It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Koko gak usah senyum, mata Koko kalau melek udah sipit, apalagi kalau senyum. Satu muka jadi pipi semua," rangkaian kalimat itu yang keluar dari mulut Ryan saat aku berdiri di depan kamarnya.
"Emang Koko segembil itu?" tanyaku sambil mencubit pipiku sendiri.
"Gembil sih enggak, kalau gembrot iya," jawabnya sambil melepas tawa.
Aku diam dan mengerutkan alis. Ryan yang merasakan perubahan sikapku kemudian memegang tanganku dan menarikku masuk.
"Koko merajuk ya?"
"Mana bisa Koko merajuk sama Adek?"
Aku duduk di kasur Ryan, meraih buku di meja, Mockingjay. Kubuka bagian terakhir dimana Ryan sedang membaca, masih saat Peeta mulai kembali ke Bunker Distrik 13.
Ryan ikut tiduran di sebelahku, tangannya meraih buku Mockingjay yang sebelumnya kutaruh di meja.
"Koko mau cerita, mau dengerin gak?"
"Hmmmmm.....," jawab Ryan menggumam.
"Mau nggak?"
"Iyeee...," Ryan menjawab malas tanpa mengalihkan pandangan dari buku Mockingjay.
"Nanti Presiden Coin mati dipanah Katniss, trus Presiden Sbow mati diinjek injek massa. Primrose mati kena bom buatan Gale sama Beete...," perkataanku terputus karena kepalaku dipukul dengan bantal.
"Kok Koko spoiler? Jadi gak semangat baca jadinya."
Aku tertawa sambil memeluk Ryan dari belakang, di lehernya tercium aroma sabun mandi kesukaannya.
"Apa ketawa ketawa? Lagi seru serunya baca malah dispoiler."
"Marah ya?"
"Menurut Koko?"
"Iya Koko minta maaf."
"Beliin pizza super supreme size L, pinggiran cheesy bites. Sekarang!"
Aku tak bisa protes. Beringsut ke arah meja kuambil HP yang tergeletak di samping TV, lalu menelpon layanan delivery sambil tiduran, masih tetap memeluk Ryan. Dia sendiri tidak keberatan, walaupun aku tahu dia masih cemberut.
Kuakhiri panggilan dan meletakkan HP dibawah bantal. Aku kembali memeluk Ryan sambil mengusap rambutnya.
"Dek."
"Apa Ko."
"Koko boleh bilang satu hal?"
"Boleh."
Cara bicara Ryan berubah. Ada nada gembira yang seolah ditutup tutupi.
"Adek jangan marah ya."
"Oke."
"Janji?"
"Janji Ko."
Aku diam beberapa saat, mendengarkan intensitas nafas Ryan yang meningkat, denyut nadi di pergelangan tangannya juga meningkat, sampai akhirnya aku bicara.
"Akhirnya, Katniss nikah sama Peeta dan punya dua anak."
Ryan menepis tanganku, berbalik dan kembali memukuliku dengan bantal.
"Koko jelek."
Dia bangun dan mengambil remote TV. Menonton saluran anime sambil memangku bantal dan melipat tangan di atasnya. Bibirnya masih cemberut, alisnya juga masih menempel satu sama lain. Aku bangun dan duduk di sebelahnya. Kupegang tangan kirinya, ekspresinya masib tidak berubah. Matanya masih menatap layar televisi yang menayangkan serial detektif. Aku sendiri sudah menonton episode itu tadi malam. Tidak ada jawaban ketika kupanggil namanya. Kucium punggung tangan kirinya, Baru dia menoleh.
"Gak usah sok perhatian deh Ko."
"Adek masih marah?"
"Iya lah."
"Tau gak, pembunuhnya ternyata cewek pirang berponi temen korban," komentarku sambil menunjuk ke layar TV.
Tiba tiba aku merasa tanganku dicengkeram, dipelintir di belakang punggungku lalu aku sudah tengkurap di kasur sambil mengaduh.
"Kalau gini gak bakal kapok. Masih mau spoiler, hah?"
"Cewek yang bunuh korban, ternyata suka sama cowok yang ditaksir sama korban."
Tanganku semakin terasa sakit. Cengkeramannya makin kuat hingga aku hanya bisa menutup mata meringis menahan sakit.
"Kalau gini gak bakal bisa spoiler lagi."
Belum selesai aku mencerna perkataan Ryan, bibirnya sudah menempel di bibirku. Aku yang kaget membuka mata merasakan bingkai kacamata menekan pelipisku.
"Kalau gak gini bakal cerewet," kata Ryan tanpa melepas bibirnya.
HP ku yang bergetar membuat Ryan ngedumel sambil membetulkan kembali posisi kacamatanya. Saat kuakhiri panggilan, aku masih sempat melirik ke arah Ryan yang masih cemberut.
"Udah gak usah cemberut, pizza nya udah dateng."
Sebuah senyum tersungging di bibir Ryan. Tak heran kalau perutnya gembil mengingat dia memiliki nafsu makan yang besar.
Setiap makan bersama, dia selalu memesan porsi ekstra bahkan ketika aku tak sanggup menghabiskan makanan di piring.
"Ko..," panggil Ryan pelan.
"Iya Dek?"
"Cium lagi."
Aku mencibir ke arah Ryan sambil membuka pintu.
"Ah Koko payah," protes Ryan sambil memainkan remote TV.
"Cup," kucium bibir Ryan.
Pipinya memerah sambil kemudian salah tingkah. Tingkah lakunya yang kikuk sendiri membuatku makin gemas dengan dia.
"Cup," kucium lagi bibir Ryan ketika dia sedang memandangi lantai.
"Udah?"
"Thanks Ko," kata Ryan sambil tersenyum.
Aku menekan tombol snooze di layar. Masih dengan memicingkan mata, sempat terlihat penanda waktu di bagian atas layar HP, jam tujuh. Artinya aku kesiangan, dengan tingkatan yang sangat parah. Saat aku bangun, terasa kalau punggung dan tanganku terasa pegal. Kalau sudah begini biasanya adalah tanda tanda aku akan sakit.
Kubuka layar HP, niatanku mengirim pesan ke atasan terhenti karena ada panggilan masuk.
"Kok gak bales pesan? Baru bangun ya? Semalem tidur jam berapa emang? Trus gak kesiangan ke kantor?"
Kepalaku jadi berdenyut kencang karena mendengar pertanyaan tanpa akhir di ujung telepon.
"Lagi gak enak badan Dek, kayaknya gak ngantor."
"Kok bisa? Kemarin abis ngapain aja emang?" tanya Ryan dengan nada bicara yang sudah berubah drastis.
"Kemarin kan seharian di kosan, trus malem kita keluar ke Sabang, makan bareng."
"Trus ngerasanya gimana?"
"Pusing, badan agak demam, trus badan rasanya sakit semua."
"Adek kesana ya, Koko gak usah kemana mana dulu."
"Gak usah, makasih, nanti ngrepotin. Koko abis ini mau ke dokter kayaknya."
"Adek anterin ya?"
"Gak usah. Adek kan kerjaan lagi banyak, nanti makin numpuk. Koko gak papa kok, makasih ya udah perhatian."
Kuakhiri panggilan itu, lalu meletakkan HP di meja dan kembali tiduran di kasur. Kepalaku berdenyut sakit sekali. Selama aku tiduran, ada lima atau enam panggilan masuk yang tidak kuangkat. Rasa takut Ryan terkadang berlebihan, padahal untuk hal hal yang menurutku sepele.
Aku bangun karena aku merasa seseorang mengguncang badanku. Saat aku membuka mata, Ryan sudah duduk di sampingku sambil melotot.
"Dikhawatirin malah nutup telpon, ditelpon lagi gak ngangkat. Ini maunya gimana toh?" protes Ryan sambil menjewer pipiku.
"Kepala Koko sakit. Kalau denger Adek ngomong nanti makin sakit."
Ryan yang makin dongkol membalik tubuhku menjadi telentang. Aku yang memang sedang lemas pasrah saja. Kalau memang dia marah, aku seperti tak punya tenaga untuk melawannya.
"Ya ampun Ko. Kok badan merah semua gini?" Ryan kaget ketika melihat badanku. Tak cukup memeriksa tangan, muka, leher, dan kakiku, dia kemudian membuka kemeja dan celana panjangku. Tampaknya dia kaget melihat perut dan pahaku.
Tak lama kemudian aku masih melihat Ryan menelpon seseorang, kemudian dia menyebutkan alamat rumah kosku. Lalu dia membuka lemari baju, mengambil kaos berwarna biru tua dan mengambil jaket dari gantungan di belakang pintu. Aku menurut saat dia memakaikannya kepadaku. Dia mengaduk isi tasnya hingga menemukan sebungkus obat dan mengambil secangkir air dari dispenser.
"Ini minum paracetamolnya dulu, seenggaknya biar nyerinya berkurang."
HP Ryan berbunyi, kemudian dia mengemasi barang bawaannya lalu membuka pintu. Sinar matahari yang terik membuat aku memicingkan mata saat keluar kamar.
"Bisa jalan kan? Tadi udah panggil taksi. Kita ke rumah sakit."
"Adek gak ngantor?"
"Udah izin telat. Kata bos gak papa."
"Bukannya kerjaan masih banyak?"
"Ini udah sakit masih sempet mikirin kerjaan orang. Bisa gak stop mikirin kerjaan dulu?"
Aku nyengir kuda mendengar dia protes. Walaupun dia cerewet, tapi perhatiannya besar sekali padaku. Aku yang sudah terbiasa sendiri dan jarang bergaul, mulai bisa membuka diri setelah berhubungan dengan dia.
"Siloam ya Pak," kata Ryan sambil menutup pintu taksi, yang kemudian diikuti anggukan pelan supir taksi yang melihat ke arah kami dari spion.
"Masih pusing?" tanya Ryan ketika kami di dalam taksi.
"Udah agak mendingan. Tapi kalau ada yang celometan lagi, mungkin bisa sakit lagi."
Ryan melotot tanda protes, tetapi aku hanya menyeringai sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah tangan, sadar kalau dia tidak akan melakukan hal aneh di dalam taksi.
"Udah, diem aja sampai rumah sakit, kalau perlu diem aja seterusnya, gak usah nyenyes," kata Ryan sambil membuang muka ke arah jendela.
Aku memegang tangan Ryan yang berada di sebelahku. Kugenggam telapak tangan kirinya dengan tangan kananku sepanjang perjalanan. Sebenarnya, tanganku masih memegang erat tangan Ryan sampai taksi berhenti di rumah sakit.
Sesampainya dirumah, aku langsung menyalakan AC, merebahkan badan di kasur, dan memakai selimut yang tebal, lalu berharap bisa tidur. Kata dokter tidak parah, aku hanya mendapat krim oles dan obat kalau memang benar benar gatal. Aku lebih memilih resep yang dulu ibuku ajarkan ketika masih kecil, air kelapa hijau.
Aku bermimpi bermain perahu di danau di dekat kampung dulu, bersama ibu. Dia mendayung, sementara aku yang baru masuk SD bertanya bermacam macam hal, dari apa nama danau, apakah ada ikannya, apakah dalam atau tidak, dan bagaimana kalau aku tercebur di danau. Ibuku yang memang sabar menjawab satu per satu pertanyaanku, yang memang tidak ada habisnya. Aku yang selalu ingin tahu, memainkan air dari sisi perahu. Ibuku hanya mengingatkan aku supaya berhati hati dan tetap berpengangan ke perahu. Tiba tiba ada angin besar, ada ombak tinggi di danau, perahu kami yang semula terombang ambing, menjadi oleng dan terbalik. Aku tercebur ke danau, berteriak memanggil ibuku dan meminta tolong. Karena aku tidak bisa berenang, aku hanya berontak, menimbulkan kecipak air dan buih di permukaan air. Setelah beberapa lama, aku merasa kedua kakiku kram, hanya tersisa kedua tanganku yang keluar dari permukaan air, hingga akhirnya aku tenggelam dan kehabisan nafas.
Aku terbangun dan mengambil nafas dalam dalam secara terengah engah. Aku yang merasa hidungku sakit, melihat Ryan duduk diujung ranjang. Telunjuk dan ibu jarinya yang kanan seperti dalam posisi akan mencubit.
"Adek pasti habis jahil."
"Enggak kok?" kata Ryan sambil memandang langit langit kamar. Dia berusaha berekspresi datar, tapi aku bisa membaca gerakan tubuhnya kalau dia sedang berbohong. Telunjuk dan ibu jari, aku kehabisan nafas, hidungku yang terasa seperti telah ditekan, akhirnya aku bisa menebak keisengannya kali ini.
"Adek habis jepit hidung Koko pas lagi tidur ya?"
"Enggak kok," kata Ryan, tapi ekspresi mukanya mulai terlihat panik.
"Iya kan? Ngaku aja deh."
"Mmm, iya. Hehehe. Habis ditelpon dari pagi gak diangkat, pesan gak dibales. Bahkan sampai didatengin dan dibangunin, masih aja gak bangun. Tapi karena muka Koko nggemesin, yaudah deh isengin aja sekalian."
Aku tersenyum datar melihat muka Ryan, hingga akhirnya tertawa sendiri. Aku paling tak bisa marah, kepada siapapun, apalagi kepada Ryan. Kalau sudah seperti itu, selalu berakhir dengan aku yang tersenyum sendiri.
"Jadi, gimana kata dokter? Barusan dicek suhunya udah agak turun" kata Ryan sambil mengambil air dengan mug.
"Gakpapa kok, cuma istirahat, pakai obat kalau perlu, sama disuruh menghindari alergennya aja."
"Emang Koko ada alergi?"
"Ada, udang."
"Kalau udah tau alergi, trus ngapain semalem makan udang?"
"Awalnya kan gak mau, tapi Adek maksa buat nyoba."
"Trus ngapain mau aja pas diajak ke warung Seafood?"
"Kan semalem udah bilang mau ngikut Adek makan apa, trus Adek bilang lagi pengen makan seafood."
"Yah gak gitu juga lah Ko. Gak masuk akal aja kalau alesannya kayak gitu."
"Gak enak sama Adek kalau nolak, apalagi Adek makannya lahap semalem."
"Tapi Ko..."
"Udah udah, Koko udah baikan kok. Kalau Adek gak berhenti ngomel nanti kepala ini pusing lagi."
"Oke kalau gitu, get well soon ya," kata Ryan lalu mengecup bibirku.
Ryan melepas kemejanya lalu ikutan tidur di sebelahku. Aku yang mendengar ranjang berderit membuka mata, lalu memiringkan badan ke arah Ryan.
"Adek gak balik ngantor?"
"Nggak, tadi udah izin ke Bos buat pulang cepet. Bilang lagi gak enak badan."
"Lagi sakit juga?"
"Iya, ketularan dari Koko."
"Mana ada alergi nular, emangnya pilek?" kataku sambil mencubit perut tambunnya hingga dia meringis.
"Adek bawa makanan tadi, beli di jalan. Kalau Koko udah mau makan, bilang ya biar disiapin."
Aku mengangguk pelan, karena saat ini aku tidak merasa lapar, hanya sedikit mengantuk saja karena semalam kurang tidur. Ryan memelukku hingga aku merasa hangat.
"Gak papa kan Adek meluk gini?"
"Enak kok, ada kendalanya. Nomor satu Koko susah nafas, nomor dua Adek berat."
Ryan melepas pelukannya kemudian berbalik memunggungiku. Aku beringsut di kasur dan memeluk punggungnya. Kubelai kepalanya sambil kuhirup aroma badannya di sekitar leher. Beberapa saat kemudian, saat kupanggil namanya sudah tidak ada respon, akupun ikut mengantuk.