It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Selain itu, ada alasan lain kenapa aku nggak sesemangat Yani untuk mengejar kereta tersebut. Huft... aku sama sekali belum melihatnya pagi ini. Biasanya ditengah-tengah kerumunan orang orang tersebut akan ada dia yang berdiri dengan peluit di mulutnya, seragam yang tampak sangat pas dengan tubuhnya yang jangkung dan tegap, dan senyum yang bisa membuat semua kaum hawa luluh begitu saja.
Pengecualian bagiku sih.
'Bssssssssstt!! Bsssssttt!'
Suara kereta menjerit nyaring seolah-olah menyuruh semua penumpang yang masih berada di luar untuk segera masuk ke dalam. "Ah! Cepetan Vin! Lama banget!" Kali ini Yani semakin menggila setelah mendengar bunyi kereta api tersebut dan kemudian menarik tanganku lebih kencang daripada yang tadi hingga membuatku jatuh terjerembab ke depan bersama barang-barangku yang berserakan di lantai.
'Gedubrakk!!'
"Alvin!!" Pekik Yani reflek menutupi mulut dengan kedua tangannya. "Ya ampun! Maafin gue Vin! Sorry!"
Aku meringis kesakitan karena kudapati pergelangan kakiku lecet sedikit. Aku kemudian membelalakkan mataku pada Yani. "Makanya kalau lu mau narik-narik tuh mikir dikit!"
Yani membantuku memasukkan semua barang-barang ke dalam tas bawaanku dan kemudian terkekeh. "Iya deh sorry. Maaf ya. Gue kan cuman takut telat."
"Terserah elu dah!" Kejarku ketus sambil mencoba berdiri. Tapi saat kuangkat kaki kiriku, aku spontan menjerit kecil karena kurasakan sendiku terkilir. Mengirim sinyal kesakitan melalui syaraf-syarafku ke otak. Dan reflek dengan itu, aku kembali terduduk dan membuat Yani panik.
"Ya ampun! Alvin! Alvin!" Teriak Yani yang suaranya sangat keras hingga kami menjadi tontonan para penumpang yang sudah berada di dalam kereta yang menatap kami dengan mata lebar seolah-olah sedang bermain sinetron didepan mereka. "Lo nggak kenapa-kenapa?!"
Kupegangi pergelangan kakiku sambil meringis sekali lagi. "Kayaknya terkilir nih, yan.."
"Bisa jalan?"
Aku menggeleng. Dan saat itu juga Yani meletakkan barang-barangnya di sampingku dan berlarian masuk kedalam stasiun, membuatku bertanya tanya apa yang sedang ia lakukan di dalam sana.
Beberapa saat kemudian dari dalam stasiun Yani datang sambil menjinjing-jinjing sebuah kantong kresek warna hitam. Dan yang membuatku terkejut adalah, dia kemari sambil membawa seseorang yang belakangan ini selalu kutunggu-tunggu kehadirannya di stasiun.
Namanya Rudi, aku nggak tau nama panjangnya apa, tapi aku pernah mendengar salah seorang petugas stasiun memanggilnya dengan nama itu. Aku baru beberapa kali saja melihatnya di stasiun. Aku selalu menghitung frekuensi jam kerjanya perbulan : 1x dalam seminggu dia mesti bekerja di pagi hari saat aku dan Yani sedang tergesa-gesa menuju sekolah. Apa yang membuat hatiku langsung luluh? Karena senyumannya itu. Pernah sekali ia mengajakku bicara (dan itu cuman dia menanyakan jurusan keberangkatanku), dan setelah itu aku jadi susah tidur karena selalu teringat akan dirinya terus.
Dan setelah dua minggu aku dibuat susah tidur dengan benak yang selalu memikirkannya, hari ini dia tiba-tiba muncul bersama Yani yang sama sekali nggak tau apapun. Dia hanya memakai celana seragamnya saja, sedangkan atasannya, dia hanya memakai baju kaus yang tampak sesak di badannya yang terbentuk itu. Dada bidangnya tercetak jelas. Apalagi kalung ala-ala militer yang bergelayutan di lehernya.
"...Ini mas!" Seru Yani dan kemudian menghampiriku. Ia menyerahkan sebuah balsem pada Mas Rudi yang berjongkok disampingku.
"Terkilir ya?" Tanyanya ramah sambil membuka tutup balsem yang cukup panas di kulit itu.
Alih-alih menjawab pertanyaannya, kutemukan diriku tersesat dengan pesona seorang Rudi. Hidungnya mancung, matanya sedikit sipit dan bulu-bulu halus di jambang rambut serta dagu. Terlebih lagi kulitnya bersih, membuatnya tampak seperti keturunan Tiongkok. Tapi aku yakin dia berdarah biru jawa. Selesai dengan wajahnya, mataku kemudian meliar ke bisepnya yang besar dan berisi. Rudi memang hanya memakai kaus ketat berlengan pendek yang sangat memamerkan otot-ototnya disana sini. Dan pemandangan itu membuatku menelan ludah.
"Aww!" Jeritku saat ia menekan pergelangan kakiku. Rasanya sakit. Sungguh. Aku nggak lagi modus loh.
"Sakit?" Tanya Rudi sambil tetap memijit-mijit lembut pergelangan kakiku.
Aku mengangguk lemah. Dan sebenarnya aku terlalu gugup untuk bersuara. "Vin, si mas ini ternyata jago banget mijit kata abang gue." Yani emang punya Abang yang bekerja di stasiun. Namanya Abang Riffan. Dia bekerja sebagai operator kereta bersama kakakku, Rahma.
"Ah, bisa aja kamu, Yan" sahut Mas Rudi sembari terkekeh. "Mas cuman bantu-bantuin abang kamu aja kok.. mas kan pernah belajar dulu waktu di masih di jawa.."
Kulirik Mas Rudi dan Yani yang tampak sudah sangat akrab. Dan aku nggak bisa menyembunyikan rasa cemburuku setelahnya. Kenapa mereka berdua bisa saling kenal? Kenapa Yani nggak menceritakannya padaku?
"Tunggu? Kalian saling kenal?" Tanyaku hati-hati.
Yani mengangguk dengan cepat. "Yap! Dia kan mantannya Kak Ulla!" Kak Ulla itu kakak sulungnya Yani. "Kami udah kenal lama sejak kecil. Tapi baru baru ini aja kontak-kontakan lagi semenjak dia ditugaskan disini."
Aku meng-o panjang mendengar penjelasan Yani. Jujur, aku sih sebenarnya bukan orang sini. Aku cuma disuruh kedua orang tuaku untuk menempati rumah buyut yang kosong di provinsi ini. Rumahku sangat jauh, di Kalimantan. Dan semenjak awal SMA, aku sengaja dipindahkan kemari untuk hidup mandiri bersama kakakku, dan juga adikku, Abub. Sedangkan Yani dan keluarganya itu adalah tetanggaku. Kebetulan, Yani itu satu sekolah dan satu kelas denganku.
"Yak. Udah selesai." Ucap Mas Rudi sambil tersenyum senang. "Coba gerakin kakinya."
Aku mematuhi perintahnya dan menggerak-gerakkan pergelangan kakiku. Memang sih rasa sakitnya udah agak berkurang, tapi tetap aja sakit.
"Udah nggak apa-apa kan?" Tanya Yani memastikan. Aku mengangguk saja dan kemudian memaksakan diri untuk berdiri meski agak limbung.
Yani membantuku berdiri sambil menenteng kedua tas kami. Aku masih meringis saat Mas Rudi terkekeh. "Lain kali hati-hati ya?" Ucapnya sambil tersenyum dan membuatku lagi-lagi terhipnotis olehnya.
"Kalau gitu aku pergi dulu ya, Mas!" Balas Yani.
Mas Rudi mengangguk, masih tersenyum. Sesaat kemudian ia menoleh padaku, hanya sebentar, sejurus kemudian dia berpamitan padaku dan Yani untuk kembali kebelakang bersiap-siap untuk bekerja.
---
Sepanjang hari setelah itu aku nggak bisa berpikir jernih. Yang ada didalam benakku hanyalah dia, dia, dia dan dia. Bahkan selama di sekolahpun semangatku untuk belajar tak juga bangkit. Yang lebih parah sewaktu ulangan PJOK, aku salah tulis nama pemain badminton dengan namanya. Harusnya Susi Susanti menjadi Rudi Susanti.
Hingga siangpun berganti menjadi petang. Aku dan Yani kembali menuju kampungku bersama-sama. Jarak dari kota ke kampungku lumayan jauh jika ditempuh dengan kendaraan bermotor. Untung saja ada kereta api, jadi masalah transportasi di kampungku bisa sedikit teratasi.
Aku dan Yani menaiki gerbong ekonomi yang memang kalau sudah petang, sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa pedagang dari kampungku yang baru saja kembali dari kota membawa ember yang isinya uang receh. Kereta api ini biasanya akan selalu beristirahat di kampungku, dan kembali beraktifitas lagi paginya mengangkut orang-orang ke kota. Menurut cerita Nyai, biasanya dulu kalau hari libur, akan banyak orang yang mengunjungi kampung kami. Tapi semenjak Mall dan berbagai wahana permainan lainnya dibangun di kota, kampung kami seolah-olah hilang dari peta daerah kota kami.
Aku menghela nafas berat dan melirik kakiku yang sudah dibaluti oleh plester yang tadi pagi Yani belikan. Bahkan, sentuhan sang masinis itu saja bisa membuatku semrawutan seperti ini.
Akupun menghela nafas, dan berharap semoga saja perasaanku ini bisa kupendam lebih lama hingga akhirnya pergi untuk selamanya dari hatiku.
---
"Abang Alvin!!" Teriak Abub dari dalam rumah. "Abaaangg!! Kripik udang pesanan aku mana???!" Rengeknya sambil memeluk kakiku. Adik kecilku ini baru berusia 12 tahun, masih SD. Tapi dia sengaja dikirimkan kemari oleh Ibu agar bisa mandiri. Yah Ayah dan Ibu biasanya sekali-sekali juga kesini kok mengunjungi kami.
Akupun sontak menepuk jidatku sendiri karena lupa membelikan keripik udang pesanan Abub. "Aeh! Abang lupa!"
Abub sontak langsung melepaskan pelukannya di kakiku. Diangkatnya kepalanya dan sponta langsung menampakkan matanya yang besar dan berkaca-kaca. Bibirnya bergetar dan hidungnya mulai ingusan.
"Hikss.."
O ow.. "bub..?" Lirihku mencoba untuk meraihnya sebelum terlambat, tapi...
"UEEEEEEEEEEEEEEEE!!!!!!! KAKAK APIN JAHAAAAATTT!!!!!" Aku terlambat, Abub sudah duluan menangis sekeras-kerasnya. Huft. Abub mah emang begini. Kalau misalnya ada keinginannya yang nggak dia dapatkan, dia pasti bakalan merengek.
"Bub.. udah.. maafin abang ya? Besok abang beliin. Ok?"
Abub masih mengusap-usap pipinya dengan punggung tangan dan tak mau melihatku. "Abang jahat! Abang jahat!" Teriaknya.
Huft.. kalau sudah begini, bakalan susah ngedieminnya. Batinku.
Tak lama kemudian aku mendengar suara dua orang bocah berteriak nyaring tepat didepan telingaku.
"ABUUUUUUUUUUBBBBBBB!!!!!!!!!!" Pekik bocah satu.
"MAIN PETAK UMPET YYUUUUUUUKKKKKK!!!!!" Sambung bocah yang lainnya.
Aku spontan langsung terlonjak sambil menutup telingaku dan menemukan Ello dan Dannis sedang berdiri dengan pakaian lusuhnya di belakangku. Mereka tampak kotor. Dannis memegang bola, sedangkan Ello memegang beberapa gundu di tangannya.
"Ello! Dannis! Gausah teriak di telinga abang juga bisa kali!!!" Bentakku.
Dannis mencibir, sedangkan Ello memukul-mukul pantatnya tanda mencemoohku. "Biarin! Bweek! Itu buat abang yang udah bikin Abub nangis!" Pekik Ello dengan suara nyaring khas bocahnya.
"Gue pinjam Abubnya ya bang!" Sambung Dannis sambil menggamit tangan adik bungsuku dan langsung menariknya. Ketiga bocah tersebut langsung berlari-larian ditengah-tengah jalan kerikil didepan rumahku.
"Hoooii!! Mau main dimana tuh!!!" Pekikku dari depan rumah.
"Di masjid!!!" Teriak salah satu dari mereka.
Ah.. melihat ketiga bocah itu, aku jadi kangen dengan teman-temanku yang berada di Kalimantan. Dulu aku sampai dimarahin Ibu karena pulang terlalu larut malam selepas sembahyang tarawih.
"Apa sih ribut ribut?" Kak Rahma kemudian muncul dari dalam dapur sambil membawa sebuah mangkuk dengan asap yang mengepul-ngepul diatasnya. "Loh? Udah pulang, Vin?"
Aku mengangguk. "Assalamu'alaikum..."
"Waalaikum salam.. sepatunya susun yang rapih!"
Aku mematuhi perintah Kak Rahma dan meletakkan sepatuku berjejer dengan sepatu saudara-saudaraku diatas rak sepatu yang sengaja diletakkan didepan pintu rumah.
"Abub mana?" Tanya Kak Rahma sambil menyandukkan nasi ke piring dan kemudian menyodorkannya untukku.
"Ehmm.. main sama Ello, Dannis di masjid." Jawabku sambil menarik kursi dari dalam meja dan menghidupkan TV.
"Itu anak ya! Asyik main aja!" Ujar Kak Rahma geram. "Padahal tadi minta dibuatin telor ceplok!"
Kuperhatikan isi meja makan kami yang tampaknya sangat ramai oleh makanan. Ada ayam, ikan pepes, lele, perkedel, dan lain lain. Membuatku bertanya tanya kenapa kakak memasak semua ini karena kami saja mungkin butuh waktu seminggu untuk menghabiskannya.
"Yaudah lah, nanti kamu jemput Abub pas sholat Isya, oke?"
Aku mengangguk sambil menelan nasi yang kukunyah tadi. "Kakak kenapa masak sebanyak ini?" Tanyaku pelan.
"Ooh.." jawab kak Rahma. "Ini loh, malam ini di stasiun, kan lagi ada acara apa gitu kakak lupa, jadi si Riffan, sama temen-temen cowok kakak yang lainnya disuruh buat jagain stasiun.. nginap gitu.."
Aku meng-o panjang dan lanjut melahap makananku.
"Nanti kamu tolongin kakak ya anterin? Sekalian suruh Abub pulang nanti.."
Aku mengangguk cepat. Beberapa saat kemudian, aku mengangkat piring-piring kotor bekas makanku dan juga kak Rahma ke tempat cuci piring dan mencucinya disana.
"Vin, ini rantangnya." Kata Kak Rahma sambil menyerahkan rantang makanan padaku. "Jangan pulang malam-malam ya.."
"Iya Kak.."
Akupun bersegera mengambil sendalku, kemudian pamit dan segera berjalan menuju stasiun dengan menggunakan hoodieku. Cuaca sangat dingin dan membuat asap keluar dari mulutku. Seperti perintah Kakak sebelumnya, aku sempat singgah sebentar di masjid dan melihat adik bungsuku masih asyik bermain bersama teman-temannya. Kusuruh dia pulang dan setelah itu permainan mereka bubar. Kulihat Ello dan Aris berjalan beriringan sambil tertawa-tawa. Sedangkan Dannis masih setia dengan bolanya.
Keadaan jalan menuju stasiun malam itu sedikit sunyi. Memang kalau malam nggak ada orang yang pergi kemari. Karena mungkin mereka nggak ada keperluan dan biasanya stasiun setiap malamnya selalu sepi dan dikunci. Tapi kulihat malam ini ada sedikit cahaya remang-remang dari dalamnya.
Perlahan aku memasuki stasiun sambil mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum..." ucapku.
Tapi tak ada orang, suasana stasiun masih sama heningnya.
"Assalamu'alaikum.. bang Riffan?" Panggilku lagi.
Selang beberapa detik, aku mendengar suara derik pintu. Dan saat aku menoleh kebelakang,saat itulah aku terperanjat dan hampir saja menjatuhkan rantang yang sedang kujiniing saat melihat Mas Rudi hanya mengenakan celana kerjanya saja tanpa atasan apapun berdiri didepanku dengan tampang acak-acakan.
"Loh? Alvin? Yang tadi pagi kan?"
Lagi-lagi aku mati kutu dan hanya bisa menelan ludah.
Ya ampun!