It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Kamu mengenalnya?"
"Pastilah, dia pernah memenuhi skandal di kanada dulu. Bahkan katanya dialah si raja bisnis. Anak bungsu dari keluarga Wicaksono" Aku hanya bisa menganga.
"Kamu serius?"
"Sepertinya ada sesuatu hingga ayahmu berlaku seperti itu," Erwin terlihat berpikir.
"Sesuatu seperti apa?" Gelengan Erwin membuatku hanya bisa menjambak rambutku.
Kulangkahkan kakiku kearah tangga menuju kamar tapi langkahku terhenti saat ku dengar suara papa memanggil.
"papa sudah siapkan baju untukmu, sebaiknya kamu cepat karena papa ingin memperkenalkanmu pada seseorang." Rasanya papa terlalu berubah, aku tak habis pikir kenapa papa jadi dingin padaku.
"ya pa" tak ingin berdebat aku hanya mengiyakan.
"Masuk!" Pintuku terbuka mendapati sosok kakakku yang sedang berdiri dengan senyum menenangkan.
"Boleh kakak duduk?"
"Tidak ada larangan di sini kak." Kakakku tersenggih dan langsung menempati tempat kosong di dekatku.
"Kamu marah sama papa?"
Aku menggeleng. "Mungkin memang aku yng salah sampai papa harus seperti itu padaku"
"Kamu tidak salah dek, hanya keadaan yang sedang tidak berpihak pada keluarga kita." Aku menatap kakakku yang terlihat tak kalah lelahnya denganku.
"Aku tidak mengerti" jawabku lirih.
"Prusahaan kita sedang krisis keuangan."Aku membekap mulutku dengan kedua tanganku, aku sungguh terkejut karena memang aku yang tak pernah tahu soal masalah apapun dalam perusahaan tersebut.
"Te..rus?" Tanyaku terbata.
"Argga adalah satu-satunya orang yang dapat membantu dalam masalah ini." Aku bagai di lempar kedalam kuali besar dengan air yang sudah mendidih dan itu cukup membuat tubuhku memanas.
"Papa harap kamu mau menerimanya." Suara kak Rion yabg terdengar biasa malah tak biasa buatku. Menerimanya dalam hal apa? Menjadi atasanku kah? Tapi aku rasa bukan itu maksudnya.
"Aku tidak tahu kalau harus menerimanya dalam hal urusan kerja, membuat kakak berkata dengan suara tertahan seperti tadi." Aku berucap dengan nada ragu, berharap kalau memang urusan kerjalah yang kakak bahas.
"Ini bukan soal kerjaan dek," Mataku menatap nyalang ke arah kakakku yang sedang sibuk menggigit bibir bawahnya. Jelas kalau dia mencoba menahan hal yang ingin ia utarakan pada adiknya yang manja.
"Papa ingin menjodohkanmu dengan dia." Demi apa ucapan itu harus keluar dari bibir kakakku. Tidak mungkin aku mau dengan bangsat yang satu itu.
Papa memang sudah tahu mengenai Orientasiku dengan kak Rion tapi menceburkan anaknya dalam lubang hitan sungguh membuat dadaku di hantam rasa perih tak berkesudahan. Aku ingin mati saat ini juga.
"Kakak bercanda kan?" Tanyaku mencoba menghibur diriku.
"Maafin kakak dek, andai aku bisa menggantikanmu maka dengan senang hati aku akan melakukan itu tapi semuanya hanya mengarah ke jalan buntu dan kakak malah tak bisa berbuat apa-apa." kakakku berucap dengan nada pasrah dan serta merta bahuku mengendur lesu.
*'
Penampilanku tak ubahnya bagai topeng buat hidup yang akan ku jalani ke depannya. Aku sekarang adalah bonekanya papa. Bahkan pria yang ku cintai yang sangat ingin ku temukan malah semakin membuatku tersiksa. Aku berharap tak pernah lagi bertemu dengannya, tak ingin rasanya menyeretnya ikut menderita dalam drama menyakitkan yang tengah ku hadapai.
Disinilah kami restaurant jepang termewah yang pernah ku datangi. Aku duduk di tengah antara papa dan mama, sementara Rion duduk di dekat papa.
Tak lama menunggu keluarga Wicaksono datang dengan senyum lebarnya yang sama-sama memuakkan seperti senyum si bajingan Argga yang malah sekarang duduk di tempat duduk papa.
Papa duduk di dekat ayah Argga dan mengobrolkan sesuatu yang tak penting.
Rasanya gerah tiba-tiba menyelimutiku. Sementara kak Rion hanya menatap ku dengan tatapan prihatin. Aku juga kasihan dengan diriku.
Mataku terangkat saat melihat salah satu pemuda yang duduk di dekat ayah Argga, pemuda itu terliah tergesa dan tersenyun pada wanita yang kurasa adalah orang yang sangat spesial buatnya melihat dari caranya memperlakukan wanita itu.
"Effan" Suaraku begitu lirih, lemas menyelimuti tubuhku saat mata elang itu menatapku dan senyum lebarnya terkembang dengan hangat.
Ya tuhan, apalagi ini?
"Dia memang lebih menarik daripada dirimu"
"tapi kamu milikku"
Aku menatapnya dengan tatapan tak sukaku dan dapat di pastikan kalau keluarganya tahu itu.
"Kenapa harus aku?" Pertanyaanku itu mendadak terlintas di kepalaku, senyum itu lagi-lagi.
"Karena memang harus kamu" Tidakkah mahluk di sampingku ini menyebalkan, rasanya aku ingin lari dari sini andai aku tak ingat atas dasar apa aku berada di sini. Boneka papa.
"Kamu menyebalkan, sungguh."
"aku cinta kamu" Kata apa yang barusan ia ucapkan? Cinta? Aku tersenyum sinis, mendapati cowok tak punya hati ini mengaku cinta padaku. Apa yang di pikirkan otaknya sampai ia bisa dengan segampang itu mengaku kalau ia mencintaiku. Jelas-jelas aku membencinya.
"Siapa dia?" Aku bertanya tentang Effan yang dari tadi kulihat hanya sibuk bicara dengan gadis manis yang ada di dekatnya. Setelah ia tersenyum padaku ia tak lagi menatap ke arahku. Apa dia melupakanku? Itu sangat menyakitkan kalau memang benar seperti itu kenyataannya.
"Effan dimas, Pacar adikku" Tanpa dia katakan juga orang akan tahu kalau mereka pacaran tapi kenapa dadaku masih saja terasa sakit mengetahui kenyataannya. Aku patut bersyukur karena Effan lebih pintar dengan memilih wanita itu sebagai kekasihnya daripada aku yang hanya seorang boneka sialan. Aku rasanya ingin menangis saat ini juga andai saja aku tak sadar kalau aku adalah cowok.
"aku ingin ke toilet"
"mau ku antar?" Tawarnya, aku menatap tajam kearah matanya dan kulihat dia hanya tersenyum.
"Sialan" Gumamku.
*'
Saat dulu kusadari kalau kakakku ternyata mencintai orang yang aku cintai rasanya sungguh sakit, tapi ini lebih sakit dari semua itu bahkan sakitnya melebihi rasa sakitku melihat pacarku mencium lelaki lain. Sungguh sekarang rasanya aku bagai hangus terbakar dengan pisau yang di tancap ke ulu hatiku. Aku ingin menghilangkan mereka semua.
Sejak kapan sebenarnya hidupku hancur kenapa sekarang semua jadi total berantakan.
Aku membasuh wajahku dengan air wastafel yang sedari tadi aku hidupkan tapi tak ku sentuh. Rasanya memang segar tapi panas itu masih juga menggelayuti ulu hatiku.
Aku mendengar pintu toilet terbuka dan cukup nanar menatap seseorang yang tengah berdiri di belakangku. Effan dengan senyuman hangatnya yang malah sekarang terasa hanlmbar buatku.
Aku rasa ini saat yang tepat untuk pergi.
Aku tidak pernah tahu kalau jalan takdirku akan jadi serumit ini bahkan kalah sama rumitnya cerita cinta yang sungguh terkenal di seluruh pelosok dunia.
Tanganku di cekalnya saat aku hampir sampai di ambang pintu, tak hanya sampai di situ bahkan ia menyeretku ke dalam bilik toilet yang kosong.
Aku menatapnya sengit dan menepis keras tangannya yang dari tadi tak melepas pegangan di tanganku.
"Apa mau anda?" Tanyaku mencoba bersikap seformal mungkin. Dia tersenyum dan senyum hangat itu lagi.
"Dugaanku benar, kamu melupakanku. Semudah itukah?" Nada suaranya terdengar pahit. Jadi dia kira aku melupakannya yang memang tak menyapanya dari tadi tapi buat apa aku menyapa jika melihat dia tengah sibuk dengan wanita lain.
"Kamu terlalu sibuk dengan wanita itu" Ada nada cemburu di suaraku dan aku benci akan hal itu.
dia tertawa. "siapa yang bilang dulu akan meneriaki namaku walau aku sedang bersama orang lain?" Matanya terlihat antusias. ya tuhan dia bahkn masih ingat dengan kata-kataku itu. Aku acungin jempol untuknya karena telah membuat hatiku menghangat.
"hmmm sepertinya aku menarik ucapanku yang itu"
"Semudah itukah?" dia tersenyum semakin merapatkan tubuhnya padaku. Dadaku bergetar hebat.
"Semua tidaklah mudah karena aku menunggumu terlalu lama" Hampir saja suaraku akan terdengar seperti desisan kalau saja aku tak cepat menyadari hal yang akan membuatku malu.
"Aku berpengaruh besar pada hatimu" Dia terlalu percaya diri tapi dia seutuhnya benar.
"Terlalu percaya diri"
"Benarkah.." kali ini suaranya terdengar seperti desahan yang mampu membuat otakku tak bekerja dengan baik. Dia menghilangkan titip fokusku. Sial.
"Kalau masalah hati yang kamu maksud tentu saja dia kalah start denganmu karena kamu adalah pemilik hatiku seutuhnya." Aku suka dengan caranya mengatur kalimat yang begitu eksotis. Sungguh aku gila padanya.
"Jadi..." Aku tak tahu mau melanjutkan apa, hanya berharap ia bisa mengucapkan sesuatu yang mampu membuatku tenang dalam pergulatan antara batin dan hatiku.
"Ini sebuah permainan, aku yakin akan keluar sebagai juaranya" Suaranya kini berada di dekat telingaku membuat merinding antara sensasi dingin dan hangatnya.
"Bagimana kalau aku cemburu?" aku berusaha mengunci tatapku di area matanya.
"Maka semua berakhir dan aku kalah. Menyakitimu adalah kekalahan buatku jadi jangan pernah merasa tersakiti" Aku dapat meraskan kehangatan bibirnya yang mengecup telingaku.
"Aku tidak janji untuk hal itu" Aku mendengar ia tersenggih dan mendaratkan ciuman kilat di bibirku.
Aku terpaku menatap layar ponselku, bodohnya tak memintanya nomornya jadi beginilah menahan haus rindu.
Ponselku berdering dan tertera nama Erwin di sana dan dengan cepat ku geser tombol hijaunya.
"Ehh gimana acara ketemu calon mertua?" Aku mendengar Erwin terkekeh geli.
"Sialan" umpatku dan ku dengar ia terbahak.
"So?" Tanyanya menggantung, aku hanya memutar bola mataku dengan sebal.
"Aku bertemu dengannya" Semoga ia mengerti hanya dengan kalimat yang aku lontarkan.
"Aku tahu kamu bertemu dengannya, yang kutanyakan di sini bagaimana keluarganya" Erwin lemot, kesal.
"Kamu tahu kan siapa yang aku maksud?"
"maksudnya" Kali ini aku benar-benar kesal sama ni mahluk kesayangan kakakku.
"Effan"
"oh... apa? maksudmu Effan yang jadi stranger kesayanganmu itu? Effan yang itu kan?" Aku jadi tersenyum dengan resfon yang di berikan Erwin.
"ya"
"Kok bisa?"
"Dia pacar dari adiknya Argga" Ucapku miris.
"Wah kamu sedang patah hati donk?" Aku mendengar ia bergerasak gerusuk.
"Kami tadi ciuman, di toilet"
Senyap
"Win?" Aku memastikan ia masih hidup.
"Kamu mau jadi jalang?" Resfonya tercengang.
"Kalau untuk dia kenapa tidak" Aku cekikikan dan dapat ku pastikan ia tengah menganga di kosannya.
"Wah mau berakhir sepertiku?" Aku jadi ingat kejadia dia nolong kakakku yang hampir terjatuh dari gedung itu.
"Tapi akhirnya bahagia kan?"
"Please zi..."
"Aku mau jenguk Arya besok, mau ikut gak?"
"Gak"
"Kakak kamu bisa bunuh aku"Aku tertawa terbahak.
"Kakakmu pembunuh berdarah dingin, percaya deh sama aku" Dia terdengar sedang makan sesuatu.
"kamu cinta tapi kan sama yang dingin-dingin seperti kak Rion?" tanyaku menggodanya
"iya, apalagi bibirnya yang dingin itu sering nempel di bibirku"
"Ewww jalang"
"Aku kakak iparmu yang jalang"
"Ogah" dengan cepat ku matikan sambungan dan menaruh ponselku di nakas.
Aku bergegas masuk selimut dan membayangkan wajah yang membuatku mendamba.