It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Next lgi y ceritanya
Jangan main yang sadis2 lah @amostale main yang lembut aja lol
kasian dia, sma aku aja.
aku selalu siap
bukti kalo aku tulus .......
*ciumBibir*
XD
@denfauzan @3ll0 @Yirly @Sho_Lee @Aurora_69 @arieat @o_komo @okki
@monic @Adi_Suseno10 @soratanz @asik_asikJos @xmoaningmex @lulu_75 @RifRafReis @LostFaro @gaybekasi168 @amostalee @Tsunami @andi_andee @hananta @Pratama_Robi_Putra @Sicilienne @LeoAprinata @liezfujoshi @josiii @freeefujoushi @RenataF @ricky_zega @ocep21mei1996_
*******
Part 7
Kami sampai di belakang sekolah dekat gudang. Dia mendudukkanku di sebuah kursi panjang yang terletak di sana. Dia melepaskan genggamannya setelah dia duduk di sebelahku. Aku menyentuh pergelangan tanganku yang sakit akibat genggamannya tadi, terlihat bekas genggamannya di sana. Aku menundukkan wajahku tidak berani menatapnya yang begitu tajam menatapku. Masih ada sisa-sisa kemarahan di wajahnya.
“Baru tadi pagi aku bilang kalau aku tidak suka kamu berada dekat dengannya. Tapi kamu tidak mau mendengarkan. Sekarang apa yang dia perbuat padamu. Dia melakukan lebih dari sekedar memegang bahumu!” Aku tersentak kaget mendengar nada suaranya yang meninggi. Aku semakin menundukan wajahku, mencoba menahan air mataku yang mulai berdesakkan mau keluar. Kemarahannya. Kejadian di ruang OSIS tadi. Aku tak menyangka Kak Wisnu akan berbuat seperti itu.
“M...maaf...” kataku dengan suara bergetar.
“Atau kamu memang mau dia memperlakukanmu seperti itu karena kamu juga mempunyai rasa padanya? Iya?!” katanya masih dengan nada suara yang tinggi. Aku segera mengangkat wajahku dan menggeleng dengan cepat. Aku tidak peduli lagi dengan air mataku yang sudah bebas mengalir membasahi pipiku.
“Aku...aku...aku hanya mau minta maaf padanya, dan ak...aku tidak memiliki rasa apapun padanya,” kataku terbata-bata menjelaskan tujuanku menemui Kak Wisnu.
“Maaf?! Kesalahan apa yang kamu lakukan hingga harus minta maaf padanya?” tanyanya mengerutkan dahi menatapku.
“Aku minta maaf atas kejadian tadi pagi padanya.”
“Jadi hanya karena itu!? Ck.” aku memilih diam, berusaha menahan tangisku dan mengusap airmataku berkali-kali namun tetap saja tak berhenti mengalir.
Dia menatapku lama. Setelah beberapa lama kami saling diam, kemudian dia merangkulku dan menyandarkan kepalaku ke dadanya.
“Maafkan aku karena tidak mendengarkanmu,” kataku lirih. Dia mengeratkan rangkulannya dan mengusap bahuku perlahan.
“Aku tidak ingin orang lain menyakitimu. Itu sebabnya aku melarangmu,” katanya dengan lembut. Aku mengangggukan kepalaku yang berada dalam rangkulannya. Dia mengusap-ngusap punggungku menenangkan. “Sudah, jangan nagis lagi,” dia mencium puncak kepalaku.
“Iya...” kataku pelan, lalu mencoba menenangkan diri. Setelah itu aku mengusapkan airmataku ke baju seragamnya.
Dia melepaskan rangkulannya, menatapku kaget dengan apa yang telah ku lakukan pada baju seragamnya. “Hey! Kamu mengotori seragamku!” katanya sambil memegang bajunya yang basah karena airmataku dan mungkin ada sedikit ingus di sana.
“Hehehe aku tidak punya saputangan dan yang paling dekat hanya bajumu, jadi ya...hehehe,” kataku memberikan senyuman termanisku agar dia tidak marah lagi.
“Ck, ini!” Dia mengeluarkan saputangan dari dalam saku celananya lalu memberikannya padaku. Segera ku usap sisa-sisa airmataku. Sempat ku cium sebentar saputangannya. Wangi.
Kurasakan dia merapikan rambutku saat aku mengeringkan airmata. Ku alihkan pandanganku menatapnya. Pandangan mata kami bertemu. Matanya tidak menyimpan kemarahan lagi, yang ada hanya tatapan lembut dari mata teduhnya yang selama ini aku kagumi. Dia memegang wajahku, memperhatikannya dengan seksama kemudian beralih ke leherku. Setelah beberapa saat, lalu dia turun melihat tanganku yang tadi dia genggam dengan sangat kuat, dan sudah tidak ada lagi bekas genggaman tangannya.
“Sakit?” tanyanya seraya mengusap perlahan pergelangan tanganku. Bisa ku lihat dia sangat menyesal atas perbuatannya. Aku mengangguk memberikan jawaban. “Maafkan aku telah menyakiti tanganmu. Aku memang bodoh, aku tidak ingin orang lain menyakitimu tapi aku sendiri yang meyakitimu. Maafkan aku.” Dia mengecup tanganku yang sakit, membuatku jadi merona. Aku mengangguk pelan dan memberikan senyuman padanya tanda aku memaafkannya. Aku tahu dia tidak bermaksud menyakitiku. Aku juga meminta maaf sekali lagi padanya karena tidak mendengarkan ucapannya untuk tidak dekat dengan Kak Wisnu.
Aku jadi teringat dengan kejadian tadi. Kalau Kak Wisnu melaporkan kejadian tadi ke Guru BP, Tora akan mendapatkan sanksi yang berat karena telah memukul seseorang hingga tak berdaya. Aku menggenggam salah satu tangannya dengan erat hingga membuatnya menautkan kedua alisnya menatapku heran.
“Ada apa?” tanyanya yang masih menatapku dengan heran.
“Ak...aku takut kamu kena hukum karena kejadian tadi,” kataku khawatir.
“Jangan takut, aku akan baik-baik saja,” katanya mengelus tanganku yang menggenggam tangannya.
“Tapi.....”
“Sssstt....kamu nggak usah khawatir. Aku akan baik-baik saja,” katanya lagi. “Lebih baik kita masuk kelas sekarang.” Dia berdiri, lalu menarik tanganku. Aku mengangguk kemudian ikut berdiri.
Kami masuk setelah hampir satu jam berada di belakang sekolah. Seisi kelas menatap kami berdua. Mungkin mereka bertanya-tanya ada apa dengan kami, karena ada beberapa teman sekelasku yang melihat kejadian tadi saat Tora menarik tanganku. Andre memberitahukan kalau tadi wali kelas kami menanyakan keberadaanku dan Tora, dia menjawab kalau Tora membawaku ke ruang UKS karena sakit. Untung wali kelas kami itu percaya dengan alasan yang di berikan Andre. Aku sangat berterima kasih karena Andre telah menolongku memberikan alasan. Tapi saat dia bertanya ada apa denganku. Aku segera memberikan kode akan menceritakannya nanti karena Guru kami yang lain memasuki ruang kelas.
Sepulang sekolah aku tetap pergi ke Mall bersama teman-temanku meski Tora sempat melarang dan menyuruhku menunda waktu traktiran kami. Dia memintaku agar segera pulang ke rumah dan istirahat. Mungkin dia mengkhawatirkan keadaanku setelah kejadian tadi. Tapi aku beralasan, aku baik-baik saja dan sudah janji dengan teman-teman jadi harus di tepati sekarang juga. Akhirnya dia mengalah dan ikut bersama kami. Aku menceritakan semuanya kepada teman-temanku karena mereka selalu mendesakku untuk bercerita. Mereka memuji-muji tindakan Tora ke Kak Wisnu. Mereka juga bersimpati dan menghiburku tapi setelahnya mereka menyalahkanku karena tidak mau mendengarkan pacar sendiri. Ck. Teman macam apa mereka itu.
*
Pukul 12:00 aku sudah siap-siap menunggu kedatangan Revan. Sebenarnya aku ingin membatalkan janjiku dengan Revan, tapi rasanya tidak sopan karena aku sudah berjanji. Dia juga sudah mengirimkan pesan kalau dia hampir sampai.
Ku lihat sebuah motor gede berhenti di depan rumahku. Segera aku turun ke bawah dan berpamitan kepada kedua orangtuaku. Saat ku buka pintu pagar, ku lihat pengendara motor itu membuka helmnya lalu tersenyum memperlihatkan gigi gingsulnya yang membuatnya jadi tambah cakep. Setelah menerima sebuah helm darinya aku segera naik ke atas motornya.
Kami memasuki sebuah cafe yang cukup menarik. Sepertinya cafe ini banyak diminati oleh anak-anak muda seperti kami. Kami memilih tempat duduk dekat kaca biar lebih leluasa melihat pemandangan luar. Revan menatapku dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.
“Ada apa?” tanyaku penuh keheranan. Dia masih tersenyum.
“Kamu terlihat tampan hari ini.”
“Jadi selama ini aku jelek ya?”
“Bukan...bukan gitu. Kamu selalu terlihat tampan, tapi hari ini kamu terlihat lebih tampan dari biasanya.” Kata-katanya sukses membuatku tersipu. Aku yakin saat ini pasti wajahku sudah merona merah.
“Ah kamu bisa aja,” kataku sambil tersenyum. Dia masih terus tersenyum dan memperhatikanku. “Itu pesanannya sudah datang,” kataku, kemudian dia mengalihkan pandangannya kepada pelayan yang membawa pesanan kami.
Revan benar-benar pandai mencairkan suasana. Dia seperti memiliki banyak lelucon lucu untuk membuatku tak berhenti tertawa. Dia juga bercerita banyak tentang kedekatannya dengan Doni sewaktu mereka masih SMP dulu. Ternyata dulu dia seorang cowok yang cupu dan Doni selalu menjahilinya. Namun karena kejahilan Doni itu yang membuat mereka jadi dekat. Aku jadi banyak tahu tentang dia dan Doni. Menurutku, Doni yang dulu suka jahil dan Doni yang sekarang berbeda. Karena Doni yang sekarang terlihat cool, apalagi jika dia sudah berada di lapangan basket. Dan dia tidak pernah jahil sedikitpun. Dan sepertinya Revan yang sekarang dan Revan yang dulu juga berbeda, karena dia tidak terlihat seperti cowok cupu yang pantas untuk di jahili. Badan yang tinggi tegap, style yang keren dan modis, apalagi di saat dia tersenyum akan memperlihatkan gigi gingsulnya yang membuatnya jadi tambah menarik. Mungkin itu yang disebut metamorfosis.
Revan menghentikan motornya setelah 30 menit perjalanan kami dari cafe ke rumahku. Aku turun dari motor dan menyerahkan helm yang aku pakai kepadanya. Dia ikut membuka helmnya. Pandangan mata kami bertemu sesaat.
“Makasih ya atas traktirannya,” kataku seraya memberikan senyuman terbaikku. Dia menggeleng pelan membalas senyumku.
“Harusnya aku yang berterimakasih karena kamu sudah mau meluangkan waktumu menemaniku hari ini.”
“Sama-sama,” aku tersenyum lagi. “Kalau gitu aku masuk dulu ya?” dia mengangguk. Aku berjalan menuju pagar rumah.
“Emm..Dri.!” aku membalikkan badan menghadapnya. “Kalau lain kali aku ajak kamu keluar main lagi, mau nggak?” tanyanya terlihat seperti berharap aku memberikan jawaban ‘iya‘.
Aku diam sejenak lalu menganggukkan kepala di tambah senyuman lagi padanya.
“Boleh, bareng Doni juga ya? Aku ingin mendengar cerita-cerita seru kalian sewaktu SMP dulu.”
“Ah, okey,” dia tersenyum senang namun terlihat beda dari sebelumnya, atau mungkin hanya perasaanku saja. Ntahlah. Kemudian dia pamit meninggalkanku yang masih berdiri di depan pagar.
*
Baru saja aku hendak mengeluarkan buku catatan, seseorang mengetuk pintu kelas kami dan memanggil namaku dan Tora untuk menghadap ke ruang BP. Seisi kelas mengalihkan pandangannya kepada kami berdua. Aku berdiri dengan gugup dan berjalan di belakang Tora. Setelah meminta izin ke Guru yang mengajar kami saat ini, aku dan Tora meninggalkan kelas dan pergi ke ruang BP.
Sampai di ruang BP, aku melihat Kak Wisnu duduk di hadapan Guru BP kami, Bu Tantri. Melihat kedatangan kami, Bu Tantri menyuruh kami masuk dan ikut duduk di hadapannya.
“Sabtu kemarin Ibu dengar kalian berkelahi, tapi berhubung kalian sudah pulang, jadi Ibu memutuskan memanggil kalian bertiga hari ini,” kata Bu Tantri memulai percakapan. “Apa benar kamu yang membuat Wisnu babak belur Tora?” tanya Bu Tantri menatap Tora dengan intens. Aku meremas jemariku sendiri dengan erat. Aku takut Tora akan mendapatkan hukuman yang berat.
“Dia memang pantas menerimanya,” kata Tora dingin.
“Apa maksudmu?” tanya Bu Tantri mengernyitkan keningnya.
“Ibu bisa tanyakan sendiri padanya,” balas Tora masih dingin. Kemudian Bu Tantri mengalihkan pandangannya ke Kak Wisnu yang dari tadi hanya diam.
“Wisnu, bisa kamu jelaskan pada Ibu?” Kak Wisnu hanya diam menundukkan wajahnya tidak menjawab pertanyaan Bu Tantri. Melihat Kak Wisnu hanya diam, sekarang Bu Tantri meminta penjelasan dariku. “Andri! Kamu beritahu ibu apa yang terjadi kemarin. Ibu dengar kamu juga terlibat!?”
“Saya...saya...saya.......”
“Dia sudah melecehkan Andri,” kalimat Tora memotong ucapanku yang sangat gugup di sampingnya. Dapat ku lihat wajah Bu Tantri kaget mendengar penjelasan Tora.
“Benar itu Wisnu!?” Kak Wisnu masih diam di tempatnya. “Jawab Ibu Wisnu.!!” Bu Tantri meninggikan nada suaranya membuatku tersentak kaget.
Bu Tantri menatap Kak Wisnu dengan tajam dan menunggu jawaban yang keluar dari mulutnya. Dia menganggukkan kepala pelan memberikan jawaban. Ku lihat Bu Tantri menghembuskan nafas keras, menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.
“Wisnu! Pihak sekolah bisa menerima keadaanmu yang berbeda dari murid lainnya, bukan berarti kamu bisa seenaknya melakukan tindakan hina itu terhadap adik kelasmu. Kamu siswa yang berprestasi, dan sebentar lagi kamu akan lulus, harusnya kamu bisa membanggakan orangtuamu dengan memberikan nilai yang bagus saat kelulusan nanti, memberikan contoh yang baik pada adik-adik kelasmu tapi......” Bu Tantri menghentikan kata-katanya, memijit pelipisnya, kemudian menatap Kak Wisnu lagi dengan tajam. “.....kamu sadar nggak, kamu telah mencoreng nama baik orangtuamu di sekolah ini dan juga nama baik sekolah?”
“Maafkan saya, saya khilaf Bu,” kata Kak Wisnu lirih.
“Ibu tidak mau mendengar alasan apapun Wisnu!” kata Bu Tantri tegas. “Baiklah Ibu tidak akan memperpanjang, semuanya sudah jelas permasalahannya. Besok kamu harus membawa orangtuamu ke sekolah, dan kamu di skors selama seminggu.” Kak Wisnu kaget mendengar keputusan Bu Tantri. Dia memohon agar tidak di skors, tapi Bu Tantri tetap pada keputusannya. “Dan kamu Tora. Kamu di skors selama lima hari karena telah melakukan tindak kekerasan yang membuat Kakak kelasmu babak belur.”
Aku berjalan gontai di samping Tora, dia masih saja seperti biasa, bersikap tenang seolah tidak terjadi apapun bahkan dia tidak peduli dengan hukuman yang di berikan Bu Tantri padanya. Aku sempat protes tapi Bu Tantri tetap pada keputusannya. Jam pelajaran sudah berganti, dan Guru kami berikutnya belum datang. Tora sudah mengatakan kalau dia baik-baik saja, tapi tidak denganku. Aku sudah membuat dia di skors. Aku jadi tidak bersemangat mengikuti pelajaran hari ini.
*
Tora menjemputku ke sekolah, hari ini adalah hari terakhir dia di skors dan hari ini kami akan bertemu dengan kakakku.
Aku dan Tora memasuki sebuah coffee shop tempat pertemuan kami dengan Kak Inka. Aku mengedarkan pandanganku mencari sosok kakakku itu, ternyata dia memilih tempat duduk di pojok ruangan. Dia tersenyum melihat kedatangan kami lalu mempersilahkan kami duduk. Aku memilih duduk di sisi sebelah kiri Kak Inka sementara Tora duduk tepat di depan Kak Inka setelah sebelumnya aku memperkenalkan Tora terlebih dahulu padanya. Setelah memesan pesananku dan Tora, kami di tuding beberapa pertanyaan sama Kak Inka.
“Jadi, sudah berapa lama kalian pacaran?”
“Sudah hampir tiga bulan,” jawabku pelan.
“Apa kamu benar-benar serius dengan adik Kakak, Tora?” Kak Inka mengalihkan pandangannya kepada Tora. Tatapannya sangat serius, aku jadi deg-deg-an, sementara Tora bersikap biasa saja. Sangat tenang.
“Sangat serius,” jawabnya membalas tatapan Kak Inka. Aku tersenyum senang mendengar jawabannya karena aku benar-benar melihat keseriusan di matanya.
“Jika orangtuamu mengetahui hubungan kalian dan melarang kalian dengan keras. Apa kamu masih berani bilang serius?”
“Itu tidak akan pernah terjadi Kak,” dia menjawab dengan penuh percaya diri.
“Kenapa kamu bisa seyakin itu kalau orangtuamu tidak akan melarang hubungan kalian?”
“Karena Mama sangat menyukai Andri.”
Maksud kamu?” Kak Inka tampak heran mendengar jawaban Tora.
“Andri sudah bertemu dengan mamanya Tora Kak,” aku menjawab pertanyaan Kak Inka sebelum Tora menjawabnya.
“Dan Mama sudah merestui hubungan kami,” kata Tora menambahkan.
Kak Inka tertegun mendengar perkataan Tora, lalu dia terlihat seperti ingin bertanya lagi.
“Bagaimana jika orangtua Kakak tidak merestui hubungan kalian?” pertanyaan Kak Inka mengagetkanku. Takut? Itulah yang ku rasakan sekarang. Aku tidak bisa membayangkan jika Mama dan Papa melarang keras hubungan kami. Aku tidak ingin berpisah dengannya. Kurasakan tangan Tora sudah menggenggam tanganku yang ada di atas meja, memberikan kekuatan yang membuatku jadi sedikit tenang.
“Aku akan berusaha keras untuk mendapatkan restu mereka.” Aku menatap wajahnya yang dari tadi bersikap tenang, bahkan saat menjawab pertanyaan Kak Inka barusan dia tetap tenang.
Ku lihat Kak Inka menghembuskan nafasnya perlahan kemudian tersenyum kepada kami secara bergantian. “Baiklah. Kakak titipkan Andri padamu Tora. Tolong jaga dia dengan baik, dan jangan coba-coba untuk mempermainkannya!”
Tora tersenyum dan mengangguk mantap. “Kakak bisa mempercayakan Andri padaku.”
“Dan satu lagi. Jangan pernah sekalipun kepikiran untuk menusuk Andri. Kakak tidak ingin kalian melakukan hubungan seks seperti itu, karena kalian masih kecil,” kata Kak Inka to the point. Aku heran darimana kakakku yang cantik ini mendapatkan kata ‘menusuk’ seperti yang dia katakan barusan. Sepertinya dia sudah mencari tahu tentang segala hal yang berhubungan dengan gay, termasuk hubungan intim pasangan gay. Bahkan dia sampai tahu kalau aku adalah uke. Cepat sekali perkembangan kakakku ini.
“Kami tidak akan melakukannya sampai kami menikah nanti.”
“Kalian sudah punya rencana untuk menikah!?” tanya Kak Inka tak percaya mendengar pernyataan Tora. Lagi, Tora mengangguk dengan mantap menjawab pertanyaan Kak Inka. Aku hanya tersenyum malu-malu ketika pandangan Kak Inka beralih padaku, sementara Kak Inka geleng-geleng kepala. Aku juga tak menyangka Tora sudah memikirkan hubungan kami sampai sejauh itu, padahal hubungan kami baru berjalan hampir tiga bulan. Tapi aku senang mendengarnya.
**
Aku menikmati nasi capcay buatan Tora. Sangat enak. Aku jadi malu, karena jangankan untuk memasak capcay. Masak telur ceplok saja masih suka gosong. Aku jadi teringat perkataan Tora tentang menikah. Jika nanti kami memang bisa menikah, aku harus bisa memasak untuknya. Tidak mungkin setelah pulang kerja dia harus memasak lagi di rumah untuk kami. Jadi aku akan melakukannya demi dia. Eh. Kenapa aku harus berpikir sejauh itu. Tapi aku memang harus memikirkannya. Tora saja sudah memikirkan akan menikah denganku, jadi aku juga harus memikirkannya bukan. Ah sudahlah....
“Hey! Apa yang kamu pikirkan? Apa masakanku tidak enak?” pertanyaan Tora mengagetkanku.
“Ah..tidak, tidak..masakkanmu sangat enak, aku suka.”
“Lalu kenapa kamu melamun, hmm?”
“Aku..aku...aku hanya memikirkan tetang perkataanmu kemaren. Apa kamu benar-benar serius akan menikah denganku kelak?” aku menatap matanya mencari kejujuran di sana.
“Aku benar-benar akan melakukannya sayang,” katanya meyakinkanku.
“Tapi...tapi aku tidak pandai memasak. Tidak sepertimu,” kataku lirih.
“Jadi karena itu kamu melamun?” aku mengangguk pelan. “Bodoh. Aku tidak menuntutmu agar bisa memasak. Aku hanya ingin kamu setia bersamaku.”
“Tapi aku ingin memasak untukmu dan aku akan belajar,” kataku dengan semangat.
Dia tertawa, kemudian mengacak rambutku dengan gemas. “Aku dengan senang hati akan memakan masakanmu.”
Selesai membereskan dapur yang berantakan, aku mengikuti Tora menuju kamarnya. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur yang mungkin bisa muat untuk empat orang. Ku lihat Tora melepaskan pakaian seragamnya satu-persatu, hingga memperlihat tubuh putih pucatnya yang cukup terbentuk. Aku menelan air ludahku melihat pemandangan yang ada di depanku itu. Dia berjalan menuju kamar mandi dengan hanya mengenakan celana dalam saja. Mataku terus memperhatikan gerak-gerik tubuhnya yang tegap.
“Jangan terlalu lama memperhatikan tubuhku sayang! Nanti kamu horny!” serunya seraya membuka pintu kamar mandi lalu menghilang di balik pintu tersebut. Sial. Ternyata dia tahu aku tak pernah berhenti menatap tubuhnya itu. Aku yakin sekali wajahku sudah memerah seperti tomat masak sekarang. Kualihkan pandanganku menuju celana abu-abuku. OMG! Apa ini.
Kami sama-sama sudah selasai mandi, juga sudah selesai mengerjakan PR yang akan di kumpulkan besok. Sekarang aku sudah berada dalam dekapannya, menghirup aroma tubuhnya yang sama denganku. Dia sangat suka memainkan rambutku dan menciumi puncak kepalaku. Ku angkat kepalaku menatap wajah putih pucatnya, wajah yang selalu tampak tenang. Dia ikut menolehkan kepalanya menatapku, lalu memperlihatkan senyuman yang selalu membuatku merasa nyaman saat bersamanya. Kemudian dia mengangkat tubuh hingga sebagian badanku berada di atas tubuhnya. Kami saling diam beberapa saat hingga sebuah benda lembut menyentuh bibirku. Perasaan senang, nyaman dan penuh cinta. Itu yang ku rasakan saat dia memegang pipiku dan memberikan sebuah ciuman lagi, ciuman yang lebih lama dari sebelumnya.
**
Aku mengikuti Kak Ridho menuju ruang OSIS. Sepertinya dia sudah sehat, karena minggu lalu dia masuk rumah sakit, magg-nya kambuh. Aku sempat menjenguknya beberapa kali sebelum berangkat ke rumah Tora yang waktu itu masih dalam masa skorsing.
Kami duduk saling berhadapan dan saling diam. Aku memejamkan mataku, mencoba untuk mengusir bayang-bayangan ketika aku di lecehkan oleh Kakak yang selama ini ku hormati. Kak Wisnu. Aku tersentak saat merasakan sebuah tangan menyentuh tanganku. Ketika membuka mata, ku lihat Kak Ridho menatapku dengan ekspresi yang sama kagetnya denganku. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, aku tidak tahu. Hatiku mendesak agar aku segera keluar dari ruangan ini. Tapi tubuhku terasa kaku.
“Dri....” Kak Ridho menatapku dengan lembut. Aku mencoba menguasai diriku agar bisa bersikap tenang di depan Kak Ridho. “Ceritakan kepada Kakak apa yang terjadi?” kembali dia meraih tanganku dan mengelusnya dengan hati-hati. “Kakak mendapat kabar dari Kak Siska, Tora memukul Kak Wisnu sampai babak belur dan itu ada hubungannya denganmu. Kakak sudah bertanya pada Kak Wisnu tapi dia tidak mau memberikan penjelasan ke Kakak. Sekarang kita punya waktu berdua, Kakak ingin mendengarnya langsung dari kamu apa yang terjadi pada saat itu?”
Aku ragu untuk menceritakannya ke Kak Ridho. Tapi dia terus menatapku, menungguku agar mau bercerita padanya. Aku menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Lalu menceritakan semuanya ke Kak Ridho. Dia mengepalkan tangannya geram. Aku hanya menundukan wajahku.
Terdengar seseorang membuka pintu dan berjalan mendekati kami. Aku tersentak kaget ketika mengangkat kepalaku. Melihat siapa yang datang menghampiri kami, dengan cepat aku bangkit dari dudukku dan meninggalkan tempat ini. Namun dia menggenggam pergelangan tanganku hingga membuat langkahku terhenti.
“Jangan pergi,” katanya lirih.
Aku berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya tapi pegangannya cukup kuat, hingga.....
BUUKK!!
Sebuah pukulan mendarat di pipinya, membuat genggamannya terlepas dari tanganku.
Aku juga sayang kamu *hug ^^
@arieat maklum si andri masih labil hihihi