It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
akhir2 ini aku menggalau, pekerjaan tambah kacau...dan part 14 yang ku prediksikan tinggal 3 halaman lagi bakal selesai dan pas pada 12 atau 13 halaman, eh malah nambah jadi 18 halaman...di hp masih ada sisanya...mungkin selasa atau rabu aku update...maap ya udah nunggu lama...#piss ^^
Oh ya..pada part 14 ini tora menceritakan tentang dia dan diah, juga sedikit tentang pacar pertamanya..alurnya memang tidak terlalu berurutan..tapi aku harap kalian suka ya, sama part ini...
kasih tau aku ya jika ada typo atau salah tulis
part ini agak panjang, jadi aku bagi dua aja
***
Part 14 a
"TORA"
“Kakak, aku main sama Sari dan yang lain ya di sana?” Diah memberitahuku yang baru saja bergabung dengan teman-temanku. Aku mengangguk lalu memperhatikan dia berlari menuju lapangan kecil dengan Sari, teman yang tinggal satu komplek dengan kami.
Setelah Diah bergabung dengan teman-temannya yang sudah menunggu dan mulai bermain, akupun mulai bermain dengan teman-temanku. Tempat tinggal kami memiliki fasilitas yang cukup memuaskan. Terdapat beberapa taman bermain, ada lapangan tennis, lapangan basket untuk dewasa dan anak-anak, tentu aku dan teman-teman memilih lapangan untuk anak-anak, karena rata-rata kami masih berusia 12 tahun. Setiap akhir pekan taman ini akan selalu ramai, tapi karena sekarang hari jum’at jadi taman tidak begitu ramai. Hanya ada anak-anak seusiaku dan beberapa orang dewasa yang sedang jalan-jalan santai atau sekedar ngobrol.
Aku Tora Alano Wiyaksa dan Diah Kartika Atmaja adalah tetanggaan. Kami tumbuh bersama mulai dari bayi hingga sekarang. Sebenarnya kami lahir di tahun yang sama, hanya beda beberapa bulan. Tapi saat Diah sudah mulai bisa bicara dan setiap kali mamanya atau mamaku menyuruhnya memanggil namaku, dia selalu bilang Kakak. Hingga sekarang Diah selalu memanggilku Kakak dan aku juga sudah mengangggapnya seperti adikku sendiri karena aku tidak memiliki Adik. Diah memiliki dua orang Kakak perempuan, sedangkan aku memiliki satu orang Kakak laki-laki dan satu orang Kakak perempuan. Dia selalu ikut kemanapun aku mengajaknya, dan akan selalu menurut apapun yang aku larang. Ya, aku sangat over protektiv terhadapnya, karena aku sangat menyayanginya. Aku tidak mau dia pergi main sendirian, karena aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya.
Aku merebut bola dari tangan Fathin dan menghindari teman-temannya yang mencoba merebut kembali bola yang kupegang, dan dengan gerakan cepat memasukan bola tersebut kedalam ring basket. Aku berteriak senang melihat bola tersebut berhasil kumasukkan. Aku terkekeh melihat Fathin mendengus kesal karena aku dan timku berhasil mengejar angka mereka. Disaat kami sedang asyik bermain aku mendengar suara Diah yang terdengar marah...
“Ngapain kamu ganggu kami main! Pergi sana...!”
Aku menolehkan kepalaku melihat apa yang terjadi. Ternyata ada beberapa anak laki-laki yang mengganggu Diah dan teman-temannya. Sari dan satu temannya yang lain sibuk menenangkan salah seorang temannya yang menangis. Aku segera meninggalkan teman-temanku dan berlari menghampiri mereka. Tak ku hiraukan teriakan teman-temanku yang memanggil.
“Ini tempat kami!” teriak salah seorang anak laki-laki, lalu mendorong tubuh Diah hingga terduduk di tanah. Aku mempercepat lariku melihat kejadian itu dan...
Bugh...
Aku langsung mendorong tubuhnya sampai terjatuh, lalu memukul wajahnya tanpa ampun. Bahkan teman-temannya yang mencoba membantunya juga mendapat pukulan dariku. Aku mengabaikan teriakkan Diah dan teman-temanku yang menyuruhku untuk berhenti. Hingga kurasakan seseorang menarik tubuhku menjauh dari anak laki-laki yang mengganggu Diah tadi. Aku meronta dan berusaha memberikan tendangan padanya, namun tubuhku sudah menjauh darinya.
Mereka lari kocar-kacir setelah aku ditarik oleh seseorang yang sampai saat ini masih memegangiku. Aku menghampiri Diah setelah orang yang memegangku tadi melepaskanku. Melihat tangan, kaki, dan wajahnya memastikan tidak ada yang lecet sedikitpun.
“Kamu tidak apa-apa? Tidak ada yang luka kan?” tanyaku dengan cemas. Diah menggeleng.
“Aku baik-baik saja.” aku bernapas lega mendengar jawabannya, lalu menolehkan pandanganku kepada temannya yang menangis tadi. “Intan juga tidak terluka,” lanjut Diah. Temannya yang dipanggil Intan sudah berhenti menangis dan mengangguk padaku. Aku hanya tersenyum membalasnya.
“Kenapa kalian berkelahi?” tanya orang yang memegangi tubuhku tadi.
“Mereka mengganggu kami dan membuat teman kami menangis,” jawab Diah memberi penjelasan.
“Yasudah, sebaiknya sekarang kalian pulang. Hari sudah mulai sore. Kamu anaknya Pak Wiyaksa kan?” tanya orang tersebut padaku. Aku mengangguk sebagai jawaban. “Ajak adikmu pulang, hari sudah mulai sore,” katanya lagi.
Aku berpamitan pada teman-temanku, begitupun Diah yang berpamitan dengan teman-temannya. Aku meraih tangannya dan berjalan menuju sepedaku. Teman-temanku dan teman-teman Diah juga melakukan hal yang sama. Setelah menyuruh Diah memegang pinggangku, lalu mulai mengayuh sepedaku menuju rumah.
**
“Kakak cepat! Nanti kita telat. Ini kan hari pertama kita sekolah...” Aku segera berpamitan pada Mama dan bergegas menuju pintu depan lalu menghampiri mobil papanya Diah.
Setelah sampai di sekolah, kami segera mencari kelas yang akan kami tempati. Tahun ini adalah tahun pertama kami sebagai anak SMP. Kami sangat senang sekali karena berada di kelas yang sama. Kami juga berencana memilih tempat duduk yang sama, namun seorang siswi yang kuketahui bernama Airin saat kami berkenalan, mengajak Diah duduk bareng. Diah menoleh padaku meminta persetujuan. Aku tersenyum dan mengangguk padanya karena kulihat Airin sepertinya anak yang baik. Aku memutuskan duduk di belakang Diah dan Airin.
“Willy sini!” Airin memanggil seorang anak cowok berbadan mungil, kulit putih dan bermata sipit yang tengah sibuk celingak-celinguk di dalam kelas. Sepertinya dia mencari tempat duduk. Seketika dia tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Airin yang telah memanggilnya, lalu berjalan menghampiri meja Airin.
“Kenalkan ini Willy. Teman satu SD denganku,” Airin memperkenalkan Willy kepada Diah. Dengan masih mempertahankan senyuman lebarnya, anak yang bernama Willy itu menjabat tangan Diah. Aku yang duduk di belakang Diah memperhatikan anak itu dengan intens.
“Oh ya, kamu mencari tempat duduk kan?” Willy menganggguk sebagai jawaban.
“Kalau gitu kamu duduk aja di belakang kami dengan Tora.” Airin menolehkan kepalanya kearahku. Anak tersebut ikutan menoleh padaku, lalu tersenyum lagi dan mengangguk dengan cepat.
“Kenalkan aku Willy Aliansyahputra.” Willy mengulurkan tangannya padaku setelah dia duduk di sebelahku.
Aku menjabat tangannya dan menyebutkan namaku juga. “Aku Tora Alano Wiyaksa.”
“Semoga kita bisa jadi teman baik ya,” katanya yang masih memperlihatkan senyuman lebarnya. Aku membalas senyumannya dan mengangguk.
**
“Kakak, besok kita jadi kan pergi ke kuburannya Om?” Diah menghentikan aktifitasnya. Aku menatapnya dan mengangguk.
“Kalau begitu pulang sekolah besok kita minta antar sama Pak Ahmad aja pergi ke sana.” Pak Ahmad adalah sopir di rumah Diah yang selalu mengantarkan kami ke sekolah.
“Kamu harus minta izin sama mamamu dulu.”
“Aku sudah minta izin kok sama Mama,” katanya dengan semangat. Aku tersenyum dan mengacak rambutnya, lalu menyuruhnya mengerjakan kembali PRnya.
Besok adalah hari kematian papaku, dan Diah selalu menemaniku pergi ziarah ke kuburan Papa. Papa meninggal karena penyakit magg-nya kambuh. Papa menderita magg akut. Sempat dirawat selama dua minggu di rumah sakit. Kurang istirahat, sering telat makan, dan juga stres, itulah yang memicu kambuhnya penyakit Papa. Papa memang seorang workaholic, namun Mama selalu mengingatkan agar selalu makan tepat waktu dan istirahat yang cukup. Tapi sebulan belakangan Papa kelewat sibuk karena mengurus masalah yang terjadi di hotelnya yang berada di Jakarta. Dan sering kali lalai dalam menjaga kesehatannya, walaupun Mama sudah sering mengingatkannya.
Masa kecilku memang dihabiskan di Bandung hingga aku kelas satu SMA. Aku masih ingat beberapa hari sebelum Papa meninggal. Waktu itu usiaku baru 10 tahun saat Papa memberikan amanahnya padaku.
“Tora. Papa tahu kamu masih kecil, tapi kamu tahu sendiri kakak-kakakmu. Ziven, Dia lebih menyukai dunia kedokteran. Dan Velika ingin menjadi chef dan membuka usaha kuliner. Jadi harapan Papa satu-satunya hanya tinggal kamu. Kamu mau kan menggantikan Papa menjalankan hotel wiyaksa?”
“Iya Pa, Tora mau.”
Aku memang menyukai dunia perhotelan. Mama sering membawaku ke tempat kerja Papa, melihat Papa yang ramah dan berwibawa di depan karyawannya, membuatku ingin menjadi seperti Papa. Sementara Kak Ziven dan Kak Velika menyukai jalur yang berbeda. Walaupun begitu, Papa selalu mendukung keinginan kakak-kakakku.
Setelah Papa memberikan amanah padaku. Keesokan harinya ketika aku dan Diah mau menjenguk Papa, aku melihat pengacara Papa keluar dari ruang perawatan Papa. Dan dua hari setelahnya Papa meninggal. Hotel Papa yang ada di Bandung diambil alih sementara oleh Mama hingga aku berusia 17 tahun, sementara yang di Jakarta dipercayakan kepada Om Heri, Kakak Papa. Sebenarnya Om Heri mempunyai hotel sendiri, tapi semenjak Papa meninggal Om Heri membantu Mama menjalankan hotel Papa. Karena kebetulan Om Heri tinggal di Jakarta.
“Oh ya...Om tahu?! Kak Tora ditaksir sama cewek cantik loh. Dia beda kelas dengan kami. Dia selalu liatin Kak Tora setiap kami lewat di depan kelasnya. Dia juga pernah kirim surat ke Kak Tora.” Aku terkekeh mendengar celotehan Diah dan mengacak rambutnya gemas. Dia selalu menceritakan apa saja yang terjadi padaku jika kami berada di kuburan Papa.
“Papa jangan dengerin Diah, dia suka asal ngomong.” Diah memanyunkan bibirnya di sebelahku.
“Tora kangen Papa,” lirihku.
Setelah cukup lama berada di kuburan Papa dan berdoa, kami memutuskan untuk pulang karena hari sudah mulai sore. Aku menggandeng tangan Diah meninggalkan area kuburan.
**
Aku baru saja membereskan buku-bukuku, saat Diah menarik tanganku berdiri dari tempat duduk.
“Ayo Kak, kita ke kantin,” ajak Diah nggak sabaran. Aku tersenyum, lalu mengikutinya yang sudah mulai melangkahkan kakinya dan menggandeng tanganku.
Sampai di kantin, kulihat Willy melambaikan tangannya kepada kami. Ternyata mereka, Willy Airin, dan Fathin *teman satu komplek denganku dan Diah juga bersekolah di sekolah yang sama dengan kami, dan juga satu kelas* sudah menunggu kedatangan kami. Kami makan dengan lahap sampai jam istirahat berakhir.
Aku, Diah, dan teman-teman yang lain berjalan beriringan menuju halte. Mata Diah selalu berbinar setiap kali angkot yang akan kami tumpangi datang. Sekarang setiap pulang sekolah, kami tidak dijemput lagi oleh Pak Ahmad. Karena Diah yang memintanya, alasannya dia ingin merasakan naik angkot. Dan Fathin, sejak dia melihat kami naik angkot dia juga ikutan. Ternyata naik angkot itu tidak buruk juga.
**
“Kakaaakk..! suara Diah begitu nyaring hingga terdengar sampai kamarku yang berada di lantai atas.
“Hei anak kecil. Ngapain kamu teriak-teriak di sini..!!” suara Kak Veli juga tak kalah kerasnya dari suara Diah.
“Kak Veliii..!! kapan Kakak datangnya?!” pekik Diah begitu melihat Kak Velika di ruang keluarga sedang menonton tv.
Aku yang baru keluar dari kamar melihat tingkah mereka dari atas sambil bersandar pada pembatas tangga. Mereka kalau sudah bertemu, rumah ini akan jadi ramai seperti pasar malam.
“Kakak...Kakak pasti lama kan liburnya? Ajarin aku masak ya..ya..ya..” bujuk Diah ke Kak Veli.
“Ngajarin kamu masak itu sama saja dengan bencana. Bukannya masak, yang ada kamu malah ngancurin dapur Kakak lagi.” kata Kak Veli sok jual mahal.
“Ish Kakak jahat...aku mau laporin ke Kak Tora kalau Kakak udah nyakitin perasaanku.” Aku terkekeh mendengar perkataan Diah barusan.
“Laporin aja sana...Kakak nggak takut.” Kak Veli menantang Diah. Diah langsung cemberut mendengarnya. Mereka memang kekanak-kanakan.
“Ayolah Kak...ajarin aku masak. Nanti kalau aku sudah pandai masak, aku akan bilang ke teman-temanku kalau aku belajar dari chef Velika yang cantiiikk banget.” Diah mulai merengek-rengek terus membujuk Kak Veli, namun Kak Veli masih sok jual mahal.
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat mereka. Setelah cukup lama, akhirnya Diah berhasil membujuk Kak Veli.
Diah begitu riang mendengar Kak Veli mau mengajarinya memasak. Diah memang memiliki cita-cita yang sama dengan Kak Velika. Makanya saat mendengar Kak Veli ingin menjadi chef dan melanjutkan sekolahnya ke luar negeri, dia begitu semangat dan ingin menyusul Kak Veli kuliah di tempat yang sama dengannya.
Aku turun dari tangga menghampiri mereka yang sudah sibuk dengan obrolan seru. Diah menarik tanganku agar duduk di sampingnya mendengarkan cerita-cerita Kak Velika. Dan yang harus kulakukan adalah diam sambil nyemil dan pura-pura mendengarkan mereka ngobrol. Jika kuabaikan, mereka bisa ngamuk dan menghukumku.
***
“Tora, ini ada surat untukmu.” Suara Fathin menghentikan langkahku yang hendak memasuki kelas.
“Dari siapa?” tanyaku seraya mengambil surat yang diberikan Fathin.
“Dari Prita,” jawabnya singkat.
“Prita yang suka liatin Kakak dari kelas satu itu kan?” tanya Diah antusias. Aku hanya mengedikan bahu menjawab pertanyaannya.
Aku tidak tahu siapa siswi yang kata Diah selalu memperhatikanku itu.
“Kenapa Kakak nggak terrima dia aja jadi pacar?”
“Kakak tidak menyukainya.”
“Kenapa? Dia cantik, pintar lagi.”
“Betul itu Tor. Kamu pasti beruntung dapetin dia. Banyak loh cowok yang naksir dia, tapi dia maunya cuma sama kamu,” kata Fathin mendukung perkataan Diah. Diah jadi semangat karena Fathin satu ide dengannya.
“Kalau gitu kamu aja yang pacaran sama dia,” kataku datar.
“Kok aku? Dia kan sukanya sama kamu. Kalau aku sama Diah aja...kamu mau kan sama aku?” balasnya sambil menatap Diah dengan lembut. Diah tampak malu-malu ditatap seperti itu oleh Fathin. Aku hanya memutar bola mata malas melihat mereka.
Bel masuk sudah berbunyi. Diah buru-buru keluar dari kelasku. Sekarang kami sudah kelas tiga dan aku beda kelas dengannya. Aku sekelas dengan Fathin dan Willy, sementara Diah sekelas dengan Airin.
Diah selalu bersemangat setiap kali ada siswi-siswi yang kirim salam atau mengirim surat untukku. Fathinpun juga begitu. Dan aku selalu mengabaikan mereka jika sudah membahas siswi-siswi tersebut.
**
Aku sedang membaca buku di kelas saat tiba-tiba Airin datang menemuiku sendirian tanpa Diah.
“Tora! Diah diganggu sama Nando,” katanya yang seketika membuatku berhenti membaca.
Aku menaruh bukuku di atas meja dan buru-buru menuju kelasnya.
“Minggir nggak!” suara Diah terdengar dari luar kelasnya.
“Lu harus kasih uang dulu.” Itu suara Nando. Sepertinya dia mau memalak Diah.
Begitu sampai, aku melihat Nando, siswa paling nakal di sekolah, bersama teman-temannya mengahalangi jalan Diah yang mau keluar. Segera saja kulayangkan sebuah pukulan tepat pada wajahnya, karena sudah berani mengganggu saudariku. Teman-temannya mundur beberapa langkah melihat ketua mereka jatuh tersungkur dan pungggungnya sempat membentur dinding sebelum akhirnya jatuh ke lantai.
“Sekali lagi kamu mengganggu adikku. Aku tidak akan segan-segan menghancurkanmu,” kataku dingin. Lalu menarik tangan Diah keluar dari kelasnya. Tak lupa aku mengucapkan terimakasih kepada Airin yang sudah memberitahuku.
“Kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku sambil meneliti wajah dan tangannya, memastikan tidak ada luka di sana. Diah menganggguk sebagai jawaban.
“Besok Kakak akan segera ke kelasmu jika bel istirahat berbunyi,” lanjutku. Diah mengangguk lagi.
“Kakak tahu? Aku sampai digodain loh sama teman-teman, kerena kemana-mana selalu sama Kakak.”
“Apa sikap Kakak yang over protektif membuatmu terganggu?” tanyaku serius. Aku tidak mau Diah dijauhi teman-temannya karena sikapku. Jika dia merasa terbebani, mungkin sudah saatnya aku memberikan kebebasan padanya, walau aku takut dia akan kenapa-napa jika tidak bersamaku. Ya, aku memang terlalu khawatir jika dia tidak bersamaku. Mungkin karena kami sudah terbiasa bersama dari kecil dan aku sangat menyayanginya.
“Kakak ini ngomong apa sih. Aku nggak merasa terganggu atau merasa Kakak terlalu mengekangku kok. Malahan aku senang, karena Kakak selalu ada di sampingku dan melindungiku jika ada orang yang menggangguku. Bahkan teman-temanku sampai iri loh sama aku. Kata mereka, mereka ingin banget punya Kakak kayak Kak Tora. Dan Kakak harus tahu, kalau aku sayaaang banget sama Kakak,” ujarnya panjang lebar sambil bergelayutan di tanganku. Aku terkekeh mendengar ucapannya dan mengacak rambutnya.
“Kakak juga sayang sama kamu.”
**
Jam pelajaran kedua kosong, guru yang seharusnya mengajar pada jam ini berhalangan karena sakit. Dan juga tidak ada tugas yang harus dikerjakan, jadi aku memutuskan pergi ke perpustakaan.
Aku melewati kelas Diah. Kulihat dia begitu serius mendengarkan guru yang memberikan penjelasan di depan. Aku tersenyum melihatnya lalu melanjutkan langkahku. Sampai di perpustakaan aku segera mencari-cari buku yang menarik untuk dibaca. Setelah ketemu, aku berjalan mencari spot yang bagus untuk membaca.
Aku melirik sebuah meja yang terletak agak kebelakang, di sana hanya ada satu orang murid yang sedang tidur. Kuhampiri meja tersebut dan mulai membaca tepat di depan murid yang tidur itu.
Saat sedang serius membaca, tiba-tiba orang yang tidur di depanku bergerak. Wajahnya yang semula terbenam di antara kedua lipatan tangannya, sekarang bergerak menghadap ke kiri dengan masih berbantalkan tangannya. Aku yang sempat memperhatikan pergerakannya, kini terpaku menatap wajahnya. Wajah putih mulus dengan alis tebal, hidung bangir dan bibir tipisnya yang merah, membuatku ingin menyentuhnya. Sedikit senyum terukir di bibirnya yang tipis itu, sepertinya dia sedang mimpi indah.
Aku menutup buku bacaanku dan memperhatikannya dengan serius. Menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajahnya secara perlahan agar dia tidak terbangun. Dia bergerak sedikit tapi tetap tidak bangun. Kemudian kuelus pipinya yang bersih dengan lembut. Merasa terganggu, dia mengernyitkan keningnya lalu secara perlahan membuka mata.
Dia tersentak kaget menemukanku yang masih menyentuh wajahnya, sementara aku tetap pada posisiku dan menatap wajah bangun tidurnya.
“A...apa yang kau lakukan?” tanyanya dengan gugup, yang sudah menjauhkan wajahnya dari tanganku. Bisa kulihat pipinya merona.
“Aku menyukaimu,” kataku to the point.
“Hah..” dia melebarkan kedua matanya mendengar pernyataanku. “...ini pasti mimpi. Aku harus mencuci wajahku,” lanjutnya yang langsung berdiri dan berjalan buru-buru meninggalkanku sendirian.
**
Aku masih memikirkan cowok yang di perpustakaan minggu lalu. Semenjak kejadian itu aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Aku juga sudah memutuskan untuk memberitahu Mama mengenai orientasi seksualku. Kuharap Mama tidak kecewa padaku.
“Kamu mikirn apa, hmm?” Mama datang membuyarkan lamunanku.
Aku menghela napas dalam-dalam sebelum bicara pada Mama. “Hmm Ma, aku mau bilang sesuatu. Tapi Mama jangan marah ya?” tanyaku hati-hati.
“Memang kamu mau bilang apa sayang?” Mama balik bertanya.
“A..aku menyukai cowok,” kataku sambil menatap Mama, membaca raut wajahnya setelah mendengar pernyataanku. Mama diam beberapa saat, namun setelahnya Mama tersenyum.
“Boleh Mama tahu sejak kapan?”
“Semenjak aku masuk SMP, aku lebih suka memperhatikan cowok daripada cewek. Dan minggu lalu aku menyatakan perasaanku pada seseorang,” ujarku terus terang pada Mama.
“Dia menerimamu?” tanya Mama dengan lembut.
“Dia kaget dan pergi meninggalkanku. Tapi aku yakin dia sama denganku.”
Mama tersenyum lagi. “Apapun pilihanmu. Selama orang itu baik dan kamu bahagia bersamanya, Mama mendukung. Tapi kamu tahu kan, bagaimana negara kita. Cinta yang kamu punya berbeda. Apa kamu siap menghadapi konsekuensinya jika orang lain mengetahui keadaanmu?”
Aku mengangguk menjawab pertanyaan Mama. “Aku tidak peduli dengan mereka. Yang aku perlukan adalah Mama dan keluarga yang lain disisiku.”
“Mama akan selalu ada untukmu sayang,” Mama mengelus tanganku lembut.
Kami membicarakan banyak hal, termasuk tentang dunia gay. Duniaku. Mama juga menasehatiku agar tidak melakukan hubungan seks bebas seperti yang dilakukan kebanyakan orang. Setelahnya Mama meninggalkanku sendirian di meja makan.
Aku memperhatikan Mama berjalan hinggal memasuki kamarnya. aku merasa lega setelah mengatakannya. Kukira Mama akan marah karena aku berbeda, tapi ternyata dugaanku salah. Aku menghela napas dan meyakinkan diri, besok aku harus menemukan cowok perpustakaan itu.
**
Aku berjalan di samping Diah yang asyik bercerita tentang obrolannya dengan Fathin semalam. Selama diperjalanan ke sekolah hingga sampai, dia terus saja memuji pemuda itu. Sepertinya mereka sudah mulai dekat.
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh area parkir, berharap menemukan sosok yang akhir-akhir ini kucari. Saat pandanganku tertuju pada sebuah motor, seseorang menabrakku dari belakang. Aku meringis menahan sakit pada bahuku, sementara orang yang menabrakku meminta maaf berkali-kali karena tabrakannya cukup keras. Aku menolehkan kepalaku ke arahnya dan terpaku untuk beberapa saat. Ternyata dia yang telah menabrakku.
“Kamu?” matanya melebar dan bisa kulihat pipinya merona saat aku menatapnya.
“Maaf, aku nggak sengaja,” katanya menundukan kepala dan salah tingkah.
Aku langsung menarik tangannya setelah sebelumnya berpamitan pada Diah yang di sebelahnya sudah ada Airin. Entah sejak kapan gadis itu berdiri di samping Diah, aku tidak tahu.
“Apa yang kamu lakukan, lepaskan aku. Aku kan sudah minta maaf.” Dia berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku.
Aku melepaskan tangannya saat kami sudah berada di belakang perpustakaan. Di sini cukup sepi, jadi aku yakin tidak akan ada orang yang mengganggu kami.
“Setelah satu minggu, akhirnya aku bertemu lagi denganmu.”
“Apa maksudmu?”
“Aku ingin kamu jadi pacarku.”
“A..aku...” dia memainkan jari jemarinya. “Begitu banyak sisiwi yang menyukaimu, kenapa kamu malah memintaku untuk menjadi pacarmu?!” katanya dengan cepat lalu menundukan wajahnya.
“Darimana kamu tahu kalau mereka menyukaiku?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.
“Siapa yang tidak kenal denganmu. Tora, cowok blasteran yang cool, tinggi, pintar, dan wajah yang......ah sudahlah,” uajrnya memalingkan wajahnya dariku menyembunyikan rona dipipinya. Ternyata dia mengenalku. “Sekarang jawab pertanyaanku, kenapa kamu memintaku jadi pacarmu?”
“Karena dunia kita sama,” jawabku sambil menatapnya, membuatnya jadi salah tingkah. Alasan yang aneh memang. “Aku tahu kamu sama denganku, dan aku mau kamu jadi pacarku.”
Hening...tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Namun aku tetap menunggu jawaban darinya.
“Hmmm..b..baiklah, aku mau jadi pacarmu,” akhirnya dia menjawab dan membalas perasaanku setelah beberapa lama dia terdiam.
**
Setelah beberapa bulan jadian, aku jadi lebih mengenalnya. Sikapnya yang sedikit keras kepala dan kadang cerewet jika aku telat datang saat kami janjian untuk kencan. Oh ya, aku mengetahui namanya sesaat setelah kami jadian. Dipta Aria Putra.
Dua hari setelah jadian, dia bercerita kalau dia sudah lama mneyukaiku. Terkadang dia cemburu pada siswi-siswi yang berusaha untuk dekat denganku. Valentine tahun lalu, dia juga ingin memberikan coklat padaku, seperti yang dilakukan oleh siswi-siswi yang menyukaiku. Tapi niat itu segera diurungkannya karena dia takut aku akan menolaknya dan memandang jijik padanya.
Sekarang aku berjalan beriringan dengannya menuju kantin, Diah dan yang lain menunggu kami di kantin.
“Tora. Hari ini aku pulang bareng dengan temanku ya.”
“Kamu mau kemana?”
“Salah seorang temanku ada yang ulang tahun hari ini, jadi kami pergi merayakannya.”
Aku menghentikan langkah dan menatapnya lama. “Berapa lama kalian akan merayakannya?”
“Nggak lama kok. Mungkin sore kami udah tiba di rumah.”
“Baiklah. Usahakan kamu pulang sore. Jika mereka masih ingin berlama-lama, kamu harus tetap pulang.” Dipta memanyunkan bibirnya, cemberut. Aku menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. “Ini demi kebaikanmu juga. Kamu nggak mau kan dimarahi sama orangtuamu karena pulang malam?” bujukku agar dia mengerti.
“Baiklah.”
Aku tersenyum lalu melanjutkan lagi langkahku menuju kantin diikuti Dipta.
**
Aku berjalan di koridor menuju toilet, saat sampai di depan kelas Diah, aku sempatkan melihatnya sebentar. Tapi dia tidak kelihatan di dalam kelasnya. Mungkin dia juga pergi ke toilet. Aku melanjutkan langkahku, namun langkahku terhenti di depan toilet wanita. Suara seorang perempuan yang sedang marah bisa kudengar dari balik pintu toilet yang tertutup dan namaku disebut.
“Ngaku aja deh! Kamu suka kan sama Tora?! Makanya tiap saat kamu selalu ngikutin dia kemanapun dia pergi!”
“Berapa kali sih aku bilang, kalau Kak Tora itu saudaraku!” itu suara Diah. Sepertinya cewek yang bersama Diah punya niat jahat padanya.
“Cih...kamu pikir aku tidak tahu apa? Tora itu tidak punya Adik. Dia anak bungsu, dan kamu hanyalah seorang tetangga yang selalu ngikutin dia kemana-mana karena kamu manyukainya. Dasar cewek munafik!” cewek itu masih berteriak pada Diah.
“Tidak..! Aku menyayangi Kak Tora karena dia kakakku. Dan kamu....aku kira kamu gadis yang baik, tapi ternyata aku salah. Cewek jahat sepertimu tidak pantas untuk Kak Tora! Aku menyesal telah membujuk Kak Tora untuk menerimamu!” sepertinya Diah terbawa emosi menghadapi gadis itu. Aku harus menghentikan perkelahian mereka sebelum terjadi yang tidak-tidak pada Diah.
“Apa kamu bilang.....”
Aku segera membuka pintu. Kulihat seorang siswi tangannya menggantung di udara, kaget karena pintu yang kubuka. Matanya membulat dan wajahnya tegang seketika ketika melihat kehadiranku. Aku menatapnya tajam, lalu berjalan mendekati Diah yang langsung menundukan kepalanya setelah melihatku.
“Apa yang akan kau lakukan pada adikku?” tanyaku dingin, berusaha menahan emosi.
“To..Tora..i..ini tidak seperti yang kamu bayangkan,” ujarnya terbata-bata. Tangannya sudah diturunkan kebawah.
“Telingaku masih bisa mendengar dengan baik apa yang kamu ucapkan tadi, dan mataku masih bisa melihat dengan jelas.” Kulihat wajahnya memucat mendengar ucapanku.
“Aku tidak tahu siapa kamu. Tapi aku harap, ini yang pertama dan terakhir kalinya kamu mengganggu adikku!” dia menundukan kepalanya dalam tidak berani menatapku.
Selesai memperingati gadis itu, aku menarik tangan Diah keluar dari toilet tersebut. Meninggalkan gadis itu mematung ditempatnya. Keinginanku untuk pergi ke toilet jadi batal.
“Siapa dia?”
“Dia Prita, siswi yang sering memperhatikan Kakak sejak kelas satu dulu,” uajrnya pelan, tapi masih bisa kudengar.
“Dia bukan gadis yang baik.”
“Iya...aku tidak menyangka dia seperti itu. Tapi kenapa Kakak tidak cari pacar aja? Kudengar wakil ketua OSIS kita juga menyukai Kakak, dan dia gadis yang baik dan lembut.” Diah bersemangat lagi membicarakan masalah pacar untukku.
“Kakak sudah punya pacar.”
“APA!”
**
Pada akhirnya aku memperkenalkan Dipta kepada Diah. Awalnya dia cukup kaget mengetahui aku berpacaran dengan cowok, dan tidak bicara sepatah katapun. Namun setelah diam beberapa saat akhirnya dia bersuara, menanyakan kenapa aku bisa menyukai cowok, dan tidak memberitahunya diawal mengenai hubunganku dengan Dipta. Aku menjelaskan padanya kalau aku memang belum siap memberitahunya pada waktu itu, karena takut dia akan menjahuiku dan tiak mau lagi menganggapku sebagai kakaknya. Beruntungnya Diah mau menerima alasanku, dan perasaannya masih sama terhadapku. Menyayangiku dan masih menganggapku sebagai Kakak.
Diah juga cepat akrab dengan Dipta. Mereka saling bertukar cerita satu sama lain. Terutama mengenai k-pop dan semua yang berhubungan dengan Korea. Dan mereka sukses mengabaikanku sendirian mendengarkan pembicaraan absurd mereka.
**
Setiap orang pasti pernah merasakan surga dunia yang katanya nikmat itu. Aku juga mengalaminya di usiaku yang boleh dibilang masih dini untuk merasakannya dan ini pengalaman pertamaku dengannya.
Dipta mengajakku ke rumahnya setelah kami melihat hasil penirimaan siswa baru di sebuah SMA di kotaku. Kami diterima disekolah yang sama, begitupun Diah. Tapi Diah tidak bisa pergi melihat hasilnya karena sakit. Aku menemani Dipta di rumahnya karena orangtuanya sedang ke luar kota, urusan bisnis. Jadi dia hanya tinggal dengan kakaknya yang saat ini sedang kuliah. Aktifitas yang kami lakukan hanya makan siang, main game, lalu dilanjutkan dengan menonton. Tapi aku tidak tahu kalau dia mengajakku menonton film dewasa yang didapatkannya dari teman sekelasnya yang juga seorang gay. Ya, kami menonton film dewasa gay. Pada awal cerita film ini tampak biasa saja, tapi dipertengahan aku meminta Dipta mematikan film tersebut. Namun yang kuterima adalah sebuah ciuman darinya, dan semuanya terjadi begitu saja antara aku dan dia. Nafsu telah meruntuhkan pertahananku.
Aku melirik Dipta yang tertidur disampingku dengan tubuhnya memelukku. Aku bergerak hati-hati takut membangunkannya. Tapi aku malah membuatnya terbangun. Sebuah senyuman terukir dibibirnya, menyapaku.
“Dipta. Sepertinya kita telah melakukan kesalahan.” Aku memadangi dirinya yang terbalut selimut.
“Tapi aku senang melakukannya denganmu.” Dipta mencoba bangkit untuk duduk, tapi dia mengerang kesakitan karena perbuatanku tadi padanya.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyaku panik melihatnya yang berusaha keras menahan rasa sakit pada bagian bawahnya. Dia menggeleng lalu tersenyum lagi.
“Aku tidak apa-apa,” ujarnya seraya menyandarkan kepalanya ke dadaku.
“Maaafkan aku.” Membelai rambutnya dan mencium puncak kepalanya.
Apakah ini yang dinamakan dengan kesalahan terindah, aku tidak tahu. Yang aku tahu saat ini aku mencintai pemuda ini.
**
Siang ini penampilanku sudah rapi, karena ada janji kencan dengan Dipta. Setelah berpamitan dengan Mama aku langsung berjalan keluar kompleks mencari angkot menuju rumah Dipta.
Kami memasuki sebuah cafe yang sangat cocok untuk remaja seusia kami. Aku menarik sebuah kursi untuk Dipta duduk, sebelum menarik kursi untuk diriku sendiri.
Sambil menunggu pesanan kami datang, aku mendapatkan telpon dari Diah.
“Halo Kakak. Sekarang Kakak ada di rumah?”
“Nggak, Kakak lagi di luar sama Dipta. Ada apa?”
“Aku mau minta temenin ke toko buku. Tapi....aku pergi sendiri aja deh.”
“Nggak boleh! Kamu nggak boleh pergi sendiri. Besok aja perginya, Kakak temenin,” seruku dengan cepat.
“Tapi aku bosan di rumah Kak. Di rumah nggak ada orang, Cuma aku dan Mama. Sebentar lagi Mama juga pergi arisan ke rumahnya Tante Widya.” Rengeknya terdengar manja.
“Tapi Diah. Kalau kamu pergi sendiri bahaya,” khawatirku.
“Ah aku ngajak Airin aja kalau gitu buat nemenin aku. Boleh ya Kak?” rayunya diseberang sana. Aku menghela napas mendengar ucapannya.
“Kak, boleh ya?” nadanya memelas meminta izin dariku.
“Tapi.....”
“Aku kan sama Airin Kak...aku janji deh, kalau Airin nggak bisa, aku nggak jadi pergi,” katanya memotong ucapanku dan masih membujukku. Sekali lagi aku menghela napas pasrah dan mengiyakannya.
Entah mengapa aku merasa berat mengizinkan Diah pergi walaupun sudah ditemani oleh Airin. Dia juga tidak biasanya menelponku kalau minta ditemani pergi ke suatu tempat. Biasanya dia akan langsung datang ke rumahku. Dipta yang melhatku gelisah, menenangkanku dengan mengelus-ngelus punggung tanganku. Aku tersenyum lalu mulai menyantap pesananku yang baru saja datang sebelum Diah memutuskan panggilan telpon kami.
Aku berjalan beriringan dengan Dipta keluar mall. Kami berencana pergi ke taman kota. Namun langkahku terhenti saat dari kejauhan aku melihat sosok yang sangat kukenal sedang didekati oleh dua orang pria berbadan besar dengan dipenuhi tattoo. Bisa kulihat wajahnya ketakutan saat menghindar menjauhi dua orang tersebut. Dia berjalan buru-buru hampir berlari meninggalkan tempat dia berdiri tadi. Diah. Dia tidak bersama Airin, dia sendirian.
“Diaaahh...!!” teriaku memanggil namanya agar dia berhenti. Tapi Diah tidak mendengarkan teriakanku. Mungkin karena jarak kami yang cukup jauh.
Aku terus memanggilnya dan mulai berlari kearahnya diikuti Dipta.
“Diaaahh berhenti..!”
Diah berhenti dipinggir jalan. Aku merasa lega karena dia sudah berhenti. Namun naas, Diah malah melanjutkan langkahnya dan....
Braakk..
Disaat bersamaan sebuah mobil menabrak tubuhnya. Aku mematung melihat kejadian di depan mataku itu. Sedetik kemudian aku berlari menghampiri tubuh Diah yang tergeletak bersimbah darah di jalan. Memeluk tubuhnya dan memanggil-manggil namanya, tapi dia tak bergerak sedikitpun.
**
Sudah seminggu Diah koma di rumah sakit. Selama itu juga aku terus merasa bersalah setiap kali melihat tubuh tak bergeraknya. Walaupun Mama, orangtua, dan kakak-kakak Diah menghiburku, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Airin juga sudah menjelaskan kenapa dia tidak bersama Diah waktu itu. Dia mau menunggui Diah naik angkot duluan, setelah itu baru dirinya akan menyusul, karena Airin bisa pulang bareng temannya yang kebetulan bertemu mereka di mall. Tapi saat angkot menuju rumah Airin datang duluan, Diah memaksa Airin untuk naik duluan walaupun Airin menolaknya tapi dia tetap memaksanya. Akhirnya Airin meninggalkan Diah sendirian.
**
Kebahagiaanku datang lagi ketika melihat matanya terbuka dan dia sudah bisa tersenyum lagi. Ya, aku sangat bahagia saat Diah mulai membuka matanya dan memanggil namaku. Saat itu aku hanya sendirian menungguinya di rumah sakit, karena setelah aku datang mamanya pamit pulang sebentar. Disaat itulah aku melihat tangannya bergerak dan matanya mulai terbuka. Aku segera memanggil dokter dan menghubungi mamanya. Kami sangat bahagia sekali Diah sudah bangun dari komanya.
“Kakak. Maafkan aku ya karena nggak dengerin Kakak,” lirihnya.
“Sssttt...kamu nggak salah. Itu salah Kakak. Harusnya Kakak menelpon kamu dan menjeputmu untuk pulang bareng, tapi Kakak malah lupa.” Yah, jika saja aku menghubungi Diah dan menjemputnya, mungkin kejadian naas itu tidak akan menimpanya.
“Bukan salah Kakak. Akunya aja yang keras kepala dan ngotot pergi tanpa Kakak.” Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan membelai rambut panjang.
“Aku sayang Kakak,” katanya, kemudian memelukku.
“Kakak juga,” kataku sambil mengusap-ngusap punggungnya dan menepuk-nepuknya perlahan.
**
Aku tidak tahu apakah aku harus marah atau tidak kepada Tuhan. Kebahagiaan saat Adik yang sangat aku sayangi bangun dari komanya hilang dalam sekejap. Telah digantikan oleh duka dan kesedihan yang mendalam. Hanya satu hari Dia memberikan kebahagian kepada kami, dan sekarang Dia sudah mengambil orang yang sangat kami sayangi kembali ke sisi-Nya. Membuat rasa bersalahku muncul lagi.
Aku menatap tanah basah di hadapanku. Diah sudah tenang di dalam sana. Sekarang aku tidak bisa lagi mendengar canda tawanya yang selalu menemaniku. Rasanya baru kemarin kami bersama-sama pergi ke mall, dan dia menyuruhku untuk membeli sebuah kalung dan cincin.
“Kakak, cincin ini bagus. Beli ya Kak,” ujarnya antusias.
“Kamu suka?”
“Iya, aku sangat suka. Nanti di dalamnya bikin nama Kakak, dan berikan kepada orang yang tepat.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya. Nanti cincin ini Kakak berikan kepada orang yang benar-benar membuat Kakak yakin kalau dia adalah kebahagiaan Kakak.” Aku mengangguk mengerti mendengar penjelasannya.
“Nah kalungnya ini aja,” lanjutnya sambil menunjuk sebuah kalung yang terpajang di etalase kaca.
Aku mengernyitkan keningku bingung. Tadi cincin, sekarang kalung. Seakan mengerti dengan ekspresi bingungku. Diah menjelaskan lagi.
“Jadi nanti cincin ini dijadiin buat bandul kalungnya. Lalu Kakak berikan kepada orang yang tepat itu. Okey?!” aku mengangguk saja tanda mengerti. Lalu memesan cincin dan kalung pilihan Diah tadi.
Aku menghembuskan napas berat setelah mengingat kebersamaanku dengan Diah. Kini semuanya hanya tinggal kenangan.
**
“Kamu lagi apa?”
Hari ini kami tidak pergi berkencan, jadi aku memutuskan untuk menelpon Dipta.
“Aku lagi cari tempat buat makan di mall, di rumah tidak ada orang dan Mama nggak sempat masak.”
“Kamu di mall sendirian?! Kenapa nggak menghubungi aku untuk menemanimu?” tanyaku khawatir.
“Aku nggak mau ngerepotin kamu. mallnya juga nggak jauh kok dari rumahku.”
“Aku ke sana sekarang. Kamu tunggu aku.” Aku memutuskan pembicaraan kami dan bergegas mengganti pakaian, lalu pamitan kepada Mama. Aku tidak ingin orang yang aku sayangi mengalami hal yang buruk lagi.
“Kamu berlebihan Tora.” Dipta cemberut setelah bertemu denganku.
“Aku tidak ingin terjadi apa-apa sama kamu jika kamu pergi keluar sendirian,” ujarku menjelaskan kekhawatiranku.
“Kamu nggak perlu khawatir. Aku bisa jaga diri kok.”
“Tapi....”
“Udah. Aku nggak mau dengar apa-apa lagi. Aku lapar!” dengusnya, lalu meninggalkanku dan memasuki sebuah restoran cepat saji yang berjarak tidak begitu jauh dari tempat kami berdebat tadi.
Aku memasuki salah satu bilik toilet guna membuang sisa-sisa makanan yang ada di dalam perutku. Sementara Dipta menuju urinoir. Selesai dengan hajatku, segera saja aku keluar bilik, takut membuat Dipta lama menunggu. Namun baru beberapa langkah keluar, aku melihat Dipta tengah asyik tertawa dengan seorang pria di depan wastafel. Dan tanpa sungkan dia membelai rambut Dipta seperti seorang kekasih membelai rambut pacarnya. Dengan marah aku mendorong tubuh pria itu menjauhi Dipta. Aku menatapnya tajam penuh emosi.
“Jangan seenaknya menyentuh dirinya!”
“Hei santai Bung. Gw tidak menyakitinya. Gw hanya merapikan rambutnya,” balasnya dengan seringaian licik terukir dibibirnya.
“Tora, kamu apaan sih. Kak Delon ini Kakak temanku, dan dia nggak ngapa-ngapain aku!” ujar Dipta membela pria yang bernama Delon itu.
“Aku tidak suka cara dia memperlakukanmu.”
“Tenang Bung. Gw nggak akan mengambil milik lu,” katanya membalas tatapan mataku. Tatapan yang meremehkan.
Aku mengepalkan tangaku dengan kuat dan hendak melayangkannya kepada pria itu, tapi Dipta malah minta maaf dan menarik tubuhku menjauhi pria tersebut. Bisa kurasakan tatapannya berbeda terhadap Dipta. Tatapan inging memiliki.
Semenjak kejadian itu hubungan kami menjadi renggang. Setiap kali aku mengingatkannya agar tidak pulang telat saat dia pergi bersama teman-temannya, dia akan marah. Semua perhatianku selalu salah dimatanya, hingga akhirnya dia memutuskan hubungan kami saat jam istirahat tiba. Dan setelah pulang sekolah, aku melihat dia dijemput oleh pria bernama Delon yang katanya Kakak temannya.
**
Untuk menghilangkan rasa sakit dihatiku, aku menyibukan diri dengan mengunjungi Mama ke hotel setiap pulang sekolah. Belajar tentang hal yang berhubungan dengan hotel dan terkadang ikut rapat bareng Mama. Aku harus mempersiapkan diri sebelum tiba waktunya. Dan itu sukses membuatku bisa melupakan dan menyembuhkan rasa sakitku.
Setiap hari libur, aku menghabiskan waktuku berada di dalam kamar Diah. Melihat foto, video, dan kado-kado yang kuberikan padanya setiap kali dia berulang tahun. Aku membuka sebuah kotak kecil persegi empat yang terletak di atas meja rias Diah. Sebuah kalung dengan bandul sebuah cincin pilihan Diah tersimpan di dalamnya.
Aku memang sengaja meminta Diah menyimpannya untuk sementara waktu, karena saat itu aku belum benar-benar yakin kalau Dipta adalah orang yang tepat itu. Aku juga tidak tahu kenapa hatiku berkata seperti itu. Dan ternyata Dipta memang bukan orang yang tepat. Aku mengeluarkan kalung tersebut dari dalam kotak dan memakainya.
Saat kenaikan kelas tiba, aku meminta Mama untuk pindah ke Jakarta. Mama menyetujuinya dan menyerahkan urusan hotel pada orang kepercayaan Papa. Sedangkan rumah ditempati oleh Kak Velika yang baru saja satu bulan menikah. Sementara Kak Ziven masih betah di negeri Paman Sam.
**
Harapanku saat memutuskan pindah ke Jakarta adalah kebahagiaan. Ya, aku berharap bisa menemukan kebahagiaanku di kota dan di sekolah baruku. Dan hal pertama yang membuatku suka dengan sekolahku yang baru adalah, dia. Dia yang saat itu lewat di depanku yang baru saja turun dari mobil Mama. Dia dengan senyuman ramahnya kepada setiap teman-temannya. Dan aku menambahkan satu harapanku. Jika dia juga kelas dua sekarang. Aku berharap bisa satu kelas dengannya.
Dewi fortuna sepertinya berpihak kepadaku. Aku dimasukan ke dalam kelas yang sama dengannya. Dan satu lagi keberuntunganku, kursi di sebelahnya kosong. Sebenarnya ada dua bangku kosong saat itu, satu di sebelahnya dan satu lagi di belakangnya. Dan tentu saja aku memilih duduk di sebelahnya.
Memandangnya tidak pernah membuatku merasa bosan. Dia pernah marah padaku karena aku terus memperhatikannya dan memukul ketua OSIS kami yang ternyata sudah dianggapnya sebagai Kakak. Cemburu? Ya, aku memang cemburu saat melihat orang lain merangkul ataupun menggandeng tangannya. Aku juga sering mengambil foto dirinya secara diam-diam. Saat dia tertawa bersama teman-temannya, saat dia tertidur di dalam kelas, bahkan saat dia cemberut ketika temannya menggodanya.
Rasa ingin memiliki, marah saat orang lain menyentuhnya, dan ingin melindunginya, muncul begitu saja dari dalam diriku. Hingga saat dimana aku tidak bisa menahannya lagi, aku menyatakan perasaanku kepadanya, dan sekali lagi dewi fortuna berpihak padaku. Dia menerimaku menjadi pacarnya. Dia adalah kebahagianku. Dia.....Andri Pratama.
@denfauzan @3ll0 @Yirly @Sho_Lee @Aurora_69 @arieat @o_komo @okki
@monic @Adi_Suseno10 @soratanz @asik_asikJos @xmoaningmex @lulu_75 @RifRafReis @LostFaro @gaybekasi168 @amostalee @andi_andee @hananta @Pratama_Robi_Putra @Sicilienne @LeoAprinata @liezfujoshi @josiii @freeefujoushi @RenataF @ricky_zega @ocep21mei1996_ @naraputra28 @AvoCadoBoy @chandisch @RinoDimaPutra @Derbi @JosephanMartin @Viumarvines @akumisteri1 @Obipopobo @babehnero @vane @kunnnee @Rars_Di @abyyriza @adammada @Soshified
1. “Kakak cepat! Nanti kita telat. Ini kan harri
pertama kita sekolah...”
2. sememtara yang di Jakarta dipercayakan
kepada Om Heri, Kakak Papa.
3. Ak umenghela napas dan meyakinkan
diri, besok aku harus menemukan cowok
perpustakaan itu.
Yawlah, aku sedih banget sama kisahnya Diah ini kenapa dia harus mati ya, kan dia cute banget. Pasti seru banget ya kalo dia masih hidup sampe sekarang. Aku juga cukup prihatin lah sama masa lalu Tora yg kayak gitu, kesel banget aku sama si Willy itu, dasar uke kegatelan -_-