It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
‘Papa tidak pernah menyuruh kamu untuk memilih jurusan itu. Kamu tahu kalau profesi itu tidak menguntungkan untuk kita bahkan kamu sendiri.’
Eren memasukkan notebook, ponsel, dan dompetnya ke dalam ransel merah. Keputusannya benar-benar sudah sebulat bola sepak.
‘Selamat, kamu mendapat beasiswa sampai sarjana.’
Ia memakai sepatu yang sebelumnya sudah di simpul rapih.
‘Lo tuh ya, dikira hidup ini drama atau sinetron-sinetron lebay yang jelas banget ngga mutu?’
Rambut hitamnya di tutupi oleh topi dengan tulisan ‘Hate’, melapisi kaos putihnya dengan jaket motif playboy, kemudian memakai ransel dan turun ke bawah dengan santai –seperti biasa.
‘Papa tidak memaksa, toh itu hidup kamu –tapi Papa hanya ingin kamu bahagia kelak.’
Eren masuk ke dalam angkot yang berhenti di depannya. “Pak, ini lewat mall ‘kan?”
“Iya dek.”
‘Kamu sudah besar dan papa yakin kamu bisa memilih.’
Eren mengeluarkan selembar uang pada supir angkot kemudian meminta tolong pada satpam mall untuk membantunya menyebrang jalan.
‘Kalo pengen mandiri, jangan andelin uang papa lo.’
“Ngga kok Ken,” Eren tersenyum lebar mengambil uang yang di sodorkan oleh mesin ATM –memasukkannya ke dalam tas, lagi, lagi, lagi, lagi dan lagi. “Ini yang terakhir gue pake uang papa.”
###
“Elah! Lama banget sih!”
Kenora belum sempat terkejut, orang yang mengganggu tidur malamnya malah langsung ngeloyor masuk ke dalam apartemennya. Jadilah ia hanya menghela napas berat kemudian kembali menutup pintu dan menguncinya.
“Gue laper, sumpah. Tapi katanya makan malem ngga baik ya? ya udah deh gue tidur aja.”
“Eh, tunggu.” Kenora menarik ransel merah Eren. “Lo bener-bener kabur dari rumah?” matanya menyipit, berharap Eren hanya menginap untuk sementara dan sudah mendapat restu dari ayahanda yang plin-plan itu.
Eren menoleh dengan wajah malas lalu mengangguk.
“Papa lo tau?”
Eren menggeleng.
“Beliau pergi kemana?”
“Liburan sementara di rumah sakit.”
“Di mana?”
“Singapur.”
###
Eren mengucek kedua matanya, lalu menguap lebar sambil menonton tivi. Sudah lewat tiga puluh menit Kenora pergi dengan alasan membeli sarapan, ia berjalan kearah dapur untuk melihat isi kulkas. Tapi hanya ada sayuran mentah, air putih, dan sekotak susu yang masih bersegel.
Tapi tak apa, dari pada kelaparan –mending minum susu. Ia ingin tersenyum saat membuka segel susu kotak itu tapi jika di pikir lagi –untuk apa? Masa karena susu kotak ia tersenyum. Minum langsung dari tutupnya pasti keliatan keren kayak iklan susu khusus cowok gitu, pikirnya.
“Woy!” Kenora menarik kotak susunya yang hampir saja menyentuh bibir Eren, alisnya berkerut marah. “Nggak boleh! Jorok tau!” serunya kesal.
“Oi?!” Eren menoleh dengan alis yang juga berkerut, bukannya marah tapi kaget.
“Laper tau, lo beli makan di samudra mana sih?”
Kenora berbalik dengan wajah sombongnya sambil membawa susu kotaknya, ya pura-pura sombong. “Benua Amerika.” Kemudian duduk di atas sofa.
“Ngaco.” Eren ikut duduk di samping Kenora, memperhatikan temannya yang membuka kantong plastik di atas meja.
“Lo duluan yang ngaco.” Ujarnya sambil memberikan nasi kotak. “Nih makan pagi. Nasi goreng, ngga pake sayur dan bawang.”
Eren mengangguk, inginnya protes tapi ya mau bagaimana lagi –‘kan lagi numpang, masa bikin yang punya rumah terus-terusan sewot. Nanti di usir lagi.
“Denger ya Ren, selama lo tinggal di sini. Pertama, ngga boleh bawa orang lain masuk ke dalem rumah. Kedua, gue pengen rumah selalu bersih dan rapih. Ketiga, ngga ada suara berisik kalo gue lagi belajar. Keempat, bla bla bla bla...”
Eren sedang makan, jangan mengajaknya bicara.
###
“Astaga! Gue udah lama nyari nih sepatu!”
Kenora memutar bola matanya jengah. Membolos kuliah untuk menemani Eren belanja adalah kesalahan yang fatal, sangat fatal, lebih fatal dari menghamili anak orang. Maaf, bercanda.
“Apa lagi sih? Tadi baru aja beli sepatu, masa mau beli lagi.” Kenora mengangkat tangan kanannya yang menjinjing kantong berisi sepatu yang lumayan berat, original sih. “Yang ini aja belum di pake.”
“Ken, pacar aja ganti-ganti –masa sepatu lo tetep sama. Apa kata dunia nantinya?”
“Bodo.” Kalo urusan adu bacot sama Eren, Kenora langsung nyerah. Si anak orang kaya ini pinter banget ngeles. “Eh, bukannya ini toko sepatu artis itu ya?”
Eren mengamati sepatu di tangannya dari segala sudut. Keren sih, harganya juga keren, mesti punya. “Siapa? Justin Bieber?” cletuknya sambil tersenyum lebar menatap sepatu. “Eh keren sumpah. Kalo gue yang make pasti tambah keren deh.”
“Masa?” Kenora melirik sebentar lalu kembali menatap sekitar. “Eh, iya –yang pernah masuk berita gosip itu.”
“Selamat sore, adek/kak cari sepatu?”
Eren berbalik. “Om/mas/pak ada nomor empatnya ga? Soalnya kalo nomor lima longgar –nanti kalo di pake buat maen bola takut lepas pas lagi nendang, kan malu.” Ia mendongak, buseettt ganteng broh.
“Yang mana ya?” senyum manis lagi, Eren dan Kenora komat kamit baca mantra dalam hati.
“Biar pegawai saya yang mencari.”
“Yang ini,” Eren menyerahkan sepatu dari tangannya. “Kalo ada warna putih, garisnya item atau biru muda –itu, solnya rada tinggi ‘kan? Ada yang lebih tinggi ga?”
Kenora ingin sekali menepuk dahinya, Eren masih saja bisa cerewet.
“Oh ya, mari ikut saya ke kursi sebelah sana.”
Si ganteng berjalan sambil memanggil pegawainya. Eren dan Kenora mengikuti dengan langkah siput sambil saling menyikut.
“Ganteng, artis ya?” cicit Eren, mata bulatnya jelalatan takut ada yang nguping.
“Siapa namanya?”
“Kevin Jonas, blasteran.” Kenora tak kalah mencicit.
Eren duduk di kursi, di ikuti oleh Kenora di sampingnya sambil meletakkan barang belanjaan Eren.
Pegawai cantik menyambutnya dengan ramah.
“Berapa harga tuh sepatu?”
“Satu kurang.” Kenora menoleh, matanya membola.
“Satu juta maksud lo?”
“Apa sih? Lebay deh.”
###
“Gimana? Keren ‘kan?”
Mata Kenora merek-melek, sudah tinggal beberapa watt dan pakaian baru yang belum di coba Eren masih banyak. Ia hanya mengangguk sebagai jawaban dan kemudian kepalanya tak kuat untuk bersandar lagi.
“Ken! Jangan tidur dulu lah.” Eren melepas kaosnya kemudian memakai kemeja, “bajunya masih banyak... gue minta pendapat lo.”
“Ren, udah deh diem-mending cuci muka, gosok gigi, cuci kaki, abis itu bobo cantik. Lo bukan artis yang harus jaga penampilan, lo ngupil sambil nyebrang aja gue yakin ga ada yang berani negur.”
Eren cemberut kemudian duduk di tepi kasur, ia melempar semua pakaian barunya ke dalam koper yang terbuka. “Meski bukan artis, tapi gue pengen fashionable –eh mendadak gue pengen jadi tata busana gitu, tapi khusus cowok.”
“Apa? Yang buat baju?”
“Bukan.” Eren melepas kemejanya, hingga hanya meninggalkan kaos putih tanpa lengan. “Yang cocok-cocokin baju gitu, tapi buat artis –ngapain gue cocok-cocokin baju buat orang biasa, ‘kan ga ada yang liat.”
“Ya udah, kerja sama artis aja –jadi asistennya atau kerja di butik.” Ujar Kenora sambil merem.
“Iya ya? gue ‘kan juga harus kerja.” Eren tidur terlentang di samping Kenora. “Eh, kerja apa ya?”
“Katanya pengen cocok-cocokin baju? Ya di butik, tapi lo harus janji sama gue.”
“Janji apa?”
“Jangan jadi bencong.”
“Kamvrett!”
=>5815