It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Turut mengundang @Tsu_No_Yanyan si tante Medusa
@Obipopobo Orang yg paling special
@Akang_Cunihin
@Akang_Cunihin
@Akang_Cunihin
@Akang_Cunihin
@_abdulrojak
@Rifal_RMR
@JimaeVian_Fujo
@lulu_75
@Aurora_69
@harya_kei
@3ll0
@Otho_WNata92
@hyujin
@j4nji
@rizal_91leonardus
@Rikadza
@lucifer5245
@abyyriza
@terry22
@rama_andikaa
@Gabriel_Valiant
@ramadhani_rizky
@Akang_Cunihin
@Sho_Lee
@raw_stone
@Rars_Di
@kaha
@haikallekall
@ffirly69
@gilang22
@viji3_be5t
@LostFaro
@nakashima
@kie_kow
@littlemark04
@akina_kenji
@Daser
@sn_nickname
@Vanilla_IceCream
@Dhi96
@Greent
@Toraa
@jimmy_tosca
@cansetya_s
@tianswift26
@zenfonepro
@bapriliano
@cela
@dadannnnnnn
@bagastarz
@Agova
@syafiq
@sonyarenz
@delvaro80
@Badguydrunkby6
@boybrownis
@hearttt
@Phantex
@malmol
@roy_rahma
@RezzaSty
@aries18
@abong
@new92
@soratanz
@pangeran_awan99
@rezka15
@yansah678
@Mami100C
@hendra_bastian
@dim4z_
@BOMBO
@Rabbit_1397
@rubi_wijaya
@NanNan
@ardi_yusman
@kristal_air
@Methan
@Nova_APBS
@Bleach.boy
@dewanggaputra
@Watiwidya40Davi
@NanNan
@aldhy_virgo
@Ninia
@aries18
@Fruitacinno
@Tsu_no_YanYan
@Obipopobo
KRAK!
Suara ranting patah membuatku makin hati-hati menginjak kaki di tanah. Setelah berhasil memanjat tembok pembatas halaman belakang, sekarang aku sudah memasuki pekarangan rumah Pak Karta.
Sebuah rumah besar dengan halaman luas yang tampak kurang terurus. Dengan badan membungkuk, aku mengamati keadaan rumah yang berdiri beberapa meter di depanku.
Seperti biasa, nggak terdeteksi tanda-tanda ada orang di dalam sana. Pak Karta dan istrinya adalah pensiun guru. Dua minggu lalu mereka pindah ke rumah putra sulung mereka diluar kota untuk menemani cucu mereka yang sering ditinggal bekerja oleh orangtuanya.
Setelah meregangkan badan, aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Kayaknya misiku, seperti biasa, akan berjalan lancar sore ini. Misi apa sih? Begini ceritanya.
Di halaman rumah Pak Karta tumbuh banyak pohon buah, misalnya mangga, rambutan, juga jambu. Sudah dua kali aku metik buah di sini.
Rumah ini sedang kosong, jadi menurutku nggak ada salahnya aku mengambil buah di sini. Yang kulakukan ini bisa disebut pemanfaatan hasil bumi, kan? Kasihan, pohon-pohon ini sudah ngabisin energinya untuk berbuah tetapi buahnya cuma jatuh percuma lalu busuk.
Hmm.....aku benar-benar cowok Tampan yang baik hati! Tapi aku nggak ingin memamerkan kebaikanku. Jadi, akan sangat baik kalau nggak ada orang yang tahu tentang usahaku ini.
Aku mendongak memandang pohon mangga yang kali ini jadi sasaran misi rahasiaku. Buahnya yang besar-besar dan mulai menguning menggodaku, menggoyahkan imanku, dan meruntuhkan keraguan dalam hatiku.
Dengan keahlian memanjat yang diwariskan nenek moyang kita bangsa kera (ini menurut teori Charles Darwin lho), dalam sekejap aku sudah berada di atad pohon mangga itu.
Sambil bersandar di cabang pohon yang lumayan kokoh, aku mulai memetik mangga yang bisa kujangkau lalu memasukkannya ke tas plastik yang sudah kusiapkan.
Aku memanjat lebih tinggi untuk mengambil buah yang menggelantung di atas.
" Monyet dari kebuh bintang mana nih, yang lepas terus nyasar ke sini?!" teriak seseorang di bawah membuatku kaget.
Tanpa sengaja, tas plastik penuh mangga yang sedang kupegang terlepas.
"Adaw!"
Laki-laki yang berdiri di bawah pohon memegangi dahinya.
Ups!
Tas plastik itu jatuh tepat mengenai kepalanya. Ya ampun, matilah aku! Besok bisa ada berita di koran tentang penganiayaan yang dilakukan siswa kelas II SMA karena kepergok nyolong mangga. Mungkin bakal ditulis sempat terjadi perlawanan dari si pencuri sehingga terdapat luka memar di kepala si pemilik rumah.
Tidak, aku nggak mau hidupku berakhir karena tindakan pemanfaatan hasil bumi ini.
"Maaf, Mas! Saya nggak sengaja."
Suaraku bergetar, detak jantungku di atas normal.
"Masuk pekarangan rumah orang tanpa izin, terus sekarang sudah nangkring di atas pohon, kamu masih bilang nggak sengaja nyolong mangga?"
Laki-laki brewokan yang kelihatannya berusia sekitar tiga puluh itu menatapku garang. Kayaknya dia baru bangun tidur, kelihatan dari rambutnya yang berantakan dan matanya yang tampak merah.
Tetapi, mungkin saja matanya merah karena dia lagi marah.
Aku makin ketakutan.
"Maksud saya, yang nggak sengaja itu buah yang jatuh kena kepala Mas."
Orang ini lemot juga ya, pikirku. Eh, atau jangan-jangan dia kena gegar otak gara-gara ketiban mangga tadi. Hukuman pidanaku bisa makin berat nih.
"Cepat turun sebelum saya panggilkan warga!" bentak laki-laki itu membuat keringat dingin membasahi punggungku.
Aku bukannya takut dipanggilkan warga tetapi malu karena semua warga adalah tetanggaku.
Dengan kaki gemetar, aku menuruni pohon yang cukup tinggi itu. Saat berdiri di depan laki-laki itu aku salah tingkah dan nggak berani menatapnya.
"Siapa yang ngizinin kamu metik mangga di sini? Memang ini pohon milik umum?" tanyanya sinis.
Aku bisa merasakan tatapan marahnya.
"Maafin saya Mas, saya kira nggak ada orang di rumah ini."
"Oh.....gitu? Jadi kamu kira kalau nggak ada penghuninya, kamu bisa bebas keluar-masuk rumah orang dan mengambil barang seenak jidat kamu? Itu namanya nyolong, tau!"
Dia berteriak-teriak ke arahku.
"Memang di sekolah kamu nggak diajarin kalau nyolong itu tindakan kriminal?"
"Ya diajarin, Mas. Tapi saya nggak niat nyolong kok. Kalau Pak Karta pulang nanti, saya akan bilang kalau saya mengambil mangganya. Lagian, Pak Karta ngizinin saya metik buah di sini kok. Memang sih, bilangnya nggak secara langsung. Waktu saya ketahuan nyolong jambu Pak Karta nggak marah. Itu artinya saya boleh ngambil buah di sini, kan? Daripada buahnya busuk dan dimakan ulat sama semut lebih baik dimakan oleh saya.
" Aku nggak menambahkan soal tindakan pemanfaatan hasil bumi, walau kupikir itu argumen yang sangat membantu. Kataku dalam hati
"Beneran, Mas, saya akan bilang saya metik mangga di sini kalau Pak Karya pulang nanti. Omong-omong, Pak Karta masih lama kan pulangnya?"
Perlahan aku mengangkat kepala ingin menunjukkan tampang memelas biar laki-laki itu kasihan. Tapi aku malah kaget waktu ngeliat mukanya.
Ternyata dia nggak setua pikiranku.
Laki-laki ini masih muda tetapi rambutnya yang rada panjang dan berantakan, juga wajahnya yang brewokan bikin dia kelihatan tua.
"Pembohong! Mana ada maling yang ngaku?" bentaknya.
Laki-laki itu diam mengamatiku dengan pandangan marah campur meyelidik. Aku merasa tubuhku mengerut.
Omong-omong siapa sih orang ini? Jangan-kangan Pak Karta udah menjual rumahnya dan orang ini jadi pemilik barunya.
Yah......sayang banget. Padahal aku udah akrab dengan Pak Karta dan istrinya walaupun awal kedekatan kami karena aku kepergok nyolong jambu di sini sekitar dua bulan lalu. Eh, perlu kuklarifikasi sedikit. Aku nggak sepenuhnya menyolong waktu itu.
Kejadiannya begini.
Waktu aku lewat di depan rumah Pak Karta aku melihat ada dahan pohon jambu Pak Karya yang menjorok ke jalan. Buahnya lagi merah-merahnya, jadi iseng aku memanjat tembok buat memetik jambu itu. Sayangnya, ternyata Pak Karya juga sedang memetik jambu dari halaman rumahnya. Jadi, ketahuan deh!
"Eh, jangan-kangan kamu anak tetangga sebelah yang kata Pak Karta pernah nyolong jambu di sini, ya?" tanya laki-laki itu sinis begitu selesai mengamatiku.
Yup! Tepat sekali! Wah, aku terkenal juga ternyata. Eh, tapi ini bukan waktunya berbangga diri. Lagian, cowok ini juga kenal aku karena alasan yang nggak membanggakan.
"Nggak kapok-kapok juga kamu ngulangin perbuatan kamu," lanjutnya.
"Maafin saya, Mas. Saya janji, ini yang terakhir kalinya saya ngelakuin hal ini. Sungguh!"
Aku menunjukkan tampang serius.
"Baik, tapi sekali lagi kamu ketahuan nyolong, saya nggak segan-segan ngelaporin kamu ke polisi. Atau sekalian saya minta kamu dipenjara" ancamnya sinis.
"Nggak akan, Mas."
Aku ketakutan. Ucapannya membuatku yakin dia nggak normal. Lebih baik aku segera pergi daripada jadi korban psikopat ini.
"Saya permisi dulu ya, Mas."
Dengan cepat aku memungut mangga yang tadi jatuh lalu memasukkannya ke tas plastik. Aku berbalik dan bersiap kabur.
"Berhenti!"
Langkahku tertahan mendengar seruan laki-laki itu.
"Enak aja, siapa yang ngizinin pergi?"
Dia berjalan ke arahku lalu merampas tas plastik penuh mangga di tanganku.
"Itu...."
Aku nggak bisa berkata-kata.
Oh, tidak! Jangan pisahkan aku dengan mangga-manggaku tercinta! Jeritku dalam hati.
"Pergi sana!" usirnya.
"Tapi mangganya....."
"Kamu mau saya laporin ke polisi?" ancamnya.
Aku menghela napas pasrah. Dengan lemas aku melangkah keluar.
"Makasih ya," ucap laki-laki itu tiba-tiba dengan nada girang.
Seketika aku berhenti lalu menoleh ke arahnya. Dia mengangkat tas penuh mangga sambil tersenyum cengengesan.
"Nanti nggak usah sungkan-sungkan kalau mau metikin mangga lagi. Kamu berbakat kok jadi monyet " ucapnya mengejek.
"Brengsek!" makiku tertahan.
Runtuh seketika wibawa laki-laki itu di mataku. Ternyata dia bukan laki-laki galak yang beneran sedang marah-marah tetapi cuma cowok cengengesan yang berhasil menipuku dengan aktingnya yang meyakinkan.
Bego banget sih aku!
***
Brak!
"Kenapa Hedy? Baru pulang kok langsung banting pintu, marah-marah kayak gitu?" omelan hangat Ibu menyambutku begitu masuk rumah.
“Bu, tahu nggak siapa cowok jelek yang ada di rumah Pak Karta?" tanyaku kesal. "Bikin masalah aja."
"Cowok yang mana?" Ibu balik nanya.
"Itu lho, yang rada kurus, tinggi, putih kecoklatan, rambutnya acak-acakan. Norak banget pokoknya!" dengan nggak sabar aku mendeskripsikan cowok tadi sambil meneguk es jeruk yang nganggur di atas meja.
"Oh, itu keponakan Pak Karta yang baru datang dari luar kota. Sebelum pindah Pak Karta sempat bilang bahwa keponakannya yang akan menunggu rumahnya di sini. Dia baru lulus kuliah jadi sekalian mau nyari kerja. Kebetulan kemarin waktu belanja di minimarket ujung jalan Ibu ketemu dia. Kayaknya orangnya baik. Memangnya kenapa kamu sama dia, Hedy? Kamu digangguin?"
"Bukan cuma digangguin, Bu. Aku dirampok."
"Dirampok?"
Ibu yang sedang membersihkan rak di ruang tamu menghentikan pekerjaannya lalu memandangku serius.
"Tadi kan aku metik mangga di rumah Pak Karta, eh kepergok sam dia. Terus dia ngambil paksa mangga-mangga yang aku petik. Aku kan udah capek-capek manjat. Mana sebelumnya dia akting marah-marah lagi. Sok nasihatin ini-itu lah, bilang kalau nyolong itu tindakan kriminal lah, blablabla. Huh, aku kesal banget! Kesal, kesal, kesal!"
Dua detik kemudian mataku terbelalak lebar setelah menyadari apa yang baru saja kuucapkan.
Ups!!!
Saking emosinya, aku nggak sadar telah membongkar perbuatanku dan "menyerahkan diri" ke Ibu.
"Oh...., jadi kayak gitu kelakuan anak Ibu di luar?" itulah kata-kata pembuka omelan Ibu yang pasti bakalan panjang, lama, dan nggak menyenangkan.
"Nggak kapok juga kamu, Hedy. Dua bulan lalu Pak Karta memberi tahu Ibu bahwa kamu mencuri jambu di kebunnya. Beliau memang kelihatan nggak marah dan menganggap itu kejadian kecil, tapi sampai sekarang Ayah dan Ibu masih malu kalau ingat kejadian itu, Hedy MALU!"
"Ibu, Pak Karta bukannya ngelaporin bahwa aku mencuri, tapi cuma ngasih tau bahwa aku kepergok metik jambu tanpa izin. Lagian setelah kejadian itu, Pak Karta malah sering ngajak aku ke rumahnya kalau lagi ada pohon yang berbuah. Bu Karta juga baik sama aku. Bukannya hubungan kita jadi lebih akrab sama mereka sejak aku kepergok nyolong eh, kepergok metik jambu di sana?"
"Bisa-bisanya kamu aja, Hedy."
Ibu melotot marah.
"Apa itu berarti sekarang kamu boleh keluar-masuk rumah itu dan metik buah seenaknya?"
Ibu menarik napas.
"Hedy, kalau kamu mau mangga bilang aja. Ibu masih sanggup beliin kok, tapi bukan kayak gini caranya!"
Ibu berhenti sebentar. Sebenarnya ini waktu yang tepat bagiku untuk menjelaskan tindakan "pemanfaatan hasil bumi", tetapi sebelum aku membuka mulut, Ibu melanjutkan.
"Mencuri itu tindakan kriminal, untung Nak Mario berbaik hati nggak memperpanjang masalah ini. Coba kalau dia ngelaporin kamu ke polisi, mau ditaruh mana muka Ayah dan Ibu? Lalu kalau kita muncul di berita kriminal TV, gimana peraaan Kakek,nenek, juga keluarga kita yang lain?"
"Ah, Ibu yang benar aja! Jangan berlebihan deh. Masa maling mangga aja dilaporin ke polisi. Masuk berita kriminal, lagi. Nggak mungkinlah. Lagian, aku nggak jadi ngambil mangga-mangga itu kok."
"Mencuri berhasil atau tidak, tetap aja salah. Sebagai hukuman, kamu nggak Ibu izinkan kamu nonton TV selama seminggu, dan kamu Ibu larang keluar rumah kecuali ada keperluan mendesak. Itu pun harus dapat izin dari Ibu."
"Yah, jangan dong, Bu! Hukumannya kok sadis gitu?" rengekku.
Ibu nggak menanggapi tapi malah ngelanjutin ceramah panjang-lebarnya soal tata krama, sopan santun, dan norma-norma. Aku jadi ngerasa kayak anak remaja bermasalah yang lagi dapat penataran P4.
Ceramah Ibu lebih nggak menarik dibandingkan penjelasan Bu Karuni tentang statistika. Sulit dipercaya ada omongan yang lebih membosankan daripada pejaran matematika!
Nggak boleh nonton TV dan keluar rumah selama seminggu? Ya ampun, apa aku bisa bertahan hidup kayak gitu? Ini semua gara-gara cowok tengil itu. Aku nggak mau berurusan lagi sama dia.
Semoga hari adalah pertemuan pertama dan terakhir kami.
BERSAMBUNG
Di cerita ini ada yang ada nyata di sini, sumpah karakter Ibu di cerita ini mirip Ibuku, dia sungguh cerewet tapi demi kebaikan anaknya sebenarnya sih hehhehee
BERIKAN LIKE MINIMAL 12 DAN KOMENTAR YA
Brewokan !?
Hahhh !?
Demi Umi Ida.
MENYEBALKAN.
@Akang_Cunihin
Kyk Amrozi ajh -_-
@Akang_Cunihin