It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@hendra_bastian aje gile. ada papa loreng nih. sayang masih kurang tepat. Padahal kalau bener mau ane kasih hadiah :P
@JimaeVian_Fujo sumpah bukan sama saya
@lulu_75 selow.. temenin gih sama kakak yg satu ini.
@Clorofil yah, failed deh ane. tunggu aja lanjutannya ya..
Makasih ya komennya.. ditunggu masukan dan kritiknya dari kakak2 yg lain juga. tunggu aja sy post lanjutannya ^^
Kalo aku jadi joy mungkin aku akan jawab sabar dan kuat...ah jadi kasian sama damar mewek gitu...
Mention ya @SamPtz999 kalo update..
@Adiee tunggu ane post cerita lanjutannya ya.
@akina_kenji bisa jadi sih bang. hehe. makasih yah dah mampir
-4-
Hari yang panjang diciptakan manusia dari helaian-helaian detik yang ia masukkan ke dalam lubang jarum. Tiap detiknya dirajut berselang-seling hingga antara detik yang satu dengan yang lainnya selalu terikat erat, tak bisa saling mendahului. Didapatkannya detik itu dengan panjang dan warna-warna yang berbeda. Helaian dengan warna yang semakin gelap terkadang membuat manusia menangis. Namun ia tak bisa, ia tak boleh berhenti. Kembali ia susun tiap helaian detiknya karena ia yakin suatu saat pasti akan didapatkannya kembali warna yang lebih cerah. Namun manusia tak pernah sadar bahwa warna-warna cerah itu terkadang membuatnya terlalu asyik hingga ia terlupa bahwa helaian detik itu tak pernah ada selamanya.
Manusia dengan helaian detik yang pendek akan mengucapkan selamat tinggal lebih cepat. Aku tak pernah tahu berapa banyak lagi helaian detik yang tersisa untukku. Namun terkadang, bila helaiannya semakin gelap dan terus menghitam, aku menjadi semakin lelah untuk menyusun detik-detik ku yang lain. Hingga aku menunggu, menunggu ujung dari hitam yang tak pernah aku tahu. Namun, diantara gelap dan hitam ini, Tuhan masih menyelipkan warna-warna cerah dan aku hanya perlu membuka mataku lebih lebar. Namun seberapa keras aku membuka mata, aku tak bisa mengelak bahwa warna cerah semakin sulit kutemukan. Sebelum rasa lelah ini membuat jemariku semakin kaku, ada baiknya helaian detik ini kuputuskan saja. Pikiran itu tak pernah terbersit sebelumnya sampai aku benar-benar memikirkan hal ini.
Dengan berbagai alasan aku memilih bersekolah disini untuk bisa mendekati kakak sepupuku. Setidaknya sebelum ia lulus, aku harus bisa mendekatinya walau hanya sekali. Aku tempatkan jurusan yang sama dengan kakak di pilihan dua hanya untuk sedikit berkamuflase. Aku hanya harus menjatuhkan diri sedikit untuk masuk ke jurusan itu, namun takdir berkata lain karena keberuntungan yang terlalu baik membawaku kembali ke pilihan pertama. Beberapa memori tentang kakak kerap kali terbersit di kepalaku, memori yang sangat sulit untuk dilupakan.
----
“Damaaaaar!!! Tebak siapa!” teriak seseorang di belakangku yang menutup kedua mataku tiba-tiba.
“Kak Marcel ya?”
“Hahahaha.. Uuum.. Salah.”
“Bohong. Ini pasti suaranya kak Marcel. Tangannya juga.”
“Gak rame ah. Makin lama makin pinter yah. Coba sini liat mukanya!” serunya sambil membalikan badanku. “Kangeeeen banget pengen nyubitin pipi adek!”
“Mingu temaling kang bawu puwang. Kok uda kangeng wagi? (Minggu kemarin kan baru pulang. Kok udah kangen lagi?)” suaraku mulai terdengar aneh karena cubitan kak Marcel.
“Emangnya adek gak kangen sama kakak?” Aku cuma geleng-geleng kepala. “Kalau adek kayak gitu, kakak jadi sedih. Kakak cuma butuh satu orang di dunia ini. Adek tahu siapa?”
“Gombalannya udah gak mempan.” potongku sambil berlalu meninggalkannya.
Jika aku tahu bahwa itu rayuan terakhir darinya, aku pasti akan bermain-main lebih lama dengannya. Meskipun hanya berbeda dua tahun denganku, dia memperlakukanku layaknya anak kecil. Tawanya yang sering kali kudengar kini menjadi sesuatu yang sangat kurindukan. Dia adalah seorang kakak dan sahabat terbaik yang pernah kumiliki kala itu.
----
“Bukan gitu. Pencetnya yang keras.”
“Ini udah keras.”
“Kurang keras berarti. Harus lebih keras lagi. Sini kakak bantuin yah.”
“Aaaa.. Sakit. Berhenti aja yah.”
“Kalau tangannya udah bener, kerasanya pasti enak. Kalau sedikit sakit di awal ya gak apa-apa.”
“Punya aku kan pendek-pendek kak. Kalau punya kakak enak panjang.”
“Bener juga sih. Tapi adek main yang lain bisa. Masa yang ini gak bisa.”
“Susah ah. Berhenti aja.”
“Jangan dong. Kalau udah bisa kan bisa main bareng. Bisa gantian nanti.”
“…….”
“Kalau berhenti sekarang kapan bisa main gitarnya?” omelnya yang membuat kita bertengkar seharian. Aku masih marah padanya. Tapi aku benci dengan pertengkaran ini karena dia tak berbicara denganku lagi. Meskipun begitu, tetap saja aku percaya kalau ia masih sayang padaku. Karena hal apapun yang membuat kita bertengkar, siapapun yang memulai dan siapapun yang bersalah, aku tahu pasti kalau orang pertama yang akan meminta maaf lebih dulu adalah dia. “Dek. Maafin kakak yah..”
----
“Ayo adek nyembunyiin apa itu di belakang?”
“Bu-bukan. Enggak ada apa-apa.”
“Mmmh.. Berani bohong ya sekarang.”
“…….”
“Kalau nakal berarti harus dihukum.” sahutnya sambil mendekatiku dan mulai menggelitik badanku. Aku mulai menggeliat-geliat kegelian hingga buku yang kusembunyikan di tanganku terjatuh.
“Hahahaha.. Geli. Geli kak..”
“Nah, ketahuan kan. Ini buku apa? Wah adek nulis diary yah.”
“Jangan. Jangan dibuka.” Tolakku sambil berusaha meraih buku diary yang ada di tangannya.
“Masa liat dikit aja gak boleh. 24 September xxxx, sekarang kakak sepupuku ngekos di dekat kampusnya. Senang rasanya tiap minggu melihat ia datang ke rumah. Hahahaha.. Oh, jadi adek seneng kalau tiap minggu kakak datang kesini?“
“Udah kak. Plis kak. Plis jangan diterusin bacanya.” Desisku. Sakit rasanya, air mataku hampir tak terbendung lagi tapi kak Marcel terlalu asyik untuk bisa menyadarinya.
“Aku tak dapat menahannya. Aku terlalu sayang. Namun takdir memang keterlaluan.. Karena aku telah dibuatnya jatuh cinta.”
“……..”
“I-ini maksudnya apa dek?” Dia mulai membolak-balikan helai demi helai kertas dalam buku itu. Wajahnya mulai panik, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dan kini air mataku mulai jatuh tak terhenti. Kenapa harus dia? Kenapa? Diantara semua orang yang kukenal, dia adalah orang terakhir yang ingin kuberitahu tentang kondisiku ini. Karena aku tahu ia hanya akan merasa kecewa.
Entah arwah apa yang merasukiku saat itu. Hal yang kulakukan selanjutnya adalah hal yang sama sekali tak pernah terlintas akan kulakukan padanya. Karena aku tahu, hal itu hanya akan menyakiti hatinya dan menjadikanku orang yang paling menderita. Dengan perlahan, aku mendaratkan bibirku dan melekatkannya di bibirnya. Rasanya manis. Hal yang selalu kuimpikan tapi entah kenapa aku tak pernah tahu kalau ini akan membuat hatiku sakit, benar-benar sakit.
Dan satu hal yang tak ia ketahui bahwa dari balik pintu, kulihat bayangan samar yang sedang melihatku sedang mencumbunya.
----
“Ayah! Tunggu Damar yah!” teriakku memanggil ayah.
“……”
“Ayah mau kemana?” Aku mengikuti ayah yang menaiki mobil dan ikut duduk di sampingnya. Namun ayah tak menjawab pertanyaanku. Entah kemana ia akan pergi sore itu tapi dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun aku tahu bahwa ia tidak sedang terburu-buru. Ia hanya lari. Ia hanya ingin berlari dan kabur sekencang-kencangnya dari apa yang dilihatnya barusan. Emosi sedang memburunya. Dan aku tahu kalau akulah orang terakhir yang ingin dilihatnya saat ini.
“Yah, Damar tahu. Damar salah.”
“…….”
“Da-Damar tahu kalau ayah lihat semuanya.”
“Ayah gak lihat. Sedikit pun ayah gak lihat.”
“Jangan bohong sama Damar yah.”
“Kalau kamu masih ingat. Dulu kamu pernah janji sama ayah kalau kamu akan jadi anak baik. Dan ayah selalu percaya sama janji itu. Mungkin kalau orang lain yang janji sama ayah, ayah gak akan mudah percaya. Tapi kamu beda. Kamu ini anak ayah, orang yang paling bisa ayah percaya, orang yang paling bisa ayah banggakan.”
Mendengar perkataannya itu, aku mulai menangis. Aku ingat ketika aku mengatakan janji itu kepadanya. Ketika itu aku melakukan kesalahan dan ia marah besar kepadaku. Namun sebesar apapun kesalahanku, sama dengan kak Marcel, ia akan mengetuk pintu kamarku dan masuk perlahan. Ayah akan duduk di samping tempat tidurku dan meminta maaf. Kata maaf itu sering kali, terlalu sering ia ucapkan karena terlalu banyak kesalahan yang aku buat, yang membuatnya marah kepadaku. Aku memang bukan anak yang sempurna. Tapi aku bersyukur Tuhan sudah menghadirkan sosok ayah yang sempurna di mataku.
“Ma-Maaf yah. Da-Damar bukan anak baik. Damar selalu bohong sama ayah. Damar juga bohong sama ibu, kak Derra sama kak Marcel juga. Dari dulu Damar bohong sama semuanya.” Balasku dengan terisak. “Maaf. Maafin Damar yah.”
“Kenapa Damar minta maaf? Semuanya ayah yang salah. Ayah gak pernah tahu perasaan kamu. Harusnya ayah bisa cegah sebelum kamu terperosok lebih dalam.” Terangnya. Namun pandangannya masih tertuju pada jalanan di depan. Bahkan ia terlalu takut untuk menatapku.
“Mmmh..” Aku menggelengkan kepalaku. “Enggak yah. Damar yang salah. Maaf. Damar janji mulai sekarang Damar bakal jadi anak baik.”
“Damar gak perlu janji sama ayah. Damar harus janji sama diri Damar sendiri. Ayah gak marah kok sama Damar.”
“Kalau gitu kenapa ayah gak mau liat Damar? Ayah takut sama Damar?” tanyaku membuat ayah menggelengkan kepalanya.
“Ayah bakal nangis kalau Ayah liat Damar sekarang. Karena ayah merasa bersalah sama kamu nak. Ayah gak bisa bikin kamu bahagia.” Dan detik itu, pertama kalinya aku melihat ayah menitikkan air matanya ketika menatapku lekat. Bukan cucuran keringat letih yang tampak dari wajahnya. Air mata itu kini menggantikan keringatnya. Ayah yang selalu tampak kuat di mataku kini menangis. Kedua matanya mengalirkan air mata yang terjatuh, menetes ke atas kemeja kesayangannya.
Ayah yang tak pernah lelah mengajariku berbagai hal. Ayah yang terkadang lebih cerewet daripada ibu ketika aku membuat kesalahan ini itu. Ayah yang jarang kulihat ada di rumah karena pekerjaan yang menututnya. Padahal aku tahu kalau saat-saat berharganya adalah ketika ia menghabiskan waktunya dengan keluarga. Wajahnya akan sangat gembira ketika ia mendapatkan libur beberapa hari. Ia hanya ingin beristirahat beberapa hari namun ia lebih merelakan waktunya untuk sekedar keluar rumah denganku, ibu atau kak Derra. Ayah yang selalu kubangunkan tiap malam karena hobinya tidur di sofa yang membuatnya tampak kesepian.
“YAH, AWAS !!!”
BRRAAAAAAAAAAAAAKKK
Sebuah truk pengangkut barang tiba-tiba saja datang dari arah berlawanan dan menabrak mobil ayah. Ayah yang sedang tidak memperhatikan jalan, tak sanggup menghindari datangnya truk itu. Kepalaku tiba-tiba terasa sangat sangat sakit. Aku belum pernah merasa sesakit ini sebelumnya. Aku juga bisa merasakan adanya cairan yang menetes dari kepalaku. Pandanganku pun terasa semakin buyar. Semuanya jadi tampak gelap sekarang. Namun pendengaranku masih berfungsi dengan baik. Aku mendengar suara teriakan orang-orang dari pinggir jalan. Selain itu, aku pun mendengar suara ayah samar yang berbicara kepadaku. Kata-kata terakhirnya sebagai seorang ayah yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
“Ayah cuma mau liat Damar bahagia. Dengan siapapun itu, asalkan kamu bahagia. Ayah juga pasti bahagia. Terima kasih Damar sudah mau jadi anak ayah.”
*****
Aku ingin ayah marah padaku. Membentakku seperti biasanya, mengurungku di kamar, mengurangi uang jajan atau hukuman apapun akan kuterima bahkan jika perlu pukulan atau tamparan aku bersedia menerimanya. Bukan hukuman yang seperti ini. Hukuman yang membuatku tak bisa lagi melihat dan berbicara kepadanya. Bahkan sampai detik terakhirnya, ia tak menunjukkan wajah kesalnya dihadapanku.
“Sebentar lagi malam. Ayo pulang!”
“Kenapa bisa ada disini?” tanyaku padanya, seseorang yang suaranya aku kenal.
“Gue ngikutin lo dari parkiran belakang.”
“Kamu pergi aja.”
“Gue udah janji bakal nolongin lo. Gue gak akan pergi ninggalin lo disini.”
“Aku gak akan pergi.” terangku tanpa mengindahkan perkataannya.
“Kalau gitu, gue bakal nemenin lo sampe lo puas.”
Dia masih keras kepala juga, sama keras kepalanya denganku. Tapi aku benar-benar tak ingin kehadirannya disini sekarang. “Jangan! Joy, tolong, aku mau sendirian.”
“Lo gak mau cerita sama gue?”
“Kamu juga gak bisa jawab.” Balasku masih dengan muka yang terbenam dikedua kakiku. Aku tak ingin melihatnya sama sekali. Aku ingin ia pergi.
“Sorry.” Ucapnya lirih. “Gue.. Gue takut sama apa yang bakal lo lakuin kalau gue jawab pertanyaan lo.”
“Jadi lo bener-bener gak mau cerita?” tanyanya dengan suara yang lebih keras.
“Tergantung jawaban kamu Joy.” Pungkasku.
“Orang yang mencintainya saja benci sama dia. Apalagi semua orang. Sebenarnya gue gak perlu jawab pertanyaan lo karena lo sendiri tahu jawabannnya. Semua orang. Semua orang yang ia kenal akan menjauhi anak itu. Dan lo juga tahu apa yang anak itu rasain. Anak itu akan merasa sangat sangat sedih. Hatinya bagai hancur berkeping-keping. Sampai di satu titik, ia akan memilih mati daripada menjalani hidupnya yang seperti ini. Ia akan merasa kebingungan mencari perlindungan. Kemudian ia akan berlari menemui orang yang dicintainya. Tapi orang itu telah mati dibunuhnya. Sehingga ia akan mengunjungi makamnya. Ia akan duduk dan menangis di depan makamnya, seakan-akan orang itu masih hidup. Sama persis dengan yang lo lakuin saat ini.” Balasnya dengan nada marah. Aku benci. Aku benci karena perkataanya selalu benar. Dan ia selalu tahu apa yang harus dikatakan.
“Dan apa yang harus anak itu lakuin? Dia harus berani. Anak itu harus berani menghadapi kenyataan bahwa semuanya itu tak lama lagi akan segera menimpanya.” Ia berhenti dan mulai menghela nafas panjang. Nada suaranya kini berubah menjadi lebih halus.
“Sayangnya anak itu berbeda sama lo. Dia gak punya seseorang kayak gue. Kalau dia punya seseorang kayak gue, gue janji gue akan jadi satu-satunya orang yang gak bakal ngejauhin dia dengan penyakit apapun yang menimpanya. Dan gue janji kalau gue bakal bantu anak itu. Dan ada satu hal lagi yang bakal gue janjikan sama dia. Janji terakhir gue, gue akan berusaha apapun caranya untuk mencegah supaya hal buruk itu tidak terjadi. Penyakit itu, gue pastikan tidak akan ada seorang pun yang tahu.”
“Kamu janji?” tanyaku, meyakinkan ucapannya barusan. Aku mulai memberanikan diri mengangkat kepala dan melihatnya yang sedang mengulurkan tangannya kepadaku.
“Sini. Kita pulang!” ajaknya sambil menerima uluran tanganku. “Matanya jadi merah kayak gini.” Katanya sambil menepuk-nepuk kepalaku.
Hari sudah mulai gelap. Aku duduk di belakangnya. Punggungnya kini terasa hangat. Berbeda dengan yang sebelumnya pernah kurasakan. Padahal ia tidak memakai jaket yang biasanya ia pakai, hanya sebuah kaos tipis berlengan pendek. Aku berpegangan dan memeluknya dari belakang tanpa perlu ia beritahu sebelumnya. Tapi tanganku terlalu pendek hanya untuk melingkarkannya di badannya. Aku tak pernah menyadari sebelumnya bahwa ia memiliki postur tubuh yang tegap dan lumayan berotot. Mungkin efek dari kesenangannya berolahraga. Aku tahu itu dari poster dan alat olahraga yang berserakan di kamarnya.
Kini aku membenamkan wajahku di punggungnya. Aku bisa mencium bau keringatnya yang entah kenapa bisa membuatku merasa sangat nyaman. Bau keringat yang menjadi bukti bahwa masih ada seseorang yang berusaha mengejarku dan bersedia membiarkanku berada di dekatnya.
“Aku punya buku Diary.” Ujarku ketika motornya diam di bawah lampu merah. “Semuanya kutulis disana.”
“Terus?” ia bertanya, bingung.
“Sekarang buku diarynya gak ada.”
“Bukunya disita.”
*****
Mohon komentar dan sarannya ya bro =D
ceritanya yang ada ---- itu lg momen2 flashback. hehe
Kasihan damar...
Kasihan damar...