It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
kenapa gak pake kilat khusus aja skalian )
belum lg dia bilang "Pak, saya suka bapak. I love you, pak Wisnu. Mmuach!', udah gitu aja," )
alamat E-mailnya Hantuduapuluhsembilan et gemail dot com
huahahahahahaha emang stres ni anak )
lanjut terus ya TS,,, :x it
si Yuhan itu emang jenius. Saking jeniusnya otak dia ditaroh di pantat *plak*
Itu dua puluh sembilan dipake krn merupakan tanggal lahirnya Aku juga dulu pernah buat email ada duapuluhempat-nya XDDD
@HesanRehan @Ontho_Wnata92 Oke
@harya_kei Tunggu ya.
Aku terpaku di tempat dudukku. Berulang-ulang Heri menyuruh aku untuk tenang dan melupakan kemungkinan tentang Pak Wisnu yang berniat mengajak aku bicara, tetapi mana bisa aku begitu? Aku sangat yakin kalau Pak Wisnu serius dengan kemauannya itu. Meskipun aku belum tahu dia mau menemui aku di mana dan pukul berapa.
"Her, waktu kamu ditembak sama pacar kamu si Dendit itu, rasanya gimana?" tanyaku entah gerangan mengapa.
Heri menggumam sebentar, "Aku seneng dong. Soalnya Bang Dendit kan udah aku suka dari dulu, jadi... ya gimana sih perasaan kamu pas tau kalo cowok yang kamu suka ternyata suka juga sama kamu? Pasti seneng dong!" perjelasnya menggebu-gebu dengan suara pelan. Aku menghela nafasku, menolehnya.
"Kalo seandainya Pak Wisnu ngancam aku karena tau aku homo, gimana, Her? Aku udah kurang ajar lagi nembak dia via email," kataku mengucap kegalauan yang merundungku.
Heri tersenyum, "Harusnya kamu udah mikirin resiko itu dong, Han, sebelum nembak Pak Wisnu. Ya, kan?" responnya tepat sasaran.
Aku menunduk lesu. "Aku takut, Her," ujarku parau. "Aku takut kalo..." aku tak sanggup melanjutkan. Pikiranku dipenuhi oleh kilasan-kilasan masa depanku yang mengerikan.
Bunyi bel tanda masuk berbunyi. Aku terlonjak di tempatku. Merasa kalau bel ini merupakan panggilan kematian untukku. Kakiku gemetaran, tubuhku panas dingin.
Ya Tuhan, bolehkah aku meminta Pak Wisnu absen dari sekolah hari ini? Aku mohon.
-*-
Tuhan tidak mengabulkan do'aku. Tahu kenapa? Karena Pak Wisnu benar-benar masuk ke kelasku. Mengajar materi Bahasa Inggris di jam ke-dua. Dan sepanjang jam pelajaran berlangsung, aku hanya sanggup menunduk. Sampai akhirnya, sosok lelaki berusia dua puluh dua tahun itu menegurku...
"Yuhan Raharjuan?"
"YES, SIR?!" aku menjerit kelepasan, terkejut oleh panggilannya. Seisi kelas kontan cekikikan mendapati responku itu. Wajahku terasa panas, aku ingin sekali terjun dari jendela kelas saat ini juga.
"Are you feeling well? You look pale," tanya Pak Wisnu penuh perhatian, membuat aku merasa kalau dia juga menyukaiku.
Ya Tuhan, otakku pasti sudah tidak waras. Mana mungkin Pak Wisnu juga menyukaiku. Tapi jika diperhatikan, sepertinya Pak Wisnu tidak kelihatan risih atau pun sebal dengan keberadaanku. Mengingat fakta tentang aku yang sudah mengungkapkan perasaanku padanya.
"Yuhan?" sekali lagi namaku dipanggil. Heri yang duduk sebangku denganku menyenggol lenganku pelan, aku tersadar.
"I-I'm fine, sir. Just a little bit... dizzy," jawabku lemah.
Tanpa aku duga, Pak Wisnu lalu berjalan mendekat ke tempatku, tanganku terkepal di atas pangkuan saking tegangnya. Dan ketika tangan besarnya menyusup di balik poni rambutku untuk memeriksa suhu tubuhku, wajahku langsung terasa dibakar. Jantungku kencang berdebar-debar, aku lupa bagaimana cara mengambil nafas dengan benar. Begitu telapak tangan pak Wisnu lepas sudah dari keningku, aku melemas.
"Heri, please take him to the infirmary," titah pak Wisnu yang segera saja Heri turuti.
Antara lega dan juga tidak enak. Karena aku bisa mengambil jam kosong di kelasnya, namun juga aku harus merepotkan Heri. Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran favorit sahabatku ini.
"Kamu beneran gak enak badan, Han?" tanya Heri sesaat setelah kami keluar dari pintu kelas. Aku dipapahnya dengan hati-hati.
"Bisa dibilang... mungkin. Aku butuh waktu, belum siap berhadapan langsung sama pak Wisnu, Her," jawabku.
"Hm... Ya udah. Kalo gitu kamu istirahat aja dulu, buat menenangkan diri. Pas jam istirahat aku bawain makanan nanti," ujar Heri penuh pengertian. Aku tersenyum.
"Makasih ya, Her."
"No problem."
Untung saja aku mengalami kegalauan ini masih ditemani sosok sahabat-sahabat yang sama sepertiku. Kalau aku sendirian, bagaimana nasibku nanti?
Aku terpaku di tempat dudukku. Berulang-ulang Heri menyuruh aku untuk tenang dan melupakan kemungkinan tentang Pak Wisnu yang berniat mengajak aku bicara, tetapi mana bisa aku begitu? Aku sangat yakin kalau Pak Wisnu serius dengan kemauannya itu. Meskipun aku belum tahu dia mau menemui aku di mana dan pukul berapa.
"Her, waktu kamu ditembak sama pacar kamu si Dendit itu, rasanya gimana?" tanyaku entah gerangan mengapa.
Heri menggumam sebentar, "Aku seneng dong. Soalnya Bang Dendit kan udah aku suka dari dulu, jadi... ya gimana sih perasaan kamu pas tau kalo cowok yang kamu suka ternyata suka juga sama kamu? Pasti seneng dong!" perjelasnya menggebu-gebu dengan suara pelan. Aku menghela nafasku, menolehnya.
"Kalo seandainya Pak Wisnu ngancam aku karena tau aku homo, gimana, Her? Aku udah kurang ajar lagi nembak dia via email," kataku mengucap kegalauan yang merundungku.
Heri tersenyum, "Harusnya kamu udah mikirin resiko itu dong, Han, sebelum nembak Pak Wisnu. Ya, kan?" responnya tepat sasaran.
Aku menunduk lesu. "Aku takut, Her," ujarku parau. "Aku takut kalo..." aku tak sanggup melanjutkan. Pikiranku dipenuhi oleh kilasan-kilasan masa depanku yang mengerikan.
Bunyi bel tanda masuk berbunyi. Aku terlonjak di tempatku. Merasa kalau bel ini merupakan panggilan kematian untukku. Kakiku gemetaran, tubuhku panas dingin.
Ya Tuhan, bolehkah aku meminta Pak Wisnu absen dari sekolah hari ini? Aku mohon.
-*-
Tuhan tidak mengabulkan do'aku. Tahu kenapa? Karena Pak Wisnu benar-benar masuk ke kelasku. Mengajar materi Bahasa Inggris di jam ke-dua. Dan sepanjang jam pelajaran berlangsung, aku hanya sanggup menunduk. Sampai akhirnya, sosok lelaki berusia dua puluh dua tahun itu menegurku...
"Yuhan Raharjuan?"
"YES, SIR?!" aku menjerit kelepasan, terkejut oleh panggilannya. Seisi kelas kontan cekikikan mendapati responku itu. Wajahku terasa panas, aku ingin sekali terjun dari jendela kelas saat ini juga.
"Are you feeling well? You look pale," tanya Pak Wisnu penuh perhatian, membuat aku merasa kalau dia juga menyukaiku.
Ya Tuhan, otakku pasti sudah tidak waras. Mana mungkin Pak Wisnu juga menyukaiku. Tapi jika diperhatikan, sepertinya Pak Wisnu tidak kelihatan risih atau pun sebal dengan keberadaanku. Mengingat fakta tentang aku yang sudah mengungkapkan perasaanku padanya.
"Yuhan?" sekali lagi namaku dipanggil. Heri yang duduk sebangku denganku menyenggol lenganku pelan, aku tersadar.
"I-I'm fine, sir. Just a little bit... dizzy," jawabku lemah.
Tanpa aku duga, Pak Wisnu lalu berjalan mendekat ke tempatku, tanganku terkepal di atas pangkuan saking tegangnya. Dan ketika tangan besarnya menyusup di balik poni rambutku untuk memeriksa suhu tubuhku, wajahku langsung terasa dibakar. Jantungku kencang berdebar-debar, aku lupa bagaimana cara mengambil nafas dengan benar. Begitu telapak tangan pak Wisnu lepas sudah dari keningku, aku melemas.
"Heri, please take him to the infirmary," titah pak Wisnu yang segera saja Heri turuti.
Antara lega dan juga tidak enak. Karena aku bisa mengambil jam kosong di kelasnya, namun juga aku harus merepotkan Heri. Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran favorit sahabatku ini.
"Kamu beneran gak enak badan, Han?" tanya Heri sesaat setelah kami keluar dari pintu kelas. Aku dipapahnya dengan hati-hati.
"Bisa dibilang... mungkin. Aku butuh waktu, belum siap berhadapan langsung sama pak Wisnu, Her," jawabku.
"Hm... Ya udah. Kalo gitu kamu istirahat aja dulu, buat menenangkan diri. Pas jam istirahat aku bawain makanan nanti," ujar Heri penuh pengertian. Aku tersenyum.
"Makasih ya, Her."
"No problem."
Untung saja aku mengalami kegalauan ini masih ditemani sosok sahabat-sahabat yang sama sepertiku. Kalau aku sendirian, bagaimana nasibku nanti?
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, berguling ke kiri dan berbaring ke arah sebaliknya lagi. Mataku terpejam, membayangkan kemungkinan apa yang akan pak Wisnu komentari tentang perasaanku padanya. Apakah dia akan menghukumku? Meng-scors-ku? Atau justru memanggil kedua orang tuaku? Tetapi ya itu, mengingat sikapnya yang biasa saja ketika melihatku di kelas tadi, membuat aku sedikitnya percaya kalau pak Wisnu tidak akan melakukan itu semua.
Repotnya menjadi murid yang menyukai gurunya sendiri. Ya, tidak apa-apa jika aku ini murid perempuan yang menyukai guru laki-lakiku. Nah, aku ini... sudah murni murid laki-laki dan aku menyukai guru laki-lakiku pula. Hidupku benar-benar menyedihkan. Ah, nyatanya kehidupan para kaum homoseksual memang kebanyakan sepertiku ini.
Aku mendengar suara pintu ruang kesehatan yang ada di belakangku terbuka, tanpa menengokkan kepalaku terlebih dulu, aku langsung membangunkan tubuhku karena yakin itu Heri yang datang. Sesuai perkataannya, dia akan membawakan aku makanan di jam istirahat.
"Her, kam—" aku menoleh, dan ucapanku tertahan di ujung tenggorokanku begitu aku tahu ternyata orang yang memasuki ruang kesehatan ini bukan Heri, melainkan pak Wisnu.
Kalian dengar? PAK WISNU!
Seketika saja, kondisi tubuhku yang beberapa saat tadi baru dilanda ketenangan mendapatkan paniknya lagi. Jantungku berdebar-debar kuat, nafasku tertahan-tahan tidak karuan dan parasku mendadak memanas. Kenapa pak Wisnu ada di sini?
"Sudah merasa baikan, Yuhan?" tanyanya begitu sudah berdiri di sisi tempatku. Aku meneguk ludahku secara susah payah, menjawab tanyanya melalui anggukanku yang sangat lemah. "Sungguh?" tanyanya lagi, memastikan.
"I-i-iya, p-p-pak," ucapku tergagap.
Pak Wisnu tersenyum tipis, tangannya bergerak merapikan poni rambutku yang aku yakini sangat berantakan karena aku berulang-ulang merubah posisi tidurku. Aku diam saja mendapati perlakuan ini darinya, malah sejujurnya, aku menginginkan lebih. Lalu saat tangan Pak Wisnu membelai lembut helai-helai rambutku, aku mengerjap takjub. Tiba-tiba berpikir bahwa yang sedang aku alami ini merupakan mimpiku semata.
Pak Wisnu menarik kursi plastik yang berada tak jauh dari posisinya berdiri, mendudukinya, kemudian menatapku dengan intens. Membuatku tak berkutik, tak mampu sekedar untuk berkedip melawan tatapannya. Wajahnya yang tampan dan sosoknya yang memang menjadi idola dari para siswi di sekolah ini benar-benar mempesona. Aku sungguhan suka padanya.
"Yuhan?" sebutnya lirih. Aku berkedip sekali, tersadar sepenuhnya kini. "Saya..." ucapannya menggantung. Aku was-was menunggu kelanjutannya. "Hm, tentang email kamu—"
"Stop, sir!" aku menukas cepat penuturannya, bahkan dengan lancang tanganku aku letakan di depan mulutnya, menempel di sana. Membuatku bisa merasakan tekstur agak kasar di dagunya, hembus nafasnya yang teratur dan juga helai-helai kumis tipis yang tumbuh di atas bibirnya.
Kami berdua sama-sama bergeming, saling melempar tatap yang bagiku teramat janggal. Wajahku makin panas saja suhunya, tanganku yang menempeli mulut pak Wisnu melemah. Turun dengan sendirinya dari sana.
"M-m-m-m..." aku menghela nafasku banyak-banyak. "Ma-ma-maaf, pak—sir, emm... Sa-saya," aku menghembuskannya. "Sa-saya nggak bermaksud lancang, cuma s-saya ng—maksud saya..." aku diam, kemudian menunduk. Merutuki kegugupanku yang sangat memalukan ini.
Tangan pak Wisnu tanpa aku duga menyentuh pipiku, membuatku mendongak. Aku sedikit tersentak saat sadar bibirnya sedang menampakkan senyuman, sampai-sampai kepalaku terteleng. Takut-takut jika ini semua memang hanya halusinasiku berupa mimpi indahku.
"P-pak Wisnu?" sebutku memastikan. Tangan yang ada di pipiku turun ke daguku, menarik wajahku mendekat bersamaan dengan gerakan wajah sosok guru laki-laki yang aku kagumi ke wajahku. Aku kontan melotot.
Bibirku dan bibir pak Wisnu menempel. Pak Wisnu menciumku. Aku diciumnya. Aku dan pak Wisnu berciuman. Kami berdua—otakku sudah tidak waras. Ini pasti mimpi, halusinasi. Seratus persen aku yakini memang hal itulah yang tengah aku hadapi. Jadi, tanganku yang gemetaran aku gunakan untuk mencubit kulit tanganku sendiri, begitu merasakan sakit, aku meringis dan menarik wajahku menjauh.
Mata pak Wisnu dan mataku bertemu, nafasku terengah-engah, bibirku aku sentuh, ada rasa basah yang menempel di sana. Mataku membelalak, mulutku ternganga.
YA TUHAN, INI SEMUA BUKAN MIMPI?! CIYUS? MIAPAH?!
Pak Wisnu memegangi tanganku yang tadi baru aku gunakan untuk muncubit tanganku yang lain, sorot cemasnya terarah ke sana.
"Tangan kamu sakit?" tanyanya penuh perhatian. Dan sekarang, aku sudah tidak peduli lagi apabila nanti aku jadi tidak waras betulan. Akhirnya, aku bertindak lancang padanya lagi dengan memeluk tubuhnya dan melingkarkan tanganku di kedua sisi lehernya.
Aroma tubuhnya sungguh jantan dan menggoda sekali. Bikin aku gigit bibir dan mengendus-ngendus nakal ke lehernya. Pak Wisnu tidak mendorong aku apalagi memarahiku, justru dia balas memeluk. Menepuk-nepuk lembut punggungku sambil membelai rambut belakangku.
"Pak Wisnu, I love you," bisikku ke telinganya. Mendengar itu, suara kekehannya yang merdu bersenandung mendamaikanku. Meskipun detak jantungku belum berkurang ritme debarannya.
"Jadi, email kamu itu serius, ya?" Pak Wisnu balas bertanya. Aku menjauhkan tubuhku darinya sedikit takut-takut, menunduk dan menatapnya seperkian detik dibarengi anggukanku. "Saya kira kamu iseng, Yuhan," ujarnya. Aku mengernyit.
"Sa-saya gak iseng kok, pak. Sa-saya beneran suka sama bapak," kataku menanggapinya. Pak Wisnu tersenyum lalu bergerak maju, mendaratkan ciuman hangat di kening berponiku.
Aku mau berteriak, mau jingkrak-jingkrak, bahkan goyang dumang kalau perlu. Saking sangat kesulitannya aku menjabarkan bagaimana indahnya perasaanku. Sungguh.
"Saya senang kalau kamu serius. Karena kamu juga satu dari beberapa murid di sekolah yang menarik perhatian saya," tuturnya menjelaskan. Tetapi sedikit membingungkanku.
"Apa bapak... suka juga sama saya?" tanyaku ragu. Dan aku terperangah takjub melihatnya mengangguk mantap. Aku tertawa pelan, parasku terasa panas.
"Tapi hanya sebagai murid saja tentunya. Tidak lebih."
Tawaku tertelan lagi ke tenggorokanku. Debaran kencang di jantungku seolah tak berdetak sama sekali kini. Aku yakin nafasku sudah hilang. Dan indah yang baru ingin aku raih berubah menggelapkanku, membawa perih yang menikam ini menuju ke mataku dan seketika aku menangis. Aku menggigit bibirku sendiri, panas parasku tersiram air mataku.
Jadi ini yang namanya sakit hati? Ini yang namanya di-PHP? Setelah ini, aku ingin sekali masuk ke rumah sakit jiwa. Soalnya aku tahu, aku memang sudah tidak waras. Aku berharap terlalu tinggi, terbang dalam anganku yang berlebihan sehingga aku dibanting sekaligus tanpa ampun. Pak Wisnu ternyata tidak sama sepertiku. Aku malu.
Sapuan lembut sepasang tangan di pipiku membuat aku membuka mataku. Wajah pak Wisnu terlihat buram dalam pandanganku, tapi aku tidak mau peduli lagi. Aku membuang muka, mengelap wajah sedihku menggunakan lengan seragamku sendiri. Terburu-buru aku turun dari ranjang ini, mengambil sepatuku dan cepat-cepat berjalan menuju ke pintu.
Aku mau makan. Aku mau curhat pada Heri kalau aku sekarang sedang sakit sungguhan.
"Yuhan, tunggu dulu!" pak Wisnu menahan tanganku, membuat sepatu yang aku pegang terjatuh. Aku meronta, tapi dia tidak mau melepaskannya. Membuat air mataku yang sudah aku bersihkan menetes lagi, dan kali ini aku terisak-isak.
Perlahan-lahan sekali, tubuhku dibalikan pak Wisnu untuk menghadapnya. Aku mendongak, merengut padanya menunjukan betapa sudah sakit hatinya aku dibuat olehnya. Semua lelaki ternyata sama saja. Kecuali aku, ya. Suka memberi harapan palsu. Biadab.
"Kamu kenapa nangis?" tanyanya sembari mengeringkan air mataku menggunakan tisu yang entah dari mana. Aku menyusut hidungku, menahan ingusku yang bersiap keluar.
"Saya nangis karena saya lapar, pak. Saya mau ke kantin. Lepasin saya!" jawabku ketus, aku tepis kasar tangannya. Tapi pak Wisnu memegang kedua tanganku, membuat aku tak berkutik.
"Saya belum meneruskan jawaban saya buat kamu, Yuhan," ujarnya laun dan penuh penekanan.
"Sa-saya gak perlu tau!" sergahku sambil menundukkan kepala.
"Tapi saya mau kamu mengetahuinya. Kalau saya menganggap kamu murid istimewa saya hanya di sekolah saja. Kalau di luar dari itu, saya tentu saja akan memperlakukan kamu seperti kekasih saya. Emm, itu pun kalau kamu bilang sukanya sekalian mau minta saya jadi pacar kamu. Makanya, saya bilang saya masih kurang mengerti," mendengar penuturan panjangnya itu, kontan saja aku mendongak dengan kedua mata melotot. Rasa hangat dan asin yang terasa di atas bibirku tidak aku hiraukan, tapi pak Wisnu nampak geli melihatku. "Kamu ingusan," katanya sembari mengusap bagian bawah hidungku.
"P-pak Wisnu serius kan? Gak lagi PHP-in saya kan?" tanyaku was-was.
"Kamu jawab dulu, mau jadi pacar saya atau tidak?" dia balik menanyaiku. Dan langsung aku sahuti.
"Ya iyalah, pak! Saya mau!" Setelah itu, bibirku diciumnnya. Dan kali ini, aku bersorak girang dalam hati.
Aku masih waras dan aku sudah resmi jadi pacar pak Wisnu.
Tidak aneh, sih. Dari dulu aku lebih tertarik untuk memperhatikan dan mengagumi sosok dari kalangan kaum Adam daripada kaum Hawa. Entah apanya yang salah, tapi nyatanya aku memang begitu. Kalau melihat cewek berparas cantik, dadanya montok, bahkan yang pantatnya bohay sekali pun aku cuma berkedip-kedip saja. Tapi giliran mendapati cowok yang cakep, senyumnya menawan, tubuhnya bagus dan macam-macam hal menggoda lainnya, aku pasti sukses melotot dan megap-megap. Salah satu sisi tidak waras yang aku anggap ada dalam diriku.
Kehidupan tidak warasku berlanjut saat aku memasuki masa SMA. Bertemu Jaya dan si kembar yang bernama Heru dan Heri, kemudian berkenalan dengan mereka. Mereka bertiga sangat ramah padaku, tetapi aku yang sejak dulu cukup pemalu dan minder-an dikarenakan orientasi seksualku pun dibuat sedikit susah ketika hendak berbaur bersama mereka. Sampai hari itu datang...
Heri menyampaikan pesan dari kembarannya untukku, katanya aku disuruh menemui Heru di perpustakaan karena dia ingin meminjam buku tugas milikku. Aku yang sudah berada di dalam perpustakaan pun cuma bisa diam sembari mencarinya, karena ruang penuh buku itu selalu menerapkan larangan tentang tidak boleh membuat kebisingan.
Aku hampir menyerah begitu akhirnya menemukan keberadaan Heru yang ternyata sedang mojok bersama Jaya sambil... berciuman dan berangkulan. Kedua mataku melotot dan detak jantungku berdebar-debar kencang melihat bagaimana bibir mereka saling menempel dan tarik-menarik, sesekali lidah Jaya dan Heru bahkan diadukan. Mataku pun menyipit saat sadar masing-masing tangan kosong mereka bergerak-gerak janggal di bawah meja. Dan ketika Heru membuka matanya begitu sesi ciumannya dengan Jaya disudahi, teman sekelasku saat duduk di kelas 10 itu langsung terperanjat di tempatnya, nampak panik.
"Y-Y-Yu-Yuh-Yuhan?" Heru gelagapan menyebut namaku. Jaya yang terduduk di sampingnya pun menunduk, tak kuasa menghadapi aku saking malunya. Tetapi yang aku berikan pada mereka berdua, adalah senyum pertemanan dibarengi hembus nafas lega.
Aku lega karena yang tidak waras di antara kami ber-empat tidak cuma aku seorang. Bahkan aku semakin merasa senang saat tahu kalau Heri juga sama seperti aku, Heru—adik kembarnya— dan Jaya. Apalagi tipe laki-laki yang Heri sukai adalah orang-orang yang usianya lebih tua darinya, seperti pacarnya sekarang si Dendit itu. Tidak sesuai dengan karakternya yang lembut dan terlihat lugu, ternyata dia itu... sangat biadab. Heru yang kasar dan suka berantem saja tidak se-biadab kakak kembarnya—yang cuma beda sebelas menit.
Yang menyedihkannya, di antara kami ber-empat aku lah satu-satunya yang belum memiliki pasangan. Padahal aku yang paling imut. Beneran deh, aku yang paling imut. Kalau tidak percaya, coba tanya Mamaku. Tapi untungnya status jombloku sudah kadaluarsa, soalnya sekarang aku sudah resmi jadi pacar pak Wisnu. Guru muda yang tipe aku banget dan aku sukai diam-diam selama enam bulan belakangan ini.
Aku dan pak Wisnu menyudahi ciuman panas kami yang tadi membuat nafasku nyaris ludes rasanya. Mataku mengerjap takjub, tidak aku sangka aku bisa berciuman dengan cara seperti itu. Padahal aku cuma pernah berciuman sekali. Tepatnya aku pernah dicium sekali oleh cowok yang menyukaiku di SMP dulu.
"Kamu manis sekali, Yuhan," puji pak Wisnu sambil mengelus-elus rambutku. Aku tersipu.
"Pak Wisnu juga cakep," aku balas memuji. Pak Wisnu tertawa pelan. Dan kali ini, aku yang ber-inisiatif untuk menciumnya. Menarik kerah kemejanya, menurunkan wajahnya agar sejajar denganku dan menempelkan bibirku ke mulutnya.
Belum lama aku menikmati kuluman pak Wisnu di bibirku, pintu di belakang kami terbuka.
"Yuhan, ini aku baw—"
Heri tidak meneruskan kalimatnya. Aku pun sigap melepaskan kerah kemeja pak Wisnu, menjauhkan bibirku dari mulutnya. Aku menoleh dengan paras yang memanas dan melihat raut shock di wajah Heri yang ternyata membawa serta Jaya dan Heru bersamanya.
Pak Wisnu nampak gugup di sampingku, tubuhnya pun terlihat tegang. Dia pasti khawatir karena kepergok ciuman dengan siswanya oleh muridnya yang lain.
"E-eh, ta-tadi kita gak liat apa-apa kan, ya?" ujar Jaya bertanya sambil mengerling pacarnya. Heru mengangguk.
"Yuk, Her... Kita keluar!" dan setelah berucap demikian, Heru menarik tangan Heri dan Jaya kemudian menutup pintu sambil menahan tawanya.
Aku dan pak Wisnu berpandangan sejenak, setelah itu aku terkikik geli dalam hati. Tidak sabar ingin menceritakan keberhasilanku saat mendapatkan hati pak Wisnu. Meskipun aku baru menyadari dan bertanya-tanya: memangnya guruku ini sejak kapan suka padaku?
"Temen-temen kamu tadi mergokin kita, Yuhan," tukas pak Wisnu terdengar panik. Raut ketakutannya nampak jelas. "Ki-kita mesti gimana?" lanjutnya sedikit terbata.
Aku mengerjap, lalu tersenyum untuknya, "Tenang aja, pak. Temen-temen saya tadi sama kok kayak saya, sama-sama doyan cowok," selorohku enteng menjawabnya. Seperkian detik, pak Wisnu terdiam saja seperti sedang mencerna jawaban dariku. Dan ketika hembus nafas leganya terdengar, aku tahu kalau kekasihku ini sudah mengerti.
"Jadi mereka...?" pak Wisnu menggantung pertanyaannya dan aku mengangguk cepat.
"Mereka juga udah lama tau kalo saya suka sama bapak," kataku.
"Oh, ya? Emang sejak kapan kamu suka sama saya?" tanya pak Wisnu terlihat tertarik.
"Sejak pertama kali bapak masuk ke kelas saya dan bapak senyumin saya," jawabku malu-malu.
Aku memang masih mengingat jelas hari itu. Karena saat itu pak Wisnu begitu mempesona, aku dibuat takjub sampai kesulitan berbicara. Begitu pak Wisnu menegurku dan aku gelagapan tidak karuan, guru baruku itu tersenyum geli padaku. Oh, tampannya. Dia memang tipe aku sekali.
Namun, mendengar jawabanku itu, pak Wisnu mengernyitkan keningnya. "Kamu... gak inget ya, Yuhan?" tanyanya dengan raut serius. Aku mengerjap.
"Inget apa, pak?" tanyaku balik.
"Bukannya pertama kalinya kita ketemu itu, waktu kamu nonton saya manggung dan minta tanda tangan saya?" ujarnya menjawab dan bertanya sekaligus. Aku mendelik heran. Nonton? Tanda tangan? Maksudnya apa?
"Maksudnya apa ya, pak?" aku mengerutkan keningku, semakin kebingungan.
Pak Wisnu tiba-tiba tersenyum, menggeleng pelan lalu mengacak lembut rambutku. "Gak apa kalau kamu ternyata lupa. Tapi saya masih ingat, kamu hapal-hapal semua lagu dari band saya," tuturnya.
"Band bapak?"
Pak Wisnu mengangguk, "BMW namanya," dan ketika tiga huruf berisi inisial yang tidak asing itu sampai ke telingaku, seketika aku terperangah. Mengangakan mulutku, aku mundur beberapa langkah, setelah itu menunjuk pak Wisnu dengan telunjukku yang gemetaran.
"P-pak Wisnu anggota band Bless My Way?!" seruku histeris menanyainya.
"Iya. Saya dulu jadi vokalisnya," perjelasnya. Mataku berbinar-binar.
Ya Tuhan, aku tidak percaya ini. Sudah tipe aku dari tubuh tinggi, wajah tampan, suara merdu dan senyum menawannya, rupanya pak Wisnu tak lain dan tak bukan adalah vokalis dari BMW. Jadi, itu berarti...
"Bapak ini Arta, ya?" tanyaku masih belum puas meng-introgasinya.
Arta adalah sebutan untuk vokalis band BMW, yang setiap kali manggung, dia akan bernyanyi mengenakan topi koboi plus kacamata bulat lucu. Tapi semenjak tahu Arta mengundurkan diri dari band itu dan digantikan oleh cewek bernama Weni, aku jadi tidak berminat lagi pada grup musik beranggotakan lima orang itu. Meskipun drummer-nya yang bernama Bi lumayan keren juga. Tapi yang aku sukai di sana adalah Arta. Habisnya suara cowok itu merdu sih. Dan tidak aku sangka-sangka rupanya pak Wisnu merupakan jelmaan asli dari seorang Arta. Tapi kok...
"Iya. Nama Arta diambil dari nama paling belakang saya; Han-di-AR-TA," pak Wisnu melafalkan sedikit demi sedikit. "Karena nama asli saya kedengeran kurang keren katanya. Jadilah..." imbuhnya yang cuma aku respon dengan anggukan samar.
"Ta-tapi kok bapak sama Arta beda, ya?" ucapnya lebih menanyai diriku sendiri. Masih belum sepenuhnya mempercayai fakta menggelikan ini.
"Bukannya beda, Yuhan," pak Wisnu maju mendekatiku, lalu pipiku ditepuk-tepuk gemas oleh tangan besarnya. "Tapi saat saya hadap-hadapan sama kamu tempo hari kamu minta tanda tangan saya itu, kamu gak berani natap langsung ke muka saya. Apalagi kamu nontonnya malem dan gak pernah kebagian tempat terdepan, ya wajar kalau kamu gak sadar," kekasihku ini membeberkan penuturan yang membuatku teringat akan kebodohanku sendiri.
"Iya, sih. Apalagi saya cuma pernah minta sekali," komentarku.
"Tapi karena sekali itu lah saya langsung jatuh suka sama kamu," aku cepat-cepat mendongak saat mendengarnya.
"Eh?"
Pak Wisnu menundukkan wajahnya, mengecup bibirku. "Makanya saya datang ke sekolah ini. Arta pernah nanyain nama kamu, umur kamu dan sekolah kamu di mana kan?" aku mengangguk patah-patah menjawab pertanyaanya.
Benar. Kejadian itu berlangsung sekitar setahun yang lalu. Jadi, dengan kata lain...
"Bapak pindah ke sini karena memang mau ketemu saya?!" tanyaku antara takjub dan ke-ge-er-an. Tapi melihat pak Wisnu mengangguk sambil tersenyum, semata-mata menciptakan perasaan bahagia tak terhingga yang menerobos dadaku.
Aku memeluk pak Wisnu. "Saya seneng, pak!" sorakku.
Pak Wisnu menyuarakan kekehan merdunya ke telingaku. "Kalau kita berduaan, jangan panggil 'pak' lagi, ya. Panggil saja Kak atau... Arta," pintanya seraya mengucap rambut belakangku. "Dan sebaiknya, jangan lagi pake bahasa saya-saya-an. Biar lebih romantis," lanjutnya yang kemudian mengecup daun telingaku. Aku bergidik nikmat.
"Iya, K—Arta! Sa—aku ngerti!" responku dengan perkataan yang tidak karuan.
"I love you, Yuhan." bisiknya laun dan menyentuhku.
"Saat pertama kali baca email kamu, aku kaget, lho," ucap pak Wisnu memecah keheningan sok romantis di antara kami.
"Kaget kenapa?" tanyaku.
"Karena ada hantu yang ngirimin email," selorohnya nampak menahan tawanya. Aku merengut. "Habis itu aku cari-cari informasi soal pemilik email itu, dan tahu dari pak Restu, kalo alamat email itu punya kamu," terusnya bercerita.
"Hm. Pantesan. Dulu pak Restu pernah suruh kumpulin tugas lewat email, sih. Sa—aku mau aja ganti sebenarnya, tapi kontaknya udah terlanjur kesimpan di sana semua." ujarku.
Pak Wisnu tertawa pelan. "Tapi kalo bukan karena email hantu itu, kita gak mungkin bisa begini kan?"
"Iya. Gara-gara email aku, kita akhirnya bisa jadian!" aku berseru senang. Pak Wisnu mendekapku penuh sayang.
Aku serasa terbang diiringi hembus nafas kelegaan dan debaran kencang yang mengantarkan sukaku kepadanya hari ini. Kekhawatiran dan juga ketakutanku tidak berakhir nyata, justru terbalas indah yang tidak terduga-duga. Perasaan senang yang Heri maksudkan ternyata ada benarnya.
Aku menjauhkan wajahku, tersenyum dan kemudian mempertemukan kedua belah bibir kami untuk kesekian kalinya.
Aku ingin memanfaatkan waktu berduaan kami saat ini. Tidak masalah kalau harus sembunyi-sembunyi di luar sana, yang terpenting, kami sudah saling memiliki.
*-Epilog-*
"Wisnu?"
Mendengar nama kekasihku terpanggil, Arta dan aku menoleh ke samping dan mendapati dua sosok cowok yang asing tak asing di mataku. Sepertinya salah satu dari mereka aku kenal, tapi siapa, ya?
"Bian?"
Dan begitu Arta menyebutkan namanya, barulah aku ingat. Dia ini si Bi. Drummer keren dari BMW—Bless My Way, band yang pernah menjadikan kekasihku ini vokalisnya.
"Ngapain lo di sini?" tanya si Bian itu dengan senyuman lebar di bibirnya. Aku melirik Arta yang nampak sedang menatapku lekat-lekat.
"Nge-date," jawabnya santai. Aku mendesis padanya.
Ini kan di tempat umum, kenapa berani sekali dia membawa-bawa perihal kencan kami ke permukaan? Di depan orang lain lagi.
"Oh. Jadi ini ya si Yuhan gebetan lo itu?" Bian menatap aku dan Arta bergantian, membuat aku mengerjap heran. Dia kok sudah tahu namaku?
"Iya. Ini orangnya." ujar Arta seraya mengusap-ngusap rambutku sebentar. Matanya lalu beralih tatap pada satu sosok cowok imut seumuranku yang cuma diam saja menonton kami. "Novan, gimana kabarnya?" tanyanya ke arah cowok itu.
Cowok imut itu menekuk wajahnya, kemudian tersenyum. Ternyata dia memang benar-benar imut. Setara dengan Heri lah imutnya. Imut-imut biadab.
"Gue baik. Lo kapan maen ke studio lagi?" tanya Si imut Novan ramah apa adanya.
"Gue sibuk kerja lah, Nov," jawab Arta sembari terkekeh.
"Gak yakin lo kerja total, apalagi sekarang udah punya pacar," seloroh Bian menggoda yang sepertinya sudah mengetahui kebenaran Arta. Seketika saja wajahku menghangat.
"Gini-gini gue mengutamakan totalitas, ya. Tanya sama Yuhan, kapan sih kami ada main mesra di sekolah?" tutur Arta menanggapi.
Aku mendelik tajam pada Arta. Batinku berseru meresponnya; Sering banget kali. Arta kan nafsuan orangnya. Aku malah pernah nyaris di telanjangi saat kami berdua mojok di toilet guru. Dasar pembohong.
"Eh, lo berdua udah selesai belum?!" seruan nyolot yang terdengar tak jauh dari tempat kami, menolehkan kepala kami secara hampir bersamaan ke sumbernya. Seorang cowok berwajah lumayan judes menatap sebal ke arah kami, di sampingnya ada cowok tinggi yang terlihat sedang berdiri rapat dengannya.
"Iya, bentar!" si Novan balas berseru. Tangannya lalu memegangi tangan Bian. "Yuk, Bi!" ajaknya.
"Kalo gitu kita pergi dulu, ya. Kapan-kapan boleh lah triple date," ujar Bian sebelum berlalu pergi bersama Novan. Meski tangan mereka jadi harus saling melepaskan.
Eh, sebentar...
"Bian sama Novan itu pacaran?" tanyaku. Arta mengangguk pelan. "Oh. Pantes aja." komentarku. Aku lihat Bian, Novan dan dua cowok lainnya berjalan beriringan menapaki rerumputan di taman ini. "Terus, yang dua lagi siapa?" tanyaku masih ingin tahu.
Arta mengerutkan keningnya. "Kalo gak salah cowok yang teriak ke sini tadi itu namanya Alega, sempet mau dijadiin pengganti aku di BMW tapi dianya nolak. Nah, cowok yang bareng dia itu sahabat Bian, kakak si Novan, namanya Giovan. Pacarnya Alega," aku tercengang mendengar penjelasan darinya.
Dunia ini memang semakin tidak waras. Sekarang pecinta dan pasangan sesama jenis ada di mana-mana. Sungguh luar biasa. Ya, aku juga tahu kok kalau kami termasuk di dalamnya.
"Ya udah, yuk! Jadi gak habis ini main perahu-perahuannya?" tanya Arta menyadarkanku.
Aku ngenyir. "Ya jadi lah." setelah itu aku dan kekasihku melanjutkan kencan romantis kami.
Minggu adalah hari di mana kami bisa kencan secara total begini, sebab Arta mendapatkan jadwal liburanya. Seperti sekarang. Tapi aku sih tidak keberatan, yang penting aku dan dia bisa berduaan.
*END*