagi kan?” Jovi mencoba untuk menenangkan. Tapi sejujurnya, dia bukannya merasa bersalah, dia hanya tidak ingin sketsa yang dibuatnya sekarang tidak selesai. Itu saja.
“Biarin. Kamu ngeselin sih.”
Endi beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju tempat dimana blazernya tergeletak. Jovi yang melihat tingkah Endi itu diam saja, dia tidak berniat untuk melarang ataupun menyuruhnya untuk duduk kembali seperti tadi.
Merasa diabaikan, Endi cemberut. Dia kira tadi Jovi bakal melarangnya untuk pergi atau apa, nyatanya anak itu malah diam saja. Ketika tangannya menyentuh blazer, dia jadi teringat sesuatu. Tujuannya datang menemui Jovi hari ini adalah untuk pamer kepadanya sekaligus menyerahkan benda itu untuk dimakan bersama.
“Eh, aku punya ini dong!” Endi buru-buru duduk lagi di sebelah Jovi.
Jovi yang bingung dengan sikap Endi hanya bisa mengerutkan kening. Menurutnya, sifat Endi itu unik sekali karena bisa berubah drastis dalam hitungan detik.
“Aku tadi ditembak cewek loh.” Kata Endi bangga sambil memamerkan sebatang coklat besar berpita pink yang tadi dia ambil dari dalam saku blazer sekolahnya.
“Ditembak?” Jovi membeo karena bingung. Dia tidak tahu arti kata dari ‘ditembak’ yang ia mengerti menembak itu memerlukan senapan dan bukan diberi coklat.
“Iya ceweknya cakep deh. Dia anak kelas enam!” seru Endi bangga sambil membuka bungkus coklat itu, “Kamu mau?”
Jovi mengangguk patuh kemudian mengambil potongan coklat itu dari tangan Endi, “Makasih.”
“Aku gak bawa hape sih. Besok aku tunjukin deh fotonya. Ehehehe…”
Jovi terdiam saat melihat Endi tertawa. Tanpa sadar bibirnya berbisik sesuatu yang terdengar seperti angin lalu.
“Hah? Apaan?” Endi bertanya dengan dahi yang berkerut serius. Jujur saja, dia tidak dengar apa yang diucapkan oleh Jovi tadi.
Sambil mengembangkan sebuah senyuman, Jovi memamerkan hasil sketsa yang dibuatnya pada Endi, “Udah selesai nih. Mau liat?”
“Mau! Mau!” Jawab Endi antusias. Ia bangkit dari duduknya lalu merangkak mendekati Jovi.
Endi menatap sketsa yang dibuat Jovi sebentar. Sketsa yang kini berada tepat di atas kaki-kaki Jovi yang sedang bersila membuat alisnya bertaut.
“Jovi, ini aku kan?”
Jovi mengangguk cepat. “Iya. Emang kenapa?”
Endi memandangi kembali sketsa itu. “Kamu kan tadi gambar pake pensil aja kan?”
“Kenapa?”
Endi menunjuk sebuah tetesan cairan berwarna merah yang menggumpal di ujung sketsa, namun seketika matanya melebar seketika saat tahu pasti apa tetesan cairan tersebut.
“Ya ampun, idung kamu berdarah!” teriak Endi panik. Bocah itu kemudian buru-buru mengeluarkan tisu dari saku blazernya lalu dengan cepat menyumpal dua lubang hidung Jovi yang terus mengeluarkan darah.
“Aku gak bisa napas tau.” Jovi menggapai tangan Endi yang dengan brutalnya menyumpal hidungnya dengan gumpalan tisu yang besarnya dua kali lipat dari lubang hidungnya sendiri.
“Bego banget sih masa dari tadi nggak ngerasain kalo kamu mimisan?”
Walaupun cara bicaranya kasar, tapi Jovi bisa merasakan nada khawatir dari ucapan Endi tadi.
Jovi menggeleng pelan, masih dengan gumpalan tisu yang menyumpal sebelah lubang hidungnya. “Udah biasa kok.”
Sambil mendesah pelan, Endi bangkit berdiri, “Kita udahan yuk mainnya. Aku mau bantuin tante sama mama buat beresin baju-bajunya nih.”
“Kamu udah mau pulang ya? Kok cepet banget sih? Nggak bisa lebih lama lagi gitu?”
Endi mendecih sinis, “Kamu nyumpahin mama aku darah tingginya kumat lagi?”
“Bukan gitu.” Jovi juga ikut bangkit berdiri kemudian melangkahkan kakinya untuk mendekati Endi, “Endi. Ini buat kamu.”
“Eh?” mata Endi membola kaget saat tiba-tiba saja Jovi menyerahkan buku sketsanya kepadanya.
“Pajang ya! Itu karya master Jovi. Cuma ada satu di dunia loh.” Jovi menepuk-nepuk dadanya bangga.
Endi melengos sebal, tapi tetap mengambil alih buku sketsa itu juga, “Iya terserah deh.” Bocah itu lalu melangkahkan kakinya menuju pintu atap.
“Eh?” Endi membatu ketika melihat pintu atap tang tertutup rapat.
Melihat Endi yang kaku begitu membuat Jovi penasaran, “Kamu kenapa?” tanyanya sambil menyentuh pundak Endi pelan.
“Tadi yang tutup pintunya, kamu ya?” Endi menunjuk pintu itu dengan tangan bergetar.
“Iya—eh.” Jovi juga merasa badannya kaku seketika.
Dua-duanya terdiam sesaat. Keheningan tercipta, yang terdengar hanyalah suara desing angin yang tertangkap panca pendengaran mereka.
“Ja—jangan, jangan…” Endi berkata ragu.
“Iyah itu dia!” Sambung Jovi cepat. “AKU LUPA! PINTUNYA ENGGAK AKU GANJEL!”
“JOVI BEGO! PINTUNYA KAN NGGAK BISA DIBUKA DARI DALAM!” Endi memekik panik. Dengan cepat dia mencekik brutal leher Jovi.
“Endi… Sabar nak. Aku bisa mati nih.” Ucap Jovi panik saat Endi tak mau juga melepaskan cengkraman kedua tangannya di lehernya.
“Bagaimaa aku bisa sabar? Kalau aku bertemu bocah absurd sepertimu.” Endi buru-buru melepaskan cekikannya.
Tanpa babibu ia melesat ke arah pintu. Detik berikutnya Endi dengan teganya menggedor-gedor pintu itu dengan brutal. “TOLONG! AKU KEKUNCI NIH DARI DALEM!”
“Endi. Santai aja.”
Endi menghentikan tindakan brutalnya, ia menoleh cepat ke arah Jovi. Sambil melayangkan tatapan sadis Endi berdecih. Ia pun kembali mengalihkan pandangannya dari Jovi dan menganggap kalau anak itu adalah , “TOLONG AKU! TOLONG AKU SAJA!”
“Endi, Jarang loh ada penjaga atau suster yang lewat sini.” Jovi memilih untuk duduk bersila santai. Sepertinya menonton Endi yang sedang kalap meminta tolong lucu juga.
“TOLONG!” Endi masih tidak mau menyerah. Dia terus menggedor-gedor pintu itu tanpa ampun.
“Endi, nanti kalo gak ada yang nolongin. Kita bisa-bisa nginep disini loh. Disini dingin tau, apalagi kalo malem disini gelap banget.” Jovi berusaha menyembunyikan tawanya dengan membuat mimik wajahnya seserius mungkin.
“YA TUHAN! IH, TOLONG DONG! BUKA PINTUNYA!”
“Endi…” Panggil Jovi.
“TOLONG!”
“Eh, Endi.” Jovi memanggil lagi.
“MAMA!”
“Endi, aku kan bawa hape.”
Keheningan terjadi kembali. Dengan napas yang hampir putus Endi memutar tubuhnya dengan sangat perlahan. Tawa sinis nan menyeramkan seketika terdengar dari mulutnya.
“Ha ha ha ha….. kamu bener-bener pengen mati ya? Ngeselin banget sih!” Endi menggemeletakan jari-jari tangannya, begitu juga dengan lehernya.
Mata Jovi melotot melihat mimik wajah Endi yang terlihat sangar dan menyeramkan. Perlahan ia merangsek mundur sambil tersenyum takut.
Endi menaikan kacamatanya. “Pilih mana, tangan kiri atau tangan kanan?”
“Nggak tangan mana-mana, udah stop disitu. Sorry… Sorry…” Jovi berdoa dalam hati semoga keluar dari sini wajahnya masih ganteng seperti sedia kala.
“***”
“Pipi kamu kenapa, Jov?” Jevan heran melihat kembarannya yang baru masuk kamar rawat inapnya bersama seorang perawat.
“Dicium.” Jawab Jovi santai.
Mimik wajah khawatir dan juga kaget yang tadi terpasang di wajah Jevan berubah jengkel, “Kurang kerjaan. Harusnya bonyoknya jangan satu. Banyak sekalian.”
“Jangan gitu dong, Van.” Ujar Jovi yang kini sudah berbaring di atas ranjang. Tangan kanannya terangkat ke atas, “Suntik lagi ya? Kalo disuntik terus bekasnya nggak ilang-ilang nih.” Tanyanya pada perawat yang telah menyiapkan suntikan di tangannya.
Jevan berdecak lalu maju mendekati Jovi dan kemudian mendudukan dirinya di atas ranjang, “Protes terus nih.”
“Eh, nanti abis aku disuntik kita keluar yuk.” Jovi menatap saudara kembarnya dengan senyuman yang terkembang di wajah pucat miliknya.
“Kemana?” Jevan mengerutkan dahinya penasaran.
“Ke kamar mamanya Endi. Hari ini dia mau pulang. Kamu sih kemarin-kemarin kesininya telat terus. Jadinya nggak bisa kenalan sama Endi deh.”
“Oh ya udah. Tapi kalo kamu nggak ketiduran ya.”
“Nggak kok. Aku udah bilang sama susternya kalo obat tidurnya dikasih nanti aja. Iya kan suster?” Endi menatap suster setengah baya yang tersenyum kepadanya.
“Iya kok. Nah udah selesai.” Kata suster itu sambil membereskan peralatan suntiknya. Ia lalu melangkahkan kakinya menunju pintu setelah berpamitan kepada dua anak kembar itu.
Jovi menatap sosok saudara kembarnya yang sedang berdiri di samping dispenser. Kembarannya itu masih memakai seragam sekolahnya; celana panjang merah dan juga kemeja panjang putih yang membungkus tubuhnya. Terkadang Jovi merasa iri, karena dia belum pernah merasakan bagaimana enaknya bersekolah dan memakai seragam seperti Jevan.
“Jevan!” panggil Jovi.
Jevan berbalik dengan tangan yang masih memegang cangkir, “Apaan?”
“Kamu udah pernah ditembak cewek belum?”
“Hah?” Jevan mendesah pelan sebelum melanjutkan, “Pacar-pacaran itu nggak baik. Aku masih kelas tiga SD. Lagian nanti kalo aku punya cewek, Kak Susan marah-marah karena dia masih jomblo dan dikalahin sama anak SD.”
Jovi tertawa mendengar penjelasan Jevan. Dia jadi ingat pada sepupunya yang selalu mengeluh karena dia belum pernah punya pacar. Kasihan.
“Aku pengen ngerasain pacaran deh.” Gumam Jovi pelan, “Kayak apa ya?”
akunya sibuk. ntar dulu hahaha *alesan*