It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Sho_Lee maaf ya baru bisa mention lagi
@rahmad1 maaf ya kalo masih ada beberapa kekurangan. enjoy
*CUP* [Chupa Qiang]
“Astaga!”, Aku terperanjat ketika HP disaku bajuku berdering cukup nyaring. Aku tak seharusnya jatuh tertidur juga.
“Ha-Halo?” ujarku terbata-bata sembari kembali mengumpulkan nyawa dan mengelap bibirku yang basah dengan pergelangan kemeja secara otomatis. Aku ngiler ya? Iuuh!
“Pak Chupa, bapak ada dimana? Penutupan hari pertama ujian sbmptn sebentar lagi akan dimulai. Bapak ditunggu kedatangannya di aula.” Suara pak Andre terdengar dari ujung sana. Sayup-sayup juga terdengar keramaian dari peserta ujian yang sepertinya sudah mulai gaduh karena rasa jenuh dan penat. Aku menggaruk kepalaku, bingung harus memberikan jawaban apa. Kalau mereka mencariku, kenapa tak langsung saja sedari tadi mencari ke ruang kerjaku ini. Sayangnya kekhawatiran pak Andre hanya menghentikanku sebatas itu saja, hal yang lebih menggangguku adalah rasa kebas dibibirku sekarang. Masa gara-gara ngiler bisa bikin bibir mati rasa? Selagi berpikir jawaban yang pas, aku masih mencubit-cubit kecil bibirku.
“Ko?” aku sontak langsung menoleh. Tommy sudah bangun ternyata. Ini anak suka benar main kejut orang.
“Eh!” mukaku panas, sepertinya sudah terlanjur memerah. “Tom, kamu-?” ucapanku terputus, bingung bagaimana baiknya untuk bertanya, tapi jariku spontan menunjuk ke arah bibir dengan maksud memberi kode: ‘apa kamu lihat aku ngiler tadi?’. Kali ini mukanya yang memerah! Haduh! Aku tertunduk malu, masih dengan mengusap bibirku dari liur yang mungkin masih saja bersisa di sana. Pasti dia sudah sempat lihat tadi.
“Pak? Halo? Pak Chupa?”
“Ah, iya. Saya di ruang kerja.”
“Tapi tadi saya sudah suruh orang ke sana untuk beritahu pak Chupa. Katanya sudah diketuk, cuma karena tidak ada sahutan dari bapak. Dia balik lagi.” Aku kembali menoleh Tommy, dia tetap kelihatan memasang ekspresi yang sama. Aah, dia terlihat sangat keheranan. Nanti juga aku bilas muka di kamar mandi, Tom. Jangan melihatku seakan kamu tidak pernah melihat orang ngiler sebelumnya.
“Tom, tadi ada yang ketuk pintu ya?” aku bertanya setengah berbisik. Tommy tidak melisankan jawabannya, hanya mengangguk perlahan. Aku cuma bisa memasang raut wajah ‘ooo’.
“Oh, tadi saya sempat sibuk. Ada telepon penting.” kilahku sekenanya.
“Tolong bantu diberi arahan dulu terkait jadwal ujian besok. Lima belas menit lagi saya ke sana.” Lanjutku lagi sebelum pak Andre kembali melayangkan pertanyaan selidik tentang siapa sekiranya yang kuanggap penting itu.
“Baik pak.” Sambungannya diputus. Aku suka pribadi pak Andre yang tak bertele-tele. Cukup membicarakan hal yang dimaksud saja dan bila tak berkepentingan untuk dibahas tak perlu dikupas lebih lanjut.
“Aduh!” Refleks Tommy menopang punggungku yang terjatuh kebelakang saat aku mencoba untuk berdiri. Aku memegang pinggangku yang berdenyut nyeri. Ah! Pasti gegara tidur barusan.
“Ko-koko tidak apa-apa?”nada bicaranya aneh, seperti gugup. Ada apa sebenarnya dengan anak ini?
“Cuma keram otot kok, Tom. Koko baik-baik saja.” Aku mencoba bangkit dari rangkulannya sebelum keadaannya semakin menjadi bertambah aneh. Dia tahu betul tentang kecondongan seksualitasku, tapi kenapa Tommy yang notabene seorang straight hampir bisa dibilang sama sekali tidak pernah merasa risih. Contohnya saja seperti barusan. Dia bisa saja cukup membiarkanku jatuh ke sofa, tapi malah pakai adegan tangkap-menangkap mirip yang ada di ftv.
Aku berjalan dengan langkah terseret ke kamar mandi, lalu membasuh muka dengan facial foam. Sekedar memastikan agar tak ada lagi sesuatu yang menempel di muka. Sehabis membilas busa yang tersisa, aku merogoh box tisu, yah habis. Pakai handuk sajalah.
“Tom, bisa tolong ambil handuk di dalam ransel koko?” tak ada jawaban.
“Tom, handuk pleas-eh?” orang bilang aku ini suka jantungan alias mudah terkejut dan ini sudah kali ketiganya aku dikejutkan oleh Tommy. Tanpa suara dia sudah berdiri di depan pintu kamar mandi dengan sebuah handuk saat aku hendak keluar. Dengan wajah dan lengan yang masih basah aku keluar kamar mandi.
“Tha-thanks ya” kali ini aku yang gugup. Ingin kuambil handuk dari tangannya, tapi dia malah mengelak.
“Sini biar aku bantu, ko.” Tak lagi menunggu aba-aba dariku Tommy langsung dengan inisiatifnya sendiri mengeringkan mukaku terlebih dahulu dan kemudian meraih kedua lenganku. Ada apa dengannya? Sejauh kedekatan kita, kamu belum pernah berkelakuan seperti ini Tom.
“Ko, maaf ya soal yang tadi.” Aku benar-benar gagal paham dengan apa yang dimaksudnya ‘yang tadi’. Apalagi sekarang aku hanya bisa mematung saat Tommy yang mendadak menenggelamkan tubuhku dalam pelukannya. Aku bisa mendengarkan dengan jelas jantungnya yang berdetak keras, begitupun punyaku. Lalu dengan lembut rambutku dibelainya. Hangat, entah kenapa dalam sejenak aku merasa betah untuk menyandarkan kepala di dada bidangnya. Akan tetapi sedetik berlalu dan dekapannya bertambah erat bersama napasnya yang kian memburu.
“Tom?” aku menengadah mendapati raut mukanya yang sudah kembali memerah. Ada apa ini? Jangan membuatku linglung, tom. Perilakumu ini bisa saja membuatku jadi lupa diri dan terbawa suasana. Ah, pahamu Tom. Jangan bergerak, itu menyentuh—ah—itu punyaku jadi—. Aku harus mencegah sekuat tenaga agar mulutku tak mendesah, namun memejamkan mata sambil menggigiti bibir bawah ternyata tidak cukup membantu.
Aku kembali memposisikan kepalaku ke dada tommy karena semakin lama menatap mukanya, ada keinginan nakal yang semakin mendesakku pula. Aku tak bisa bertahan lebih lama dalam kondisi seperti ini. Walau dengan segenap logika aku sadar kalau tak bisa membiarkan diriku begini tapi aku juga tak sanggup menolak. Tommy, kenapa kamu mengolokku?
Ah? Ada yang keras terasa menekan perutku. Tommy? Bagaimana bisa? Kenapa? Serentetan pertanyaan berkecamuk dibenakku.
“Chupa..” aku mendongak, bukan karena aku ingin menyahut panggilannya barusan. Hanya saja, ini bukan Tommy yang kukenal. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Tadi untuk yang pertama kalinya dia memanggil namaku secara langsung.
“Tom—cukup.” Suaraku bergetar. Cuma kata itu saja yang meluncur dari mulutku. Aku memang terlalu naif, meski aku berkata demikian untuk mencoba melerai kami berdua tapi tanganku masih melingkar dipinggangnya juga.
Drrt—drrt kami tertegun secara bersamaan dan langsung saling berpaling dari satu sama lain. Aku kembali menguasai diri dan meraih hp yang tadinya kembali kumasukkan ke saku kemeja. Pak Andre! Aku betul-betul sedang kacau balau saat ini.
“Tom. Maaf.” Perkataanku tercekat. Aku tak tahu dan tak mengerti kenapa aku meminta maaf, hanya saja aku merasa apa yang baru saja hampir terjadi bukanlah hal yang lumrah dan dapat dimaklumi. Itu salah dan aku juga sudah kelewatan sampai membuat Tommy jadi ikut terhanyut dan—Aargh! Aku masih bisa merasakannya diperutku, punya Tommy yang mengeras dan—Oh Tuhan! Kenapa?
Cklek! Aku membuka pintu ragu-ragu diselingi dengan helaan napas yang berat. Aku harus berpikir jernih, hal ini pasti bisa dibicarakan nanti. Untuk sekarang aku harus bisa konsentrasi pada pekerjaanku.
Eh! Tommy, apa lagi? Jangan mengamit lengan orang tanpa permisi, “Ah!” jangan begini lagi, jangan memelukku lagi, Tom. Apa maumu?
“Chup—em ehm, ko, aku suka sama koko.” Thomas Endeca, lelucon macam apa ini?!
Atmosfir di dalam mobil ini mulai terasa pengap sejak Vita memilih untuk bungkam mulut dari pertengkaran yang sudah berselang dua puluh menit sampai sekarang. Dipikir aku ini taxi driver apa? Acuh benar sama teman sendiri. Aku harus cari topik untuk mencairkan suasana.
“Vit! Si ganteng sudah ada di rumah belum ya kira-kira?” Vita mendelik dengan mata sembabnya, lalu menggeleng.
“Maksudnya belum atau kamu tidak tahu?” biarlah dia mau diam seribu bahasa, aku tak akan menyerah begitu saja. Akan kucerca dengan seribu tanya juga sebagai balasnya, hahaha.
“Eemm.” Bukan berarti dengan gumamanmu jawabannya akan semakin jelas Vitari! Ini sudah kelewatan. Mau sedih boleh, tapi aku jangan juga kamu kasih sikap begini Vit.
“Ya Tuhan, berikanlah kesembuhan untuk sahabat saya yang sedang dilanda patah hati. Tolong kembalikanlah dia seperti sediakala. Setidaknya untuk bisa merespon jawaban saya, masa sim-simi saja masih lebih cerewet dibanding sama dia. Aamiin.” Aku mencuri pandang dari spion mobil, Vita sedang menahan cekikikannya.
“Ya Tuhan, kenapa teman saya sebentar-sebentar menangis, sebentar-sebentar tertawa? Usir roh yang menaungi tubuhnya, ya Tuhan. Usir!” kali ini kena kamu Vit. Kupegang kepalanya dengan gemas, dia meronta seolah-olah sedang kerasukan.
“Sudah ah. Konsentrasi sana sama jalan. Nanti kalau mobil aku sampai lecet kamu harus ganti baru.” Dia kembali mengatur napasnya.
“Oh, akhirnya bisa bicara juga. Terimakasih ya Tuhan! Terimakasih! Karuniamu memang sungguh tak terhingga.”
“Apa sih! Aku memang dari lahir juga sudah bisa—.”
“Oeek-oeek?” kupotong perkataannya sembari menirukan suara bayi menangis.
“Iissh!” kali ini Vita memukul bahuku kesal.
“Pertanyaan aku belum kamu jawab loh.”
“Yang mana? Soal ‘oeek-oeek’?”
“Duh Gusti! Kebanjiran air mata tuh otaknya, jadi konslet kan. Tentang si ganteng lah!”
“Hem!” Vita menautkan alis. Pertanda dia heran mungkin. Eh, atau dia sudah bisa menebaknya?
“Kangen, Vit. Sekalian cuci mata. Mataku kan perlu refreshing, capai lihat kamu terus. Sampai bosan malah.” Aku mengelak dari tatapannya yang terasa sedang mengulitiku sekarang.
“Oh, yakin bukan karena ‘ehem’? Aku mbak-nya loh, kalau saudari mau minta bantuan ya tinggal transfer saja sekian.” Aku mulai merasa kalau sekarang posisi bermain sudah tertukar. Kenapa aku yang jadi kena bully sih?
“Pikiranmu jorok. Tak pernah jauh-jauh dari yang begitu. Adik sendiri dijual, ckck. Ya sudah, berapa kalau sudah dipotong harga teman?” pecah sudah gelak tawa kami. Syukurlah kamu tidak terlalu suram lagi, Vit. Terlebih lagi aku sangat bersyukur kalau kita masih bisa menganggap persoalan tentang ini hanyalah hal jenaka saja. Aku tak mau pertemanan kita menjadi berubah hanya karena aku egois mengutamakan soal rasa, walau memang harus aku akui kalau tadi kamu mengatakannya dengan serius. Bisa saja aku mengiyakan bantuanmu.
“Eh, hampir kelewatan.” Aku mendadak menginjak rem mobil, pikiranku yang masih diawang-awang membuatku nyaris saja lupa kalau sudah sampai di depan rumah Vita.
“Cin, kalau tadi aku lagi hamil. Sudah lepas janin aku! Kalau injak rem pelan-pelan sedikit kenapa?”
“Iya-iya. Maaf permaisuri. Lain kali saya akan lebih hati-hati.”
“Kamu itu yang permaisuri. Dasar Cinderella. Week!” aih, paling malas kalau Vita sudah kasih ejekan nama. Aku bukannya kesal malah malu jadinya. Kenapa juga mama harus suka sama tokoh-tokoh princess disney, haaah.
Aku mengedarkan pandanganku. Mogenya tak ada, berarti orangnya juga belum ada. Ah, payah! Aku pikir dia sudah pulang juga.
“Sudah, jangan malu-malu. Anggap saja istana sendiri.” Vita sedikit membungkukkan badan dengan memberi kode tangan seperti yang sering dilakukan di dalam film-film bertema kerajaan.
“Masih belum puas, Vita sayang?” yang diejek secara sarkastis malah melenggang pergi dengan tertawa seperti pemeran antagonis.
“Cepat ke sini, Cin! Aku mau tagih janji kamu tadi! Lapar nih!” teriak Vita dari arah dapur. Aku tahu, Vit. Tunggu sebentar, aku masih ingin lihat si ganteng. Walau belum punya kesempatan buat ketemu langsung, setidaknya aku bisa lihat wajah gantengnya lewat foto. Biar afdol foto yang diruang keluarga saja ah.
Aaa! Gantengnya! Keturunan arab memang kualitasnya paling luar biasa. Foto si ganteng yang terpajang dengan bingkai lebih kurang seukuran lemari ini tak sama sekali membuatku lelah. Kuselusuri mataku pada tiap detail tubuhnya yang berbalut pakaian formal. Ah, aku mencair! Cewek mana yang tidak jatuh hati. Air liurku saja sampai tumpah-tumpah rasanya. Aku mengganti pemandanganku ke foto yang paling kecil tersusun seperti kolase. Ini pasti dia saat masih balita. Aah, ampun! Jadi kebelet mau punya momongan. Asli manis benar mukanya, pura-pura jilat ah hehehe.
“Cin? Lama ben—kamu mau apakan foto Kee?” mati sudah! Aku terpaku dengan poseku sekarang. Aku tahu satu hal yang pasti, Vita sedang menganggapku sebagai tante mesum predator anak di bawah umur. Semua tergambar jelas dari ekspresi wajahnya sekarang.
Keadaan senyap ini sudah berlangsung cukup lama dan aku tak mengerti harus berkata atau berbuat apa. Sudah hampir genap satu jam terpaku di sini—di resto favorit koko—tanpa sepatah katapun dieja sejak berangkat tadi hingga saat ini. Tak tahu apa yang melintas di benakku, tapi aku yakin betul kalau tadi aku mengutarakan sesuatu yang sepertinya tak sanggup untuk dipendam lebih lama lagi. Di seberangku koko masih saja menyumpal mulutnya dengan pasta yang sudah untuk kesekian kali dikunyahnya terus-menerus. Apa yang sedang terjadi padaku sebenarnya? Ini ulang tahun koko, jadi kenapa aku malah mengubah hari yang semestinya spesial menjadi hari yang penuh intrik problematika baginya.
“Haaah.” Aku menghela napas dengan cukup panjang. Dengan harapan semoga bersama hembusan napas itu pula kepenatan diantara kami berdua sekarang dapat menguap tak bersisa.
“Ko—.”
“Kalau kamu mau bahas tentang kejadian di kantor tadi. Aku pulang sekarang!” Ada gurat rasa kekesalan dan kecewa bercampur aduk tergambar dari air muka koko. Selama ini aku hapal kalau koko tak pernah menggunakan AKU sebagai kata ganti yang menunjukkan dirinya sendiri. Kalaupun sekarang sedang digunakannya, berarti koko bukan hanya sekedar marah tapi sudah benar-benar marah.
“Maaf ko.” Hanya itu yang mampu kututurkan. Aku hanya ingin minta maaf, ko. Aku tak bermaksud membuat koko jadi begitu teriritasi dengan tingkahku tadi. Itu semua diluar nalar akal sehatku. Aku bahkan tak berani menatap mata koko secara langsung karena ada rasa yang mengusikku bila kita bertemu pandang. Jadi aku berharap untuk saat ini kata maaf bisa menjadi penawar atas perbuatanku yang semoga saja masih bisa koko tolerir.
Ekor mataku menangkap koko yang sedang memijit keningnya pelan, lalu menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa. Sebegitu beratkah koko menerima pengakuan rasaku? Bukankah tadi waktu aku menciumnya, dia sama sekali tak protes? Atau hal begitu sudah dianggap biasa saja buat koko? Jadi apa salahnya kalau aku jujur tentang perasaanku sendiri, ko?
“Tom—.” Aku langsung memasang segenap perhatianku. Tatapan koko sama sekali tidak terlihat menyenangkan.
“Koko harus balik ke kantor lagi sekarang. Urusan tentang ketidakhadiran koko dipenutupan tadi masih belum selesai koko jelaskan ke pak Andre. Jam penerbangan kamu kapan? Biar koko bisa sesuaikan dengan jadwal koko nanti.” Bukan ini ko yang mau aku dengar dari koko. Ini lebih seperti pernyataan mengusir secara terang-terangan walau memang bernada halus karena terlihat kalau koko mencoba kembali mengendalikan emosinya.
“Koko mau aku angkat kaki sekarang?” kejengkelanku mulai terpancing. Biarlah dikira aku tak tahu diri, tapi koko sendiri bertingkah seolah tak turut andil dalam peristiwa tadi. Sikapnya yang seakan menyalahkan sepihak padaku itu terasa menjengkelkan.
“Ada baiknya kamu ke apartemenmu dulu. Istirahatlah. Koko juga butuh waktu untuk melanjutkan pekerjaan. Kasih kabar saja kalau kamu mau koko ikut antar ke bandara.”
“Tolong jangan begini, ko.” Baru kali ini aku menerima sikap dingin dari koko dan itu mengerikan. Perkataannya seperti dorongan agar aku menjauh untuk sementara waktu. Akan tetapi, aku yang memelas diacuhkannya seperti angin lalu.
“ Suka atau tidak. Apa yang tadi terjadi sudah terjadi, ko, dan aku tidak menyesal sama sekali. Aku suka sama koko. Itu faktanya. Selain itu koko juga tidak marah setelah aku cium berulang kali tadi. Jadi kenapa koko yang bersikap begini? Semestinya aku yang uring-uringan!” aku yakin betul kalau barusan koko terkesiap. Reaksi apa ini? Koko terkejut? Apa aku sudah salah paham, tapi tadi bukannya koko merasa malu setelah bibir kami bertemu.
“Cium? Tom, kamu sebaiknya bilang kalau ini hanya salah satu candaanmu saja.”
“Aku tidak bercanda, ko! Aku memang melakukannya sewaktu koko tertidur, tapi koko sempat menanyakannya padaku saat koko bangun, kan? Koko tidak ambil pusing. Jadi kenapa koko harus marah sekarang, terlebih setelah aku bilang suka ke koko?” emosiku meluap-luap, dan aku belum selesai bicara.
“Tadi sewaktu kita berpelukan, koko seharusnya sudah tahu dari bahasa tubuh kita berdua, dan aku tidak sedang main-main.” Kali ini tuntas sudah semua ganjalan yang ada di hatiku. Kuserahkan semuanya pada koko. Aku hanya berharap agar koko mau memberi jawaban, tapi sebuah jawaban tulus walau iya aku akui aku memang sedang memaksa.
Aku memandang iba pada koko yang sekarang sedang dilanda dilema. Apa yang ada dalam pikiran koko? Bilang saja, tumpahkan semuanya. Aku tak peduli sekalipun itu menyakitkan untukku. Kalaupun koko sebenarnya tak bisa membalas rasa sukaku, aku terima. Setidaknya aku punya kepastian dan aku tahu kalau aku harus berusaha lebih untuk memenangkan hati koko, karena aku sadar kalau ini memang masih terlalu dini untuk gayung bersambut dari hati koko. Namun kalau koko tak berniat untuk berkata apa-apa. Bagaimana aku mesti bersikap? Aku tak mau bimbang dan tak juga mau membuat koko merasa tersakiti sedikitpun.
Koko mengeluarkan uang selebaran seratus ribu, meletakkannya di meja, dan tanpa merespon langsung melangkah pergi. Haruskah aku mengejarnya? Tapi kakiku kaku, baru kali ini aku cukup serius dalam menyatakan perasaan kepada seseorang. Apa lagi seseorang yang kumaksud itu adalah koko. Jadi itu membutuhkan segenap keberanianku yang detik ini sudah menguras semua tenaga.
“Haah.” Aku belum akan berhenti sampai di sini, ko.
Saat kembali aku membulatkan tekad, perasaan seperti sedang diamati mulai menggerayangiku. Kulihat ke sekeliling, oh iya aku sedang di resto. Aargh! Wajar saja koko langsung kabur. Sebaiknya aku juga langsung bangkit dari tempat ini. Aku harus mengejarnya.
@Sho_Lee @rahmad1 belum pernah komentar lagi nih. kritik dan sarannya ditunggu ya
KEE [Keenand Adnan]
“Ergh!” lama, ini sudah terlalu lama namanya. Bisa-bisa aku jadi jamuran kalau harus menunggu selama ini. Kupikir dia akan berada di sini setelah ujian tadi. Huh! Kenapa juga aku masih di sini. Buang-buang waktu saja! Mana ujian tadi aku jadi kurang bisa konsentrasi karena terpikirkan dia terus.
Aku hendak beranjak disaat seseorang turun dari sebuah taksi lalu terhuyung-huyung melewati gerbang depan sekolah. Itu dia! Apa sekarang saat yang tepat untuk menghampirinya? Ah! Sepertinya sudah terlalu tanggung menemuinya untuk menanyakan apa yang tadinya sangat ingin kuketahui. Sebaiknya aku langsung pergi saja, biar sekalian dia mengerti betapa gusarnya menghabiskan waktu sekedar untuk menunggu. Argh! Buat frustasi saja. Sudah ah!
Aku memacu langkahku, menghentakkan setiap pijak. Sengaja biar dia tahu kalau aku cukup kesal. Kami berpapasan, eh, ada apa dengan raut wajahnya itu? Aku terhenti, entah kenapa sisi empatiku jadi terusik. Sepatuku berantukan secara intermitten dengan batako yang tersusun sebagai halaman depan sekolah. Satu-satunya suara yang terdengar dilapangnya suasana di antara kami.
Tubuhku dengan sendirinya berbalik, menatap punggungnya yang perlahan akan mencapai pekarangan gedung utama. Aku sebaiknya memikirkan diriku sendiri untuk saat ini. Jelas-jelas dia tak memperdulikanku yang nyatanya sudah hampir satu jam lebih menghabiskan waktu yang seharusnya bisa kugunakan untuk membaca-baca ulang buku kumpulan soal sbmptn. Aku memutar tubuhku ke posisi semula dan mendengus kesal. Percuma juga kalau aku mengganggu orang yang penampakannya saja sudah seperti zombie, nyawanya melayang kemana-mana.
“Tiiiiiiiiin!” Tuhan, apa lagi ini! Baru juga aku mau pergi, sudah ada orang gila yang sejengkal lagi bisa mematahkan kakiku karena mobil yang dihentikan tiba-tiba di depanku.
“HEI, MINGGIR!” hardiknya dengan lantang.
“EH, ORANG KAMU YANG SALAH! KALAU AKU TADI SAMPAI KENA TABRAK, MAU TANGGUNG JAWAB?!” aku menyapu pandanganku sekilas pada pakaian dan kendaraan yang dikendarainya. Orang yang menganggap status mereka bisa dijadikan alasan untuk menindas orang lain seperti inilah yang aku sangat tak suka. Dipikirnya ini sekolah punya dia apa?
“Tiiiiiiiiin!” sekali lagi dibunyikannya klakson, umpatanku tak juga dihiraukan.
Sedetik lagi kalau otakku tak sedang bekerja, mungkin emosiku sudah langsung melancarkan berpuluh kepalan tinju baik itu ke mobil ini atau muka pemiliknya. Dengan menahan ego dan amarahku, aku menyingkir dari hadapannya. Dasar gila! Aku butuh untuk segera pulang, dengan sedikit makanan dan minuman ringan semoga hatiku bisa sedikit merasa lega. Aku kembali lanjut menjejak tanah menuju area parkir.
Maaf ya moge kesayangan papa, panas ya sendirian di sini? Besok papa cari parkiran lain ya, jangan di sini lagi. Biar sekalian kita bisa buang sial. Ayo kita pergi say—“Lepas Tom!”—ang. Heh? Baru juga aku menghidupkan mesin motorku, kenapa sudah ada yang teriak-teriak? Apa ini semacam jeritan tengah hari? Apa lagi yang sebenarnya sedang terjadi? Sudah Keenand, teriakan itu bukan urusanmu dan kamu juga sebaiknya bergegas pulang sebelum mbak Vita mengintrogasi perihal dari mana saja sehabis ujian. Aku mengangguk, menyetujui perkataan hatiku sendiri. Jangan dijadikan beban pikiran karena ada hal yang lebih penting untuk kuperhatikan, perutku. Bunyi keroncongannya seperti mengiba saking kosongnya. Sedikit lagi sampai ke gerbang dan aku tak boleh melihat kebelakang. Apapun yang terjadi di sana, jangan hiraukan.
“Tom, sudah. Lepas!” ampun, rasa penasaranku tak bisa diajak kompromi. Aku menengok ke skenario yang terpampang di belakang punggungku. Loh? Itu bukannya dia? Dan itu? Lelaki tadi! Argh, cari masalah apa lagi sebenarnya orang itu?!
Entah apa yang merasukiku, tapi pada akhirnya aku turun juga dari motor dan berlari mendekati mereka berdua. Dia terlihat sedang berusaha melepas cengkraman tangan dari lelaki tadi yang ukurannya jauh lebih besar darinya. Gagal sudah aku menahan diri, sekarang aku sudah naik pitam. Aku menarik bahu lelaki itu dan melayangkan tinju dengan sekuat tenaga. Cukup untuk membuat si lelaki gila terdorong mundur dan melepaskan genggaman dari dia.
“HEI! KALAU MAU BUAT ONAR. JANGAN DI SEKOLAH! CARI LAWAN SEPADAN DI TEMPAT LAIN!” tanpa pikir panjang aku menarik lengan dia hingga sekarang dia ada persis di balik punggungku, dan aku berada diantara mereka berdua. Instingku dengan sendirinya berkeinginan untuk melindungi dia. Walau aku tahu kalau dengan keadaanku yang sedang lapar ini tak akan cukup kuat untuk menjadi tameng.
“KAMU SIAPA? JANGAN IKUT CAMPUR URUSAN ORANG! Ko, tolong kasih aku kesempatan.” Ko? Koko? Siapa yang dimaksud lelaki ini? Dia? Dasar gila! Jelas dari perawakannya saja sudah bisa ditebak kalau umur dia masih dibawahku.
“AKU TAK SUKA MELIHATMU MEMPERLAKUKAN ORANG LAIN DENGAN KASAR. KAMU SENDIRI SIAPANYA?” tak tahu kenapa aku bertanya begitu. Tentunya bukan suatu hakku berucap demikian, namun apa lagi yang bisa kukatakan?
“DASAR ANAK KEC—.”
“SUDAH TOMMY! Pulanglah! Aku butuh untuk menyendiri.” Tangan lelaki ini—atau Tommy seperti yang tadi dia panggil—terhenti di udara seketika. Suara dia bergetar, terdengar seakan dia sedang berusaha keras untuk menjauh dari lelaki ini. Aku yang sedang dalam posisi siap menangkis serangan barusan melihat padanya. Ah, dia menangis?
“Ko, ayo kita bicara dulu. Aku suka sama koko.” Untuk sedetik-dua detik aku belum merasa heran dengan kalimat tadi, tapi lama-lama aku membelalakkan mata tak percaya dengan apa yang sudah kudengar. Si Tommy ini bukan hanya sinting rupanya, tapi juga sakit!
“A—aku tak bisa. Maaf.”
“Ko, aku tahu ini terlalu mendadak, tapi aku sudah lama suka dengan koko. Aku mohon, ko. Dengar dulu penjelasanku.”
“Hei! Dia bilang tidak bisa. Kenapa memaksa?!” aku menyela permintaannya yang diluar akal sehat. Apa orang ini sudah salah makan obat? Kukuh benar!
“KAMU ITU SIAPA, HAH! PERGI SANA!” ergh! Cara bicaranya benar-benar bisa mendidihkan ubun-ubunku. Kali ini lagi-lagi kami beradu mata dengan sengitnya.
“Dia pacar aku, Tom.” Kami terdiam. Sepertinya aku perlu berobat ke spesialis THT, hari ini banyak sekali kata-kata kasar dan ‘diluar batas normal’ yang silih berganti masuk ke dalam pendengaranku.
“A—apa? Ko—koko tak perlu berbohong sejauh itu hanya untuk menghindar dariku.”
“Aku berkata sejujurnya.” Aku mengerjap-kerjapkan mata tanda takjub dengan pengakuan lebih lanjut darinya. Aku, pacarnya? Apa-apaan?
“Bu—buktikan!” leherku tiba-tiba ditarik perlahan hingga posisiku sedikit menunduk.
Berikutnya yang aku tahu kalau bibirku sudah kehilangan keperjakaannya, untuk selamanya! Oleh seorang laki-laki yang namanya saja aku tak tahu siapa! Aah, yang benar saja, ta—tapi kecupannya tak begitu buruk. Perasaan apa ini? Aku malah merengkuh tubuhnya, dan untuk yang pertama kalinya dalam hidupku aku berdebar dengan hebat. Pelukan ini terasa cukup panjang sampai-sampai membuatku tak peduli waktu, tempat maupun kondisi yang masih menyisakan si Tommy dalam ekspresi terperangahnya.
Tiga puluh menit yang lalu, tepat ditengah berjalannya rapat penting membahas kurikulum pengajaran tahun ini di dinas pendidikan. Pesan singkat dari nomor yang tak dikenal masuk ke hp lg g5ku. Singkat cerita aku sudah berlari menyusuri koridor yang terasa panjang sekali ini. Kamar bougenville nomor lima, bougenville nomor lima? Ini pasti kamarnya, aku menatap ragu ke gagang pintu yang terpajang di atasnya sepetak nama bougenville no.5. Sudah, tak ada waktu untuk merasa takut, Chupa. Aku melangkah masuk dan terhenti di banyaknya sanak saudara yang berkumpul diruang tunggu.
“Kamu di sini berarti sudah dapat pesan dari cece khan?” sambutan dingin dari cece dengan pernyataan retoris menjadi pembuka suasana canggung ini. Aku tak mau bersuara karena terakhir kali aku bicara, semua orang jadi memalingkan diri dariku. Jadi aku mengangguk singkat saja.
Selanjutnya cece menoleh dan menunjuk sebuah pintu dengan dagunya, sebagai isyarat memperbolehkanku masuk. Pintu dihadapanku kugeser pelan-pelan. Aku terhentak. Gerak kakiku seketika melambat, berat rasanya mendapati realita yang ada di sini. Aku membekap mulutku, menahan tangisan yang sudah menguasai diriku sekarang.
“Ma?” wanita paruh baya dihadapanku ini terjaga setelah panggilanku barusan.
“Ah anak bungsu mama.” Aku menempati kursi yang terletak di dekat mama, menatapnya dengan nanar, dan mengusap pelan tangan mama yang terkulai lemas.
“Kamu sehat, nak? Sudah makan?” itu pertanyaanku ma, bukan sebaliknya. Hanya anggukan pilu yang bisa kuberikan untuk kedua pertanyaan mama barusan, sebab aku belum mampu melontarkan kata-kata.
“Chupa, sayang. Sini lebih dekat. Ada yang mau mama beritahukan.” Aku menghapus air mataku, mengeratkan tautan jemariku dengan jemari mama, dan sedikit merunduk.
“Mama minta maaf atas apa yang kemarin mama lakukan ke Chupa.”
“Ma, itu bukan salah mama. Chupa yang memang tidak bisa tumbuh sesuai dengan harapan mama papa. Chupa yang seharusnya minta—.”
“Ssst. Mama yang mengaku salah, kenapa Chupa yang merasa bersalah.” Kali ini dengan gerakan tertatih telapak tangan mama mengelus pipiku pelan. Perasaan sedih ini mencabik-cabik hatiku. Batinku meraung, bertanya kenapa mama harus jadi begini? Apa salah mama, Tuhan? Aku yang berdosa, bukan mama. Buat saja diriku yang menderita dengan cara dan bentuk apapun, tapi jangan mama. Aku mohon.
“Mama bangga sama Chupa. Terima kasih sudah mau jujur sebelum penghujung umur mama.”
“Ma, tolong jangan bicara begitu. Dokter bisa bilang kalau kemungkinan mama untuk sembuh kecil, tapi Chupa percaya kalau umur mama masih jauh lebih lama dari perkiraan siapapun.” Kali ini aku sudah tak mampu menahan sesenggukanku.
Maaf ma, bukan maksud Chupa untuk terlihat seperti sedang menangisi mama yang sedang terbujur sekarat di rumah sakit ini. Hanya saja, dari banyaknya hari yang Chupa lewati tanpa bisa bertemu mama, kenapa harus dihari ini Chupa menelan rasa pahit sebab baru diperbolehkan menjenguk mama atas dasar permintaan terakhir mama ke sanak keluarga. Sebenci itukah mereka? Sebesar itukah rasa jijik mereka? Sampai hati mereka menyembunyikan tentang penyakit mama dan tidak membiarkanku setidaknya menemani mama dimasa-masa sulit. Kapan tepatnya mama mulai jatuh sakit saja Chupa tak tahu-menahu. Apa ini semua atas dasar orientasi seksual Chupa, ma? Kalau iya, Chupa menyesal sudah jujur. Biarlah Chupa hidup dalam kebohongan, asal bisa terus di dekat mama untuk bisa buat mama bahagia bukannya menderita apalagi dengan keadaan seperti ini.
“Anak kesayangan mama ini ternyata belum berubah sama sekali.” Ada aliran bening mengalir dari sudut mata mama. Jangan ma, jangan menangis. Chupa bukan orang yang pantas untuk mama tangisi.
“Mama saja yang dulu terlalu naif, hanya bisa menilai sebelah mata karena terpengaruh perkataan orang. Andai mama bisa lebih berani untuk menerima Chupa apa adanya sejak awal. Mungkin Chupa tak harus merasa tersiksa.” Suara serak mama semakin lirih, entah itu karena tertutupi oleh isak tangisku atau memang mama sudah mulai letih. Aku hanya bisa menggeleng cepat untuk merespon ucapan mama.
“Chupa, mungkin mama sudah terlambat untuk bilang ini, mama sayaaang sama Chupa. Mama belum bisa jamin apa papa, koko sama cece juga bisa mengubah sudut pandang mereka. Chupa cuma perlu ingat, kondisi Chupa itu bukan sebuah bentuk kesalahan, tapi karunia dari tuhan. Hanya saja semua orang kadang punya pendapat dan ego masing-masing. Chupa harus siap dan kuat menanggung baik-buruknya ya nak.”
“Iya ma, iya.” Aku tak sanggup berkata banyak. Napasku sudah banyak tersita untuk mengimbangi dada yang kian terasa sesak.
“Se—lalu ingat mama ya nak. Doa ma—ma supaya saat mama nan—ti sudah tidak ada, Chu—pa bisa bertemu dengan lelaki yang bi—sa mewakili mama untuk buat chupa selalu bah—hagia.” cukup ma, simpan tenaga mama. Jangan memaksakan diri sampai tersengal-sengal begini. Kini kabur sudah pandanganku oleh derai air mata.
Aku menciumi punggung tangan mama berkali-kali. Ada rasa perih di ulu hatiku melihat senyum tulus yang mama ulas di wajah kurusnya. Aku sudah sangat merindukan gambaran ini hingga aku lupa kapan persisnya terakhir kali aku melihat senyuman mama. Walau rambut panjang yang dulu digerainya sekarang sehelaipun tak lagi bersisa, mama tetap saja cantik dan akan selalu tampak cantik bagiku. Sekalipun dengan segala bentuk peralatan medis yang menempel di sekujur tubuh mama sekarang, mama tampak sangat kuat meskipun bisa kuterka seberapa besar sakit yang mama coba tahan sampai sejauh ini. Pelan mama memejamkan mata sayunya, lalu disusul napasnya yang menjadi tenang bak air telaga. Mama tertidur? Sudah kecapaian ya ma?
Kebisingan apa ini? Jangan mengganggu! Aku bangkit dari posisi dudukku, berjalan mengitari ranjang mama mencari sumber suara itu. Kenapa alat grafik detak jantung ini berjalan lurus? Jangan bercanda! Ini tidak mungkin terjadi! Tidak! Tidak dengan cara begini! Mama tidak mungkin tega meninggalkanku begitu saja. Kami baru saja bisa bertatap muka lagi untuk beberapa menit yang lalu, Tuhan. Tolong jangan, jangan bawa mama pergi.
“Ma—mama? Bangun ma, bangun ma buat Chupa, Ma. Chupa sayang Mama, Mama juga sayang khan sama Chupa? Kalau iya, bangun ma! Bangun! Chupa belum sempat tebus kesalahan Chupa, Chupa juga belum sempat buat mama senang. Jadi bangun ma.” Sedetik kemudian derap kaki dari beberapa orang berseragam serba putih menjajah ruang rawat mama.
“Kalian mau apa?! Jangan ganggu mama! Sebentar lagi juga mama pasti bangun kalau sudah kembali enakan.” Namun baru saja ketika aku ingin menghalau mereka mengutak-atik badan mama, genggamanku merenggang. Hangat yang baru tadi kurasakan di tangan mama sudah memudar dalam sekejap. Lalu dalam kondisi linglung beberapa orang menarikku keluar ruangan.
“Apa yang kalian lakukan?! Lepaskan! Jangan pisahkan aku dari mama lagi. Aku mohon jangan. Ma!”
“Maaf mas. Mas harus menunggu di luar ruangan. Kami sedang mengusahakan tindakan semaksimal mungkin untuk ibu Geraldine Qiang.” Salah seorang dari mereka berbicara seenaknya dari balik masker itu. Mereka pikir mereka siapa?
“Aku anaknya! Kalian tidak punya hak untuk melarangku tetap berada di samping mama!” Aku memberontak, aku tak ingin terpisah jauh lagi dari mama atau bahkan lebih buruknya tak bisa lagi bertemu mama.
“Ma! Mama!” aku merintih sejadi-jadinya.
“Hei! Halo?” lamunanku buyar oleh lambaian tangan di depan wajahku. Kenapa aku teringat mendiang mama di saat begini? Pertahananku runtuh, rasa rindu yang kucoba abaikan malah jadi bumerang untuk hatiku sendiri. Ma, Chupa harus mengadu kepada siapa ma? Kenapa selalu saja ada masalah dimanapun Chupa berada? Tommy yang sudah lama Chupa kenal dan anggap sebagai saudara sendiri malah menyukai Chupa. Chupa harus bagaimana ma?
“Masih belum selesai ya menangisnya?”aku tetap menatap lurus walau aku tahu suara bass yang cukup asing ini telah membuatku penasaran akan siapa yang sedang berbicara. Disisi lain, aku merasa pernah mendengarnya baru-baru ini.
Kali ini dia bangun dari posisi duduknya disampingku menjadi berjongkok di depanku. Tubuhnya yang jangkung membuatnya cukup kesulitan mengatur keseimbangan agar dapat bertemu pandang denganku, dan ketika itu terjadi aku refleks sedikit memberi jarak antar mukaku dan mukanya. Earphone yang menggantung di lehernya menyenandungkan lagu yang sepertinya kukenal, ah iya, lagu ini berjudul ‘God must have spent a little more time on you.’ Satu dari banyaknya lagu romantis yang aku juga punya.
“Kamu itu cowok, kalau cowok mana boleh menangis.” Aku tahu itu bukan kalimat ejekan, dari nada bicaranya terdengar seperti dia sedang mencoba menghiburku. Sehabis kalimat itu diutarakannya, dia mengangkat tangannya menggapai wajahku.
Aku memejamkan mata, lalu lembut kurasakan jarinya menyeka air mata di pipiku. Dari suasana hati yang sendu seketika berubah jadi tersipu malu. Aku yakin mukaku sudah merona merah sebab di hadapanku dia terlihat memberikan senyum lebar dengan serentetan gigi putihnya. Dia ini siapa? Eh? Earphone bercorak tosca dan kuning senja, rambut dipomade menyamping, kumis-berewok-dan-janggut tipis? Wajah ini? Dandanan ini? Bukannya ini dia yang tadi pagi? Kali ini dia malah tertawa kecil mendapati diriku yang tak bisa menutupi rasa terkejut.
“Ka—kamu siapa?” aku bertanya polos dan dia tertawa lagi, lebih keras kali ini.
“Seharusnya itu pertanyaanku, kamu siapa? Kita belum saling kenal tapi kamu sudah asal main cium bibir saja.” Perkataannya itu diakhiri dengan sunggingan geli.
Apa! Astaga! Sekelebat bayangan tentang kejadian diantara aku, Tommy dan lelaki ini terasa memenuhi pikiranku. Aku tak tahu harus menjawab apa. ‘Maaf’? Tapi sudah berapa banyak kata maaf yang kurapal hari ini dan aku yakin perbuatanku yang satu ini tak bisa dengan semudah kata maaf untuk membayarnya. Lagipula kondisi mendesak tadi tak bisa menjadi pembenaranku untuk mengarang cerita kalau aku dan dia ini berpacaran. Apalagi sampai mengecup bibirnya tanpa permisi terlebih dahulu.
Mengecup? Berarti aku mencium seorang laki-laki? Itu semestinya jadi ciuman pertamaku! Eh? Haruskah aku meralatnya? Tommy yang sebenarnya sudah mencuri ciuman pertamaku, tapi itu tak masuk hitungan bukan? Karena itu dilakukannya saat aku sedang tak sadar alias tertidur. Aku yakin kalau ciuman tadi itu termasuk ciuman pertamaku yang resmi, karena aku masih bisa merasakan pagutan bibir yang saling berbalas di antara kami berdua.
Oh Tuhan! Dimana akal sehatku? Aku mencium anak dibawah umur! Aku sudah menodai anak orang yang mungkin ibu-bapaknya saja masih belum terpaut jauh dengan umurku. Aku merasa sangat hina, apa sekarang aku seorang pedofil? Dimana harga dirimu, Chupa Qiang!?
“Hei! Kalau melamun ajak-ajak dong. Dari tadi melongo terus.” Kembali dia berhasil memecahkan khusyuknya diriku yang tengah berkutat atas dilema yang aku alami.
“Ma—maaf.” Yah, terucap sudah satu-satunya opsi jawaban yang aku punya. Aku menunduk pasrah, bersiap sedia menerima apapun bentuk cercaan darinya.
“Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Dalam keadaan tadi semua orang juga akan melakukan hal yang sama. Mungkin. Aku juga kurang yakin.” Demi apa? Benarkah yang kudengar barusan? Kamu tidak berkeberatan? Aku habis menciummu? Aku tak tahu kalau kamu sudah terbiasa atau tidak, tapi kita berciuman. Bibirmu menyentuh bibirku, argh, aku pusing sendiri.
“Ta—tapi tadi itu.” Aku terhenti, tak bisa menjelaskan lebih lanjut duduk perkara permasalahan yang sebenarnya hanya ada dalam persepsiku saja.
Dia hanya tertawa melihat betapa canggungnya diriku, mirip seperti tawanya tadi pagi. Tawa yang mampu menggelitikku hingga tak bisa menahan diri untuk tak ikut tersenyum.
“Sudah, aku bilang tidak apa-apa.” Dia memasang muka sumringah.
“Aku Keenand Adnan. Bisa dipanggil Kee. Kamu sendiri?” kedua tangannya menepuk pelan batok lututku, isyarat untuk memberiku kesempatan mengenalkan diri juga.
“Chu-chupa Qiang. Biasanya dipanggil Chupa.” Jujur aku begitu gugup sekedar untuk membalas pertanyaannya.
“Nama yang unik, tapi kalau aku panggil Cup saja, boleh? Terdengar lebih cocok.” Aah, senyumnya. Lama-lama aku bisa membatin, ‘dengan ini aku sudah bisa meninggal dengan tenang sekarang’.
Aku tak menyahutnya karena aku tak ingin terlihat sedang salah tingkah. Jadi hanya mengangguk seadanya. Eh, geli! Jangan memegang bagian itu, Kee. Aku mengedikkan bahu, mengapit kedua tangannya yang sudah dipindah tempatkannya di sekitar leherku.
“Dasar penggeli. Cup, aku kelaparan karena menunggumu dari sehabis ujian tadi. Jadi untuk menebus kesalahanmu, mau menemaniku makan?” aduh! Satu lagi kesalahan yang membuatku harus berhutang maaf.
“O—oke.” Aku hanya bisa pasrah.
“Eh, tadi kamu naik taksi. Berarti tidak bawa kendaraan ya buat ke sini?” kendaraan ke sini? Aku memang tinggal di sini, Kee. Rumah dinasku ada persis di halaman belakang sekolah jadi untuk apa kendaraan. Toh berangkat kerja juga tinggal jalan kaki saja.
“Kalau diam berarti tidak bawa kan? Kita naik motorku saja ya kalau begitu.” aku belum mengucapkan sepatah katapun dan kamu sudah memutuskan sendiri.
“Ayo! Nanti kita bisa kebasahan kalau tak bergegas.” Kee berdiri, memperhatikan sekilas langit yang mulai mendung, lalu mengulurkan tangannya. Ada sedikit gundah dan bahagia saling bertentangan dalam kalbuku.
“Eh!?” aku mengernyitkan dahi ketika Kee dengan tiba-tiba sudah menggenggam tanganku.
“Cup, kalau bengong terus. Kapan kita kenyangnya? Kita berangkat ya. Ini dipakai dulu, nanti kamu masuk angin.” Ledeknya setelah memasang jaket leather yang tadi masih dikenakannya padaku. Lalu kembali membujukku untuk segera beranjak.
Hatiku berdesir syahdu. Bukan bermaksud puitis maupun melankolis, tapi Kee, belum pernah ada yang berlaku lembut begini padaku. Sikapmu ini bisa jadi candu. Aku yakin akan ketagihan demi mendapatkan perlakuan sederhana tapi terbungkus manis ini lagi. Walau aku tahu tak ada maksud lain yang kamu simpan. Kita hanya dua orang yang baru bertegur sapa, bertukar nama dan belum sepenuhnya saling berbagi cerita. Sayangnya sekalipun aku tahu kalau tak ada gunanya menaruh harapan lebih, aku seakan ingin bertanya bolehkah kita menjalin kisah kedepannya?
Kami melangkah keluar gazebo yang tak jauh jaraknya dari area parkir. Lalu tanpa dapat kuduga jemariku dikaitnya lembut bersimpul dengan jari-jari hangatnya. Aku mengamati dirinya lekat-lekat, mencoba mencari artian dari sikapnya ini. Belum pernah sebelumnya kutemui lelaki seperti ini, yang tak mencaci maki kala aku mempergunakan bibirnya sebagai alasan untuk menyelamatkan diriku, dan tengok, sekarang tanganku malah digandengnya. Apa yang lebih membuatku heran adalah sikapnya yang sampai didetik ini pun seolah biasa-biasa saja. Rasanya mana masuk akal kalau ini benar-benar nyata.
Aku menghela napas kecewa ketika dengan santainya dia melepas tautan jemari tadi karena bagiku jarak yang hanya sekian hasta untuk berjalan menuju kendaraannya tak cukup panjang. Aku terlanjur terbawa kembali oleh perasaanku seperti tadi pagi, rasa yang muncul sejak pandangan pertama. Aku menginginkannya, dalam artian yang baik.
“Sini.” Aku berdiri menengadahkan kepala merespon perintahnya dan sebuah helm sudah membungkus kepalaku. Tangannya dengan cekatan mengatur panjang chin-strap menyesuaikan ukuran kepalaku dan menguncinya. Aku harus bisa berpikir jernih, mungkin dia hanya bermaksud untuk bersikap sopan. Aduh, tapi sesuatu di dalam diriku menangkap radar yang berbanding terbalik.
“Ayo naik, sudah mulai rintik.” Aku lumayan kesusahan menaiki jok motor yang terukur lumayan tinggi untuk postur badanku yang tak memungkinkan untuk melangkah lebar.
“Nanti makan yang banyak ya, biar bisa tambah tinggi.” Itu ejekan yang benar-benar menohok sampai membuatku hanya bisa memberikan senyum dikulum untuk menanggapinya. Lewat kaca spion aku bisa melihatnya memberikan kerlingan nakal.
“Oh iya, kita makan di mana enaknya?”
“Di mana saja. Asal kamu bisa kenyang, wek!” aku membalas pertanyaannya dengan ketus.
“Hahaha, ok, ok. Pegangan ya.” Aku memegang sisi ujung bajunya.
“Kalau cuma sedikit itu, nanti kamu bisa melayang di jalan. Begini.” Kee membenarkan posisi tanganku yang sekarang lebih seperti memeluk pinggangnya. Walau kemeja yang dipakainya tak berbahan tipis, tapi ujung jariku masih bisa teraba otot perutnya yang padat. Ah, kumohon kendalikanlah dirimu, Chupa.
Ini sebaiknya bukanlah mimpi! Akan tetapi apa ada harapan untukku? Atau aku hanya sedang dibutakan oleh sikap bersahabatnya dan sudah salah mengartikan? Namun sebaris tanya yang mengaung itu seketika kutepis menjauh, tepat setelah Kee menoleh dengan sebuah senyuman diikuti usapan pelan dari tangan kirinya pada kedua tanganku yang saling bertemu.
@Sho_Lee
@rahmad1 namanya juga lagi kepepet
Sekedar anjuran, pas baca part di atas. Coba sambil dengar lagu 'God must have spent a little more time on you' versi Boyce Avenue. thanks hehe