It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kehidupanku sudah berjalan normal seperti biasanya. Aku mulai bisa menerima semuanya. Tapi terkadang ada yang masih membuatku sedikit sedih jika orangtuaku bertanya mengapa Ronald tak pernah lagi datang ke rumah. Aku selalu beralasan bahwa dia sibuk dan memang hanya punya sedikit waktu. Sekarang aku lebih banyak menghabiskan waktuku bersama Melitha. Aku seringkali menghabiskan akhir pekan dengan Melitha dan juga dengan Nino. Melitha tau, aku butuh penyemangat dan teman dan dia dengan senang hati menemaniku. Melitha merasa aku butuh pengganti Ronald, tapi aku mengatakan bahwa prioritas utamaku adalah pekerjaanku saat ini. Aku belum mau mencari pengganti Ronald karena sampai kapanpun kurasa memoriku terhadap Ronald dan apa yang telah kita lalui bersama tak akan bisa tergantikan.
Melitha juga menyarankanku untuk mengganti nomor handphone, email dan menonaktifkan semua media sosial yang kumiliki agar aku tak teringat dengan Ronald kembali. Melitha juga membantuku menghapus foto kebersamaanku dengan Ronald yang kerap kupasang di Instagram pribadi milikku. Melitha pulalah yang memblokir semua akun media sosial milik Ronald dimana awalnya aku tidak menyetujuinya. Namun, untuk kebaikanku juga akhirnya aku menerima.
Enam bulan ini kulewati dengan baik. Aku sudah dapat tersenyum kembali dan bersemangat dalam semua aktivitasku. Aku juga mengurangi intensitasku mengunjungi tempat-tempat kenangan kita berdua di Jakarta. Hingga pada suatu hari aku mendapat tugas dari bosku untuk mengikuti short course di negara asal kedutaan besar tempatku bekerja selama setahun. Banyak hal yang harus kupertimbangkan. Kedua orangtuaku hanya tinggal berdua, belum lagi aku harus meninggalkan sahabatku disini, namun Melitha tetap mendukungku dan menyarankan agar aku mengikuti short course ini demi jenjang karir yang lebih baik kedepannya.
"trus gw sedih dong gak ada temen disana!" ujarku yang tidak dapat menyembunyikan rasa sedihku.
"ya emang sih, tapi positifnya kan, lo bisa lupain semua masalah lo di Jakarta. Siapa tau dapet laki org sana, ping!" candanya.
"gila lo ah, sedih2 gini masih bisa becanda, trus bonyok gw gmn? Trus gw gmn klo mau curhat ama lo!"
"tenang lah, gw bakalan rutin ngunjungin bokap nyokap lo ping, lagian bonyok lo udh gw anggap kayak bonyok gw jg! Klo masalah curhat mah gampang, kita bisa Skype, pokoknya lo hrs ikut short course ini!" sarannya.
Setelah menimbang-nimbang akhirnya aku memang memutuskan untuk menerima tugas tersebut. Melitha mengatakan diriku butuh penyegaran dan dengan tinggal di negeri orang semoga otakku kembali fresh setibanya kembali ke Jakarta nanti.
Kelakuan Bryan kini semakin menjadi-jadi. Aku baru saja mendapat telepon dari orang resto ku bahwa Bryan membawa hampir sepuluh teman kampusnya untuk makan di restoranku. Tapi ia tidak membayar bill nya. Semua bill itu ditagihkan atas namaku. Sebenarnya bukan saat ini saja Bryan berlaku semaunya di restoranku. Ia bahkan sempat dengan beraninya memecat salah satu juru masak di restoranku karena makanan yang lupa dibuatkan. Belum lagi beberapa waiter yang agaknya sudah panas kupingnya atas kelakuannya. Beberapa dari mereka bahkan terang-terangan mengundurkan diri karena tak tahan dengan sikap Bryan.
Yang terbaru, Bryan datang ke barbershopku dengan lima orang temannya dan ia kembali tidak membayar semua. Belum lagi sifat over protektifnya yang luar biasa sehingga ia melarangku untuk menjadi capster karena selain menurutnya itu menyita waktuku dengannya, ia tidak suka jika ada beberapa costumer yang terlihat agak dekat dan sedikit menggodaku. Imbasnya tentu banyak yang akhirnya tidak mau potong ditempatku karena aku satu-satunya capster favorit costumer barbershop. Belum lagi, Bryan dan teman-temannya sering nongkrong dan membuat kegaduhan di barbershopku sehingga banyak costumer yang tidah betah. Semua masalah-masalah yang terus menerus ia buat membuatku berpikir ulang atas kelanjutan hubungan kami. Apalagi setelah aku melihat balik apa yang sudah terjadi selama enam bulan terakhir. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku secara sia-sia. Pergi clubbing, menghadiri party teman-teman Bryan, belanja, dan kegiatan boros lainnya. Kegiatan itu tidak hanya menghabiskan waktuku tapi perlahan juga membuat tabunganku terkuras. Aku bahkan sangat sulit menabung belakangan ini. Omset bulanan dari usahaku semakin menurun. Bahkan bisa dibilang tidak berkembang. Usaha barbershopku yang kurintis sejak awal sekarang sudah menunjukkan geliat buruk. Restoranku juga semakin hari sangat sedikit yang mengunjungi. Singkatnya, kedua usahaku itu sedang berada dalam tahap mengkhawatirkan.
Restoranku juga menunjukkan geliat yang sama. Restoran yang kubangun atas hasil kerjasama, usaha dan perjuangan bersama Calvin juga sedang dalam posisi terancam. Beberapa langganan mulai meninggalkan restoranku, ini karena masakan yang biasa dimasak Calvin, dimasak oleh orang lain dan tidak seenak yang dibuat Calvin sehingga banyak yang menganggap kualitas restoranku memburuk. Belum lagi Calvin merupakan seorang yang sangat lihai mendapatkan klien karena hampir semua pesanan di restoran kita adalah hasil dari pemasaran Calvin.
Aku melangkah keluar dari rumah dan masuk mobilku. Aku melihat interior mobilku dan langsung teringat Calvin. Ia yang menghadiahkanku interior mobil secantik ini untuk ulang tahunku yang ke-25 setahun lalu. Sangat kontras dengan keadaanku sekarang dimana saat ulang tahun justru aku yang lebih banyak mengeluarkan uang untuk membelikan barang untuk Bryan serta mentraktir Bryan dan teman-temannya.
Aku tak tau apa yang harus kulakukan sekarang. Aku merindukan keintiman yang sempat kita rengkuh diawal-awal hubungan. Namun, sekarang yang tersisa hanya egoisme masing-masing. Tanpa kusadari aku teringat Calvin. Aku mengambil notepad di dashboard mobilku dan mencari kontak Calvin disana. Aku lantas menghubungi semua nomornya namun tak ada yang aktif. Agaknya ia sudah tidak mengaktifkan nomor tersebut. Aku langsung membuka ipad untuk melihat instagram Calvin. Namun, karena kita sudah tak saling follow, aku tak dapat melihat profilenya yang dikunci. Aku langsung memfollow Calvin dan berharap secepatnya ia membuka instagram miliknya. Aku melakukan hal yang sama dengan twitter dan path miliknya.
Sifat protektif Bryan memang kadang membuatku pusing. Ia dengan seenak hati menghapus kontak orang-orang yang sedang dekat denganku meskipun hanya dalam hubungan kerja. Ia sangat khawatir aku berpaling. Namun, aku sudah merasakan hal itu sejak lama. Ya, kurasa nalarku sudah tak menyetujui jika aku tetap bersama Bryan. Tapi aku bingung harus berbuat apa. Haruskah aku mengakhiri hubunganku dengan Bryan sementara di sisi lain aku adalah tipe orang yang tak bisa sendiri. Aku harus memikirkan hal ini dengan matang.
Aku lantas mengarahkan mobilku ke salah satu cafe di daerah Senayan untuk sekedar melepas penat dan menghabiskan malamku disana. Aku mencoba hubungi Bryan namun ia tak dapat dihubungi. Sudah dapat kutebak ia pasti sedang asyik nongkrong dengan teman-temannya tanpa mempedulikan aku. Saat mataku sedang melihat sekeliling cafe, kudapati sosok Melitha, sahabat Calvin sedang duduk bersama kekasihnya. Aku segera menghampirinya untuk sekedar bersilaturahmi.
Setelah menyapanya, butuh beberapa saat ia mengenaliku dan ketika kusebutkan namaku ia langsung mempersilakanku duduk.
"apa kabar mel?"
"baik kok, lo sndiri gmn nal?"
"yah gini lah gw,"
"pacar lo gak dibawa?" ada nada tak enak dari pertanyaannya tadi. Aku tau pasti Calvin sudah cerita banyak soal hubungan kita dan kurasa Melitha yang sudah mengenal Calvin sejak kecil pasti tak suka dengan akhir hubungan kami yang membuat Calvin sedikit terpuruk.
"oh nggak kok," jawabku kaku.
"anyway, klo lo gak keberatan, gw boleh nanya sesuatu nggak?" lanjutku. Melitha mengangguk dan aku kembali melanjutkan pertanyaanku.
"Calvin apa kabar?" tanyaku langsung.
"Oh, dia sekarang udah sangat baik sih nal, setelah kejadian terakhir yg bikin dia dirawat dirumah sakit, sekarang gw rasa dia udah bahagia sama kehidupannya sekarang!" aku masih menangkap nada tak enak dari kata-kata yang keluar dari mulut Melitha.
"trus skrg dia dmn mel?"
"hmm.. Apa menurut lo itu hal penting ya nal? Gw bingung sih mau kasih tau apa, toh gw rasa dmn dia dan lg apa jg gak bgtu penting lg kan buat lo!" kali ini bukan nadanya lagi yang tak enak, bahkan ucapannya pun sangat terdengar tak enak ditelingaku. Aku berusaha menahan emosiku karena kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk kembali membuka kisah lamaku dengan Calvin.
"Hmm.. Ya gw cuma nanya sih, klo emg lo gak mau kasih tau ya gw bisa apa, tp klo lo kasih tau, atleast gw bisa tau klo dia baik2 aja!"
Melitha diam sejenak sambil menyeruput guava juice di tangannya dan kemudian menjawab.
"Calvin sekarang di KorSel, ikut short course yg diperintahin lsg sama bosnya dsni, setahun, dan jangan tanya gw kpn dia pulang krn gw gak akan jawab pertanyaan itu satu kali pun!"
Gw hanya mengangguk dan mencoba mengerti perasaan Melitha saat ini.
"Dan gw cuma mau bilang satu hal sih nal, sekalipun dia udah di Jkt, gw gak akan biarin dia berkomunikasi lg dgn siapapun yg bikin dia sakit hati, gw cuma mau liat dia bahagia!"
Aku kembali mengangguk dan pamit dari hadapan Melitha dan keluar Cafe dengan perasaan tak menentu.
"gimana masakan mama pagi ini?"
"Enak ma, jarang2 mama masak ini!"
"iyanih, semalem mama kepikiran mau bikin ini karena inget ama Calvin, kok dia udh gak prnh kesini lagi ya Al?"
Aku menyelesaikan kunyahanku dan menjawab pertanyaan mama "mungkin sibuk kali ma, aku aja jg udh jarang ktmu, lagian yg aku tau terakhir ini dia pindah kerja ke Korea ma!"
"kok gt, kok Calvin gak pamitan ama mama ya?" tanya mama heran.
"ya mungkin perginya dadakan ma, atau dia sibuk bgt sampe lupa pamitan sama mama!"
"gitu ya, klo dia udh balik ke Indo suruh kesini dong Al, mama kangen masak bareng ama dia, resep Quiche kita pagi ini jg dari si Calvin kan!"
"I.. Iya ma," aku tak tau apakah aku bisa memenuhi keinginan mama tadi. Kurasa bukan hanya sulit tapi cenderung mustahil. Untuk bisa bertemu kembali dengan Calvin saja sudah bersyukur, apalagi bisa mengajaknya kembali kerumahku. Ditambah ucapan Melitta tempo hari, aku yakin bahkan Calvin sudah tak mau lagi menemuiku.
"hari ini kamu mau kemana Al?"
"mau ke resto dlu mampir bentar sekalian ke barber trus mau beli sesuatu di Sency, mama kemana hari ini?" tanyaku balik.
"mama mau cari bahan masak, palingan ke hypermart deket sini, km hati2 ya, bawa mobil jgn ngebut2!"
Setelah pamit pada mama aku lantas menuju restoranku seperti biasa. Sepanjang perjalanan menuju restoran, aku selalu teringat Calvin. Kuambil bantal berbentuk shield Capt. America yang dihadiahkan Calvin kepadaku dua tahun lalu. Kupeluk erat seolah itu adalah Calvin. Jujur aku sangat merindukannya saat ini. Tubuhku sekarang memang sepenuhnya milik Bryan namun hatiku sepertinya memang sudah milik Calvin.
Aku mengambil satu keputusan terbesar dalam hidupku. Menutup barbershop yang sudah hampir dua tahun kurintis Biaya operasional yang membengkak tak sesuai dengan income perbulan. Setelah diskusi dengan banyak pihak akhirnya kuputuskan untuk menutup barbershopku bulan depan, tepat dua tahun setelah kurintis. Aku kemudian menuju Sency untuk membeli beberapa keperluanku dan dengan kagetnya kulihat Bryan sedang berjalan bersama seseorang yang kutaksir usianya seumuran ayahnya sendiri. Aku tak yakin itu ayahnya, karena selain orang itu tak sipit dan putih seperti Bryan., perlakuannya kepada Bryan lebih seperti orang yang sedang pacaran. Aku penasaran dan lantas membuntuti keduanya. Namun herannya, tak ada rasa marah dalam diriku. Aku justru ingin sekali menangkap basah keduanya sehingga aku bisa punya alasan kuat untuk mengakhiri hubunganku dengan Bryan.
Setelah membuntuti mereka setengah jam mengitari Sency, kulihat Bryan dibelikan berbagai macamm barang mewah yang ia sering minta padaku namun belum kukabulkan. Ia membeli seperangkat kamera SLR dan jam tangan plus sepatu baru yang kutaksir harganya sangat mahal. Tak lama mereka memasuki salah satu restoran ramen dan akupun masuk dan duduk tak jauh dari mereka.
Dari sini bisa kudengar jelas obrolan keduanya namun aku harus sering menengok kebelakang karena aku dan keduanya dalam posisi berpunggungan. Kudengar dengan telingaku sendiri, Bryan mengucapkan terima kasih atas barang yang dibelikan oleh orang yang dipanggil "om" olehnya itu.
Setelah cukup lama mendengar obrolan keduanya yang bagiku sangat menjijikan, aku berniat langsung menghampiri mereka berdua. Dengan santai aku menghampiri meja keduanya dan melihat langsung tepat di wajah Bryan. Dan seperti dugaanku, Bryan kaget luar biasa melihatku disini. Dan kukatakan pula padanya jika sejak lama aku sudah mencium gelagat buruknya dan disaat itu juga aku berkata padanya bahwa aku tak mau melihat dirinya lagi muncul dihadapanku. Aku memutuskan hubunganku saat itu juga namun respon yang ia berikan justru membuatku terkejut.
"yaudahlah klo emg mau putus, aku jg males ama km, pelit dan sebentar lg jg bangkrut, mending aku cari org lain yg bisa bahagiain aku, gih balik sana sama pacarmu yg bodoh itu si Calvin haha!"
Aku geram luar biasa atas semua perkataannya, ingin kuhajar dia disana namun aku malas membuat keributan disini. Akhirnya aku tinggalkan dua orang itu disana dan berjanji pada diriku sendiri untuk tak akan pernah bertemu lagi dengan Bryan.
Tak terasa sudah enam bulan aku tinggal disini. Sebuah kota yang awalnya kukira sebagai salah satu kota sibuk di dunia. Namun, justru dapat memberikanku ketenangan. Bebas dari semua pikiran yang membelengguku. Atau hal ini karena kehadirannya?
Namanya Fadly, tetangga sebelah kamarku. Aku berkenalan dengannya saat sedang berbelanja di toko yang menjual barang-barang Indonesia di Seoul. Kukira awalnya ia Warga Negara Indonesia juga, namun setelah mendengar aksen dan struktur bahasanya, aku bisa menebak bahwa ia adalah warga negara Malaysia.
Fadly sedang menempuh gelar doktornya disini. Aku mendengar penjelasan itu saat ia mengajakku ke coffee shop untuk sekedar minum kopi dan berbincang ringan disana. Kujelaskan pula jika aku sedang menjalani short course disini. Entah mengapa ada perasaan lain yang menghinggapiku saat bersama dengannya. Perasaan yang tak dapat kujelaskan.
Aku tak tau, apakah mentalku siap untuk menerima orang baru dalam hidupku. Jika dibilang, memang ada sedikit rasa trauma atas kisah cintaku dengan Ronald beberapa waktu silam. Namun aku menyadari memang aku tak boleh terus menyesali masa laluku. Untungnya aku adalah seorang yang selalu berpikiran positif akan hal apapun dan saat ini aku tak ingin berpikiran terlalu jauh soal itu. Memiliki teman baru di negara orang saja sudah cukup buatku, aku tak berharap lebih.
Beberapa perhatian yang diberikan Fadly memang sedikit membuatku mencoba untuk mengenalnya lebih jauh. Saat natal beberapa bulan lalu, ia menghadiahkanku pohon natal berukuran kecil dan ia bantu menghiasi sebisanya meskipun aku tau dia seorang muslim. Aku yang tak bisa merayakan bersama keluargaku tentunya merasa sangat senang mendapat kejutan seperti ini. Hal sebaliknya kulakukan ketika ia menjalani ibadah puasa, aku tak segan membangunkannya saat sahur dan terkadang membantunya menyiapkan makanan.
Kebersamaanku dengannya memang sebentar lagi akan usai karena selepas lebaran, short course ku berakhir dan kuharap ia tak melupakanku dan kita tetap bisa terus berkomunikasi. Sudah sangat lama aku tak merasakan perasaan seperti ini. Semoga saja apapun itu bisa membawaku pada kebahagiaan.
Setelah melalui serangkaian jatuh bangun, Fadly sudah bisa jalan sedikit demi sedikit. Aku menuntunnya dengan bergandengan tangan dan itu terlihat sangat lucu karena Fadly dengan badannya yang besar dituntun olehku yang memiliki badan lebih kecil darinya. Setelah puas mengelilingi dan mengitari arena ice rink, Fadly mengajakku ke salah satu kedai makanan tak jauh dari sana dan memesan makanan ringan seperti Toppoki dan Dakkochi. Toppoki sejenis appetizer berbahan dasar tepung beras sementara Dakkochi lebih mirip sate ayam yang disajikan dengan bermacam bumbu yang gurih.
Setelah puas mengisi perut, Fadly mengajakku ke salah satu toko merchandise untuk membeli beberapa oleh-oleh untuk kubawa pulang ke Jakarta. Mengetahui bahwa waktu tinggalku disini tinggal sedikit membuatku lumayan sedih. Apalagi kurasa aku sudah mulai bisa menerima kehadiran Fadly dalam hidupku. Setelah puas berbelanja kitapun segera pulang dan tak lupa aku membeli beberapa bahan makanan untuk kuolah saat makan malam nanti.
Saat makan malam tiba, kuundang Fadly kekamarku karena aku akan memasak untuknya beberapa makanan khas Indonesia seperti pindang ikan dan sop buntut. Saat memasak ia mencoba membantuku namun justru ia sendiri yang kerepotan saat aku memintanya mengupas dan mengiris bawang. Akhirnya ia lebih memilih duduk di sofa menunggu hidangan matang. Tak lama kedua masakanku siap dan kita berdua segera menyantapnya. Di meja makan inilah, Fadly menceritakan beberapa kisah hidupnya. Iamengaku biseks dan pernah berpacaran dengan seorang wanita hingga enam tahun lamanya namun putus karena perbedaan keyakinan. Ia juga sempat menjalin hubungan dengan seorang pria selama empat tahun dan putus karena pacarnya hendak menikah. Akupun berterus terang padanya jika aku gay dan belum lama ini putus dengan pacarku karena orang ketiga. Namun, sekarang aku sudah bisa mengikhlaskan semua dan berharap semoga suatu saat bisa bertemu dengan orang yang tepat buatku.