It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Sudah seminggu aku bekerja sebagai karyawan hotel. Kali ini aku bekerja di shift malam. Malam minggu wew. Aku sedang menyiapkan makan malam. Gini - gini aku bisa masak. Akunya aja yang malas hehe. Aku senang melihat orang memasak. Mau lewat TV, langsung atau acara lomba aku kagum dengan skill mereka memasak. Waktu itu aku pernah ikut lomba memasak tingkat kota, namun malah kalah karena makanan mereka lebih hebat dan enak daripada mereka yang menang. Persaingan waktu itu emang sengit.
Setelah para tamu sudah makan malam dan cuma sedikit yang berada disana, aku ditugaskan untuk mencuci semua alat makan yang kotor lalu membersihkan lobi utama. Banyak banget tumpukan piring, gelas dan alat makan lainnya membuat diriku tidak sendiri untuk membuat ini semua bersih. Fyuh, syukurlah. Mereka cuma geleng - geleng karena ada beberapa tamu yang rakus makan jadi jumlah piring kotor yang mereka setorkan lebih banyak dari umumnya.
Setelah selesai aku segera membersihkan lobi utama dengan mengepel. Lobi utama tampak sepi. Hanya beberapa tamu yang check in atau masuk lift untuk naik. Ada seseorang sedang bermain PS di tempat untuk bersantai di ujung. Dia lagi main game role play. Hotel ini emang tahu aja cara memikat tamu anak muda. Bagian sana belum dipel jadi langsung ke sana. Aku tidak tahu siapa yang main tapi tiba - tiba aku ditarik olehnya dan ya, aku tahu siapa dia sekarang.
“Hai Fadel.”
Aku kaget setengah mati. Dia ada disini, menyapaku dengan senyum yang tak bisa kulupakan. Senyum hangat nan manis tapi membutakan itu, yang telah menipuku waktu itu. Aku segera melepaskan diri dan segera berjalan cepat ke arah lain. Tidak mungkin berlari atau orang - orang akan menatap heran.
Jevera kaget dan bisa dibilang kaget lagi karena sebelumnya bisa kurasakan dia kaget melihatku di sini tadi sebelumnya walaupun kami belum saling tatap dan akhirnya menarikku. Dia mengejarku. Hell, nih cowok keras kepala sudah tahu aku menghindarinya karena aku tak mau bertemu dengannya lagi.
Aku menekan tombol lift untuk naik ke entah berantah yang penting dia sudah gak ada dalam jangkauan penglihatan. Seketika lift sudah datang dalam keadaan kosong. Aku buru - buru masuk ke dalam dan menekan tombol lift lantai paling atas, namun dia sudah menahan pintu besi lift dengan tangannya. Kalah cepat dikit nih. Kami berdua berada dalam lift sendirian. Argh situasi yang sangat menjebak. Kami saling diam. Lalu tak lama terbukalah pembicaraan yang ingin kubicarakan.
“Del, maafkan aku. Awalnya aku gak tahu harus sampai malam disana. Saat aku kembali ke pohon itu, kamu sudah gak ada. Itu emang bukan kesalahanmu untuk pulang. Tapi aku sudah kangen berat dan sekarang rasanya kayak mimpi aja.”
Jevera mendekatiku dan hendak memelukku, namun kutepis. Aku membelakanginya. Aku kaget dia bilang dia rindu padaku namun emosi lebih mengendalikan diriku karena insiden itu. Aku tidak akan dendam. Hanya… dia sudah membuatku senang waktu itu lalu membuatku kecewa lalu membuat pengampunan. Tidak mudah memaafkan seseorang. Perasaan aku bukan temannya, apalagi… Umm, pacarnya, menggelikan. Kami baru bertemu seminggu yang lalu dan belum mengenal lebih dalam.
“Oi, Del… Jangan marah terus ya…”
Aku masih tak menggubrisnya. Pikiran kacau. Ia mulai mengelus telapak tangan kananku, ingin menggenggamnya. Terasa gerakan gemulai mencoba memasukkan jari - jarinya untuk ditautkan dengan jari - jariku. Langung ditepis lagi. Aku mengepal kedua tanganku erat - erat. Kepala sedikit membungkuk.
“Kalau kau ingin meninjuku silahkan.”
Aku sontak menghadapnya, “Tidak, tidak! Kamu salah paham. Aku hanya…”
“Hanya apa?”
“Umm… Kenapa kau mau bersamaku, mengejarku? Padahal aku bukan siapa - siapa kamu.”
“Kau telah menarik perhatianku. Aku ingin kau menjadi bagian dekat diriku. Mau kan?”
“Ta-tapi aku tak percaya denganmu lagi.”
“Kumohon, beri aku kepercayaan itu lagi.”
Aku berpikir sejenak, sangat fokus dan jernih. Berpikir akan ketulusannya. Ah, dia gampang membuat hati ini luluh lantak. Dia gak pakai ekspresi puppy eyes, tetapi tatapan mata dan kata - katanya terdengar tulus membuat pilihanku mantap. Perlahan emosi memudar, tergantikan dengan keramahan.
“Ok, jangan kecewakan aku, Jevera.”
Dia langsung senyum lebar sumringah. Cepat - cepat dia memelukku begitu erat, hangat. Ia membenamkan kepalanya ke pundakku. Aku balas memeluk. Mengusap - usap punggung kokohnya. Dia lebih tinggi dariku. Kuakui dia tampan. Tapi yang membuatku senang kepadanya karena dia mau berteman denganku. Kalau lagi sendiri aku sudah menitikkan banyak air mata kebahagiaan berapa ember. Lebay ya hehehe.
Kami sampai di lantai paling atas. Lantai ini bukan untuk kamar - kamar nginap. Ini adalah, em apa ya, kayak balkon gitu buat lihat pemandangan. Banyak bunga yang bertebaran terutama bunga mawar karena katanya owner hotel ini suka sekali bunga mawar. Ada kolam panjang membentang dari ujung ke ujung berisi air jernih nan biru muda. Langit malam dengan bulan dan bintang - bintang membuat malam berkesan indah. Jevera kali ini berhasil menggenggam erat tangan kananku.
“Apa besok kau ada acara setelah kerja? Bagian waktu apa kau bekerja besok?” tanya Jevera.
“Gak ada sih. Besok aku kerja shift pagi. Sampai jam dua belas siang.”
“Kalau begitu ayo besok jalan - jalan bareng! Aku traktir deh. Besok setelah aku pulang ke rumah aku bakal jemput kamu.”
“Hah? Gak usah. Ngerepotin.”
“Tenang aja. Ikut ya, ikut ya… Btw, kamu tinggal dimana?”
“Haah, ok lah aku ikut. Aku tinggal di kostan.” aku menghela nafas, pasrah.
Aku memberinya alamat kost dimana aku tinggal. Ia langsung hormat, bertingkah lucu yang membuatku gemas. Tak kusangka kami akan jalan - jalan bareng untuk pertama kali. Yap, itu juga termasuk jalan - jalan pertama dengan teman. Kami mengobrol santai tentang masing - masing. Tentu aku tidak memberitahunya bahwa aku kabur. Pelan - pelan aku jadi tidak kaku di depannya. Bersikap sudah terbiasa. Ia orang yang gampang nyambung dan bisa menjadi konyol dengan candaan.
Kemudian ia mendadak dipanggil oleh teman - teman genknya untuk segera kembali ke kamar lewat telepon. Untung masuk genk yang bukan preman walaupun bisa dibilang mereka termasuk dia lumayan bandel. Gak rame kalau masa - masa muda gak ada yang nakalnya haha. Tapi jangan disengaja lah.
“Emang lagi ngapain disini sampai nginap segala?”
“Sebetulnya… Gimana jelasinnya…” katanya dengan ragu sambil garuk - garuk kepalanya yang gak gatal.
“Apa?” tanyaku tajam.
“Aku sama mereka habis karaokean dan ke mal bareng sama cewek - cewek universitas sebelah. Katanya sudah terlalu malam buat pulang ke rumah, jadi kita nginap aja disini.”
“Wow anak tajir. Kalian gak apa - apain tuh cewek - cewek? Curiga…”
“Ya gak lah! Buat apa coba. Mereka sudah pulang semua. Lagipula yah Del, kamu ini tenang aja. Aku paling suka dekat sama kamu, nyaman.”
“Kalau gitu kenapa tadi kayak yang ragu - ragu gitu? Gak ada yang disembunyiin kan?”
“Gak kok! Suer! Aku cuma takut kamu marah. Bisi negative thinking.”
“Awalnya sih. Tapi kamu sudah ngasih tahu yang sebenarnya jadi percaya.”
“Huuh! Kamu tuh ya. Hahaha sini aku gelitikin.”
“Jangan! Jev, hentikan hahaha!”
Jevera tiba - tiba menggelitik tubuhku. Rasanya geli banget. Aku mencoba untuk melepas diri dari serangan malam minggu konyol. Aku tertawa kecil nyaring. Ia malah tertawa puas seperti iblis baru keluar dari sangkar. Aku tak mau kalah, membalas dengan serang balik, tetapi kekuatannya lebih kuat sehingga dia lebih berkuasa.
Lalu telpon dari temannya datang lagi. Jev lupa kalau tadi dia disuruh balik ke kamar. Ia berdiri lalu melambaikan tangan sebelah. Aku membalas melambai tangan juga. Aku kembali bekerja. Ah, malam minggu yang indah nan berkesan. Untung gak kena marah atau omel gara - gara tadi keluyuran dulu. Kulanjutkan mengepel di lantai lain karena lobi sudah dipel sama pekerja lain.
Setelah shift malam berakhir aku langsung meluncur pulang. Tante memberikanku kunci duplikat pagar agar bisa masuk ke dalam. Kata orang di kostan aku termasuk beruntung karena Tante gak kasih semua orang duplikat kunci pagar. Jadi yang pulangnya telat ya terpaksa nginap di tempat lain seperti rumah teman. Padahal aku orang baru.
Ah, capeknya… Tapi sudah gak capek lagi semenjak aku sudah akur dengan Jevera. Dia emang laki - laki yang baik. Bahkan masih terasa mimpi bagiku untuk berkenalan dengannya. Aku mandi dan berganti pakaian menjadi pakaian kaus dan celana pendek. Lalu menyalakan lagu dengan volume kecil agar tidak menggangu tetangga kost, namun masih bisa terdengar olehku. Tidur - tiduran terlentang menatap langit - langit. Lambat laun aku mulai ngantuk. Kumatikan lagu dan tidur lelap. Semoga besok hari menjadi lebih indah.
Kukumpulkan kesadaran untuk balik ke dunia nyata. Sudah jam enam pagi. Aku beranjak menyiapkan diri seperti biasa. Tak lupa membawa pakaian ganti yang sudah kupilih - pilih dari tadi mana yang bagus. Gak seperti biasanya langsung ambil. Karena hari ini adalah hari spesial. Akhirnya pilihan jatuh menuju kaus dengan kemeja dan celana jin yang sudah lama tak kupakai, tetapi masih tampak bagus saat pertama kali dibelikan. Aku sudah senyum - senyum gak jelas sedari tadi. Aku pergi dengan berlari - lari kecil.
Aku sudah sampai dan masuk ke ruang ganti untuk berganti pakaian menjadi pakaian karyawan kerja hotel. Tugas pertama adalah memasak makanan tambahan sarapan kali ini. Persediaan waffle di korner dessert sudah sedikit. Mereka menyuruhku untuk membuat waffle dan terselesaikan dengan baik. Salah satu koki memujiku karena tumben bisa menyelesaikan lebih cepat dari biasanya. Aku hanya mengangguk tersenyum. Aku keluar membawa semua waffle yang masih panas ini ke rak. Pelan - pelan kuletakkan dengan rapi. Banyak juga yang suka makanan penutup yang bersanding dengan pancake ini. Menurutku, kalau disana ada pancake, pasti ditemani waffle dan juga sebaliknya. Dua sejoli makanan nih.
Baru aja mau beranjak balik ke dapur, terlihat Jevera senyum menyapa dengan kedua pipi menggembung bulat seperti mulutnya terisi penuh makanan. Aku tertawa kecil. Lucu sekali dia. Pagi - pagi sudah bikin onar aja. Lama sekali aku di dapur karena harus menyiapkan makanan lainnya seperti sup, omelette, dll. Pokoknya banyak deh, hampir semuanya!
Tugas lain adalah membersihkan kamar yang sudah selesai dipakai. Aku sedang membereskan kasur yang super duper berantakan dan kusut. Bantal mendarat dimana, selimut terbang kemana. Setelah tersusun rapi, kuberbersihkan debu dengan penyedot debu. Tak terasa sudah tiga puluh menit membersihkan kamar itu. Aku keluar dan tak terduga mendapati sesosok yang menunggu. Siapa lagi kalau bukan dia. Berdiri di sebrang pintu menyandar tembok dengan kedua tangan dilipat. Entah darimana dia bisa mengetahui aku disini.
Aku pergi menuju kamar lain yang masih belum dibereskan. Ia mengikuti. Nih orang ngikutin aku kayak anak bebek ikut indung bebek jalan santai diatas air sungai yang tenang. Lalu Jev tiduran di atas sofa coklat muda yang ada dipojok dengan gaya ala lagi di pantai. Fokus tetap terpaku ke kasur yang sedang kubereskan.
“Kok kamu jadi gak perhatian sama aku?” keluh Jev tiba - tiba.
“Aku bukan gak perhatian. Aku lagi beresin kasur.”
“Tapi tetap perhatikan aku dong. Sekali - kali nengok kek.”
“Pfft, caper nih orang.”
“Biarin, laki - laki ganteng ini.” katanya sambil menjulurkan lidah.
Baru tahu ternyata dia punya sifat narsis. Kelihatan sih aura - aura narsis dari dia waktu konser, tapi gak ngira kalau dia punya sifat itu. Paling cuma bercanda, mungkin. Kutimpuk dia dengan bantal. Ia berhasil menangkis dengan bertahan. Kami cuma sebentar bermain dan aku kembali beres - beres sementara Jev duduk manis.
Bentar lagi selesai. Jev sedang asyik mengobrol bersama dengan genknya. Ia tidak ikut pulang dengan mereka karena ada janji denganku. Setelah selesai bekerja, aku menuju ruang ganti dan berganti menjadi pakaian yang sudah kupilih dengan bijak. Ku keluar dan mendapati dia sudah ada di mobil menunggu di depan. Ia melambai - lambaikan tangannya menginstruksikan untuk kesana dengan kaca mobil terbuka sehingga lebih jelas. Aku masuk ke mobilnya. Duduk bersebelahan. Tak lupa kami memakai safebelt daripada harus dicegat polisi yang sedang berpatroli. Untung dia sudah punya sim.
“Kalau begini awal perginya ngapain kamu minta alamat tempat tinggalku?”
“Hehe, jaga - jaga aja kalau sewaktu - waktu aku mau main kesana.”
Ia menancap gas. Mengatur pergerakan mobil dengan setir. Aku melihat sekeliling kota dengan kagum. Pantas sejak kecil aku selalu ingin kesini. Dia masih fokus memandang kea rah jalan. Kedua mata intens menyerap apa yang ditatap. Jalan macet karena lampu merah. Setelah itu kami kembali jalan dan sekitar hampir satu jam kami sampai di tempat tujuan.
Ternyata dia mengajakku ke pantai. Pasir putih dengan laut biru membentang sangat luas. Batu - batu sampai berukuran besar diselimuti kasar ombak. Banyak turis asing kecuali orang - orang lokal datang ke sini. Kami melepas sepatu masing masing dan menaruhnya di bawah pohon kelapa lalu diberi tanda agar tidak ada yang mengambil, kalau itu ampuh sih. Semoga gak. Kami duduk selonjoran, meluruskan kaki - kaki. Menikmati pemandangan siang yang lumayan terik dengan burung - burung yang bertebangan kesana kemari.
Jev berdiri dan membelakangiku. Ia menuju pohon kelapa tadi, menggoyang - goyangkannya. Beberapa kali ia lakukan tetap nihil akan hasil.
“Lucu banget. Manjat aja napa.” kataku sambil tertawa.
Ia malah geleng - geleng kepala. Pertanda tidak mau.
“Bilang aja kalau gak bisa manjat.”
“Bisa kok.”
“Eh jangan. Gak boleh manjat disini.”
“Jangan nurut sama aturan terus. Freedom dong.”
Batang pohon kelapa itu bertekstur kasar. Aku takut kalau dia terluka. Aku pegang tangannya yang bersiap untuk manjat yang posisinya sudah kayak kucing mau nyakar. Kakinya yang belum batang. Reflek ia berhenti.
“Tumben pegang - pegang.” godanya.
“O-oh, sorry…” rona merah khas cewek - cewek terpampang jelas dan kenapa aku bisa nekat berani seperti itu?
“Gak apa - apa kok.” Ia mengacak - ngacak rambutku menjadi berantakan kayak buah berduri tajam.
@o_komo baca kelanjutannya ya :v
Setelah asyik di pantai, kami pergi untuk makan siang. Perut yang malang. Sejak pagi aku belum makan. Konyolnya Jev malah memukul perutnya sendiri untuk tidak berbunyi saat di jalan masih lapar minta diisi.
“Eh, kalau kita makan di warung gak apa - apa?
“Gak apa - apa. Tapi heran cowok tajir kayak kamu makan di warung.”
“Yee, aku sering makan di warung dekat sekolah. Kadang sama genk atau sendiri.”
“Sekarang kita mau ke sana?”
“Gak. Warung lain aja.”
Kami jalan kaki karena banyak tempat makan yang tidak jauh dari pantai. Ketika sudah sampai kami mengambil tempat duduk lesehan dekat tembok yang pendek jadi masih bisa lihat pemandangan pantai yang luar biasa bagiku karena aku sudah lama tidak jalan - jalan ke pantai. Kalau tidak salah baru dua kali kalau yang ini dimasukin sudah jadi tiga kali. Entah mengapa yang ini sudah paling berkesan hehe. Angin semilir bercampur khas laut membelai lembut rambut halus.
Seorang pelayan wanita menghampiri, bertanya dan menuliskan pesanan kami. Dia menyodokan menu bercover hitam dengan nama warung tersebut kepadaku.
“Kamu duluan deh Del.”
“Eh… Hmm, aku mau jus jeruk dan ayam bakar.”
“Aku mau jus mangga, sate ayam, ayam penyet dan tempe bacem.”
“Wah, ayamnya double!”
“Oh, sehabis makan aku mau peyek kacang. Dibungkus aja. Entar diambil pas mau bayar.”
Setelah mba itu mengulang membaca kembali pesanan kami, mba itu langsung menuju dapur meminta tolong yang menjadi koki di dapur sana untuk memasaknya. Kalau dipikir lagi, pesanan gak bisa langsung datang karena pengunjung yang datang banyak dan pesanan Jev, ralat, kami maksudnya yang bisa dibilang banyak.
“Kamu makan banyak banget. Tadi di hotel sudah makan.”
“Biarin. Di hotel aku cuma makan omelette.”
“Tapi tetap aja… Kalau boleh tahu, sebetulnya kamu disini mau makan apaan?”
Jev terdiam sebentar. Aku makin penasaran.
“Itu...”
“Ayo kasih tahu. Jangan bikin laparku bertambah dengan rasa penasaran.”
“Aku… kesini cuma berminat dan ngincar tempe bacem.”
Wah, aku gak nyangka Jev senang banget sama tempe bacem. Aku malah ngakak sendiri. Gak tau napa. Mungkin karena jarang lihat orang suka atau makan tempe bacem pakai mata sendiri.
“Pfft…”
“Argh…! Tidak…!” ia berteriak pelan.
“Sorry, aku ngakak karena gak nyangka kamu suka tempe bacem. Dikirain kamu sukanya steak atau spageti. Gak usah malu karena itu kali.”
“Mau tahu kenapa aku suka makanan itu?”
“Kenapa?”
“Waktu masih TK, aku merasa lapar saat malam hari. Aku bangun dan turun ke bawah ke meja makan. Untung ruangan masih terang jadi gak perlu susah payah nyalain. Terlihat wadah kotak putih di atasnya. Waktu itu tinggiku masih belum sejajar sama meja makan. Karena aku ngambil kotak itu sambil jinjit dan tangan yang berusaha ngambil gak terlalu erat, jatuhlah isinya ke atas kepalaku. Yang keluar ternyata tempe bacem. Tak luput kotak itu menjadi topi di kepalaku. Aku mau nangis dan sudah berteriak, tapi setelah icip - icip tempe bacem itu, aku jadi ceria lagi. Orang tuaku melihat kejadian itu dengan dilema ketawa dan kasihan.”
Woah, kenangan masa kecil yang lucu. Aku sampai ketawa gara - gara dia yang sukses sudah bikin aku berasa nonton semua komedian beraksi sangat lucu dengan profesional. Senangnya bisa tertawa karena teman menceritakan sesuatu yang lucu atau tertawa bersama teman. Ia hanya bisa pasrah melihatku seperti ini sampai aku puas. Aku tak berlama - lama karena tak mau membuat dirinya entar badmood.
Lalu mba yang melayani pesanan kami datang. Membawa dua piring dengan nasi diatas dan sayur mayur segar. Tak lupa sambal. Asyik, bisa makan pedas nih. Disusul dengan mba yang lain membawakan pesanan kami. Aku menuju toilet untuk cuci tangan lalu disusul Jev yang melakukan hal sama. Kami saling bergantian menjaga meja lesehan tempat kami makan saat cuci tangan.
Kami makan dengan nikmat. Sepertinya Jev lapar banget. Ia begitu lahap memakan makan siangnya sendiri. Aku makan tak secepat dia. Bahkan sate ayamnya sudah hampir habis. Hanya tersisa beberapa tusuk. Kemudian ia menawariku.
“Mau? Ambil.” katanya dengan jahil karena sate ayam yang ia pegang digoyangkan pelan di udara.
“Gak, makasih.” tolakku halus sambil tersenyum.
“Huuu, ayolah… Ambil, ambil.” katanya sambil manyun tak jelas.
Mau bagaimana lagi, aku akan mengambil sate ayam itu. Pada saat mau mengambil, ia malah membuatku tak bisa mengambilnya. Dia emang menjahiliku. Diayun - ayunkan tangannya yang memegang ayam ditusuk itu kesana - kemari. Aku hanya menghela nafas dan dia tertawa kayak iblis lagi. Balas dendam buat tadi? Seketika ia malah melahap tawarannya kepadaku tadi ke dalam mulutnya. Ckck, ada - ada aja. Ia tersenyum kemenangan. Kami tertawa lagi lalu menghabiskan makan siang masing - masing.
Bagian spesial alias paling enak disisakan untuk terakhir seperti Jev memakan semua tempe bacemnya terakhir tanpa nasi. Nasinya sudah keburu habis sama sate ayam. Yang ayam penyet aja dia makan cuma pakai mentimun. Dimana - mana kan mentimun dimakan sama kerupuk hehe. Sambal kuhabiskan sendiri karena dia lagi gak mau makan pedas.
Aku menyeruput jus jeruk sampai habis sebelum beranjak pergi meninggalkan warung. Ia sedang membayar dan mengambil peyek kacang pesanannya. Ia datang menghampiri. Kami keluar. Akhirnya kenyang juga…
“Mau kemana lagi?” tawarnya.
“Aku ngikutin kamu aja.”
“Aku takut kamu gak suka kalau kamu aku ajak kemana karena terserah aku terus.”
“Gak bakalan, tenang…”
“Kalau begitu ayo kita ke mall. Pengen beli buku.”
Aku mengganguk pertanda setuju. Kita naik mobil kesana karena mall yang dituju jauh. Pemandangan di jalanan kunikmati sambil mendengarkan lagu rock kesukaan Jev.
Sampai juga di mal. Letaknya berada di tengah kota jadi ramai banget dengan pengunjung terutama daerah sekitar dan anak muda. Banyak yang bawa kantong belanjaan pula. Entah itu berisi makanan atau baju. Kami naik ke lantai atas tempat toko buku langganannya tersebut berada. Dia menuju rak komik sementara aku menuju rak majalah. Ada banyak majalah yang bagus membuatku ingin membaca dan melihatnya. Tapi hanya satu yang sangat kuinginkan. Jari telunjuk seperti menunjuk majalah yang sangat ingin kubaca itu.
“Ternyata beli komik ya.”
“Iya hehe. Aku belum punya volume ini. Kamu mau beli buku apa?”
“Gak ada kok. Gak usah.”
“Ah sudah gak apa - apa. Kamu mau majalah itu ya?”
“I-iya…”
Jev mengambil majalah tersebut bersama dengan komik yang sudah ia ambil. Lalu ia membayarnya. Setelah membelinya kami melewati tempat gym. Tak disangka ia disapa seseorang dari sana.
“Halo, Jev. Jalan - jalan ya?” kata orang tersebut ramah dari dalam gym.
“Iya nih Om sama teman.” balas Jev terhadap orang tersebut dan rupanya mereka sudah saling kenal.
Dia menyuruhku ikut masuk. Aku berkenalan dengan om itu. Bisa dibilang orang itu lumayan bugar. Lengannya aja lumayan berotot gitu. Orang itu menyodorkan tangannya untuk bersalaman kayak ngajak main panco. Otomatis aku bakal kalah kalau main panco bareng orang yang kuat fisik begitu. Kubalas salamannya.
“Perkenalkan, saya Yuji.”
“Aku Fadel. Salam kenal.”
Setelah dikasih tahu om Yuji, ternyata Jev itu member olah raga disini. Jadwalnya setiap hari kamis dan minggu. Tapi kali ini gak karena kita lagi jalan - jalan. Jadi berasa gak enak nih bikin dia gak masuk hari ini. Dia berada disini juga karena kemauan ayahnya bukan karena kemauannya. Awalnya gak mau, namun mau gimana lagi. Jev baru sebulan disini.
Jev minta maaf karena gak olah raga hari ini dan baru pertama kali gak masuk. Om Yuji tak merasa keberatan, namun ia diperingatkan untuk tidak banyak absen bolong gak nge gym atau tidak bisa dilaporkan ke ayahnya. Dia mengganguk. Setelah mengobrol sebentar kami berpamitan untuk pergi dari situ karena masih ingin jalan - jalan. Kami turun ke bawah untuk membeli es krim. Aku rasa stoberi dan dia rasa vanila.
“Kok kamu pakai crepe? Buka cone?” tanyaku.
“Suka - suka aku dong.”
Aku kaget karena tadi dia ngomong tinggi gitu nadanya kayak emosi. “So-sorry, aku bikin kamu marah ya gara - gara aku nanya begitu?”
“Eh… Gak kok! Tenang... Aku gak marah.” dia agak panik dan menenangkanku karena salah tangkap.
Aku lega. Kalau aku punya salah sama Jev aku akan merasa sangat bersalah. Membuatnya tidak olah raga hari ini aja sudah bikin aku gak enak sama dia. Tapi kan dia yang ngajak jalan - jalan, namun tetap aja sih…
Kami menuju taman tak jauh dari mal. Kami menaiki ayunan bersebelahan. Diayunkan pelan sambil menghabisi es krim masing - masing. Di depan terlihat beberapa anak kecil bermain sepak bola bersama di bawah matahari yang mau tenggelam karena sekarang sudah sore. Ada yang main petak umpet juga.
Kulihat sekilas tubuhnya. Aku sadar tubuhnya mulai sixpack dan sudah muncul otot di lengan dan kakinya. Kamu harus bangga punya tubuh bagus Jev, gak kayak aku kurus gini.
“Aku gak begitu tertarik sama nge gym Del. Asalkan tubuh sehat nan bugar, sudah lebih dari cukup.” katanya tiba - tiba.
“Eh, ah walaupun begitu kamu harus rajin olah raga ya. Biar kuat. Jangan banyak makan kayak tadi. Entar sixpack yang lagi dibangun malah luluh seketika.”
“Wah, aku gak peduli. Gak ngurusin begituan. Yang penting tubuhku masih sehat sepeti biasa. Aku orang yang doyan makan, jadi tak tertolong hehe.”
Aku tersenyum. Bersama orang ini rasanya sangat menyenangkan. Apakah karena dia adalah teman pertamaku?
Es krim vanila yang dimakan dia sudah habis. Ia beranjak dari ayunan. Ia menuju belakang lalu memegang kedua tali besi ayunan yang sedang kunaiki. Ayunan mulai bergerak tiba - tiba sontak kukaget. Kutengok ke belakang mendapati wajah dia dengan tampang santai adem seperti ‘kamu gak bakal jatuh Del. Percaya sama ahli main ayunan.’
“Ka-kamu ngapain?! Uwah, es krimku belum habis nih. Jangan digerakin dulu!”
“Hehe, santai… Aku tangkap kalau kamu jatuh.”
Sudah kuduga, dia bakal membantuku mengayunkan mainan ini. Sedikit gugup karena aku cuma berpegangan satu tangan. Awalnya masih pelan, namun lama - lama makin cepat aja. Aku berpengang erat sambil menghabiskannya dan akhirnya habis juga. Anak - anak yang bermain tertawa melihat tingkat dua remaja yang sama seperti mereka. Apa salahnya mengulang masa kanak - kanak?
“Kekanak - kanakan. Ayo lebih baik pulang sekarang.”ajakku karena langit mulai malam.
Sudah jam tujuh malam, namun sudah merasa agak ngantuk. Ia mencubit hidungku atau mengkibas - kibaskan tangan kirinya di hadapan wajahku. Aku hanya terkekeh. Jalanan padat nan macet jadi gak bisa pulang dengan tepat apa yang sudah diperkirakan. Dia mengantar sampai kostan. Sebelum beranjak keluar dari mobilnya ia memberikan sebungkus peyek kacang dan majalah yang sangat kunantikan.
“Makasih banyak untuk hari ini. Umm, Maaf sudah bikin kamu gak olah raga hari ini.”
“Santai aja kali.”
Ia mulai menancap gas dan menjauh. Dibukanya jendela kemudi, melambaikan tangan sebelahnya, kubalas juga.
“Bye…!” sahut kami berdua lantang.
Haah, benar - benar hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan. Aku masuk ke dalam. Merenggangkan tangan membuat tubuh lebih rileks seperti yang dilakukan orang - orang di pagi hari sesudah bangun. Saat melewati perkarangan, tante Ratna melihat wajah ceriaku yang tak biasa.
“Ada apa nih kok lagi senang banget? Habis jalan sama pacar ya?”
“Ah, gak kok. Habis jalan sama teman.”
Baru aja mau buka pintu kamar, ada kardus berukuran besar di hadapanku. Tertera namaku disitu. Untukku?
Aku bawa masuk barang besar itu. Ditarik perekat yang menutupi tutup kardus. Saat dibuka aku kaget. Isinya adalah boneka beruang besar berwarna biru muda nan putih. Boneka beruang yang menggemaskan. Hidung dan mata hitamya mengkilat. Tak ada nama pengirimnya disitu, aneh. Kok orang lain tak dikenal bisa tahu alamat tempat tinggalku? Menyeramkan.
Boneka besar itu aku letakkan di sudut kasur. Aku senang menerimanya, tetapi siapa yang ngasih aku ini? Jev? Gak mungkin atau bisa jadi. Lalu siapa?
Aku ke bawah. Tante Ratna masih disana, bergegas bertanya padanya.
“Tante, yang kirim barang itu buat aku siapa?”
“Oh, saya gak tau. Tadi ada kurir yang nanya di mana kamarmu terus saya kasih tahu deh. Gak ada nama pengirimnya apa?”
“Gak ada. Ya sudah, permisi Tante.”
Aku kembali ke kamar. Penasaran banget siapa yang ngirim. Harusnya gak terlalu aku pikirin banget tapi karena aku orang yang penasaran tingkat dewa jadinya mau gak mau harus tahu.
Jevera's pov
Hmm, emang tak terduga sekarang jamkos dari guru paling rajin dan killer di sekolah ini. Tidak ada ujian untuk guru atau anggota keluarganya yang sakit malah tidak ada. Kalau ada yang sakit juga pasti minta tolong seseorang untuk merawat. Yah setidaknya enak buat gak belajar pelajaran bikin pusing setengah mati ini untuk satu hari.
Saat lagi enak sandaran di bangku kantin, tiba - tiba ada yang melempar kaleng dari depan. Langsung kutangkap. Minuman kopi kaleng dingin ternyata. Aku membuka minuman itu dan langsung meneguknya.
“Melamun terus. Mikirin siapa sih?” tanya salah satu sobat genk.
“Yah… Seseorang lah. Emang siapa lagi?”
“Ya siapa?”
“Orang pokoknya. Gak usah tahu.”
“Main rahasia - rahasiaan nih. Pacar baru kali.” kata yang lain sambil datang menghampiri kami.
Kita hanya tertawa. Aku sebetulnya kangen sama Fadel. Dia itu orangnya nganggenin. Sejak jalan - jalan di hari Minggu itu, aku belum pernah bertemunya. Aku bahkan tak punya kontaknya. Sayang sekali aku tidak bertanya padanya waktu itu. Mungkin aja dia punya akun media sosial. Buatku lebih enak nge chat daripada nelpon atau sms. Ngirit pulsa dan pulsanya buat beli paket internet aja hehe.
Kita main kartu sambil makan. Untung gak ada guru lain lewat atau gak kena tabok atau gak omelan, wih serem, tapi gak takut. Bukan berarti aku orang yang melawan dan tak penurut, aku orangnya baik kok, gak suka melawan, menurut orang yang lebih tua dan menghormati mereka. Cuma yah kayak gitu gak bisa menghentikan genkku ini. Tenang, sahabat - sahabat yang sudah menemaniku sejak dulu memulai masa remaja baik - baik. Hanya nakal ala remaja kebanyakan hehe.
Tak terasa bel pelajaran lain sudah berbunyi. Segera kami ngacir ke kelas dengan speed up keburu guru masuk duluan. Untung setelah masuk kelas belum ada gurunya. Lima menit kemudian baru datang. Semoga gak ada pr untuk kali ini. Harapan terkabul, emang gak ada pr.
Lagi hikmatnya belajar, seseorang melempar kertas terkoyak padaku dari paling belakang. Karena aku duduk dua jarak bangku dari si pelempar. Tak kugubris kertas rengsek itu. Yang ada aku mendapat kejutan lain.
“Jevera… Jangan pernah melamun saat belajar! Bangun kamu!” teriak pak guru yang membuyarkan lamunanku seketika.
Aku langsung menatap intens buku paket yang membuka tentang materi yang sama sekali belum ngeh bagiku. Pak guru berlalu kembali ke meja guru. Kertas itu kubuka dan bertuliskan, ‘Jangan bengong terus! Entar dimarahin pak guru.Tadi main juga baru satu atau dua babak sudah kalah. Bagaimana ini, biasanya kamu jago main kartu numerouno itu.’
Sudah waktunya aku gak begini terus. Aku pengen ketemu Del lagi. Gampang sih, tinggal ke hotel lagi. Tapi kayaknya dia sibuk dan gak mungkin bertemu dengannya dalam jangka waktu lama saat dia lagi di waktu kerja. Berarti gak gampang ya… Haah…
Pak guru menyuruh sekelas untuk mengerjakan soal - soal yang ada di buku paket. Kubuka buku tulis dan setelah menulis angka satu di kolom nomor, aku malah menulis nama Fadel sebagai jawaban nomor paling awal itu. Akh, sial…! Aku segera menghapusnya. Kucari jawaban yang benar dan menulisnya segera. Hampir pelajaran selesai, sekelas pada selesai mengerjakan dan mengumpulkan lalu pak guru keluar dengan diikuti seorang siswa mengikutinya membantu membawa buku - buku tulis itu.
Bel pulang sekolah berbunyi. Yes, saatnya pulang guys! Aku tidak bisa bermain sama genk hari ini karena yang lain pada les. Aku les privat dan sekarang bukan jadwalku. Aku menyalakan motor berwarna hitam ini yang kata orang - orang motor orang macho. Lah ini motor biasa aja kok. Gak ada yang spesial. Lagipula ini bukan punyaku. Punya kakakku malah. Justru mobilku lagi dipakai kakak ke luar kota. Hebat ya, adik mengalahkan kakak dalam hal kendaraan hehe.
Kupakai helm lalu pergi segera menuju rumah. Baru aja jalan sebentar, kelihatan bensin sudah mau habis. Waduh, uang jajan bakal terkuras nih. Kenapa kakak gak ngisi nih motor bensin dulu? Huft…
Aku pergi membeli bensin terlebih dahulu daripada harus mogok di tengah jalan. Aku gak mau jadi tontonan jalanan, memalukan mogok di jalan. Setelah masuk dan mengantri, giliran motor kakakku diisi. Lima lembar seratusan melayang dari dompet. Sampai jumpa duit, aku tidak bisa jajan untuk dua sampai tiga minggu ke depan. Tak terkira makanan tadi yang dibeli di kantin adalah yang terakhir untuk sementara yang pahit. Dengan berat hati nan tak rela kuberikan uang jajanku sebagai bayaran bensin pada mba itu.
Setelah keluar dari pom bensin, terpikirkan apakah mama mau ngasih aku uang jajan lagi. Baiklah, tidak akan kubuang struk bukti pembelian bensin untuk motor pembawa sial ini. Waktu jalan - jalan sama Del, aku pakai uang sendiri kok. Uang sisa bulan lalu banyak jadi kupakai aja daripada entar dicuri diam - diam sama kakak yang pada faktanya gak tau diri nan gak tau malu.
Jalan aja dan lalu lampu merah menghalangi. Tiba - tiba nyamuk hinggap di pipi kananku dan langsung kupukul dengan sangat cepat nan gesit. Tahulah nyamuk cepat banget kayak roket. Saat itulah, seseorang yang kurindukan ada di sana. Berjalan mondar - mandir di depan toko peralatan elektronik. Ngapain tuh anak? Bingung gitu...
Setelah lampu hijau, segera aku melesat ke tempat dia berada. Kuhentikan motor beberapa jarak di belakangnya dengan suara decit pelan agar tak ketahuan kalau aku menemui dia lagi tiba - tiba. Aku berjalan pelan lalu menerjang dengan mwnutup matanya. Fufufu....
''Ah, i-ini siapa? Tolong lepaskan.''
''Hmn, siapa hayo....''
''Wah, beraninya...''
Kulepaskan dan ia berbalik menghadapku. Tatapan mata itu... Ya, aku merindukannya.
''Kamu kenapa ada disini?''
''Pengen ketemu kamulah Del.''
''Pasti secara gak sengaja.''
''Berarti kita ditakdirkan untuk bersama.''
''Bisa aja kamu hehe.''
Ia kembali menatap toko elektronik itu. Sepertinya ia mencari sesuatu. Lebih baik kubantu aja.
''Kamu cari apaan?''
''Cari senter.''
''Kan bisa beli di minimarket.''
''Iya, tapi kata Tante yang punya kost beli di sini aja. Himbauan dari suaminya. Anak kost lain sudah pada punya.''
''Ya sudah ayo masuk. Ngapain berdiri di sini terus.''
Kita masuk ke toko yang sederhana bercat biru tua ini. Banyak perabotan rumah tangga dan dapur dijual. Cuma sedikit pengunjung yang ada, namun insting mengatakan kalau toko ini laris.Benar aja banyak panci dan oven sudah terjual karena gak sengaja kedengaran saat lagi jalan dari ibu - ibu yang ngobrol.
Setelah berkeliling bentar akhirnya ketemu rak kaca putih yang menjejerkan senter - senter. Ada lelaki dewasa berusia tiga puluh tahunan disana. Ia menyapa kami.
''Halo, mau cari senter kayak gimana?''
''Yang mau cari senter itu cowok ini, Pak.'' sambil memwgang kedua bahu Del.
''I-iya... Aku disuruh suaminya Tante Ratna buat beli senter disini.''
''Ooh... Sama si Bagas disuruh. Jadi kamu yang namanya Fadel itu.''
''Eh... iya. Kok Pak tahu nama aku?''
''Dikasih tahu sama Bagas lah. Siapa lagi coba.''
Kita hanya mengangguk. Yang bikin heran bapak itu malah pergi meninggalkan kami. Selang menit kemudian ia memberikan senter warna merah kepada Del. Kok langsung dikasih sih? Aneh nih Del belum milih mau yang mana malah sudah pakai acara sodor - sodoran. Pakai kacamata dulu pak sana.
''Katanya harus senter yang ini. Saya kasih setengah harga alias diskon lima puluh persen.''
Del nurut aja dan membayarnya. Setelah itu kita pergi dari situ.
''Sepertinya penjual tadi kenal sama yang punya kost kamu.''
''Iya. Pantesan disuruh beli senter disini. Ternyata buat bantu teman jualan toh.''
Aku menatapnya. Pengen banget main sama dia. Aha, lebih baik main ke kostannya aja. Pemasaran sama kamar yang ia tempati.
''Del, aku mau main ke kostan kamu.''
''Eh..? Ta-tapi kamarku kurang rapi...''
''Biarin. Kamarku sering berantakan malah.''
Aku bonceng dia pakai motor. Ukh, sebetulnya aku tidak ingin mengatakan ini. Baru kusadari dan terima kasih kakak. Kalau aku ngebut dia mau gak mau bakal meluk aku.... Argh, ok Jev, tenang.... Tapi aku gak mau ngebut ah, takut jatuh.
''Tumben pakai motor.''
''Punya kakak. Mobil dipinjam kakak buat ke luar kota.''
Setelah duduk dalam posisi aman dan nyaman, motor berjalan menuju tenpat tinggalnya. Alu sudah tahu jalan mana aja menuju kost dia jadi gak perlu diarahin. Sesuai ekspetasi, dia gak meluk aku. Malu kali yah hehe.
Gak perlu lama buat sampai di sana. Setelah sampai kuparkirkan motor di pinggir tanpa menghalangi jalan. Kami turun dan dia mengeluarkan kunci. Ternyata itu kunci pagar karena dia sukses membuka pagar itu.
Aku minta izin kepada wanita yang disebut Tante Ratna itu yang katanya pemilik kost ini. Ia memperbolehkannya. Lalu kita masuk ke kamarnya. Ah, Del bisa aja nih. Ini sih rapi namanya.
''Ini rapi. Bukan berantakan.'' kataku sambil geleng - geleng.
Del hanya ketawa kecil. Haha pengen kucubit pipi itu, gemesin.
Pandanganku terpaku pada sebuah boneka beruang besar yang menarik perhatian. Heran Del suka begituan. Tapi gak apa - apa. Lucu kok....
''Punya kamu?''
''Iyalah. Emang siapa lagi?''
''Gak.. Kamu kenapa bisa ada boneka di sini?''
''Se-sebetulnya setelah aku pulang jalan - jalan sama kamu, boneka yang dibungkus kardus itu ada di depan kamar. Karena ada nama aku di situ ya alu bawa aja ke dalam. Pas aku buka ternyata berisi boneka imut. Kardus kutaruh di pojok terus malah ada bungkus jepit yang masih rapi tapi jepitnya gak ada. Aku taruh di meja. Gak sengaja masuk kali. Begitu...''
''Del, apa gak mencurigakan apa ada orang yang gak kau kenal malah ngirim begituan?''
''Curiga kok. Tapi gak ada barang mencurigakan di situ jadi aku tetap hati - hati.''
Aku jadi khawatir sama dia. Semoga itu boneka maksudnya baik dan gak bikin acaman sama yang punya. Aku harus selalu melindungi dab membantunya kalau dia kenapa - napa.
Keren juga, ada kulkas mini. Aku buka kulkas itu dan ternyata isinya masih kosong. Sayang tuh mending diisi minuman atau daging mentah buat dimasak. Tapi masak dimana ya? Dapur umum kali ya. Kayak aku aja yang mau masak. Huh,sayangnya aku gak bisa masak. Paling gak cuma masak telur dan mie rebus.
Del pergi keluar membeli nasi kuning dan teh dingin untuk kami berdua. Aku masih di dalam menunggunya. Pemasaran nih dia kenapa bisa ada di Yogya. Kayaknya dia bukan asli orang sini. Hee.. aku ingin tahu lebih dalam tentang dia.
Satu lagi nih, kenapa dia beli senter? Sekarang terang menderang tuh lihat jam dua siang aja masih panas gini. Buat jaga - jaga kalau tiba - tiba mati lampu ya... Hmm, tipe siap siaga... Bagus. Entah kenapa banyak yang bikin aku pengen ketahui tentang Del. Kepo itu bagus. Benar gak? Ok maksudnya penasaran akan sesuatu. Gimana sih ckck...Ada - ada aja.
Del balik lagi dengan dua kantong kresek hitam ditenteng di kanan tangannya. Gak begitu lapar sih, tapi demi menghargai apa yang sudah dilakulannya... Gak apa apa deh. Lumayan untung gini haha. Siapa sih yang gak mau gratisan?
Dia membuka dua bungkus nasi kuning. Sudah tersedia sendok plastik jadi tak perlu pakai tangan. Saking rajinnya ia malah sudah coblosin sedotan ke kedua minuman. Padahal aku bisa tusuk sendiri kok.
''Ini santapan favoritku di sekolah. Menurutku perpaduan yang enak hehe.''
''Hee... Terus kamu sekolah dimana? Oh iya, kenapa malah kerja pas masih sekolah? Terus kamu pindahan kan?''
Tiba - tiba dia langsung gugup dan mulai keringatan. Aku cuma nanya dia sekolah dimana jadi apa salahnya?
Inilah yang bikin aku kaget banget. Tiba - tiba ia malah mengeluarkan air mata. Menuruni pelan lewat pipi gemesinnya. Akh...! Aku panik! Gimana nih?
“Hey, kau tidak apa - apa? Ma-maaf kalau aku ada salah…”
“Hiks, kamu gak salah. Aku… Uuh…”
Aku mengelus - elus rambut halusnya. Masih terasa harum shampoo mandi pagi tadi. Dengan pelan aku menyeka air matanya dengan tanganku. Tak bagus ia menangis seperti ini terus. Entar aku malah merasa badmood.
“Kalau kau tak mau memberi tahuku tak apa - apa. Aku tak memaksa.”
“Ma-makasih sudah mau mengerti.”
Aku tersenyum. Kesedihannya perlahan memudar. Walaupun jujur aku pengen tahu kenapa ia tak mau memberitahukannya. Tapi itu tak tepat untuk ditanyakan sekarang. Setidaknya hanya itulah yang dirahasiakan dan mungkin gak penting. Yang kumau sekarang hanyalah Del yang menyenangkan dengan senyum lebar manis.
“Ceria, ceria…!” kataku menyemangati.
“Heheh…”
Dia sudah kembali ceria. Aku sangat lega. Pipi lumayan merah merona dengan bekas air mata mengalir masih ada di wajahnya. Kok imut ya…
Kita kembali melanjutkan makan. Setelah selesai kami membereskan bekas makan lalu dibuang ke tong sampah. Rasanya pengen berlama - lama di sini, namun tak bisa karena banyak tugas dan dompet yang kosong. Entar kalau aku mau makan masa minta tolong dia terus.
Oh ya! Aku mau minta akun sosmednya biar bisa kontakan terus. Kalau ada apa - apa dia bisa bilang terus terang padaku.
“Del, aku minta akun sosmedmu ya… Punya gak?”
“Ada, ini. Add aja.”
Langsung aku add punya dia dan langsung di accept. Lol gak tau napa senang banget. Sepintas kelihatan jam tangan yang melingkar di tangan kiriku, sudah pukul empat sore. Harus pulang nih. Gak mau ditanya macam - macam panjang lebar sama mama gara - gara belum bilang sebelumnya.
“Aku pulang dulu. Jangan nakal ya.”
“Enak aja! Siapa yang bakal nakal weyy….”
“Haha…! Dah…”
Aku turun dan saat jalan berhenti sebentar, mendongak ke atas dan kutemukan dia yang melihat ke bawah melihatku. Ia kaget dan langsung kembali ke kamarnya. Hehe ada - ada aja. Untung gerbang terkunci tanpa digembok jadi ia gak perlu ribet - ribet kesini membukakan. Langsung aja pergi dari sana secepat mungkin. Antara gak rela dan rela. Gak rela karena masih pengen sama dia dan rela karena malas kena interogasi rumahan mama.
Bagus, aku sampai rumah malah jam enam seperempat sore. Di jalan tadi macet banget. Katanya ada perdebatan antara pengemudi yang kendarannya saling tertabrak yang entah gimana caranya di tengah jalan raya. Gak tau malu bikin macet seenaknya sampai bikin banyak polisi harus turun tangan. Harusnya sampai rumah gak selama ini.
Kumasukkan motor ke bagasi. Aku membuka pintu utama masuk dalam rumah sambil celingak - celinguk. Gak ada siapa - siapa di ruang tamu. Fyuh, semoga mama gak tahu aku pulang jam segini.
“Jevera, darimana kamu? Baru pulang jam segini.”
Glek! Mama datang dari arah dapur dengan tatapan mata tajam.
“Dari rumah teman Ma…”
“Rumah teman siapa? Terus teman darimana? Kenapa gak bilang dulu dari tadi pagi berangkat? Kenapa sampai rumah sore begini?”
Argh, baru masuk rumah sudah digembor dengan pertanyaan ini itu. Pengen rasanya cepat - cepat tiduran peluk guling. Ukh, aku capek. Pengen istirahat.
“Namanya Fadel. Teman satu sekolah. Tadi aku sudah cari Mama kemana - mana gak ada katanya lagi sama Papa. Terus tadi terlambat karena di jalan raya lagi ada yang berdebat gak jelas.”
“Haah, kamu ini… Ada - ada aja. Ya sudah, sana mandi dan turun ke bawah buat makan malam.”
“Iya Ma.”
Untuk tadi maaf ma aku gak bisa bilang kalau Del itu aslinya kerja di hotel dan bukan dari sekolah yang sama. Karena aku gak tahu dia sekolah dimana.
Aku bergegas naik menuju kamar tidurku yang terletak di lantai dua. Rumah ini ada tiga tingkat. Aku benar kan, kamar tidur berantakan. Kasur dimana bantal di sebrang sana. Buku - buku pelajaran bercampur dengan komik dan majalah.
Aku mandi lalu mengenakan kaus dan celana pendek karena malam terasa agak panas. Mungkin karena AC di kamar sedang rusak. Dibuka jendela dan sedikit demi sedikit semilir angin malam mulai membuat kamar sejuk.
Setelah turun ke bawah sudah ada mama dan papa menunggu di meja makan. Aku tak begitu lapar karena tadi sudah makan. Tapi daripada kena omelan mending makan aja deh.
Hari ini makan tanpa kakak lagi. Sudah dari kemarin kakak pergi. Biasanya kakak yang pertama berada di sini menunggu untuk makan bersama.
“Tumben gak banyak.” tanya papa.
“Tadi sudah makan di rumah teman.”
“Biasanya mau sudah makan atau belum juga suka nambah.”
“Berarti perut Jev lagi gak mau banyak - banyak hehe.”
“Haha, bagus tuh.”
Setelah makan aku mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan besok. Guru - gurunya parah nih, ngasih tugas langsung segepok gitu harus dikumpulin besok. Sadis!
Tangan makin pegal mengetik di atas keyboard. Punggung gak kalah pegal malah. Mata sudah ngantuk berat, namun tugas masih menggoyang - goyangkan ekor iblis merahnya pertanda masih belum selesai.
Aku ke dapur mengambil segelas jus jeruk dan kue kering untuk mengisi perut yang agak kosong. Siapa suruh tadi makan gak nambah…! Yang ada penyesalan jadinya.
Sambil menguyah, aku mempercepat pekerjaan ini. Semoga gak banyak kesalahan yang kuperbuat.
Akhirnya! Selesai juga! Horee, aku langsung tepar di kasur. Lalu langsung terlelap begitu aja.
Suara alarm yang di set di hp berbunyi keras nan lantang menusuk telinga. Pengen langung dipukul, tapi gak mungkin masa rusak hp sendiri. Harus usaha sendiri atau nunggu sepuluh tahun lagi buat dibelikan yang baru setelah kena marahan.
Aku merasa sangat kedinginan. Brrr, pantesan aja. Kemarin jendela masih kebuka sampai sekarang. Bahkan kasur jadi dingin gini.
Biar hangat (?) aku ingin mengirim chat pertama. Semoga dia sudah bangun jadi bisa langsung balas.
Jevera
Pagi Del! Semangat ya kerjanya!
Kutunggu beberapa menit pertama. Belum ada balasannya. Kalau gitu aku bersiap -siapa dulu. Setelah selesai menyiapkan buku pelajaran, masih belum ada balasan darinya. Ini menguji kesabaran kayaknya.
Di jalan juga belum ada balasan. Gak perlu pakai nge cek karena aku sudah menyalakan notification dengan suara bergetar. Bahkan saat sudah sampai kelas juga belum ada! Haah, segitu sibuknya kamu Del?
Guru sudah masuk. Harus kumatikan mode notif dengan suara itu. Baru aja kumatikan, ada notif di layar. Balasan chat yang sangat kutunggu - tunggu.
Fadel
Sorry Jev, baru isi pulsa dan beli kuota internet jadi belum sempat dibalas (;w;). Hehe iya kamu juga ya semangat jangan malas - malasan! q(owo)p
Huh, dikira apaan ternyata cuma gara - gara itu toh. Gak apa - apa deh setidaknya goodmood sudah bangun kembali karena sudah disemangati olehnya.
Setelah pelajaran selesai, aku membalasnya. Semoga langsung dibalas dengan waktu singkat hehe. Genk pada heran aku senyum - senyum sendiri.
Jevera
Gak apa - apa. Kamu shift apa? Pulang mau dijemput gak?
Yes! Langsung dibalas!
Fadel
Aku shift pagi kok. Gak usah. Mending kamu langsung pulang aja. Pasti capek.
Jevera
Justru itu mending kamu pijat si ganteng ini hehe. :vv
Fadel
Haah? Σ(゚д゚lll) Aku gak bisamijit.... (;w;)
Jevera
Hey, aku cuma bercanda lol tenang. XD
Fadel
Aish, dikira beneran... Eh, aku sudah harus kerja lagi. Waktu istirahat sudah habis. Bye! (´ω`)ノシ
Jevera
Bye!!
Hahaha, dia lucu banget! Dia pulang lebih cepat daripada aku ya... Tapi pilihan jatuh pada lebih baik ke hotel itu lagi. Mungkin dia masih ada. Nih orang keras kepala ya.
''Orang gila nih. Senyum sama hp sendiri.''
''Mana tahu dah. Pacar dia dibilangin juga.''
''Huh, aku lagi bahagia jadi jangan ganggu.''
''Lihat dong siapa yang bikin kamu baper.''
''Gak mau.''
''Cuma lihat apa salahnya sih... Sini sini, mana mana....?''
Pada maksa nih! Sudah tahu aku gak mau. Aku langsung kabur dari tempat biasa nongkrong dekat kantin. Lihat aja mereka sudah kayak harimau kelaparan tujuh turunan. Aku berlari secepat mungkin ke kelas. Walaupun mereka bakal kesana setidaknya di sekitar kelas masih banyak guru lalu - lalang jadi gak bakal jadi korban.
Yeah! Rasain pada gak bisa berkutik! Pak kepala sekolah melewati kalian yang lari - lari kesurupan gak jelas. Tah kena tegur kan. Untung gak kena tegur. Ya lah pak kepala sekolah masih jauh diujung jadi mana mungkin hehe.
Bel istirahat pertama berbumyi. Pada saat itu juga guru datang. Kami semua mengumpulkan tugas. Kelas belajar dengan heboh lantaran guru datang cuma ngasih tugas lalu pergi lagi karena ada urusan mendadak. Kujaga hp biar gak ada yang memainkan sembarangan.
Sigh,benar - benar melelahkan. Waktu - waktu menyiksa otak dan fisik para murid bikin semua langsung tepar. Ya lah, bentar lagi ujian siapa yang gak bakal kewalahan. Aku emang murid kelas 3 SMA, walaupun sudah senior dalam hal capek dan stress kelas terakhir ya gak bakal terbiasa.
Aku pergi ke hotel. Saat sudah sampai aku merasa beruntung seketika. Del ada disana sedang mengobrol dengan seorang resepsionis.
''Hai, Del. Ada apa nih?''
''Lah, kamu Jev? Kok ada disini?''katanya kaget.
''Jemput kamu. Sudah kan?''
''Iya. Ya sudah mba, aku permisi mau pulang dulu.''
Lagi - lagi aku boncengin dia dan tahulah.... Hayalan terliar aku pengen dia meluk aku hehe.
''Tadi ngobrol tentang apa?''
''Oh, tadi dia nanya sudah selesai apa belum beres - beres semua kamar dilantai paling atas. Ya kujawab aja sudah.''
''Eh...! Kamu beresin sendiri?''.
''Gak kok. Dibantu sama satu orang jadi makanya kenapa aku masih belum pulang.''
Setelah sampai di tempat tujuan terlihat banyak orang gegabah bawa banyak kantong kresek dibuang ke gerobak sampah. Dari yang besar sampai kecil tak luput. Kayak lomba aja.
''Kenapa pada ribet gitu yah?'' tanyaku heran.
''Gak tau.''jawabnya.
Seketika muncul di benak aku pengen nginap di tenpatnya. Yes sekarang hari Jumat. Besok libur dan semoga bisa nginap di kostan dia. Sudah lama aku tidak menginap di rumah teman. Gimana rasanya tidur satu kamar sama Del ya hehehe.
''Del,aku boleh gak nginap?''
''Eh, ma-maksudnya di tenpat aku?''
''Ya iyalah! Emang dimana lagi? Di kolam ikan? Gak lah ckck.''
''Bo-boleh kok! Aku sangat senang!'' katanya dengan sangat antusias.
Aku juga sangat senang sudah diperbolehkan menginap oleh sang pemilik. Kini tinggal bilang mama aja. Semoga boleh...
Motor yang terpakir sampai hampir jatuh malah. Kalau beneran jatuh bisa kena tabok si punya empunya, gila! Sampai rumah aku langsung menemui mama yang sedang baca majalah di ruang keluarga. Mama heran melihatku dengan tampang senang kusut (?)
''Ma, aku mau menginap di rumah Fadel. Boleh ya?''
''Gak.''
''Please.....'' kataku dengan tatapan memelas belas kasih.
''....Baiklah. Sekarang siap - siap. Bawa yang diperlukan aja. Pulangnya Minggu kan?''
''Iya, Ma. Janji gak bakal pulang malam kok.''
Kayaknya mama lagi goodmood nih. Langsung ngasih izin tanpa ba-bi-bu. Nanti bakal jadi malam minggu yang menyenangkan! Aku tak sabar!