It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Daser @freeefujoushi @Sho_Lee @mustajab3 @JoonHee @lulu_75 @JimaeVian_Fujo @PCYXO15 @Tsunami @ricky_zega @Agova @jimmy_tosca @rama_andikaa @LostFaro @new92 @Otsutsuki97S @billyalatas18 @delvaro80 @ramadhani_rizky @Valle_Nia @diccyyyy @abong @boygiga @yuliantoku @ardi_yusman @fian_gundah @Lovelyozan @Rabbit_1397 @Tsunami @Adiie @sn_nickname @Gabriel_Valiant @happyday @Inyud @akhdj @DoojoonDoo @agran @rubi_wijaya @putrafebri25 @Diansah_yanto @Kim_Hae_Woo679 @Vanilla_IceCream @shandy76 @bram @black_skies @akina_kenji @abbyy @abyyriza @05nov1991 @1ar7ar @kaha @blasteran @BN @dian_des @Pyromaniac_pcy @melkikusuma1 @asik_asikJos @opatampan @The_jack19 @ori455 @lukisan_puisi @usernameku @dadanello @boncengek3 @earthymooned @gaybekasi168 @jimmy_tosca @handikautama @OkiMansoor @Ninia @ananda1 @kikirif @satriapekanbaru @o_komo @SyahbanNa @Denial_person @arya_s @imanniar @raito04 @AgataDimas @Harris_one @duatujuh @M_imamR2 @josiii @viji3_be5t @Firman9988_makassar @amostalee @ocep21mei1996_ @Chi_dudul @Pranoto @renataF @liezfujoshi @Niel_Tenjouin @Prince_harry90 @raden_sujay @bagas03 @Joewachecho @Obipopobo @M_Rifki_S @febyrere @Viumarvines @adrian69 @vane @kangbajay @AndikaRiskiSya2 @DafiAditya @Nino6 @wisnuvernan2 @Riyand @askar_12 @babikapeler @dewa_ramadhanna @yogan28 @the_angel_of_hell @KuroZet @Reyzz9 @RivaldyMyrus @Algibran26 @UiOOp @ktp23 @Apell @Abdulloh_12 @QudhelMars @Rama212 @CouplingWith @Virusku @riordanisme @Mr27
Mohon vote n komentarnya serta bagi teman2 yang nggak mau diseret lagi, bilang ya ... Thanks.
Cerita sebelumnya ...
Adrian dan Askar bertemu di belakang sekolah lalu berciuman panas. Setelah diantar pulang oleh Askar ke rumah, Adrian mendapat teror dari anonymouse yang mengancam telah mengirimkan foto ciuman Adrian dan Askar ke Mama. Sebelum Adrian selesai menelpon Aldi untuk melaporkan ancaman anonymouse, Mama memanggil Adrian dari bawah.
Part 48
Semua doa yang gue hafal telah gue rapalkan semenjak dari kamar gue tadi hingga sekarang, berdiri mematung dengan tungkai lemas dan badan menggigil di depan Mama yang memandang ke arah layar laptop dengan wajah poker face beliau. Gue bisa mendengar detak jantung gue yang berdegup kencang. Mama yang tanpa ekspresi tersebut, sukses membuat tangan gue bergetar mengeluarkan keringat dingin, serta lutut gue semakin goyah berlama-lama berdiri akibat efek dari ketakuatan mendera. Gue berdehem sehingga Mama mengisyaratkan gue duduk di kursi rotan yang ada disamping beliau.
“Ada apa Ma?” tanya gue berhati-hati, berpura-pura tidak tahu, setelah pantat gue sempurna mendarat di kursi rotan hadiah Nenek beberapa tahun yang lalu.
Mama berdehem, “Tolong jelaskan ini ke Mama!” ujar beliau menyodorkan laptop bewarna hitam itu ke arah gue. Gue memandang laptop dan mata beliau bergantian sebelum menerima laptop tersebut dengan was-was sambil meletakkannya di pangkuan gue. “Ceritakan ke Mama maksud dari foto itu!” titah beliau lagi.
Gue menoleh sejenak kearah Mama sambil menelan ludah yang telah terkumpul di ujung kerongkongan gue sejak tadi. Gue lalu menutup mata, membaca Al-Fatihah supaya gue diberikan pertolongan oleh Yang Maha Esa untuk mengatur kata-kata yang tepat sehingga Mama dapat mencerna penjelasan gue nanti dengan lapang dada. Jika kalian semua berfikir gue balakan mencari kata-kata untuk mengelak, kalian salah. Gue sudah tertangkap basah dan tidak mungkin gue merancang alasan yang akan membuat semua bertambah buruk.
Gue lalu menarik nafas sambil membuaka mata, menatap layar e-mail Mama yang menampilkan layar berlatar belakang ladang tulip yang ditutupi oleh layar putih transparan dengan foto romantis gue berdua dengan seseorang. Gue terkesiap dengan foto yang terpampang jelas di layar kaca laptop Mama hingga otomatis gue mengucek mata beberapa kali, sebelum gue melirik Mama yang berlipat tangan menunggu jawaban dari anak tunggalnya ini. Darah gue yang tadi menggelegak tiba-tiba mereda. Begitupun jantung gue telah kembali berdetak normal.
“Siapa cewek itu?” tanya Mama tanpa ekspresi.
Gue meneguk ludah mengatur kata-kata yang pas dalam menjawab pertanyaan Mama. “Ng..., Teman Adrian Ma.”
“Teman atau temen?”
Gue menundukkan kepala gue, “Ha... hanya sekedar temen kok Ma,” jawab gue ragu-ragu tanpa mau melirik Mama. Tubuh gue yang panas dingin dengan ancaman anonymouse tadi tiba-tiba kembali normal seperti biasa. Bahkan rasanya tubuh gue seperti ditutupi awan di tengah padang pasir (walaupun gue belum pernah ke padang pasir) setelah melihat sang pengirim foto. Ini pasti kerjaan Aldi, ya si Edogawa Conan gue. Rencana yang telah kami susun dengan matang berhasil. Gue kembali melirik layar laptop Mama, menampilkan foto gue sepayung berdua dengan Tia. Dikirim atas akun pribadi Bunda.
Gue tersenyum melirik Mama sekilas, gue harus membalikkan keadaan sehingga Mama tidak terlalu kepo dengan foto ini. “Emang kenapa Ma?” pancing gue menatap Mama lekat-lekat membuat beliau tergagap menjawab pertanyaan gue yang menjebak. Ekspresi Mama langsung berubah. Mungkin karena gue berhasil membalikkan keadaan sehingga kejadian yang beliau manfaatkan menjadi latihan drama beliau jadi gagal gara-gara pertanyaan gue.
“Mama tidak pernah melihatnya sebelumnya, jadi Mama nanya sama kamu nak. Temen sekolah Adrian kah?”
“Iya, dia teman sekolah Adrian. Namanya Tia, anak IPS, sekarang Sekretaris OSIS,” jawab gue lugas.
“Pantesan Mama nggak pernah melihat dia.”
Gue terkekeh dengan jawaban Mama yang sedikit aneh. “Ya iyalah Ma. Adrian kan nggak pernah ngajak cewek ke rumah ini,” ujar gue tersenyum. Gue tahu kemana arah tujuan pembicaraan Mama sekarang. Ada udang dibalik bakwan rupanya.
Gue menyerahkan laptop Mama kembali. Beliau kembali memperhatikan layar laptopnya secara seksama dan selama-lamanya sebelum menatap gue pasti. “Sekali-sekali ajaklah dia kemari.”
Gue hanya bisa tersenyum masam sambil melempar pandangan ke taman. Nampak bunga kertas yang baru beberapa minggu yang lalu di pangkas Mama, mulai mekar bewarna merah dihinggapi seekor kupu-kupu cantik. Gue mendesah. Ah... Andai gue bisa mencintai Tia.
---
Gue merebahkan badan sambil meraih handphone gue yang terletak di nakas, menampilkan beberapa buah pemberitahuan di layar. Gue lalu memutar-mutar handphone gue dengan malas tanpa berniat untuk membuka pemberitahuan itu. Perkataan Mama terakhir masih terngiang-ngiang jelas di telinga gue. “Adrian, Mama tidak menuntutmu Nak, tapi apabila engkau ingin mencari pasangan, carilah seperti wanita yang ada foto itu Adrian. Mama belum mengenalnya, tapi yakinlah Ian, penglihatan seorang ibu tidak akan salah,” ujar Mama penuh keyakinan, seyakin Mama mengatakan bahwa gue adalah anak kandung beliau 10 tahun yang lalu.
Jam menunjukan pukul lima kurang lima sore, ketika gue yang hampir terlelap tidur dikejutkan dengan getaran yang berasal dari handphone buntut gue. Sial, mengganggu tidur gue aja. Sambil mengucek-ngucek mata, gue menyipitkan mata menatap layar handphone yang berkedip-kedip menampilkan nama Dwi disana. Tumben nih anak menelfon gue jam segini. Biasanya sih malam, buat nanyain jawaban peer untuk besok pagi. Lagian juga, besok nggak ada peer. Gue mengangkat panggilan Dwi tersebut sebelum getarannya semakin mengganggu telinga gue.
“Halo?”
“Lo dimana sekarang?” terdengar suaranya yang terburu-buru dengan latar belakang bunyi deru kendaraan yang berlalu lalang di belakangnya.
“Gue ada di rumah sekarang? Kenapa?”
“Lo ganti pakaian sekarang dan keluar dari rumah sekarang juga. Oh ya, bilang ke Mama kalau lo agak pulang malam karena ada ada hal yang penting yang perlu diselesaikan,” istruksinya di seberang sana. Nampaknya ada sesuatu yang sangat emergency telah terjadi.
“Oke-oke gue ganti pakaian sekarang. Emang ada-“
“Nggak usah banyak tanya sekarang. Lo ganti baju sekarang dan tunggu gue di depan rumah! Gue lagi otw ke rumah lo,” perintahnya tegas sambil menutup telpon gue sepihak.
Dasar anak aneh.
Setelah gue berganti pakaian, guepun turun ke lantai dasar yang disambut oleh Mama yang sedang asyik nonton drama India. Mata melotot kearah layar televisi sambil memasukkan beberapa butir kacang hijau kedalam mulut beliau tanpa berkedip sedikitpun.
“Ma, Adrian pergi dulu sebentar Ma,” ujar gue sambil merapikan baju menatap Mama yang khusuk menonton drama India.
“Kemana Nak?” tanya beliau tanpa menoleh kearah gue.
“Mmmm..., ada hal penting yang harus Adrian selesaikan Ma. Mungkin Adrian pulang agak malam. Sebentar lagi Dwi bakalan menjemput,” jawab gue sambil menekankan kata ‘Dwi bakalan menjemput’ supaya Mama memberikan izin.
“Hmmm, okelah. Jangan malam-malam ya Nak. Hati-hati di jalan.” Beliau tiba-tiba menoleh kearah gue sambil tersenyum jahil, “selesaikan masalahmu dan bawa dia kesini oke.”
Gue hanya tersenyum penuh paksaan dengan perkataan Mama yang penuh sindiran. Jelas sekali kalau beliau masih belum bisa move on dari topik yang di teras tadi. “Iya Ma,” jawab gue canggung. Gue menoleh kearah luar saat bunyi klakson motor Dwi terdengar seperti pengendara di lampu merah. Gue berjalan kearah Mama sungkeman sambil berceletuk, “Sudah nonton film Indianya Ma, udah jam berapa nih. Nggak mau masak?”
“Iya-iya, Mama lagi latihan ini, melihat ekspresi pemainnya yang hebat-hebat,” tukas Mama sambil mengibas-ngibaskan tangan beliau meminta supaya gue nggak mengganggu ritual baru beliau yang baru muncul belakangan ini. “Baru juga jam lima.”
“Iya deh, jangan salahkan Adrian kalau Papa cari yang baru karena masakan Mama kurang yahud ntar,” seloroh gue bercanda lalu berlari keluar rumah, setelah Mama melihat gue dengan pandangan mata menusuk. Syukur saja beliau hanya memegang bungkusan kacang, bukan pisau atau benda keras lainnya. Kalau iya, bisa dilempar oleh Mama sambil berteriak kencang, “bedebah punya budak!”
Setelah menutup pintu, gue lalu berjalan ke arah Dwi yang sudah nggak sabaran sambil menghentak-hentakkan helm yang dia pegang. Tak lupa kening berkerut yang menandakan bahwa ada hal emergency yang telah terjadi. Gue lalu mengambil helm bewarna putih itu sambil meliriknya sekilas. Sambil memakai helm, gue lalu naik keatas motor. Naas bagi pantat gue yang belum sempurna mendarat di jok motor Dwi, pengendara motor ini tanpa memberi aba-aba sebelumnya langsung berbalik dan meninggalkan rumah gue dengan kecepatan motor yang lumayan kencang. Sial dah nih anak.
“Ada apa sih Wi?” tanya gue sambil mengeratkan pegangan gue ke tepi bajunya. Dwi terdengar berdecak sambil tetap fokus memandang kearah depan menyalip beberapa kendaraan dengan kecepatan yang lumayan kencang seperti Valentino Rossi kw 7. Terdengar beberapa kali umpatan pengendara lain yang disalib oleh Dwi sang pembalap kita.
Gue mendengus sambil melempar pandangan kearah jalanan. “Segitu amat sih,” gumam gue.
Dwi terdengar menghela nafas sambil menaikkan kaca helmnya, melirik gue dari kaca spion. Dia juga turut menurunkan kecepatan motornya, sehingga suaranya terdengar memasuki indra pendengar gue. “Liat aja ntar,” jawabnya lalu menatap jalanan yang cukup rame.
Gue hanya menghembuskan nafas berat, melemparkan pandangan kearah jalan raya.
Setelah beberapa menit perjalanan, Dwi membelokkan motornya kearah jalanan sempit kearah bangunan yang terbengkalai. Rencananya bangunan ini akan dibuat sebuah mall besar. Tapi apa daya, semua terhenti saat krisis moneter menyerang belasan tahun yang lalu, membuat mall itu terhenti pembangunannya.
Motor kita tetap terus berjalan melintasi bangunan 6 lantai yang dinding-dindingnya telah ditumbuhi lumut sehingga sampai ke sebuah gudang besar dibalik mall tak jadi itu. Kita lalu masuk ke dalam gudang yang rupanya telah terparkir beberapa buah motor disana. Ada motor Askar dan Aldi juga. Dwi lalu memarkirkan motornya dekat motor Aldi lalu menyeret gue dengan langkah tergesa menuju sebuah pintu yang gue yakini menuju sebuah ruangan.
Gue memasuki ruangan remang-remang minim cahaya tersebut sambil menutup hidung. Ruangannya sedikit berdebu dan tercium bau yang sedikit aneh. Ntahlah, gue sampai pusing mencium bau ruangan yang pasti sudah lama di tinggalkan itu. Gue melirik ke Dwi yang nampak menahan emosi sekilas sebelum kembali mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan yang luas itu.
Ada sebuah meja besar di tengah-tengah ruangan dengan kursi di didepannya. Ada seseorang yang sedang duduk di kursi tersebut, dia terikat dengan mulut disumpal. Bukan hanya orang itu, ada beberapa orang lain lagi di dalam ruangan itu. Sekitar lima hingga enam orang, menatap gue di dalam gelap. Ada pula seseorang yang duduk bertopang kaki di sudut ruangan seperti memperhatikan gerak gerik gue. Gue menoleh ke arah Dwi meminta penjelasan sehingga anak itu menyuruh gue maju. Dengan langkah penuh keraguan, gue melangkah mendekati meja besar itu sebelum suara familiar terdengar di indra pendengaran gue.
“Lo udah sampai Rian?” tanya sipunya suara tersebut sambil mendekati gue dari sebelah kanan. Sayup-sayup gue bisa melihat senyum puasnya laksana baru mendapatkan perhargaan nobel Kimia tiga kali berturut-turut.
“Kok gelap banget sih?” tanya gue sambil mengelus kuduk gue. Gila bro, kesannya horor banget nih. Gue laksana tukang jagal atau dukun sakti bin mantraguna yang telah lama di tunggu hadirin di ruangan untuk mengorbankan orang yang sedang duduk terikat itu untuk dijadikan tumbal penggandaan eh salah, tumbal vudoo. “kita mau bikin film horor ya?” celetuk gue yang disertai kekehan Aldi. Dia lalu mengisyaratkan seseorang untuk menghidupi lampu ruangan yang entah kenapa berkedip-kedip ketika dihidupkan.
“Sengaja, biar dia nggak kabur,” jawabnya sambil melirik orang yang terikat tadi. Otomatis, mata gue mengikuti pergerakan mata Aldi menoleh kearah seseorang yang terikat di kursi. Darah gue berdegup kencang melihat orang itu secara langsung. Nafas gue tertahan. Dia nampak kacau, dengan beberapa luka memar di wajahnya. Terlebih beberapa tetes darah di sudut bibirnya menandakan bahwa dia sudah dijahar oleh masa sebelumnya.
Gue melirik Aldi meminta kepastian apakah dia anonymouse. Aldi yang sepertinya dapat membaca fikiran gue, mengangguk sambil mendorong gue mendekati seseorang yang menatap gue dengan pandangan keputusasaan, bukan pandangan kebencian yang sering dia tampilkan ke gue.
“Aldo,” desis gue menatapnya tidak percaya. Diakah? Apa salah gue ke dia sehingga sebegitu bencinya dia ke gue sehingga dia tega buat meneror gue selama ini? Gue meneguk ludah menatap mata coklatnya, lalu melirik Askar yang sedang duduk bertopang kaki di sudut ruangan yang menatap Aldo penuh benci. Kaki tangan dari Askar itu telah berubah babak belur sekarang.
Gue lalu menarik salah satu kursi tua reot hampir patah yang berada dalam jangkauan gue, lalu duduk menghadap Aldo yang membuang muka. Gue menarik nafas dalam, menetralkan suasana hati gue walau udara ruangan ini sangat pengap dan kelihatan tidak sehat.
“Do...,” lirih gue, “kenapa lo ngelakuin ini ke gue, kenapa? Apa salah gue ke elo...?”
Dia masih bergeming tanpa mau menatap gue. “kenapa Do?”
Dwi yang sendari tadi berdiri di belakang gue tidak mampu lagi untuk menahan emosinya. Dia terdengar menggeram, lalu menarik kerah seragam Aldo yang sudah awut-awutan. “Kalau orang nanya dijawab! Lo punya mulut nggak sih?” teriak Dwi dengan mata nyalang. Begitupun Aldo yang menatap Dwi tak gentar sedikitpun hingga suasana mulai memanas.
“Stop!” teriak gue sambil berusaha melepaskan cengkraman Dwi dari seragam Aldo. Gue menatapnya dengan pandangan memohon supaya Dwi nggak main kasar dengan Aldo. Begitupun Aldi yang sudah sigap memegangi Dwi sebelum emosinya semakin tidak tekontol. Seorang Dwi yang biasanya tenang, sampai terbawa emosi seperti ini, luar biasa. Aldi lalu seperti membisikkan sesuatu ke Dwi, hingga cengkraman itu melunak dan Dwi menghentakkan seragam Aldo sambil menggembrak meja meluapkan emosinya. Tak lupa umpatan kekesalan keluar dari mulutnya itu.
Gue kembali menatap Aldo yang tidak memandangi gue sedikitpun. Dia nampak gelisah, tidak nyaman dengan kehadiran gue. Gimana bakalan nyaman kalau orang yang lo teror sekarang ada di depan lo saat ini. Gue harus bisa mengontrol emosi gue saat ini. Ya, harus.
“Do, kenapa lo ngelakuin ini?” tanya gue lirih. “Kenapa?”
“Gue suka sama lo,” jawabnya datar. Askar yang duduk di sudut ruangan tersentak mendengar pernyataan kontroversional Aldo tadi. Dia bangkit dengan mata nyalang menatap Aldo dari belakang. Begitupun gue yang sangat terkejut dengan jawabannya itu.
“Apa lo bilang!?” teriak Askar.
Aldo menatap gue getir. “Gue cinta sama lo sejak lama Adrian. Tapi sayang, gue keduluan sama Askar,” jawabnya lagi.
“Anjing lo!” teriak Askar di belakang sana. Matanya memerah, seperti hendak melumat Aldo saat ini juga. Syukurlah Evan dan beberapa anggota Yakuza Junior langsung memegangi ketuanya yang tengah kalap itu. “Lo bilang neror itu karena lo cinta? Lo udah hampir mencelakakan pacar gue bung! Itu yang lo namakan cinta?” teriak Askar lagi.
Aldo terkekeh sambil menatap gue, lebih tepatnya mencibir Askar. “Pacar? Lo udah pacar Askar sekarang Rian? Kapan jadiannya?”
Gue meneguk ludah. Pertanyaannya yang dilematis membuat gue ragu untuk menjawabnya.
“Diamnya lo, menandakan kalau lo belum jadian dengan Askar,” tebaknya dengan senyum penghinaan. Askar nampak tidak dapat menahan emosinya lagi.
“SIALAN LO BANGSAT!!!” teriak Askar sambil melayangkan tinjunya kearah muka Aldo dari samping hingga anak itu tersungkur ke lantai. Darah bercucuran dari hidungnya. Askar yang telah kalap lalu menelentangkan Aldo dan menghajarnya berkali-kali. Aldi lalu dengan sigap memegangi lalu menarik Askar menjauhi Aldo yang masih tetap tersenyum mengejek.
“Seseorang yang tempramental seperti lo tidak cocok untuk Adrian!” ejeknya dengan senyum kemenangan.
“Sudah cukup!” potong gue sambil menatap Aldo. Gue mengambil sapu tangan yang ada di kantong gue lalu duduk disamping Aldo yang terlentang, menyapu pelan-pelan darah yang bercucuran di hidungnya. Mulutnya masih berkomentar sarlas disaat kondisi payah seperti ini.
“Andai lo bisa menjadi pacar gue,” gumamnya dengan mata sendu sambil mengelus pipi gue lembut. Hati gue bergetar sambil menatap mata coklatnya yang penuh keputusasaan itu.
“Hati tidak bisa dipaksanan Do,” jawab gue diplomatis.
“Gue hanya keduluan saja oleh Askar, gue terlampau berlama-lama dalam keraguan untuk memiliki lo seutuhnya,” ujarnya menerawang. “Gue cinta sama lo,” desisnya.
Sejenak gue terdiam tidak berani menatap matanya. Rasa ini kembali terasa, perasaan dimana seseorang yang mencintai lo menyatakan perasaannya ke lo, tapi lo tidak mencintainya. Rasa sesak memenuhi dada gue. Terlebih perlakuannya selama ini ke gue, membuat gue masih setengah tidak percaya jikalau dia menyukai gue lebih dari seorang sahabat atau teman satu sekolah.
Mata gue memanas, meneteskan air mata gue satu persatu ke baju biru muda yang gue kenakan. Gue hanya bisa mengungkapkan semua melalui air mata yang terus mengalir dari mata gue. Aldo mengangkat dagu gue, lalu dengan jempolnya, dia menyapu bawah mata gue yang telah basah dengan air mata.
“Jangan menangis,” bisiknya.
Gue melepaskan tangannya dari wajah gue sambil menggeleng. “Gue nggak menangis kok.”
“Andaikan lo milik gue,” racaunya. “Gue nggak akan membuat lo sampai menangis kayak gini. Tapi sayang, sudah kepunyaan orang lain.”
“Lo tahukan kalau Adrian kepunyaan orang lain, lalu kenapa lo tetap ngejar-ngejar Adrian? Berusaha ngerebut Adrian dari Askar dengan cara neror-neror gini. Kayak nggak ada cowok maho yang lain aja,” ujar Dwi sarkas berlipat tangan di ujung ruangan. Dia masih nampak kesal.
Aldo terkekeh. “Gue nggak berusaha ngerebut Adrian dari Askar. Tapi Askarlah yang merebut Adrian dari gue,” jawabnya sambil menerawang menatap loteng. “Gue hanya berusaha mengambil kembali Adrian saja,” lanjutnya dengan senyum getir terpatri di bibir.
“Dengan cara meneror Adrian kayak gini?” kejar Aldi.
Aldo membuang muka, “kadang gue harus bersikap jahat kepada orang yang gue cintai supaya dia berpisah dengan orang lain.” Dia melirik gue, mengelus pipi gue, “Gue sudah melakukan apa yang bisa gue lakukan untuk memisahkan lo dengan keparat itu. Tapi...” air matanya mengalir dari pelupuk matanya, “...gue gagal.”
“Huh syukurlah kalau lo gagal,” perkataan Askar terdengar sarkas di telinga gue.
“Gue sudah banyak melakukan semua hal untuk lo Adrian,” ujar Aldo menatap mata gue lekat-lekat. Dia nampak putus asa, mengenang semua yang telah dia lakukan. “Gue berusaha supaya Askar nggak macam-macam sama lo. Gue berusaha mempengaruhi Askar supaya tidak menghabisi lo dengan sikap terjang lo ke Yakuza Junior. Tapi cara gue salah, gue malah membuat kalian berdua menjadi lebih dekat,” ujarnya.
Gue tertegun. Pantesan Yakuza Junior tidak pernah mengusik gue di saat gue lagi menggencarkan kampanye pembubaran organisasi meresahkan di sekolah. Berarti ini semua karena Aldo. “Gue menyukai lo karena keberanian lo yang berani menentang kami,” tandas Aldo tersenyum menatap gue.
“Kami? lo bukan bagian Yakuza Junior lagi,” ujar Askar di belakang dengan nada dingin. Gue menoleh ke arah Askar yang menatap Aldo nyalang sebelum kembali memandanginya.
Aldo tersenyum kecut menatap gue. “Jangan khawatir, gue nggak apa-apa kok. Gue juga berencana hendak keluar dari sana setelah rencana ini berhasil. Tapi...,” dia terkekeh, “rencana gue gagal.”
Askar menggeram sambil memukul dinding. “Gue nggak nyangka orang yang gue berusaha lindungin, menusuk gue dari belakang seperti ini.” Askar menekurkan kepala menahan emosinya. Gue bisa merasakan Askar yang sangat kecewa dengan kenyataan yang harus dia terima.
“Maaf Kar, dunia memang kejam. Siapa yang cerdik dia yang menang,” ujar Aldo, membuat gue tertegun dengan kata-katanya.
“Tapi sayang, kecerdikan lo tidak berhasil Do. Lo kalah,” sahut Aldi tersenyum puas menatap Aldo yang terlentang di lantai.
“Gue kalah oleh kecerdikan kalian semua. Kalian berhasil memperbodohi gue dan menangkap gue disaat gue menyangka gue telah menang.” Aldo menatap Aldi. “Bagaimana cara kalian tau bahwa gue adalah anonymouse?”
“Itu mudah.” Aldi tersenyum puas. “Gue sengaja memancing Adrian untuk menyebutkan e-mail nyokapnya di kantin, karena kebetulan orang yang gue curigai ada di sana. Gue sengaja menyusupkan mata-mata gue secara tidak langsung untuk melihat ponsel kalian yang gue dugai sebagai anonympuse. Fandi gue tugaskan sebagai mata-mata Tia dan Nathan, serta Evan,” Aldi melirik Evan sekilas,” memata-matai lo. Dan rupanya gayung bersambut, sang anonymouse kembali meneror Adrian dengan ancaman e-mail nyokap Adrian yang jarang digunakan itu.” Aldi tersenyum kearah gue. “Syukur dia menyebutkan e-mail nyokapnya yang lain sehingga kita bisa dengan mudah memantau.
Trus selama lo meneror Adrian, kita bergerak mencari tahu fakta-fakta yang mengungkap siapa anonymouse sesungguhnya. Hingga lo kepancing dengan Adrian dan Askar yang mesra-mesraan tadi, dan lo tidak tahan lagi untuk tidak mengirimkan foto ancaman itu ke nyokap Adrian. Disaat itulah, kami dengan mudah menangkap basah lo.”
Aldo tersenyum getir. “Apa bukti yang membuat lo yakin kalau anonymouse itu adalah gue?”
“Mudah saja,” Aldi tersenyum sambil menaikan kacamatanya yang melorot. He is like a Edogawa Conan now. “Anonymouse pasti menggunakan ponsel kedua atau nggak aplikasi Line Lite ketika meneror Adrian. Tapi gue lebih yakin jikalau anonymouse memakai aplikasi Line Lite untuk meneror Adrian. Pertama, anonymouse meneror Adrian juga di sekolah, dan kalian bertiga tidak membawa dua ponsel. Palingan ponsel buntut pelempar anjing yang tahan banting itu,” sindir Aldi ke gue. “Dan setelah di periksa, ternyata aplikasi Line lite hanya ada di ponsel lo saja hingga menguatkan dugaan kalau lo adalah anonymouse.
Setelah itu, disaat anonymouse mengirimkan foto ke e-mail nyokap Adrian. Dari ketiga orang yang gue curigai, hanya lo yang posisinya tidak jauh dari rumah Adrian disaat foto itu sampai. Lo bisa memantau nyokapnya Adrian lagi ngapain, sama persis dengan anonymouse yang tahu sedang ngapain nyokap Adrian sekarang. Jadi kami berkesimpulan bahwa lo adalah anonymouse. Syukurlah lo segera mengaku pas kami grebek, sehingga tidak memakan banyak tenaga.”
Aldo tersenyum sambil menatap Askar yang menatapnya garang. “Lo beruntung punya orang-orang seperti mereka. Tapi sayang lo nggak akan beruntung kali ini. Lo ingat ini hari apa huh? Bonyok lo... Lo ingat? Minimal gue bisa memisahkan kalian berdua walau gue nggak bisa memiliki Adrian.” Terdengar tawa jahat Aldo, seperti tokoh antagonis di film-film.
Askar terkesiap sambil melirik jam tangannya. Dia menatap gue sejenak, “Gue ada urusan yang sangat penting, Tolong jaga Adrian,” ujar Askar sambil memakai jaketnya. Dia mendekati gue sambil membelai wajah gue dengan senyum yang dipaksakan. “Gue pergi ya, jangan nakal,” ujar Adrian sambil berlalu keluar dari ruangan. Aku terdiam menatap kepergiannya yang mendadak itu.
“Apa yang lo lakuin ke nyokap dan bokapnya Askar?” tanya gue getir ke Aldo. Dia nampak menantang gue, membuat gue semakin jengkel dengannya. “Apa yang telah lo lakuin?” ulang gue lagi sambil mengguncang badannya yang terlentang. Emosi gue sedikit tersulut dengannya. Cukup hanya gue, dan jangan orang lain.
“Gue nggak apa-apain bonyok dia kok. Memang bonyoknya aja yang pengen berpisah. Gue ambil kesempatan aja untuk menghasut nyokap Askar untuk membawa Askar ke Surabaya,” ujarnya penuh kemenangan.
Gue meremas rambut sambil menatapnya. Pengen rasanya gue meninju mukanya itu, sebelum gue sadar bahwa semua itu nggak akan menyelesaikan masalah. Gue harusnya mendoakan semoga Askar berhasil menyatukan kedua orang tuanya, bukannya menghabiskan tenaga untuk memukuli Aldo. Gue mendesah sambil bangkit dari posisi gue. Gue menatap Aldi dan Dwi bergantian, meminta mereka supaya menemani gue keluar dari ruangan pengap ini. Faham dengan pandangan gue, Aldi lalu menoleh ke arah Evan, “gue serahin semua ke lo Van,” ujar Aldi sambil merangkul gue. Gue sebaiknya tidak melihat anak itu lagi supaya emosi gue nggak semakin tersulut.
“Lo nggak usah khawatir. Semua udah berakhir. Anonymouse udah ke tangkap dan kita hanya tinggal berharap semoga bonyok Askar tidak memindahkannya ke Surabaya,” ujar Aldi membarut punggung gue. Dwi tersenyum sambil menepuk pundakku. Aku mengangguk, sambil duduk di salah satu motor yang terparkir di gedung tua tersebut. Entah kenapa perasaanku berubah tidak enak sejak keluar dari ruangan tadi.
“Lo nggak apa-apa kan?”Aldi merangkul gue, “lo nggak sakit kan?”.
Gue menggeleng, “nggak kok,” jawab gue, “gue cuman syok sama kebawa emosi aja tadi,” jawab gue sambil melepaskan rangkulan Aldi. Gue jadi nggak bersemangat saat ini.
“Yaudah, gue masuk dulu,” Aldi melirik Dwi yang nampak sibuk dengan handphonenya. “Wi, tolong jaga Ian ya,” ujarnya yang dibalas Dwi dengan anggukan. Aldi lalu meninggalkan kita ke dalam ruangan.
“Lo nyemasin Askar?”
Gue menoleh ke arah Dwi. Gue menggigit bibir bawah gue sambil mengangguk. “ntah kenapa perasaan gue jadi aneh gini pas dia pergi tadi. Gue takut kalau ada masalah sama bonyoknya.”
“Nggak usah di fikirin juga, lo terlampau terbawa perasaan aja. Gue yakin dia bisa nyelesein masalah dia sama keluarganya,” ujar Dwi. Aku mengangguk-angguk sambil menatap langit yang telah menjingga. “Nyari makan yuk! Gue lapar nih,” ajak Dwi yang gue balas dengan anggukan. Mungkin dengan keluar sebentar bisa menenangkan kekhawatiran gue tentang Askar.
Jadilah kita berdua putar-putar kota sambil menghabiskan waktu sore tersebut. Dwi yang terkenal perhitungan itu akhirnya mentraktir gue makan nasi goreng di warung pinggir jalan yang terkenal di seantero kota gue. Bukan hanya kita berdua, ada beberapa orang mahasiswa, anak sekolah yang belum pulang ke rumahnya, serta keluarga besar turut meramaikan warung tersebut. Sayang sekali Aldi nggak sempat ikut sehingga gue nggak sempat mengabadikan momen kita bertiga sebagai sodara.
Gue merogoh celana gue, meraih handphone untuk menelpon Askar. Sudah beberapa kali panggilan gue tidak di jawab oleh si kampret Askar itu. Aku jadi kesal sendiri sambil memandangi fotonya dari layar handphoneku. Dwi seperti mengetahui kecemasan gue, sehingga anak itu membarut-barut punggung gue.
“Lo nampaknya butuh istirahat deh. Lo mau gue antar pulang atau nginap di rumah gue dulu?” tanyanya. Gue berfikir sejenak sambil menimbang baik-buruknya. Aku mendesah sambil menatapnya.
“Gue pulang aja deh, gue nggak mau ngerepotin. Lagian besok juga sekolah dan gue nggak bawa seragam,” jawab gue yang disertai senyuman Dwi.
“Yang mana yang buat lo nyaman deh. Gue antar lo pulang, tapi kita ke tempat tadi ya.”
“Terserah lo dah, gue nurut aja.”
Setelah Dwi membayar makanan, kita berdua langsung menuju ke gedung tua yang tidak selesai di bangun tersebut untuk memberi tahu Aldi dan juga Evan. Nggak enak juga ceritanya, gue tanpa permisi udah pulang duluan. Emang benar apa yang di katakan Dwi. Mungkin gue terbawa cemas oleh masalah Askar dan keluarganya serta gue yang syok dengan pengakuan Aldo tadi, membuat gue jadi rada aneh dengan perasaan yang nggak nyaman.
Motor Dwipun sampai di gedung tua tersebut. Ada Aldi dan Evan di sana nampak menatap gue cemas. Dengan segera, gue lalu turun dari motor Dwi dengan perasaan bersalah karena tidak mengabari mereka dulu.
“Dari mana tadi?” cowok berkacamata itu mendekati gue dengan ekspresi campu aduk laksana gado-gado.
“Sorry, gue nggak bilang-bilang tadi. Gue sama Adrian tadi jalan keluar sebentar, sekaligus cari makan,” jawab Dwi. Aku menoleh ke arah saudaraku itu sebentar sebelum menatap Aldi dan Evan yang mendadak aneh gitu.
“Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Aldi bersuara.
“Kenapa? Lo apain si Aldo sampai dia sampai harus di bawa ke rumah sakit segala?”
Evan menepuk pundakku sambil menggeleng, “Ini bukan tentang Aldo...” dia menatapku lekat-lekat. Jantungku berdegup kencang sebelum Evan mengatakan hal yang berhasil membuatku terdiam.
“Ini tentang Askar. Dia kecelakaan.”
--- tbc
R~
Halo minna, setelah 4 kali purnama gue nganggurin nih cerita, akhirnya setelah melewati perjuangan berat yang tak kalah dari perjuangan Mimi Perih dari Kayangan buat menjaga keperawanan abadinya, gue akhirnya bisa update juga malam ini. Gue minta maaf kepada antum semua karena gue udah seperti menelantarkan nih cerita, termasuk nggak membalas komentar-komentar antum semua dan terkesan lebih fokus ke cerita gue yang lain (walaupun sebenarnya iya sih). Walau nggak bisa di pungkiri kalau gue udah menggantung cerita ini sekian lama. Gue mohon maaf, sebelas sama kepala.
Ikeh, gue mungkin nggak banyak komen untuk part ini. Gue harap antum semua suka. Gue juga mohon do’anya supaya dapat melanjutkan cerita gue sehingga dapat berbarengan tamat dengan sinetron terpanjang di Indonesia nanti. Aamiin... wkwkw. Gue belum tahu kepastian kapan gue bakalan update part 49, disebabkan otak gue lagi terbagi-bagi saat ini, + problematika abege yang tak ada habis-habisnya. Oh ya, jangan lupa yes, baca cerita kedua gue, After You Go yang udah tayang di Boyzstories TV semenjak November kemarin. Silahkan di baca, n gue mohon vote n komentar antum semua yes. Gue juga mohon vote n komentar dari teman-teman semua yes buat cerita kita. Selamat malam, selamat bermalam minggu. Yang punya pacar silahkan berpacaran n yang jomblo silahkan main sabun. Hehehe (jangan tanya aku yang mana).
Good night n sunt. (
Salam
R~
@rama212 ternyata selama ini kak Aurora itu ganteng. Itu maksudnya?
@Firman9988_makassar Emang d tambah drama dikit dek biar hot dikit. Wkwk
Siap bos.
@memek_perih ?
@satria91 Maaf bang, ini namanya masih nama2 bbrp part sebelumnya. Nanti aku mention di part depan.
gua juga di mention dong bro
btw after you go aka why sedikit lambat tuh alurnya, jadi lom bisa menikmati kayak cerita yg ini, Askarnya jangan ditelantarkan ya, plis, plis, hehe