It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
aku nyanyi? GOSH!!! Cukup kecoak² di kamar mandi aja yang pada teler mendengar suara indahku ini
haiizzz... baca lagi percakapan Akbar & Zulfikar di beranda deh. disitu si Zulfikar menawarkan diri untuk ngebantuin Akbar, supaya Bayu bisa balikan lagi.
Bayu kan short tempered.
mana gak ada orang lg di rumah cuma taka doang
aneh aja..
ealah... kan kelewat lagi. padahal sebelum di edit kemaren aku udah jelasin dia udah balik ke Singapura, trus pas baru sampe ada ribut² ama si Tiki & Zulfikar.
nanti deh aku jelasin lagi di chapter berikutnya
ih @tamagokill gak kasian apa sama rivaz...
*ditabok.author*
-alasan akbar karena dia terinfeksi ya....?
tiki mana bang zaki mana istrinya bayu mana ayoo dong nongol kasian bang akbar sama izul
next act ditunggu yah
••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz
@jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE
@prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset
@Bun @sujofin
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh
@Vio1306 @gemameeen
@febyrere
×××°•••°°•••°×××
°•¤ The Stars (Act 17) ¤•°
Pada akhirnya, aku yang kalah. Kalau tidak dipisahkan oleh Taka dan Donna yang kebetulan datang bersama dengan Putu dan Fuad, mungkin aku sudah mati konyol di tangan bajingan tengik itu.
Donna memang sudah lama ingin bertemu langsung dengan istri Bayu. Sementara Putu dan Fuad, datang menemani Nyonya Besar saja. Tadi Putu sempat menunjukan tumpukan kantung belanjaan di kursi belakang mobilnya. Bisa di tebak, itu semua milik Nyonya Besar Donna.
Sebenarnya aku yang merasakan sakit ketika berusaha menyakiti Bayu. Aku berbuat begitu karena melihat tingkahnya yang memang tidak pernah berubah.
Buat apa Bayu mencoba menyakiti Zulfikar?
Apa tindakan Tiki tempo hari belum cukup? Sampai sudah membuat Zulfikar sampai babak belur seperti itu!
Kalau saja aku bukan manusia, melainkan Malaikat Maut, sudah ku cabut saja nyawa Zulfikar. Kusudahi saja penderitaannya.
Apakah Bayu tidak pernah bercermin diri? Dia tidak pernah lebih baik dari orang-orang yang di sakitinya. Dan aku heran, mengapa aku masih menyimpan semua rasa sayang ini padanya.
Aku jadi paham, mengapa dulu Bang Toya sangat membenci Bayu. Meskipun pada akhirnya, dia sudah memaafkan Bayu.
Tapi aku bukan Bang Toya. Aku tidak punya hati sebesar dirinya.
"Gak sakit Bar?" tanya Rivaz usai mengobati luka di wajahku.
Aku menggeleng pelan. Karena luka di dalam hatiku jauh lebih besar. Dan semakin dalam.
"Vaz... Gue pengen sendiri..."
"Tapi Bar..."
"Please... Tinggalin gue sendiri" pintaku memohon.
"Minum obat lu dulu ya..."
"Iya nanti gue minum" jawabku.
Saat Rivaz membuka pintu, kulihat Wahid berdiri disana. Wajahnya terlihat penuh tanya.
Apa lagi yang ku inginkan saat ini? Sepertinya sudah tidak ada.
Aku sudah bertemu lagi dengannya. Aku sudah mendengar suaranya lagi. Aku juga sudah mampu bersentuhan secara fisik dengannya.
Dia sudah bahagia. Sementara aku? Aku menolak untuk bahagia. Aku sadar itu. Aku memang bodoh.
Dari kursi yang berada di sebelah meja, aku beralih duduk di jendela kamar. Mataku menatap nanar ke arah langit. Beruntung malam ini sama cerahnya seperti siang tadi. Jadi, tidak ada halangan apa pun untuk melihat kerlap kerlip bintang diatas sana.
Kamu memang selalu menjadi bintang untukku, Bayu. Kamu memang indah di lihat. Tapi terlalu jauh untuk kusentuh. Dan tidak akan mungkin aku miliki.
Ponselku berdering saat aku tengah asyik menikmati kebodohanku. Rupanya telepon dari Bang Zaki. Aku bimbang. Apakah aku harus menerima panggilan teleponnya? Atau kubiarkan saja. Aku tidak tahu harus bicara apa padanya.
Aku sadar, aku yang salah sudah memancing kerusuhan di rumahnya. Aku juga ingat sudah merusak beberapa barang dirumahnya.
"Malam Bang" sapaku akhirnya.
^Bagaimana kondisi kamu, Bar? Maaf Abang baru sampai dirumah^ ujarnya di seberang sana.
"Gak tau Bang..." jawabku jujur.
^Lah? Kok gak tau? Anyway... Kamu di kos?^
"Iya Bang... Kenapa?"
^Abang kesana sekarang^
Aku tidak enak hati untuk melarangnya datang kemari. Karena tadi aku sudah membuat keributan di rumahnya.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
...
Now love's a broken record
That's been skippin' in my head
I keep singing 'Yesterday'
Why we got to play these games we play?
I ain't trippin', I'm just missin' you
You know what I'm sayin', you know what I mean
Every now and then when I'm all alone
I be wishin' you would call me on the telephone
Say you want me back, but you never do
I feel like such a fool, there's nothing I can do
I'm such a fool for you
And I can't take it what am I waiting for?
My heart's still breaking, I miss you even more
And I can't fake it the way I could before
I hate you, but I love you, I can't stop thinking of you
It's true I'm stuck on you
...
[ Stuck - Stacie Orrico ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Bang Zaki datang bersama Tiki dan Zulfikar. Berulang kali Zulfikar meminta maaf padaku. Tapi karena memang bukan dia yang salah, jadi aku bersikeras memintanya untuk tidak meminta maaf padaku lagi.
"Mau apapun alasannya, gue gak bisa maafin Bang Bayu" ucap Tiki. "Dia tuh gila! Bisa-bisanya nyakitin elu lahir batin begini!" Tiki berujar geram.
Aku melirik ke arah Rivaz. Meskipun ia terus berusaha tersenyum, namun ia tidak bisa menyembunyikan kesedihan di dalam mata indahnya itu.
Aku memang pernah bercerita perihal Bayu. Tapi baru kali ini dia melihat sendiri, seperti apa Bayu itu.
"Tapi tenang aja. Bang Zaki udah ngelarang Bang Bayu untuk dateng ke rumah lagi. Jadi elu aman untuk selalu datang ke rumah" kalimat Tiki membuatku terkejut.
"Tapi Bang..." aku langsung saja ingin mengutarakan keberatanku pada Bang Zaki.
"Dia ke Bali untuk menyambangi makam Toya aja kan? Tapi kali ini dia keterlaluan! Abang gak suka, karena dia sudah bikin keributan" Bang Zaki berujar dengan tegas.
"Trus anak istrinya gimana?" tanyaku.
Bang Zaki menghela nafas panjang. "Riana tentu saja marah besar. Terlebih dia melakukan hal itu, di hadapan anaknya" Bang Zaki mengusap matanya. "Tadi Donna yang mengajak Riana untuk menginap di rumahnya"
"Oh ya Bang... Gimana dengan tawaran Mbak Donna kemaren?" Tiki bertanya, mencoba mengalihkan topik.
Sekitar seminggu lalu, Donna memang menawariku pekerjaan. Dia memintaku bergabung untuk bekerja untuk team di Villa milik Bang Zaki yang berlokasi di Jimbaran. Memang masih baru kata Donna. Dan kebetulan sekali, mereka memang sedang kekurangan staff.
"Kamu bisa tinggal di Villa nomor 1. Jadi kalau sewaktu-waktu Rivaz datang kemari, bisa lebih dekat"
"Waduh! Kok jadi ngerepotin gitu Bang?"
"Itu fasilitas buat kamu. Kalau butuh apa-apa, nanti bisa hubungi Putu. Dia yang sering stay di Jimbaran" lanjut Abang lagi. "By the way, besok Rivaz balik, ya kan?" tanya Bang Zaki pada Rivaz.
"Iya Bang. Besok saya harus balik. Gak terasa cutinya sudah terlewati dengan cepat" jawab Rivaz dengan muka sedih. Membuatku semakin tidak enak hati padanya.
Kami terdiam saat Bang Zaki menerima panggilan teleponnya. Ternyata dari Putu. Panjang umur sekali, orang satu itu. Kemudian Bang Zaki tersenyum dan bangkit berdiri.
"Kamu kemari cuma bawa baju saja kan, Bar?" tanya Bang Zaki, membuatku penasaran. Tidak biasanya dia tersenyum penuh misteri seperti itu.
"Iya Bang" Rivaz yang menyahut, karena aku masih terdiam.
"Kita pindah sekarang saja kalau begitu" kata Bang Zaki.
"K-kemana?" kali ini aku yang bertanya dengan bingung.
"Ke Jimbaran dong. Tadi Putu bilang, sudah ready kok" jawab Bang Zaki. "Kamu memang belum memberikan jawaban. Tapi ini Abang lakukan demi kamu juga"
"Maksudnya?"
"Abang khawatir Bayu akan datang kemari. Kamu seperti tidak tau watak dia saja"
"Emangnya kenapa? Gue gak takut ama dia" aku menyahut dengan emosi.
"Tapi kami semua disini cemas dengan kamu, Akbar" Bang Zaki meremas bahuku yang sakit. Hingga membuatku mengaduh kesakitan. "Ups! Maaf!"
Rivaz dengan cekatan langsung mengeluarkan koper dari dalam lemari. Dibantu Tiki, mereka langsung memindahkan semua pakaianku dari dalam lemari.
Beruntung, semua sex toys milikku, sudah kupindahkan ke dalam tas ransel milikku sejak sebelum kedatangan Rivaz. Jadi aku tidak harus membuat banyak alasan kan?!
Sebenarnya aku berat juga meninggalkan kosan ini. Tapi memang benar apa kata Bang Zaki. Aku tidak mau sampai ada keributan di rumah kos ini. Apa kata Ibu Kos nanti? Beliau sudah sangat baik denganku.
Saat kami akan berangkat, seusai berpamitan dengan Ibu Kos, Wahid yang baru bangun tidur dan terkejut melihat keadaanku memaksa untuk ikut. Jadilah, mobil CR-V milik Bang Zaki penuh sesak dengan adanya kami semua.
Bang Zaki yang mengemudikan mobil. Aku diminta duduk di kursi depan, dengan alasan karena aku masih babak belur. Sementara Tiki, Rivaz, Zulfikar dan Wahid duduk di kursi tengah. Karena tas dan koper kami diletakkan di bagian belakang mobil.
Sepanjang perjalanan, Zulfikar terus saja bercanda dengan Tiki yang duduk diapit dirinya dan Wahid. Seolah mereka tidak punya masalah apapun di minggu-minggu sebelumnya. Harusnya aku seperti mereka. Melupakan hal pahit di masa lalu, dan terus melanjutkan hubungan dengan baik.
Aku tersenyum saja melihat Rivaz. Dia tertidur sepanjang perjalanan.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku sempat terkejut saat melihat bangunan Villa milik Bang Zaki. Karena kalau dilihat dari depan, mirip sekali dengan rumah miliknya.
Tapi saat melangkah masuk, semuanya bernuansa minimalis dan elegan seperti apartemen milik Rivaz di Singapura. Villa ini pun memiliki halaman belakang yang lebih luas. Ada kolam renangnya, lengkap dengan gazebo untuk bersantai.
Dapur dan ruang makannya pun dibuat dengan nuansa outdoor. Letaknya berdekatan dengan kolam renang dan gazebo. Sementara di halaman depan, aku hanya melihat garasi dan di halamannya terdapat kolam ikan mini yang di isi beberapa ekor ikan Koi yang ukurannya belum terlalu besar.
Saat Bang Zaki dan yang lainnya mengajakku ke dalam bedroom di lantai dua, aku terperangah. Karena sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca, dan terdapat pintu geser --yang terbuat dari kaca juga-- saat aku melangkah keluar menuju beranda. View yang kulihat, membuatku sempat menahan nafas. Karena aku bisa melihat perbukitan dan pantai dari sini.
"Bang... Apa ini paksaan halus supaya aku mau bekerja disini?" tanyaku saat Bang Zaki menyusulku, dan kami berdua berdiri menatap sunset.
"Bisa di bilang begitu" jawab Bang Zaki diselingi tawanya yang renyah. "View-nya keren ya?" tanya Bang Zaki. Aku mangangguk setuju.
"Kalau mau jujur... sebenarnya ini rumah impian Toya"
Aku langsung menoleh ke arah Bang Zaki. Sambil tersenyum dan memasukan kedua tangan disaku celananya, Bang Zaki menatap jauh ke arah pantai.
"Design Villa ini sudah dia rancang jauh jauh hari bersama Putu. Tentunya ada perbaikan disana sini juga. Tanah Villa ini pun sebenarnya milik kerabat jauh Putu" Bang Zaki memejamkan kedua matanya, sementara ada seulas senyum di bibirnya.
"Hmmmm... Bang... Boleh lancang sedikit gak?" tanyaku. Ragu.
"Silahkan... Asal jangan ke bablasan macam Bayu" jawabnya. Kali ini dia bersandar sambil melingkarkan kedua tangannya di dada.
Aku menelan ludahku sendiri. Membasahi rongga kerongkonganku yang mendadak saja kering, "Hmmm... Abang sudah punya pengganti Bang Toya?"
"Toya itu tidak tergantikan..." jawabnya.
Jantungku berdebar kencang, takut sekali kalau kalau kalimatku membuatnya tersinggung.
"Dan juga, Abang tidak akan pernah melupakan Toya. Pahit manis yang pernah kami jalani bersama, selalu Abang simpan baik-baik. Tapi..." kepalanya menoleh ke dalam kamar. Dimana Tiki, Wahid dan Zulfikar sedang bercanda dengan salah satu dildo milikku.
Wait! Dildo?!
Kulihat Rivaz juga sedang duduk sambil tertawa memegangi perutnya. Duh! Malu sekali rasanya!
"Walaupun sekarang sudah ada yang mengisi hati Abang, Toya tetap tidak tergantikan" lanjutnya.
"Hah?! M-maksudnya?" aku langsung menyadari ada yang janggal dalam kalimat Bang Zaki.
Bang Zaki meletakkan jari telunjuk di bibirnya sambil mengedipkan mata kanannya. "Masih rahasia... Dan Abang minta jangan bahas ini pada siapa pun. Belum saatnya yang lain tau mengenai hal ini"
"O-oke Bang..." aku cuma bisa terdiam. Oh... Jadi intinya, Bang Zaki sudah punya pengganti?, aku membatin.
Tapi siapa?
Aku tidak berani bertanya. Walaupun sebenarnya sangat penasaran.
"Bang... Gue mulai kerjanya setelah benar-benar fit ya...?"
"Memangnya siapa yang maksa kamu mulai kerja hari ini juga?" Bang Zaki menyahut, lalu mengalihkan pandangannya ke dalam kamar. Memperhatikan empat orang yang masih sibuk menata pakaianku ke dalam lemari, sambil terus bercanda.
"Abang maksa kamu pindah kemari karena mencoba menghindari kamu dari kemungkinan jelek. Toya yang selalu mewanti-wanti Abang untuk tidak terlalu dekat dengan Bayu" penjelasan Bang Zaki membuatku jadi serba salah. Karena yang dia ucapkan memang benar adanya.
"Toya, dengan tegas meminta Abang membuat jarak. Selalu berhati-hati dalam bertingkah laku di depan Bayu. Meskipun Abang tidak pernah takut pada Bayu, tapi Abang tetap takut pada Toya. Kalau dia yang marah, bisa lebih bahaya... Hehehehe..." lanjutnya sambil terkekeh sendiri.
"Besok biar Abang saja yang mengantar Rivaz ke airport" kata Bang Zaki lagi. "Untuk malam ini saja, Abang dan Tiki akan menempati Villa nomor dua di sebelah"
"Loh kok gitu Bang? Kan kamar depan kosong" balasku.
Karena Bang Zaki memang menempatkanku di bedroom utama, yang berada di bagian belakang. Bahkan dari beranda ini pun, aku bisa saja langsung melompat ke kolam renang. Dari beranda berbentuk 'L' ini pun aku bisa melihat aktifitas di dapur dan area meja makan juga ke arah gazebo di sebelah kolam renang.
Bang Zaki tidak langsung menjawab. Lagi-lagi dia mengulum tersenyum. "Hmmmm... Abang gak mau ganggu kemesraanmu dengan Rivaz" ujarnya. "Abang perhatikan, dia sangat sayang ke kamu"
Saat aku ikut menoleh ke dalam kamar, pandanganku bertemu dengan mata Rivaz. Dia tersenyum. Aku pun balas tersenyum kearahnya.
"Toya pasti senang sekali kalau bisa berkenalan dengan Rivaz. Sama senangnya dengan Abang, yang bisa melihat kamu bahagia dengan pengganti Bayu"
Ucapan Bang Zaki membuatku tercenung.
"Tuhan punya rencana bagus sudah memisahkanmu dengan Bayu. Lalu mempertemukanmu dengan Rivaz. Dia jauh... Jauh lebih baik, dan terlihat tulus. Apa lagi yang bikin kamu ragu?"
Lidahku mendadak kelu.
Tidak sanggup menjawab. Apalagi menjelaskan situasiku yang terjadi antara aku dengan Rivaz pada Bang Zaki.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Selepas Bang Zaki pamit pulang untuk mengantar Wahid dan Zulfikar, aku masih memikirkan ucapan Bang Zaki tadi.
Aku baru bisa bersyukur sekarang. Karena sudah di pertemukan dengan Rivaz. Tapi bagaimana dengan Rivaz? Apakah dia bisa bersyukur telah di pertemukan denganku?
Aku jauh dari kata sempurna. Dan kian jauh dari kata sempurna karena aku mengidap penyakit terkutuk ini. Kalau pun aku tidak di pertemukan dengan Rivaz, aku tidak akan berani memohon untuk bisa kembali pada Bayu.
"Bar... Masuk yuk. Emangnya elu gak kedinginan duduk di luar terus?" tanya Rivaz yang sedang berjongkok di sebelahku.
"Vaz..." kuraih pipinya. Kubelai dengan jempolku. "Apa elu... Pernah bersyukur bisa ketemu dan kenal ama gue?"
"Tentu... Kenapa emangnya?" Rivaz tersenyum. Dengan lembut tangannya meraih pinggangku. Mengajakku untuk masuk ke dalam kamar.
"Tapi gue gak bisa kasih lebih..."
"Apa kita sedang membahas sex?" potongnya. Aku menjawab dengan anggukan pelan. "Emangnya, harus berhubungan badan supaya bisa menyatukan hati kita ya?"
"Ehmm... Ya enggak juga lah"
"Kalo udah tau jawabannya kenapa..."
"Tapi gue ODHA, Vaz..." aku menyela.
"Dan gue dokter, Bar" tegasnya. "Walaupun gue ini dokter yang bego..."
"Bego karena gak bisa nyembuhin penyakit yang belum ada obatnya?"
Rivaz menggeleng. Matanya lekat menatapku. Wajahnya menjadi sendu. "Gue gak tau obat apa yang bisa nyembuhin luka lu disini" jawabnya seraya menepuk dada kiriku.
"Demi Tuhan, Bar... Gue shock. Gue gak habis pikir. Kenapa dia bisa begitu tega ke elu? Dia udah ngancurin hati lu. Dan sekarang... Dia tega bikin elu babak belur begini..." Rivaz menyeka air yang menggenang disudut matanya sendiri.
Jadi Rivaz sudah tahu persis siapa Bayu. Mungkin Tiki, atau mungkin saja Zulfikar yang memberi tahukan perihal keributan siang tadi.
Sejenak kami terdiam. Kupeluk Rivaz. Kubelai rambutnya. Bisa kurasakan air matanya yang membasahi pundakku.
Rasanya sakit.
Bukan karena Rivaz menyandarkan kepalanya di pundakku yang sedang terluka. Aku yakin dia sedang lupa. Bahkan aku tidak merasakan semua lebam di badanku, akibat ulah Bayu.
Yang sakit adalah hatiku.
Karena sudah membuat Rivaz terus menerus sedih. Dia sampai berulang kali datang ke Bali. Hanya untuk bertemu denganku. Awal dia datang kemari, dia hanya bisa tinggal selama seminggu. Lalu dua minggu kemudian dia datang lagi kemari. Tepat saat kejadian Zulfikar bersama Tiki. Esoknya dia kembali ke Singapura selama hampir dua minggu.
Dan kemarin dia datang kemari karena ingin melihat kondisi Zulfikar. Tapi sekarang malah ganti aku yang babak belur begini. Walaupun tidak sampai separah yang Tiki lakukan pada Zulfikar, tapi tetap saja bagiku awalnya ini teramat sakit.
Kuraih kedua bahu Rivaz. Aku dorong hingga membuatnya terperangah. Kusapu air matanya dengan jariku.
"Sorry Vaz. Tapi gue emang harus mengambil sikap yang tegas" kataku. "Gak selamanya elu tahan gue gantung begini!"
Rivaz menggigit bibir bawahnya. Mencoba menahan tangisnya. Air matanya kembali mengucur dengan deras.
"Gue juga gak tega... Kalo terus-terusan ngeliat elu ngemis cinta gue! Elu itu orang yang baik. Elu selalu tulus ke gue! Apa elu yakin, kita bisa bertahan sampe maut misahin kita, Vaz?"
"Sampe kapan elu terus ngeraguin gue, Bar...? Apa yang harus gue lakuin, supaya elu percaya kalo gue cinta elu, Bar...?! Dari kita awal kenal dulu... Gue udah tergila-gila sama elu... Meskipun elu ODHA, hati gue gak pernah sedikitpun goyah, Bar!"
Aku langsung bangkit berdiri dan memunggungi Rivaz.
"Bar! Jangan pergi Bar! Gue mohon... Jangan pernah tinggalin gue..."
Rivaz melingkarkan kedua tangannya di pinggangku. Menarikku dan membuatku tidak bisa bergerak. Ugh! Sebenarnya nyeri juga, karena ada lebam di perutku.
"Yang bakal pergi tuh elu, Vaz! Besok elu yang ninggalin gue sendirian disini" kataku.
"T-tapi gue emang harus balik Bar... Gue udah dapet surat peringatan karena sering gak hadir..."
"Itu salah lu sendiri! Kenapa harus tiap dua minggu sekali dateng kesini? Gue tau elu emang punya banyak duit. Tapi..."
"Itu karena gue gak bisa nahan kangen gue Bar!" sela Rivaz.
"Intinya besok elu yang bakal ninggalin gue kan? Lepasin!"
"Bar... Akbar..."
Sambil terus terisak, Rivaz terus menyebut namaku. Saat melihatku meraih koper miliknya dan membukanya, Rivaz membalikkan badan memunggungiku. Baguslah, jadi Rivaz tidak akan melihat apa yang kulakukan pada isi kopernya.
Saat selesai melakukan hal yang ku mau pada isi kopernya, aku melangkah mendekati Rivaz. Kuletakkan salah satu tas selempang milikku di samping Rivaz. Lalu meletakan passport juga tiket pesawat milik Rivaz diatasnya.
Kini Rivaz memandangku, yang duduk bersila di lantai menghadap kearahnya, dengan ekspresi bingung.
"Gue yakin elu punya banyak baju di apartemen lu disana" kataku. Rivaz menatapku. Semakin terlihat bingung, tapi ia mengangguk pelan berulang kali.
"Elu kerja yang rajin selama disana. Gak usah sedih. Gak usah galau. Gak usah ngemis-ngemis lagi ke gue! Ngerti?!"
"Gak... Gue gak ngerti..." Rivaz menjawab dengan suara parau.
"Ck!" aku mendecakkan lidahku dengan gemas. "Elu tuh dokter paling cakep yang pernah gue liat! Badan gede kekar! Perfect! Tapi kekurangan lu cuma satu! Elu cengeng!" aku mengomel.
"Masa body doang yang segede dan sexy macam Chris Evans di film Captain America begini, tapi hati persis Barbie?!"
Rivaz langsung menyeka wajahnya yang basah karena air mata, menggunakan kaus biru yang ia kenakan. Ada gambar bintang besar Captain America di bagian dadanya.
"Rivaz yang gue kenal enggak pernah selemah ini" aku berujar lagi.
"Tapi gue udah kalut Bar... Gue bingung harus gimana lagi bikin elu percaya..."
"Emangnya siapa yang gak pernah percaya ke elu, hah?"
Rivaz terdiam.
"Elu gak suka cowok cengeng ya Bar?" tanya Rivaz. Kujawab dengan anggukan.
"Gue percaya, elu bukan tipe cowok cengeng... Maafin gue... Udah bikin elu putus asa begini..." kuraih kedua tangannya. Kukecup lembut punggung tangannya. Bergantian kiri dan kanan. "Gue janji gak bakal bikin elu sedih lagi. Kalo elu kangen, kita bisa telepon. Bahkan video call pake Skype kalo perlu"
Rivaz terdiam. Hanya tangannya saja yang balas meremas tanganku. Ekspresinya yang bingung terlihat lucu dimataku.
Dari bersila di lantai, aku bangkit dan pindah duduk disebelah Rivaz. Kali ini bibirku mendarat di keningnya. Turun ke pipinya. Dan berhenti di bibirnya. Punggung tanganku yang menempel di dadanya yang bidang, bisa merasakan degup jantungnya yang berdebar kencang.
"Gue bakal sabar nunggu kedatangan elu lagi. Tapi tolong, jangan sampai ngorbanin karir lu disana..." aku berujar disela aktifitas mengulum bibirnya. Saat akan lanjut mengulum bibirnya yang kenyal, Rivaz meraih kepalaku. Membuatku terpaksa berhenti.
Wajah kami teramat sangat dekat. Bahkan ujung hidung kami saling beradu. Dan mata kami saling menatap dengan lekat.
"Bingung?" tanyaku. Rivaz mengangguk. "Udah diterima jadi kekasih gue, kok masih bingung"
Seketika mata Rivaz terbuka lebar. Sebelum ia sempat berbicara lagi, kusumpal bibirnya menggunakan bibirku. Kulumat. Kusesap.
Bahkan aku sampai menjulurkan lidahku. Kumiringkan kepalaku, agar lidahku bisa meraih rongga mulutnya. Kulakukan semua itu sampai membuat Rivaz kesusahan bernafas.
"Rivaz... You are my golden star..." aku berujar, dan membalas tatapan mata Rivaz. "Just love me... like you do..."
Aku tersenyum saat melihat cahaya kebahagiaan di dalam mata Rivaz.
"Of... Of course..."
"Hey! Lupa kalo masih banyak lebam di badan gue?"
Rivaz langsung melepaskan pelukannya. "S-sorry..."
"Nah! It's okay... Gue bercanda..." kataku. Kuraih tangan Rivaz, dan memberikan isyarat agar kembali memelukku.
Sesaat aku teringat ucapan bang Zaki siang tadi.
Tuhan punya rencana bagus sudah memisahkanku dengan Bayu.
Lalu mempertemukanku dengan Rivaz. Yang memang, jauh lebih baik dan sangat tulus.
Apa lagi yang membuatku ragu untuk melepaskan diri dari belenggu Bayu? Sementara yang ia berikan hanya kehampaan tanpa batas.
Apa lagi yang membuatku ragu untuk merengkuh ketulusan Rivaz?
Tidak ada!
"Bar... I love you..." bisik Rivaz.
Aku tersenyum melihat binar-binar kebahagiaan di dalam matanya.
"Hmmm..." kugesekan hidungku pada hidung Rivaz. "I love you too, Rivaz..."
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
You're the light, you're the night
You're the color of my blood
You're the cure, you're the pain
You're the only thing I wanna touch
Never knew that it could mean so much, so much
You're the fear, I don't care
Cause I've never been so high
Follow me to the dark
Let me take you past our satellites
You can see the world you brought to life, to life
So love me like you do, love me like you do
Love me like you do, love me like you do
Touch me like you do, touch me like you do
What are you waiting for?
Fading in, fading out
On the edge of paradise
Every inch of your skin is a holy grail I've got to find
Only you can set my heart on fire, on fire
Yeah, I'll let you set the pace
Cause I'm not thinking straight
My head spinning around I can't see clear no more
What are you waiting for?
[ Love Me Like You Do - Ellie Goulding ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Pertama, karena aku bingung harus gimana nulis adegan berantem yang brutal. Duh! Sumpah! Aku nyerah! Walaupun dulu (jaman sekolah) sering ikut berpartisipasi dalam tawuran, tapi susah banget nulis detailnya! Mau nonton The Raid buat refrensi pun, aku ngeri! Secara hatiku kan sudah bermetamorfosis layaknya Barbie. *muntah beling*
Kedua, sibuk kerja! Walaupun Act 15 & 16 separuhnya aku ketik di jam kerja, rasanya nanggung kalo enak² ngetik mendadak ada bos. Coz bos ku tuh suka banget ngajak ngobrol tiap dateng di jam Lunch. Bayangin aja kalo kalian diajak ngobrol, tapi orang yang kalian ajak ngobrol malah jadi autis megang hape!
Ketiga, lumayan banyak lemburan di luar jam kerja. Pulang kerja udah gak mood nengokin aplikasi note. Coz aku ngetik cerita (mulai dari Y.O. sampai The Stars) selalu pake handphone. Walaupun ada yang kasih saran suruh ngetik di WC, tetep aja ketar ketir megang hp dengan layar 5,5" sambil ngeden! Tar aja kalo udah punya handphone anti air kali ya? Baru bisa di realisasikan. Hahahaha!
Well... keep support ya. Klik Suka please. hehehehe...
Ups! Udah 4.58 am! Saatnya molor! Cya guys!!