It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@balaka
@lulu_75
@abong
@ricko_syilendra
@centraltio
Aku meletakan sendok. Merasa geram, aku menyerah. Pasrah. Aku sangat yakin, sekarang wajahku pasti terlihat kecut. Pertama kalinya dalam hidupku, aku bahkan tidak bisa memasukan paling tidak satu sendok makanan kedalam mulutku.
Tangan sialan ini rasanya sangat nyeri, bahkan sangat susah untuk digerakan. Pasti sesuatu yang tidak diinginkan terjadi malam lalu. Aku yakin.
“Kenapa?” William menatapku dengan mata biru gelapnya. Merasa heran. Tersenyum. Kemudian membuka bibirnya, mengisyaratkan agar aku segara menyelesaikan makanan yang ada dihadapanku.
Aku menggeleng.
“kau tidak suka nasi goreng? Kenapa tidak bilang? Jika aku tau, aku bisa memasakanmu makanan yang lain.” William terlihat merengut, matanya intens menatap kearahku.
Nah? Bukan begitu maksudku. Apa sekarang dia marah denganku? Astaga tidak! dia salah memperterjemahkan bahasa isyarat konyol ku.
“Tanganku nyeri, susah digerakan.” Aku menyerah. Apapun yang terjadi, aku tidak akan menyentuh makanan ini sampai kapanpun. Bahkan seandainya aku bisa sekalipun. Hilang sudah nafsu makanku.
William tersenyum.
Nah? Sekarang kenapa lagi dengan pria ini? Oh, dia begitu labil. Perubahan yang aneh.
“kenapa tidak mengatakannya dari tadi,” William menguatkan rahangnya, kemudian mengangkat sedikit keatas alis kanannya.
Demi tuhan, dia terlihat aneh. Tapi menawan. Ku pikir aku menyukainya, dia terlihat seksi... astaga? Kenapa dengan diriku?
Pasti alkohol masih mempengaruhiku, aku sedang mengalami ketidakwarasan sekarang. ya, aku yakin pasti alkohol sialan malam lalu masih mempengaruhiku. Aku yakin! Tidak mungkin aku menyukai pria ini. Tidak mungkin, sama sekali tidak. Jelas dia seorang pria, sama denganku.
Tidak! William berdiri. Menghampiriku, duduk disampingku. Menghadap kearahku dengan senyum mengambang disisi bibirnnya.
Aku melotot kaget.
Tangan William meraih sendok dipiringku. Menyatukan jari-jari putihnya dipunggung sendok. “Buka mulutmu?”
Apa? Aku? Maksudnya aku? Tidak, ini tidak masuk akal. Diluar logika. Dia pria... dan aku pria.
“aku?” astaga! Pertanyaan bodoh macam apa lagi yang keluar dari mulutku sekarang?
“Menurutmu ada seseorang di sini selain kita berdua?” bibirnya mengukir senyum geli.
Dia benar. Kata-katanya begitu jelas menyatakan bahwa sekarang-aku-sedang-bertingkah-bodoh –secara halus tentunya.
“oh.”
Aku melonggarkan rahangku. Membuka secara perlahan sisi bibirku.
Ayolah sialan! masukan dengan cepat makanan itu kemulutku, aku menggerutu dalam pikiranku sendiri dengan William. Jantungku kembali berdegub. Ada suatu percikan, hangat, geli dan banyak lagi yang sangat tidak mungkin dapat digambarkan. Aku masih bingung dengan tubuhku sendiri.
Satu suapan menyelinap kedalam katupan rahang dan lidahku. Rasanya nikmat... tidak ada yang lebih nikmat dari makanan ini. Aku sangat yakin. Dan jika aku tidak salah, ada sesuatu yang menyengat didalam tubuhku menuju detak jantung organ tubuhku. Rasanya aneh, tetapi nikmat.
“bagaimana rasanya?” William membentuk garis dengan kedua sisi bibirnya.
“tidak begitu buruk,”
Kau berbohong, Andi Prayoga! Alam bawah sadarku merengut.
“Bagus, sudah kubilang. Tidak terlalu buruk,” simpul William.
William kembali memberikan satu suapan lagi kearahku dengan jari-jarinya yang telihat... agak seksi.
Astaga, bagaimana bisa aku menyatakan jari-jari seorang pria sebagai bentuk sesuatu yang seksi?
“lagi?” William mengisyaratkan satu suapan lagi kearahku.
Aku mengangguk.
William terus mengulang tindakannya memasukan satu sendok makanan kedalam rongga rahang dan lidahku. Hingga selesai. Hingga aku begitu kecewa. Hingga sesuatu yang terasa nikmat telah berakhir. Nah? –aku tidak begitu yakin apa yang membuatku merasa ‘ternikmati’.
“Sudah selesai.” William tersenyum kearahku. Tangannya menggapai piring nasi gorengnya, kemudian meletakannya kesamping. Aku begitu bingung.
“Kau tidak makan? Tidak lapar?” tentu saja dia lapar, Andi Prayoga! Alam bawah sadarku geram dengan semua pertanyaan bodohku belakangan ini.
“Tidak...”
William tersenyum aneh kearahku. Rahangnya terlihat keras. Bibirnya yang membentuk garis kembali dibukanya hingga membuat rahangnya lebih rileks. Jari-jarinya masih bergumul dengan punggung sendok. Oh? –sendok makan yang baru saja dia gunakan untuk menyuapi aku.
“Bukannya kau tidak ingin makan?” aku semakin di buat William bingung.” Nasi goreng mu? Belum dihabiskan.”
Dia memberi senyum simpul selama beberapa detik. Kemudian jari-jarinya yang masih memegang punggung sendok itu meluncur kedalam rongga mulutnya. Masuk melewati tepi bibirnya. Rongga rahangnya. Kemudian berhanti diatas lidah kemerahannya.
Aku terkesiap. Astaga? Ya tuhan, dia menjilat dengan penuh nafsu sendok kosong itu. Dia gila? Atau dia sinting? Oh, seseorang, bantulah aku menepikan pikiran ini.
“Aku tidak gila, dan aku tidak sinting, dokter Prayoga.” Dia berbicara seperti seorang ahli telepati. Aku segera menepikan pikiran konyolku. “Aku merasa kenyang dengan ini.”
Baiklah, dia memang gila. Sinting. Dan bodoh secara bersamaan. Tidak ada lagi keraguan.
“Aku rasa begitu,” aku tidak memiliki kata-kata lagi. Begitu, ‘aneh’.
William kembali membentuk senyum dengan bibirnya. “Kau ingin mencobanya?”
Astaga!? Aku betul-betul kehabisan kata. Kenapa denganku? Percikan itu semakin menjadi-jadi. Dan aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan diriku –ada sesuatu yang telah mengeras dibalik kain boxer yang aku kenakan. Aku juga menyadari otakku sedang tidak waras dalam beberapa detik ini.
Tidak! Ini salah.
William berdiri. Menghadap kearah ku. Tangan kananya masih dengan kompeten memainkan sendok kosong itu didalam gulatan bibir dan lidahnya.
“Aku berharap... aku bisa mendapatkan sesuatu yang lebih. Kau tahu, lebih dari sekedar bekas bibir dan lidah.” Matanya menyipit aneh kearahku.
Aku mematung.
“Baiklah, sudah pukul 9. Aku harus pergi untuk kuliah,” William melangkahkan kakinya menjauh dariku. Langkahnya yang elegan dengan santai menuju pintu ganda yang menghubungkan ruang apartemenku dengan koridor luar apartemen.
Aku masih mematung. Terlihat begitu bodoh.
William berhenti diambang pintu. Ekspresinya tenang. “ngomong-ngomong, aku boleh meminjam bajumu kan, Dokter Prayoga? ” dia terlihat berpikir.”Kau tahu, bajuku kotor.”
Apa?
“Andi! Panggil aku Andi...” aku terkesiap.
“Baiklah. Jadi aku anggap sebagai boleh. Jadi kita bisa bertemu kembali,” William menghilang dibalik pintu ganda.
Hanya aku didalam ruangan ini. Merenung... spekulasiku yang paling tepat untuk sekarang adalah. Dia gay! Ya, dia gay. Dan aku? Entahlah... aku tidak merasa jijik dengannya. Aku merasakan hal yang sebaliknya. Mungkinkah?
Tidak! Tidak! aku bukan orang seperti dia. Aku harus lebih kuat menghadapai hipnotisnya. Dia hanya menghipnotisku! Ya, dia tukang hipnotis.
Aku segera menepikan pikiran konyol dan tidak warasku. Ya tuhan, akhiri permasalahan rumit ini.
bersambung ke chapter 3 : this is dream!
***
ANDI PRAYOGA
***
WILLIAM STENDREY
***
ANDI PRAYOGA DAN DIAN ROSALINA
***
Writer : EvanFarrel
@lulu_75 bisa jadi iya, hehe
boleh aku ikut dimention entar.
@balaka
@lulu_75
@abong
@ricko_syilendra
@centraltio
@agova
@3ll0
Aku bergidik. Menatap ngeri kearah layar iphone ku.
Kenapa denganmu, Andi Prayoga? Alam bawah sadarku meringkuk karena bingung. Oh? Bahkan alam bawah sadarku saja bingung.
Sudah dua minggu. Ya, sudah dua minggu, hanya dua minggu. Dua minggu yang sangat menyiksa dari sekian hari-hari yang ada di dalam hidupku. Aku merasakan ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang lebih menggelisahkan dari saat aku kehilangan Dian. Ini, lebih dari sekedar rasa kehilangan... ini adalah rasa ingin memiliki. Rasa ingin merasakan. Rasa ingin mencoba. Rasa penasaran. Begitu besar, ya! sangat besar. Bahkan aku tidak bisa mengendalikannya.
Apakah aku gila? Apakah aku sekarang mengidam penyakit autis? Apakah sekarang aku harus berobat? Pergi kepsikiater? apa Aku trauma? –mungkin bisa jadi, ya.
Aku hanya bisa meringkuk merasakan ini. Meringkuk tersiksa dengan kegelisahanku yang teramat konyol ini. Konyol karena aku memikirkan seorang pria, dia pria! Dan aku pria. Aku tidak mungkin menjadi gay hanya kerena dua kali pertemuan dengan pria ini!
Kenapa dengannya? Apakah dia menghipnotis aku? Oh tidak! Dia telah menghipnotisku. betul-betul sampai keujung akar perasaanku.
Kenapa denganku? Kenapa dengan William? Pikiran ku terus meraung kesal. Memantulkan perasaan itu terus menerus.
Dan sekarang? aku berharap layar iphoneku bergetar dan menampilkan sebuah pesan singkat dari William agar aku dapat menghubunginya balik. aku betul-betul bergidik ngeri dengan harapan konyol kurang warasku barusan.
Dia begitu... mengerikan, menyiksaku dengan ini!
Aku masih menyukai wanita! Aku masih menyukai wanita! Aku bukan penyuka sesama jenis! Ini hanya perasaan labilku saja, aku terus mensugesti alam bawah sadarku. Nah? –Hasilnya tetap nihil.
Aku harus mencari pacar. Mungkin suster Elly?
Ya, pacar. Pacar wanita adalah kunci jawaban dari semua ini.
***
Aku ragu saat mendekati lobi setelah melewati koridor. Waktu menunjukan pukul 10:00 malam. Aku akan segera pulang untuk memperbaiki perasaan kurang waras ini. Tapi sebelumnya aku harus menanyakan suster Elly apakah dia ingin berkencan denganku malam ini.
Ini sulit. Mengerikan. Menjijikan... tapi bagimana lagi? Aku harus memperbaiki sistem kejiawaanku yang sekarang. walaupun itu harus bertentangan dengan alam bawah sadarku.
“Hei, belum pulang?” aku menyapanya dengan ragu. Kikuk. Sungguh terpaksa.
“oh?” dia begitu terkejut.
Oh tentu, ini pertama kalinya dalam hidupku dan suster Elly –bahwa akulah yang menyapa suster Elly terlebih dahulu. Ini pertama. Dalam hidupku! Tentu dia sangat terkejut.
“Ya, saya-akan-segera pulang, dokter Andi.” suster Elly terlihat gugup. Takjub. Kolaborasi ekspresi wajah yang aneh.
Kau tidak harus melakukan ini, Andi Prayoga! Alam bawah sadarku menyakikankan.
Tentu aku harus. “Umm... kau ada waktu luang besok? Malam? Kita akan akan makan malam. Apakah kau bisa?” aku tidak yakin dengan diriku sendiri. Nada suaraku begitu terpaksa.
“ya, tidak... tidak, maksudku tentu ada. Setelah selesai sip. Aku bisa.” Suster Elly begitu terkesiap. Wajahnya memerah gelap. Bibinya bergetar.
Oh tidak, aku sekarang merasa bersalah karena memanfaatkan suster Elly.
“baiklah, terimakasih... Elly.” Aku berusaha mengucapkan nama suster Elly tanpa embel-embel ‘suster’. Begitu menjijikan. Rasanya seperti mengularkan kotoran dari dalam rongga bibirku.
“Ya, dokter... tentu.” Suster Elly terlihat seperti dihidupkan kembali dari kehidupannya dan dari kehidupannya lagi. Ekspresinya aneh.
“Aku akan pulang,”
“tentu.” Suster Elly mempersilahkan. Tentu dengan ekspresi anehnya.
Aku segera mempercepat langkahku menuju tempat parkir. Menuju mobilku. Aku mencoba menepikan rasa menjijkan ini. Menepikan perasaan tidak warasku, yang pada akhirnya semakin membuat semuanya menumpuk.
Kenapa denganku? Ya tuhan! Ini melelahkan.
Aku memasuki mobilku. Menyusupkan kunci kedalam lubang kecil. Memutarnya, dan kemudian seberkas cahaya muncul. Aku segera dengan cepat melajukan mobilku menuju apartemen. Sangat cepat, secepat perasaan ini muncul terhadap William. Aku sudah tidak waras lagi. Begitu tidak waras.
Aku menekan tombol mp3. Berharap musik paling tidak dapat mengalihkan semua pikiran tidak warasku ini barang sebentar saja.
Suara musik memenuhi isi mobil. Begitu nyaring.
Oh, aku mengenal musiknya... Mozart, aku ingat judulnya symphony 80. Ya, Symphony 80. Sangat merdu. Mengubah perasaan. Bersemangat. Indah. Sejenak perasaanku terasa tertepikan. Tetapi tidak sampai hilang dan lenyap.
William sialan! Aku mengumpat keras.
Musiknya terus terulang-ulang. Hingga aku sampai di apartemen. Oh, aku bahkan tidak sadar, aku begitu menikmati moment menepikan perasaanku ini. Begitu menikmatinya.
Sekarang pukul 09:48, aku segara menepikan mobilku ketempat parkir.
Saat memasuki dua pintu besar, kemudian aku menuju koridor apartemen. Aku berdiri, menunggu lift.
Lima detik kemudian, pintu lift terbuka. Aku segera masuk.
Ya tuhan! Wajahku sekarang pasti terlihat masam. Aku sungguh tidak ingin melihat pantulan wajahku sekarang didalam lift. Ini menjijikan.
Pintu lift kembali terbuka.
Aku segera menuju pintu apartemenku. Kemudian membuka pintunya dengan tergesa-gesa. Masuk. Menyalakan televisi dengan suara keras. Aku berbaring sambil menatap kosong kearah tembok. Tanpa mengganti pakaianku. Tanpa mandi. Tanpa apapun. Aku hanya langsung berbaring, terdampar di dalam pulau suram. Dunia mengerikan muncul didalam hidupku. Aku memejamkan mata, menikmati dunia baru ku ini, hingga aku terlelap dalam buaian rasa kantuk.
***
Suara alarm sedikit mengejutkanku. Aku meringkuk, merasakan hal yang sangat berbeda hari ini. Tubuh berbau. Bajuku basah. Rambutku acak-acakan. Oh? Aku betul-betul tidak waras.
Segera aku menjangkau alarm yang ada disampingku. Di meja ruang tengah.
Aku berdiri, memikirkan beberapa hal waras pagi ini. Masih pukul 06:00 pagi. Aku ingin kembali tidur, tetapi merasa ragu. Karena pertama kalinya didalam hidupku, William sialan itu bahkan muncul didalam mimpiku. Dia brengsek! Aku sudah berusaha menepikan perasaan ini. Lalu? Dia datang. Didalam mimpiku. Dengan senyum sialannya itu.
Ya tuhan, sangat melelahkan hidupku akhir-akhir ini. Aku mendengus, mengambil nafas panjang. Mencoba menstabilkan emosiku sekarang.
Aku berdiri pasif untuk menuju kamar mandi, kemudian dalam beberapa detik sebelum aku sempat melangkah. Iphone ku bergetar.
Oh tidak! William kah? Alam bawah sadarku terkesiap. Dengan ragu aku menggapai iphone ku.
ohh, ternyata pesan dari ibuku. Ini sangat membuatku khawatir, aku mendengus lega.
Ibu : sayang, sepupu mu boleh berkunjung? Kamis depan dia akan menuju apartemenmu. Dia sangat bersemangat.
Tunggu dulu? Sepupuku yang mana?
Aku duduk. Mengehentikan langkahku untuk menuju kamar mandi. Aku menumpukan kepalaku pada sisi lenganku yang bertopang pada pinggir lengan sofa yang berbentuk huruf L.
Prayoga : tentu, bu. Siapa?
Ibu : kamu sudah lupa? Wildan? Sepupumu di Bandung?
Baiklah, aku melupakannya. Aku tidak mengingat nama Wildan, apalagi dari bandung.
Prayoga :oh, iya. Aku ingat, bu. Aku akan menyambutnya...
Berbohong bukan salah satu kebutuhanku. Tapi untuk saat ini, aku membutuhkannya –kebohongan.
Ibu : Terimakasih sayang. Mungkin dia akan tinggal menetap, dia dari desa. Dia akan kuliah disana, tinggal bersamamu. Love you son.
Apa? Tinggal? Kemana arah pembicaraan yang menyimpang ini?
Prayoga : Bu, bukannya tadi untuk sementara? Berkunjung bukan?
Aku harus menampung anak desa? Ada yang lebih buruk dari ini?
Ibu : Ibu menyayangimu. Ibu percaya padamu,
Oh tidak? kata-kata itu. Kata-kata andalan dari ibuku. Dan... aku kalah. Oleh kata-kata ibuku sendiri. Pendek, namun menusuk.
Prayoga : Love u to mom.
Lagi? Bertambah lagi satu beban didalam hidupku. Sekarang aku harus menunggu sepupu yang bahkan aku tidak kenal, yang akan datang ke apartemenku. Bagaimana jika dia psikopat? Bagaimana jika dia gay seperti William?
Dan akan tinggal bersama ku? Ini mimpi.
Aku membenarkan posisi duduk. Menatap kearah layar televisi yang terlihat kosong. Kapan ini akan berakhir?
Kapan William akan hilang dalam pikiranku?
Apakah aku harus menerima William?
Hal yang paling masuk akal sekarang adalah... aku harus bisa mengontrol perasaanku sendiri. Tidak untuk William, bahkan tidak untuk orang lain. Ini jelas untuk kebaikanku. Kesehatanku. Masa depanku. Semuanya yang menyangkut tentang hidupku. Aku harus bisa mengontrol perasaanku sendiri.
Aku dikejutkan dengan suara pintu. Seseorang mengetuk pintu.
William kah? Tidak! jangan pagi ini. Jangan si brengsek sialan itu lagi.
Aku berdiri. Mengambil nafas dalam menuju ambang pintu yang menghubungkang lorong koridor dengan ruang apartemenku.
Apakah aku harus membukanya? Bagaimana jika William? Oh, tidak... bagaimana jika bukan?
Kau harus membukanya Andi Prayoga! Alam bawah sadarku mencemooh.
Oke, semoga ini bukan William si brengsek yang gay itu, aku mensugesti pikiranku. Aku memutar ganggang pintu. Kemudian pintu terbuka.
Oh tidak? dia? William? Seharusnya aku tidak membukanya! aku menggeram pada diriku sendiri.
“Hai, William.... umm, bagaimana kabarmu?” baiklah, aku tidak sungguh-sungguh mengatakan itu.
Aku hampir mati rasa saat melihat wajahnya. Rasa kesal yang membara. Dendam yang menurutku tidak bersumber kepada William. Tapi ada sisi dimana aku merasa lebih tenang. Sangat tenang dan lega melihat William sekarang berada di depanku, dengan wajah yang terlihat begitu sehat. Wajahnya begitu tenang dan datar.
Ada suatu perasaan. Entah apa itu? Perasaan postitif kah? Negatif kah? Aku belum bisa memastikannya. Yang paling pasti adalah, aku merasa lebih tenang dari hari-hari sebelumnya.
“Jangan mengalihkan topik pembicaraan!” William tiba-tiba terlihat emosi. Keadaannya tidak stabil. Sangat! Benar-benar tidak baik. Wajah tenangnya berubah seketika.
Apa lagi? Apakah ada sesuatu yang salah dengan ku?
“what?” aku terlihat bingung. Di bingungkan dengan keadaan yang memang aku tidak mengetahuinya sama sekali. Pria ini begitu... begitu aneh, dan juga labil emosi.
“Jangan berpura-pura tidak tahu,” William menatapku intens dan begitu tajam. Ada sesuatu yang menusuk didalam bola matanya. Dan jika aku benar, matanya bergitu terlihat terluka.
Apa lagi? Berpura-pura? kenapa lagi denganku?
“Silahkan masuk...” aku merasa ragu dengan kata-kataku barusan. Aku hanya merasa harus mencoba... membuat suatu pengalihan.
“Aku benci dengan pengalihan topik pembicaraan ini, Dokter Andi Prayoga!” William menggeram emosi menatapku. Wajahnya memerah. “Kau harus jelaskan kenapa kau ingin berkencan dengan wanita monster yang ingin melahapmu itu!” William menatapku sangat serius. Oh? Apakah matanya nanar? William ingin menangis?
Baiklah, siapa yang dia bicarakan? Suster Elly? Dari mana dia tahu semua itu?
Tunggu dulu, kenapa harus aku yang berada pada pihak yang salah? Ini masalah pribadiku. Tidak dengan William. Dia tidak bisa ikut campur.
Aku menarik nafas panjang. “Maaf, kenapa kau begitu tertarik dengan kehidupanku, William...”
William mendekat. Membuat langkahku perlahan menuju arah belakang, masuk lebih dalam menuju ruang tengah.
Oh, jangan lagi. Ini arah pembicaraan yang salah.
“aku tidak tertarik dengan kehidupanmu!” William menggeram –sekali lagi.
Wiiliam masuk lebih dalam. Semakin mendekat denganku. Tanganya mendorong pintu dengan cukup keras saat ia berhasil melewati batas penghubung ambang pintu.
Tidak tertarik? Lalu... kenapa dengan ini?
“Aku tidak tertarik, Dokter Andi Prayoga. Aku hanya merasa emosi, saat apa yang aku miliki di gunakan oleh orang lain!” William melunak.
Milik? Sejak kapan? Apakah aku sebuah benda? Dia dengan sangat mudah merasa sudah memilikiku.
Oh, ada sesuatu yang sangat mengambang didalam perasaaku. Begitu bahagia... perasaan positif. Apa lagi ini?
Aku menarik nafas panjang. Mengisi paru-paruku yang sedikit sesak karena perasaan tidak warasku akhir-akhir ini. “William, aku bukan gay... tidak mungkin aku akan menjadi milikmu. Dan lagi, aku tidak pernah mengatakan atau menyatakan bahwa aku adalah milik mu. Kau bisa paham? Aku bukan seseorang yang sama dengan mu.” Aku menekankan nada hati-hati di setiap kata-kata yang aku keluarkan.
Ah, perasaan apa lagi ini? Ada suatu perasaan bersalah didalam pikiranku sekarang.
Kau kembali berbohong, Andi Prayoga! Alam bawah sadarku merasa tidak terima.
William diam. Menatap nanar kearahku. Berbagai macam spekulasi aku dapatkan dari tatapannya. Takjub. Tidak percaya. Terluka... aku tidak tahan melihat ini. Dia tidak merespon, dia hanya mematung. Menatapku tanpa berkedip. Rahangnya melemah, bibirnya membentuk garis. Tidak ada amarah lagi sekarang pada pola wajahnya. Aku merasa lebih tenang karena dia sudah tidak emosi, hanya saja... tatapan itu, tatapan terluka itu. Membuat sesuatu yang ada didalam dadaku terasa sesak.
“William?”
William masih tidak merespon.
“Maafkan aku, jika... kau tahu. Kata-kataku yang salah.”
William masih menatapku. Kenapa ini? Dia membuatku merasa tidak nyaman.
“William, aku mohon... keluarlah sekarang.”
Tidak! kenapa dengannya? Masih tidak memberi respon...
5 menit...
10 menit...
15 menit...
“William...”
Belum ada kata selanjutnya yang dapat keluar dari bibirku. Kemudian William ambruk. Lututnya goyah. Jatuh, lemah... begitu terlihat menyedihkan.
“Aku menyukaimu, tidakkah kau merasakannya?” William berlutut dihadapanku. “Aku hanya ingin kau memberiku sedikit kesempatan. Kesempatan agar aku dapat memiliki mu!” nada suara William begitu emosional. Tarikan nafasnya menderu ,dia... begitu tidak wajar. Seorang William? Seperti ini?
Aku terpaku. Aku sedang dilanda rasa, bingung...
“Tidak, kau tahu... aku tidak dapat menyukai seseorang yang hanya beberapa kali pernah bertemu dengannya. Terlebih lagi, kau seorang pria.” Aku menguatkan rahangku.
William kembali diam.
“William?”
Tidak... kenapa lagi dengannya sekarang?
“Aku menyukaimu sejak kita, SMP. Kau ingat? Anak pindahan itu? Anak pindahan yang hanya bersekolah selama 3 bulan itu? Hanya karena pekerjaan ayahnya.” suaranya goyah. Tidak dapat membendung emosi lagi.
Anak pindahan? SMP? Sudah sangat lama. Jelas aku tidak mengingatnya.
“William...”
“Tidak! tidak! kau tidak mengerti! Kau yang membuatku seperti ini. Kau yang membuatku menyukai pria!” William berteriak. Dia begitu tidak stabil, dia histeris. “Kau tahu? Bagaimana rasanya memiliki perasaan ini? Kau tahu bagaimana aku selama ini menjalin hubungan dengan pria hanya untuk mengobati perasaaan ini? Kau tahu!”
Masalah apa lagi sekarang? kenapa dengan kehidupanku? Aku tidak tahu apa kesalahanku sekarang. apakah ini mimipi? Ya, aku berharap ini adalah mimpi.
Ya tuhan! Bangunkan aku sekarang!
“William, aku meminta maaf...”
“Tidak... aku menyukaimu, mencintaimu.. tolong. Berikan sedikit saja, hanya sedikit. Kesempatan.” William melemah. Dia masih berlutut.
Perasaanku... kenapa aku tidak bisa mengatakan tidak? kenapa denganku? Aku tidak bisa lebih tegas dengannya. Aku merasa bersalah. Kenapa aku tidak bisa mengerti perasaanku sendiri?
Tidak! Jangan perasaan sialan ini lagi!
William ambruk... benar-benar ambruk dihadapanku. Wajahnya terhempas menuju ambang dasar lantai.
Oh, dia pingsan?
***
Bersambung ke chapter 4 a, b dan c : sedikit kesempatan manis.
Nb : hehe, sorry updatenya agak lambat. Soalnya ada sedikit masalah dengan jaringan disini. Happy reading. Oya, sebagai bocoran yang gak penting dan gak berguna chapter 5 judulnya : Sweet and sex.
dan...
chapter 6 : my brother and William
***
ANDI PRAYOGA
***
WILLIAM STENDREY
***
ANDI PRAYOGA DAN DIAN ROSALINA
***
Writer : EvanFarrel