BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

TEMPEST OF LOVE

1235727

Comments

  • I like blue eyes... :D
  • @boybrownis kita sama donk.. Tos dulu.. yuuu
  • maunya sih mereka bukan sodara kandung..
    karena dihati kecil nih kurang serg aja dengan percintaan sedarah alias incest..
  • @Bun Ayolah... bukankah di semua cerita selalu ada kejutan????
  • ternyata kakak adik ..
    penasaran ..
  • Seandainya aku jd brian yg memiliki ayah yg super duper kaya...
  • @Hendra_bastian Percayalah kita memiliki keinginan yg sama :D

    @DM_0607 tetep penasaran yahh
  • yeniariani wrote: »
    @Bun Ayolah... bukankah di semua cerita selalu ada kejutan????
    iya siihh...
    ya mudah2an kejutan yg menyenangkan @yeniariani
    ok deehh..aku tunggu kejutan darimu..


  • wah, cerita baruuu :3 Aku baru buka bf T..T Keep mentioning me ya TS, sangkyuuu XOXO
  • Kaka adik zone._.
  • kq epilog nya di tamatin ??
    harus nya buat gantung, biar kita penasaran... kurang greget aja kalo baca cerita dah tau ending nya......
    kisah nya mirip golf sama bank..... tp bromance gk happy ending....
    panggil ya kalo update.....
  • @roynu percayalah ini tdk akan seperti yg km pkirkan...
  • ok... aku percaya ... Hehe
  • TOL3-LOVE IS LOVE

    Mata biru kucing itu terbuka dengan perlahan dan memperlihatkan kegelapan di seluruh penjuru. Mata biru kucing itu terus mengerjap seolah meyakinkan kalau dirinya masih berada di kamar yang sama, kamar mewah yang di tempatkan atas dasar perintah sang ayah kandung. Tentu kamar itu masih sama saat Brian meraba seluruh ranjang dan kehalusan yang sangat kentara akan kemewahannya.

    Brian beranjak dari ranjangnya dan membuka sepatu dan jaket kulitnya yang masih menempel di tubuhnya. Tentu dia terlalu capek hingga membawa pakaian lengkapnya tertidur. Seingatnya dia melihat saklar lampu ada di dekat pintu dan benar saja saat Brian meraba ke pinggir dapat merasakan saklar itu dan langsung membuat seluruh ruangan menyala dengan terangnya. Brian mengusap matanya hanya untuk mengenyahkan rasa kantuknya.

    Dia berjalan kearah lemari yang ada tak jauh dari televise dan membukanya, ternyata isinya begitu lengkap dan lemari yang besar itu hampir penuh dengan pakaian. Ayah yang cukup mengerti, pikir Brian tapi tetap saja rasa sukanya tak terlalu besar pada ayahnya itu apalagi mengingat wanita bernama Amber yang di nikahi ayahnya yang belum tentu mencintai sang ayah.

    Perutnya berbunyi dan itu tanda lapar telah menyerangnya mengingat ia hanya memakan roti saat naik pesawat dan sekarang perutnya berdemo meminta sang empunya mengisinya. Brian membuka pintu kamar dan mendapati lampu-lampu hias rumah yang masih menyala. Tentu sudah tak ada kehidupan di rumah besar itu, melihat dari jam saja sudah menunjukkan pukul 03:24.

    Brian begitu bingung karena dia tak tahu di mana letak dapurnya, membuat pemuda berambut spike itu terus melangkah tak tentu arah. Kini ia masih terdiam di bawah tangga, masih bingung dengan arah mana yang akan ia tuju. Rasa lapar semakin menggerogoti perutnya. Brian hanya bisa memainkan kaus putihnya dengan perasaan kesal, kesal karena rumahnya terlalu besar hingga membuat dia kewalahan hanya untuk mencari dapur.

    “Apa yang sedang kamu lakukan?” Suara itu membuat Brian dengan cepat berbalik dan sedikit terkejut tapi ia langsung merasa lega karena suara itu milik sang kakak. Kini jantungnya malah berdetak tak biasa.

    Jam segini apa yang di lakukan kakaknya masih dengan setelan yang sama saat ada di pesta tadi sore. Dan tentu saja kakaknya baru pulang. Brian terus menatap pria bermata grey itu dengan tatapan bingung, bingung harus bersikap seperti apa. mengingat bagaimna sikap kakaknya yang terlalu dingin padanya.

    “Kamu mendengarku? Apa kamu mengigau?” Pertanyaan sang kakak sontak membuat Brian langsung menggeleng.

    “Ak-ku tidak bisa menemukan dapurnya” Jawab Brian dengan sedikit terbata membuat Zac mengulum senyum dari bibir ranumnya.

    “ikut aku” Zac melangkah yang langsung di ikuti oleh adiknya. Mereka sampai juga di bagian dapur yang terlihat tak kalah besar dari ruangan-ruangan lainnya. Zac melepas ponselnya dan membuka kemeja coklaatnya yang hanya meninggalkan singlet putihnya, membuat Brian susah meneguk liurnya melihat tubuh kakanya yang nyaris sempurna di matanya.

    “Kamu ingin makan apa?”

    “Hah” Jelas Brian tak memperhatikan karena pikirannya masih sibuk mengagumi mahluk di depannya yang sekarang sedang memegang wajan dan menyalakan kompor. “Apa saja” Jawab Brian akhirnya, membuat Zac hanya mengangguk.

    Dengan sedikit kelihaian yang di miliki Zac akhirnya makanan ala kadarnya tersaji diatas meja yang ada di dapur dengan satu kursi yang sudah ditempati oleh Brian, Brian menatap makanan itu seolah ragu untuk memakannya. Tapi membuat orang yang dengan suka rela memasak tengah malam untuknya kecewa bukanlah cara Brian. Jadi dengan segala keteguhan jiwa ia menyendok makanan itu dan langsung melahapnya. Tidak enak, itu kesan pertama yang di rasakan oleh Brian. Sungguh jika kakaknya ikut dalam lomba memasak bisa di pastikan ia akan langsung di keluarkan.

    Zac menatap adiknya dengan sedikit bingung. Jelas terlihat kalau ia tak suka makanannya tapi kenapa tangannya terus menyendok makanan itu dengan lahapnya. Apa ia terlalu lapar hingga tak perduli dengan rasanya?

    “Pelan-pelan saja, tak akan ada yang mengambil makananmu” Suara Zac membuat Brian mendongak dan mendapati kalau kakaknya tengah menatapnya dengan bersedekap dan menyandarkan tubuhnya pada dinding.

    “Hanya ingin membuat makanan ini cepat habis” Zac mengerutkan kening, kurang mengerti dengan maksud Brian.

    “Makanan yang kamu buat tidak enak kak, jelas aku harus cepat menghabiskannya agar tak terlalu lama menyiksa perutku” Ucap Brian memperjelas maksud dari ucapannya. Bukannya marah dengan hinaan sang adik Zac malah mengulum senyumnya, dan melangkahkan kakinya mengusap lembut rambut spike Brian. Jantung Brian kembali berdetak memberontak, menginginkan kakaknya melakukan lebih padanya tapi hanya itu. Tentu dia sadar kalau Zac hanya menganggapnya sebagai adik karena begitulah hubungan mereka tak akan menjadi lebih.

    “Kamu orang pertama yang menghinaku” Suara Zac mampu menggetarkan tubuh Brian. Tidak sadarkah Zac kalau dia berdiri terlalu dekat dengan adik yang dengan kurang ajarnya memiliki perasaan lebih padanya. Tapi seolah Zac tak peduli karena sekarang Brian mampu merasakan dada sang kakak menempel di punggungnya.

    “Kak” Suara Brian seolah menyadarkan sang kakak kalau dia berdiri terlalu dekat.

    “Biarkan seperti ini, aku merindukanmu” Entahlah kata itu di artikan sebagai apa. Rindu karena ia baru bertemu dengan adiknya atau rindu dengan kekasih yang sudah lama jauh darinya. Dari caranya tentu semua akan setuju kalau rindu itu lebih pantas di artikan sebagai rindu kepada kekasih tapi siapa yang dapat menebak apa yang sedang di rasakan Zac sekarang.

    “Aku juga merindukanmu kak” Ingin saja kata itu di artikan berbeda oleh Brian tapi apa mungkin kata itu memang berarti beda, tentu saja Brian tak akan mau berharab lebih kepada saudaranya. Biarkan kata itu menjadi biasa agar sakit tak perlu ia rasakan.

    Zac menaruh dagunya di kepala Brian, menutup matanya seolah menikmati moment yang baru pertama kali ia rasakan. Moment yang dapat membuat ia senyum tanpa ada unsure paksaan.

    ***

    Zac menutup pintu dengan langkah berat ia sudah berdiri di depan cermin besarnya, menatap dirinya yang entah kenapa. Suasana hatinya membuat ia tak tenang, kadang bahagia tapi juga bisa sedih dalam seketika. Dia tidak tahu kenapa tapi sangat tahu karena siapa, adik yang begitu menawan di matanya. Untuk pertama kalinya ia begitu tertarik dengan sesama jenisnya, yang membuat ia kalut kenapa harus adiknya yang tentu saja adik kandungnya.

    Berharap kalau salah satu dari mereka berdua adalah anak angkat atau bukan anak biologis dari Alexander Prion tentu saja adalah sesuatu yang sangat mustahil. Mengingat bagaimana kaya rayanya ayahnya dan juga ia begitu ingat kalau ayahnya pernah berkata. “Diana adalah satu-satunya perempuan yang sangat ku cintai dan itu ku buktikan dengan hanya menginginkan anak darinya, tak akan ku izinkan wanita lain mengandung anakku, karena dengan hadirnya kalian berdua di rahim Diana sudah cukup untuk menyempurnakan hidupku. Tak akan kuinginkan anak selain kalian seperti aku tak menginginkan wanita selain ibu kalian” Tentu dari kata itu sangat di perjelas kalau dia dan adiknya adalah saudara yang sedarah tanpa ada unsure adopsi ataupun putra yang tertukar.

    Gelengan kembali terlihat di kepala Zac, kali ini lebih kentara dengan penolakan atas apa yang terjadi di hatinya. Dia benci ayahnya tapi membuat hancur ayahnya lewat adiknya bukanlah hal yang ingin ia lakukan, bukan karena tak ingin ayahnya sakit atau apapun menyangkut ayahnya tapi ia hanya tak ingin Brian terluka atau jika lebih di tanyakan ke lubuk hati terdalamnya dia tak ingin pemuda yang sedang mengganggu hatinya merasakan luka.

    Mampukan dia melawan cinta saat dia sadari cinta itu begitu menawarkan kebahagiaan yang selama ini begitu ingin ia rasakan.

    ***

    Cahaya menobros melewati matanya, siapa yang dengan sengaja membuka tirai. Siapa orang lancang yang mengganggu pemuda bermata grey itu, ia baru saja memejamkan matanya sejam yang lalu jadi tak bisakah orang itu sedikit bertoleransi untuk dirinya.

    “Haruskah aku menciummu seperti dua hari yang lalu atau kamu mau bangun dengan sendirinya karena semua sedang menunggumu untuk sarapan” Tentu saja siapa lagi orang paling kurang ajar di rumah ini selain wanita sialan dengan kincu tebal itu.

    “Bilang aku tak bisa mengikuti sarapan hari ini” Zac masih setia dengan selimut tebalnya dan bantal empuknya. Sesuatu masih setia menggerayangi otaknya.

    “Baiklah aku memang harus naik ke ranjangmu” Tanpa menunggu jawaban dari pemuda tampan itu, Amber langsung merebahkan diri di samping Zac dan memeluknya dari belakang. Tentu wanita bermuka tebal itu tak pernah khawatir kalau ada yang melihatnya karena dia merasa Zac begitu mencintainya dan rela melakukan apapun untuknya termasuk melawan ayahnya.

    Zac dengan kesal dan bangun dari ranjang menghindari Amber, wanita yang terlalu percaya diri. Membuat Zac muak dengannya. Kini Zac bisa melihat senyuman sok manisnya ibu tirinya yang dengan terpaksa harus ayahnya nikahi karena hadiah dari teman, entahlah Zac kurang tahu maksud dari pernikahan ayahnya dengan wanita ini.

    Zac sangat membencinya wanita yang sekarang sedang dengan santainya menyilangkan kakinya dan berbaring di atas ranjangnya, ingin rasanya dia mengenyahkan wanita itu tapi belum saatnya karena ia harus memberitahu ayahnya kalau wanita ini tak pernah baik buat keluarganya, cukup Selena yang menjadi ibu tirinya.

    “Aku akan mandi, keluarlah. Ayahku bisa curiga jika kamu lama di sini, lagipula ada adikku yang bersebelahan dengan kamarku jadi jangan terlalu sering kesini. Aku tidak mau dia sampai curiga” Suara Zac tegas tapi Amber tak bergeming masih dengan posisinya semula bahkan ia sekarang membuka kunciran rambutnya, seolah menggoda anak tirinya.

    “Jangan membuatku bicara dua kali. Kamu tahu aku tidak suka di bantah. Jadi kamu keluar sendiri atau aku yang menyeretmu” Kali ini nada marah Zac membuat bibir wanita itu tertekuk dan dengan kasar ia bangun dan langsung keluar dari kamar sebelum lebih dulu membanting pintu.

    ***

    “Tuanku, apa yang ingin anda lakukan hari ini. Kurasa kita hanya perlu belajar sebentar jadi tuan bisa memanfaatkan waktu kosong anda untuk berjalan-jalan” Suara Moses membuat Brian menghentikan aktifitasnya di bajunya.

    “Aku ingin berdiam diri di kamar, seperti katamu akan ada guru yang datang kesini jadi aku boleh membawa guru itu ke kamarku dan belajar di sini? Pikiran sedang kacau pengawal dan kurasa aku sedang tak ingin di dunia luar sekarang” Jawab Brian panjang lebar.

    “Saya akan usahakan itu untuk anda tapi kita harus sarapan di bawah karena itu adalah rutinitas wajib dan anda tidak bisa tidak hadir. Saya harap tuan segera siap dan keluar ke bawah bersama saya” Brian kembali menatap pengawalnya dengan enggan ia mengangguk.

    Setelah pakaian yang dirasa cukup sopan untuk Brian mengikuti rutinitas wajib itu akhirnya ia berjalan hendak membuka pintu tapi langkahnya terhenti saat dia mendengar pintu di tutup cukup keras, setelah Brian keluar dia melihat wanita bernama Amber itu sedang menuruni tangga, tentu pintu yang di tutup tadi adalah pintu sang kakak, melihat kakaknya tadi malam masuk ke kamar di samping kamarnya tentu tak salah lagi kalau suara itu keluar dari kamar sang kakak.

    “Kenapa dengan wanita itu pengawal?” Ada nada tak suka yang di tunjukkan oleh Brian saat menyebut wanita itu.

    “Saya kurang tahu tuan” Sang pengawal yang tak mau ikut campur hanya menjawab seadanya.

    “Ada yang tidak beres. Kita akan lihat apa itu” Ucapan yang di lontarkan Brian untuk dirinya sendiri itu memiliki makna yang cukup dalam hingga membuat pengawalnya merasa takut kalau sang tuan muda akan melakukan hal yang cukup membuat Amber dan Zac terpojok karena hubungan mereka berdua sudah cukup di ketahui. ada hubungan antara dua orang itu tapi tak pernah ada yng berani bersuara.

    Brian melangkah menuruni tangga dan berjalan menuju tangga di mana papanya telah menunggunya dengan senyuman yang sama saat pertama kali mereka bertemu. Brian menatap lekat wanita bernama Amber yang sekarang tengah menunduk dan ada riak kesal di wajahnya, dugaan Brian tak pernah salah. Brian duduk di kiri ayahnya sedangkan Amber ada di kanan Alex.

    “Bagaimana tidurmu nak?” Sapa sang ayah lembut.

    “Baik papa, tak ada yang mengganggu selain lapar jam 3 pagi dan bertemu dengan kakakku yang langsung membuatkanku makanan ala kadarnya” Brian jujur itu titik positivnya dan Zac harus berdiri canggung di dekat meja mendengar penuturan sang adik yang terang-terangan, mengingat ia baru pertama kali ia mau repot dengan orang lain, ia takut ada yang akan curiga tentang perasaan melencengnya.

    “Papa tahu itu akan terjadi, kakakmu sudah dari dulu merindukanmu. Sikap dinginnya kemarin hanya topeng saja” Ternyata sang ayah menganggap itu biasa malah senang anaknya ternyata Nampak akur-akur saja.

    “Tidak pernah ada topeng Pa” Kali ini Alex makin terkesiap karena anak sulungnya berbicara hangat padanya, tidak ada lagi rasa benci di suara sang anak sulung tentu itu karena kehadiran Brian yang mungkin bisa sedikit membuat anaknya melupakan kesalahannya di masa lalu.

    “Maafkan saya tuan, saya tidak melayani tuan muda dengan baik” Suara menyesal dari mulut Moses yang sekarang tengah menunduk dengan riak takut.

    “Tak ada yang salah denganmu pengawal karena aku sendiri yang tak memanggilmu. Dan tentu saja Papaku tidak akan marah padamu karena dengan turunnya aku, malah membuat kakakku dengan susah payah menyiapkan aku makanan yang tentu saja tak terlalu enak tapi aku tahu dia menyayangiku dengan mau merepotkan dirinya sendiri hanya untuk mengurus adiknya yang lapar” Semua kini menatap kearah Brian, tentu saja ini adalah percakapan terpanjang yang terjadi di meja makan karena dari dulu hanya suara sendok garpu yang beradu yang menjadi hiburan sarapan tapi sekarang semua terasa berbeda dengan adanya Brian yang selalu bicara apa adanya.

    “Kamu mirip Diana, aku menyayangimu nak” Alex berbicra dengan nada sedih membuat kedua putranya menatap dengan sendu kearah Alex.

    Setelah berkuta beberapa menit dengan sendok garpu akhirnya sarapan mereka selesai juga, kini piring sudah di angkat oleh para pelayan dengan cekatan tanpa mengganggu tuannya yang masih duduk di kursinya masing-masing.

    “Ada yang mengganggu pikiran ku Pa” Brian kembali membuka suara. Membuat semua kembali menatap kearahnya

    “Ceritakan pada Papa” Jawab Alex.

    “Saat aku hendak keluar dari kamarku, aku mendengar suara pintu kamar di tutup dengan keras hingga membuat aku terlonjak kaget, dan saat ku buka pintu ternyata tante Amber berjalan menuruni tangga, setahuku di ruangan atas hanya ada kamarku dan kamar kakakku dan sudah pasti dia habis dari kamar kakakku, tidak mungkin dia bermain di teras atas jam pagi tadi dan kuaras juga salah satu dari mereka yang menutup pintu. Aku hanya heran Pa, ada masalah apa sama mereka hingga membuat keributan sedemikian rupa” Suara Brian bagaikan pukulan telak buat Amber membuat wanita itu hanya menatap nanar, rasa takut menggerogoti tubuhnya.

    “Apa benar yang di ucapkan putraku Amber?” Nada menukik dari suara suaminya membuat Amber hanya diam terpaku, dia mencoba melirik Zac tapi pemuda itu dengan tenangnya memainkan ponselnya.

    “Zac begitu susah di bangunkan hingga membuatku kesal” Bohong wanita itu.

    “Dimitri, sepertinya ini waktunya rapat dengan pak Andrew. Sebaiknya kita cepat pergi, aku tidak mau kalah dalam tender ini”

    “Baik tuan”

    Zac dengan tenangnya berlalu bersama pengawalnya tanpa peduli dengan situasi yang sedang panas karena ucapan adiknya. Amber semakin tak tahu harus berbuat apa, melihat Zac malah meninggalkannya sendiri.

    “Kenapa kamu yang membangunkannya?” Kecurigaan semakin kentara di wajah Alex.

    “Pelayan yang kamu suruh membangunkannya sedang ku suruh hal lain, hingga aku sendiri yang harus turun tangan membangunkannya. Aku bersumpah hanya itu.” Alex meninggalkan meja makan di sertai dengan Brian. Kini hanya tinggal Amber sendiri dengan kegelisahannya.

    ***
Sign In or Register to comment.