It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kalo seret pelan2 ya, takut sakit
He hehehe
<seringaiMesum>
@Apell beres itu mah...tapi sakit dikit tahan aja ya.. :v
@denfauzan tunggu ya, lagi proses nih..
Hehehehe
Miss tora dan andrii
Nah jangan lupa komentarnya, dan jika ada typo atau kesalahan yang lain kasih tau ya, karena part ini gak sempat diedit ulang secara menyeluruh..dan maafkan aku jika masih berasa flat atau banyak kekurangannya dalam tulisanku ini..
Happy reading.
*****
@denfauzan @3ll0 @Yirly @Sho_Lee @Aurora_69 @arieat @o_komo @okki
@monic @Adi_Suseno10 @soratanz @asik_asikJos @xmoaningmex @lulu_75 @RifRafReis @LostFaro @amostalee @andi_andee @hananta @Pratama_Robi_Putra @Sicilienne @LeoAprinata @liezfujoshi @josiii @freeefujoushi @RenataF @ricky_zega @ocep21mei1996_ @naraputra28 @AvoCadoBoy @chandisch @RinoDimaPutra @Derbi @JosephanMartin @Viumarvines @akumisteri1 @Obipopobo @babehnero @vane @kunnnee @Rars_Di @abyyriza @adammada @Soshified @SyahbanNa @wisnuvernan2 @yogan28 @kincirmainan @Reyzz9 @Algibran26 @Firman9988_makassar @Rama212 @bayusatpratama @jose34 @ryanadsyah @QudhelMars @Apell
*******
Tora
Aku sangat merasa bersalah atas kejadian dua hari yang lalu kepada Andri. Aku benar-benar tidak tahu kalau cowok itu adalah kakaknya. Sebenarnya aku datang menjemputnya karena ingin mengajaknya jalan-jalan sebentar, sekalian mencoba untuk membujuknya lagi agar mau berhenti bekerja. Bukannya aku tidak suka dia bekerja, tapi saat ini dia masih sekolah dan sudah kelas 3. Sepulang sekolah dia harus bekerja dan pulang pada pukul 10 malam. Aku takut hal itu berdampak buruk pada nilainya.
Kuakui, aku sangat cemburu dan marah saat melihat Andri memeluk lengan cowok itu. Mereka terlihat mesra seperti sepasang kekasih. Jika kalian melihat pasangan kalian memeluk orang lain semesra itu, aku yakin kalian juga akan merasakan cemburu dan sangat marah. Andri memang pernah memberitahuku kalau dia selalu dijemput oleh kakaknya. Tapi melihat mereka yang begitu mesra seperti itu tentu aku akan langsung berpikir kalau dia bukan kakaknya. Segera saja aku melayangkan sebuah pukulan tepat ke wajahnya hingga membuatnya jatuh tersungkur.
“Jangan seenaknya tanganmu menyentuh milik orang lain,” tegasku, menatapnya tajam penuh emosi.
“Tora?” suara Andri yang kaget dan menatapku dengan tatapan bertanya-tanya.
Aku yang masih dikuasai emosi langsung bertanya marah padanya. “Jadi ini alasanmu tidak mau berhenti bekerja! Iya?!”
“Bukan. Kamu salah....”
Saat aku menyimak Andri yang seperti ingin memberi penjelasan. Tiba-tiba cowok itu melayangkan sebuah pukulan hingga membuatku terhuyung kebelakang.
“Siapa lu. Seenaknya ngelarang gue?!” bentaknya menanyakan siapa aku. Itu membuatku semakin emosi melihatnya. Tanpa ragu aku memberitahunya kalau aku adalah pacar Andri agar dia mengerti kenapa aku memukulnya.
“Karena saya pacarnya!” balasku membentaknya.
“Apa?!” dia mengernyitkan kening bertanya, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Andri yang berdiri di sampingnya sambil memegang tangannya. “Andri. Apa-apaan ini. Coba kamu jelaskan. Apa benar dia pacarmu?!” bukannya menjawab Andri malah menundukan wajahnya.
Aku hendak bicara meminta Andri untuk memberitahu cowok itu, namun dia malah membentak Andri agar menjawab pertanyaannya. “Kenapa kamu diam, Andri? Jawab!” aku mengepalkan tangan dan ingin memukulnya lagi karena tidak terima dia telah membentak Andri. Tapi tertahankan karena Andri mulai membuka suaranya.
“Itu..itu..itu...” aku menunggu Andri menyelesaikan ucapannya tapi....
“Itu apa?! Jawab!” bentaknya sekali lagi hingga membuat Andri menangis.
Aku semakin tidak terima atas perlakuannya terhadap Andri. Melayangkan beberapa pukulan lagi padanya. Tepat di wajah dan perutnya.
“Ini balasan untukmu yang seenaknya membentak orang yang saya sayangi,” marahku, lalu memukul perutnya lagi. Namun saat aku ingin memukul lagi, dia berhasil menahan tanganku dan membalasku dengan melayangkan tinjunya ke wajahku. Tidak mau kalah aku membalas lagi. Aku menghiraukan teriakan Andri yang menyuruh kami berhenti berkelahi.
Kami masih saling pukul ketika seseorang berteriak dan menarik tubuh cowok itu dan menyuruhnya berhenti. Dan entah bagaimana caranya Andri menangkap tubuhku. Dia sudah memelukku dengan sekuat tenaganya. Aku meronta agar dia melepaskan pelukannya. Tapi dia tetap keukeuh menahanku dan berteriak padaku.
Andri berteriak mengatakan bahwa orang yang berkelahi denganku itu adalah kakaknya. Segera kurenggangkan pekulannya yang tidak begitu kuat lagi. Aku mengernyitkan kening dan menatapnya guna meminta kepastian akan ucapannya kalau aku tidak salah dengar.
“Dia adalah Kakakku,” dia menatapku tajam dengan airmata mengalir di kedua pipinya setelah mengatakan hal tersebut.
Aku mengangkat sebelah tanganku hendak menghapus airmatanya, namun pelukan Andri terlepas dari tubuhku. Kakaknya menarik tubuh Andri dengan paksa menjauh dariku.
“Jangan pernah lu temui dia lagi!” tegasnya, dengan tatapan penuh emosi.
“Kakak?”
Baru saja Andri menyebut namanya, dia sudah menarik Andri menuju mobilnya. Aku hanya bisa terpaku menatap kepergian Andri yang dipaksa Kakaknya. Berharap tidak terjadi apa-apa padanya di rumah nanti.
Seseorang yang berteriak tadi datang menghampiriku, memandangku lekat dan menanyakan keadaanku.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil memperhatikan wajahku.
“Saya baik-baik saja,” jawabku, dan mulai beranjak dari tempat itu. Tapi dia menahan tanganku.
“Bibirmu berdarah, sebaiknya diobati dulu,” katanya yang masih menahanku.
“ Tidak usah, terimakasih,” tolakku halus. Namun dia tetap menahan tanganku dan tersenyum tulus sambil menarikku menuju restoran. Akhinya aku mengikutinya dan duduk di sebuah kursi restoran yang tadinya sudah gelap. Aku menduga dia adalah atasan Andri. Mengira-ngira apakah dia tunangan Kak Inka atau hanya bawahannya. Aku hanya diam sambil menunggu dia kembali setelah pergi meninggalkanku.
Pria yang tidak kuketahui namanya itu keluar dari pintu belakang dengan membawa kotak P3K di tangannya. Dia duduk pada kursi di sebelahku dan mulai membuka kotak tersebut. Mengambil kapas dan membasahinya dengan alkohol. Dia begitu teliti dan hati-hati dalam mengobati lukaku. Sadar dari tadi aku terus memperhatikannya, pria itu menghentikan gerakan tangannya kemudian tersenyum ramah padaku.
“Kamu pasti bertanya-tanya siapa aku, karena membawamu kesini tanpa peduli kamu setuju atau tidak,” katanya sopan. “Kenalkan, aku Rio tunangan Kakaknya Andri. Kamu pasti pacarnya Andri, kan?” di mengulurkan tangannya dan bertanya to the point padaku. Aku mengernyitkan keningku dan heran, darimana dia tahu kalau aku adalah pacar Andri.
“Tora,” balasku sambil membalas jabatan tangannya. “Darimana anda tahu kalau saya adalah pacar Andri?” dia tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Dari tatapanmu, aku sudah bisa menebak kalau kamu adalah pacar Andri yang pernah diceritakan Inka padaku,” ujarnya, lalu kembali melanjutkan aktifitasnya memasang obat luka pada wajahku. Aku hanya diam menatapnya.
“Beberapa waktu lalu Inka datang menemuiku, memberitahukan tentang Adiknya yang berpacaran dengan teman sekelasnya yang juga seorang pria. Awalnya aku kaget mengetahui perbedaan orientasi seksual Andri. Inka juga begitu gugup dan takut saat bicara padaku. Mungkin dia takut aku akan memutuskan pertunangan kami setelah dia memberitahukan fakta tentang adiknya. Tapi karena aku sangat mencintainya, aku tidak mempermasalahkan hal itu. Namun siapa sangka, Hendra yang begitu menyayangi dan memanjakan Andri selama ini. Tidak terima adiknya berpacaran dengan seorang pria. Dan aku bisa lihat dari matamu kalau kamu sangat mencintainya.” Dia tersenyum lagi usai menceritakan apa yang dia tahu. Aku tersenyum sebagai jawaban.
“Boleh saya bertanya mengenai pekerjaan Andri?” aku menggunakan kesempatan ini untuk bertanya padanya.
“Oh boleh, tanyakan saja apa yang ingin kamu ketahui,” jawabnya ramah.
“Apa benar Andri hanya sementara bekerja di sini sampai anda mendapatkan karyawan tetap?”
“Oh masalah itu. Waktu itu Andri kekurangan uang untuk membeli sebuah jam tangan, lalu dia meminta uang kepada Inka. Dan karena kami kekurangan karyawan, Inka memberikan sebuah syarat kepada Andri dengan bekerja di restoran sampai kami menemukan karyawan tambahan,” jelasnya padaku.
‘Jadi karena kado untukku Andri bekerja di restoran,’ batinku. Diam-diam aku menyentuh jam tangan pemberian Andri yang melingkar dipergelangan tanganku. Aku tak menyangka dia mau melakukan hal ini. Sepulang sekolah harus bekerja sampai malam. Setiap ketemu di sekolah dia selalu menunjukan wajah yang ceria. Tidak pernah dia menunjukan wajah lelah sedikitpun di hadapanku.
“Hmmm..boleh saya ikut membantu mencarikan karyawan tambahan di sini?” tanyaku hati-hati.
“Ah boleh, boleh. Jika kamu tidak keberatan dan punya teman atau kenalan yang butuh pekerjaan. Kami akan menerimanya,” ujarnya tersenyum senang.
Setelah ngobrol-ngobrol sebentar dan meminta nomor telponnya, aku bangkit dari dudukku dan mengulurkan tangan padanya. “Kalau begitu saya pamit dulu. Terimakasih atas bantuan anda dan maaf sudah merepotkan,” ucapku sopan.
“Tidak masalah. Dan tidak usah terlalu formal. Panggil saja Kakak, atau Mas,” katanya bersahabat.
Aku tersenyum dan mengangguk, kemudian melangkahkan kaki keluar dari restoran menuju mobilku.
**
Keesokannya aku bangun agak siang dari biasanya. Badanku terasa sedikit sakit akibat perkelahian dengan kakaknya Andri. Berjalan keluar kamar, menghampiri Mama yang sedang sibuk menyiram tanaman dihalaman samping rumah. Aku memeluk Mama dari belakang dan mencium pipi wanita yang sudah sangat menyayangiku dari kecil hingga sekarang.
“Anak Mama sudah bangun,” ujarnya lembut. Mama menghentikan aktifitasnya dan berbalik menghadap ke arahku. Tapi baru saja berbalik, matanya terbelalak menatap wajah lebamku.
“Wajahmu kenapa sayang? Siapa yang memukulmu sampai seperti ini?” tanya Mama panik. Aku berusaha menenangkan Mama dan menuntunnya duduk di kursi yang tak jauh dari kami.
“Tora berkelahi dengan Kakanya Andri, Ma,” jawabku pelan.
“Kenapa bisa?” Mama masih panik menatapku. Kemudian tangannya mengelus wajahku. Aku meringis menahan sakit, dan itu membuat Mama menjadi tambah panik. Aku menenangkannya lagi dengan mengatakan bahwa aku tidak apa-apa.
Aku mulai menceritakan kejadian tentang perkelahian antara aku dengan Kakak Andri yang bernama Hendra. Dan berhenti pada perkataan kakaknya yang melarangku untuk bertemu dengan Andri. Juga penyesalanku karena sudah marah dan mengira Andri berhubungan dengan pria lain. Aku telah berbuat salah padanya.
“Tora khawatir dengan keadaan Andri, Ma. Tora takut, kakaknya bersikap kasar padanya.” Aku menceritakan kekhawatiranku kepada Mama.
“Jangan khawatir, kakaknya tidak akan mengasari Andri. Nanti kamu coba hubungi dia, dan jangan lupa minta maaf padanya,” aku mengangguk membalas ucapan Mama, yang sudah membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang.
“Kamu belum sarapan kan?”
“Belum.”
“Ikut Mama. Mama bikin pancake kesukaanmu.” Mama bangkit dari duduknya, menggamit tanganku hingga ke ruang makan.
“Mbak Nur mana, Ma?”
“Dia izin pulang kampung karena ada saudaranya yang akan menikah.” Aku hanya mengangguk-ngangguk tanda mengerti kenapa Mbak Nur tidak datang ke rumah. Kemudian menikmati pancake buatan Mama.
Selesai sarapan aku kembali ke kamar mengambil ponselku mencoba menghubungi Andri. Sementara Mama, setelah beres-beres di dapur, teman-teman arisannya datang menjemput. Sudah beberapa kali aku mencoba menghubungi nomor Andri tapi tidak diangkat. Sepertinya Andri sedang marah padaku, atau kakaknya melarang dia untuk menjawab panggilanku. Aku benar-benar mengkhawatirkan keadaannya. Kalau aku datang ke rumahnya, aku hanya akan memperburuk keadaan karena aku yakin kakaknya pasti masih emosi dan tidak akan pernah mau menerima kedatanganku. Sebaiknya aku mencari waktu yang tepat untuk menemui Kakak laki-lakinya itu.
Akhirnya aku memutuskan pergi ke ruang kerja, memeriksa beberapa laporan yang belum sempat kuperiksa. Sibuk bekerja membuat waktuku besama dengan Andri jadi sedikit. Aku tahu karena hal ini juga dia memutuskan untuk bekerja, menyibukan diri agar tidak merasa kesepian. Tapi memikirkan dia yang pulang malam selalu membuatku tidak tenang.
Malamnya aku menghubungi lagi ponsel Andri berharap dia mau mengangkat panggilanku kali ini. Awalnya masih seperti biasa dia tidak menjawab panggilanku. Namun pada akhirnya dia menjawab telponku. Aku merasa lega saat dia menerima panggilanku walau tanpa suara sedikitpun. Jujur aku sangat khawatir setelah kejadian itu.
“Halo. Andri, kamu baik-baik saja, kan?” tanyaku khawatir, namun tak ada jawaban darinya.
“Tadi aku ke tempat kerjamu, tapi temanmu bilang, kamu tidak masuk hari ini. Itu membuatku khawatir. Kamu nggak apa-apa kan?” aku memberitahunya kalau aku pergi ke tempat kerjanya. Tapi tetap dia masih diam tak menjawab. Aku mengernyitkan kening saat mendengar deru napasnya sedikit aneh namun aku tetap bicara dan bertanya padanya, berharap dia mau menjawabku.
“Sayang. Aku minta maaf atas kejadian kemarin. Maafkan aku....” kekhawatiranku bertambah karena merasa ada yang aneh. “Andri, aku mohon bicaralah. Aku ingin tahu keadaanmu.” Aku mendesaknya agar mau bicara padaku. Aku benar-benar khawatir hingga aku mendengar jelas suara isakannya dari seberang sana. Dia menangis. Sekarang aku tahu, deru napasnya yang aneh tadi karena dia berusaha menutupi suara isakannya agar tak kedengaran olehku. Aku sangat yakin dia menangis.
“Halo. Andri! Kamu menangis? Tolong jawab aku. Andri, aku mohon....” dadaku begitu sakit mendengar suara isakannya yang tertahan itu. Dan bukannya menjawab Andri malah memutuskan panggilan telpon. Aku mengerti kenapa dia melakukannya.
Aku mondar-mandir didalam kamar memikirkan apa yang terjadi kepada Andri. Masih belum bisa melupakan suara isakan tertahannya, serta kepalaku tidak berhenti memikirkan hal-hal buruk telah terjadi kepada Andri. Tidak mau hanya mondar-mandir sambil memikirkan hal-hal yang buruk. Aku segera meraih jaket dan kuncil mobilku yang terletak di atas meja belajar. Memutuskan untuk pergi ke rumahnya supaya aku tahu apa yang terjadi padanya. Namun baru saja sampai di ruang tengah aku bertubrukan dengan Mama yang sepertinya habis dari dapur karena tangannya memegang sebuah gelas berisi air dan air tersebut tumpah mengenai jaketku.
“Kamu buru-buru mau kemana Tora?” ujar Mama kaget melihatku yang terburu-buru.
“Tora mau ke rumah Andri, Ma. Perasaan Tora tidak enak. Tora pergi dulu ya, Ma,” balasku cepat dan berlalu pergi meninggalkan Mama. Tapi Mama menahan tanganku.
“Tunggu Tora, ini sudah larut malam. Kamu jangan bikin keributan di sana dan memperkeruh keadaan,” kata Mama mengingatkan.
“Tapi Ma, hati Tora tidak tenang. Barusan Tora menghubunginya dan yang terdengar hanya suara isakannya. Tora khawatir terjadi sesuatu padanya,” jelasku kepada Mama.
“Mama tahu kamu sangat mengkhawtirkan Andri, tapi kamu harus memikirkan dampaknya jika pergi pada jam selarut ini ke sana. Kamu hanya akan membuat saudara atau orangtuanya menjadi tambah marah. Dan itu akan berdampak buruk pada Andri,” terang Mama padaku. Lalu Mama menyuruhku duduk di kursi yang ada di ruang tengah. “Sebaiknya sekarang kamu istirahat dan menemuinya besok saja,” ujar Mama lembut dan menggenggam tanganku. Aku mengangguk paham dan memeluk Mama hangat.
“Makasih Ma,” kataku yang masih memeluk Mama. Mama mengelus dan menepuk-nepuk punggungku dengan pelan. “Makasih sudah mau menerima Tora.” aku mengeratkan pelukanku dan merasakan ketenangan dalam pelukan Mama. Aku merasa beruntung memiliki Mama dan keluarga yang mau terbuka menerimaku. Berbeda dengan kekasihku yang saat ini entah bagaimana keadaannya.
Paginya aku buru-buru berangkat ke sekolah, berharap Andri masuk sekolah hari ini dan bertemu dengannya. Biasanya dia datang lebih cepat dariku. Semoga saja dia baik-baik saja dan kami dapat meluruskan masalah yang terjadi beberapa waktu lalu. Mengingatnya membuat rasa bersalahku muncul lagi karena telah membuat keadaan Andri menjadi sulit.
Hal pertama yang kulakukan setelah sampai di sekolah adalah mengunjungi kelasnya, tapi sia-sia karena aku tak menemukan keberadaannya di dalam kelas. Hanya ada beberapa murid yang baru datang. Andre yang sebangku dengannya juga belum datang. Sepertinya Andri tidak masuk hari ini, atau mungkin dia telat. Jadi aku memutuskan meninggalkan kelasnya. Masih berharap dia datang dan bicara dengannya saat jam istiahat nanti.
Saat jam istirahat tiba aku berjalan beriringan dengan Doni menuju kelas Andri. Kami berpas-pasan dengan Andre di koridor sekolah. Tanpa basa-basi aku segera menanyakan Andri padanya karena tak melihatnya bersama Andre.
“Andri nggak masuk hari ini?” tanyaku langsung.
“Oh dia masuk kok. Tapi sebelum jam istirahat tadi dia minta izin ke toilet, dan bakal nunggu kita di kantin setelah dari sana,” jelas Andre padaku. Aku hanya diam mendengarkan.
Di kantin aku melihat sekeliling mencari keberadaannya. Melihat Resti tersenyum dan melambaikan tangan kepada kami, aku berjalan dengan cepat menghampiri mejanya, meninggalkan Doni dan Andre di belakang. Tapi tetap aku tak menemukan Andri bersama Resti.
“Andri mana?” tanyaku yang baru sampai di hadapan Resti.
“Eh. Dia nggak bersama kami. Gue kira dia bareng Andre ke sini...” Tanpa menunggu Resti bicara lagi aku pergi meninggalkan kantin berniat mencari Andri yang sudah bisa kuyakini sedang menghindar dariku. Takku pedulikan Resti yang memanggil namaku dan bertanya ada apa.
Baru beberapa langkah Andre menahan tanganku sambil menatapku dengan intens.
“Kalian lagi ada masalah?” aku menatapnya sebentar kemudian melepaskan tangannya dari lenganku dan kembali meneruskan langkah meninggalkan kantin.
Diperpustakaan aku tidak menemukannya, diruang OSIS juga tidak ada. Kembali ke kelasnya hanya bangku kosong yang kutemukan. Kuputuskan pergi ke toilet, mungkin dia masih di sana. Tapi tetap tidak kelihatan meskipun aku sudah mengetuk dan membuka setiap pintu yang tertutup. Terakhir aku teringat taman kecil dekat gudang, tempat yang biasa kami datangi jika hanya ingin berduaan. Tapi...Nihil.
Sepulang sekolah aku segera bergegas menuju kelasnya. Dia juga tidak kutemukan. Kata salah seorang temannya, Andri sudah pulang duluan bareng Andre. Jadi aku memutuskan pergi ke rumahnya.
Begitu sampai di depan rumahnya, aku langsung masuk karena pintu pagarnya terbuka. Aku menekan bel rumahnya beberapa kali menunggu siempunya membuka pintu. Dari dalam terdengar suara seseorang yang menggerutu karena merasa terganggu oleh suara bel yang kutekan.
“Berisik amat sih ganggu orang tidur aja...” uapannya terhenti begitu melihat keberadaanku. Aku memperhatikan orang tersebut. Sepertinya tadi dia sedang tidur siang dan terganggu gara-gara aku. Dia, kakaknya Andri. Hendra.
“Lu! Mau apa lu ke sini, hah?!” marahnya sambil mendorong bahuku kasar.
“Saya mau ketemu Andri,” balasku sopan dan bersikap setenang mungkin. Aku tidak boleh emosi menghadapinya.
“Andri? Heh! Sudah gue bilang. Jangan pernah lu temui dia lagi! Pergi lu dari sini!” usirnya, berteriak tepat di depan wajahku.
“Soal kejadian beberapa waktu lalu, saya minta maaf karena saya tidak tahu kalau Mas adalah kakaknya Andri. Tolong izinkan saya bertemu dengan Andri. Saya ingin minta maaf dan ingin tahu keadaannya,” ujarku meminta maaf padanya.
“Persetan dengan maaf lu! Lu udah ngerusak adik gue jadi homo menjijikan kayak lu! Jangan harap gue bakal ngizinin dia ketemu dengan lu! Sekarang enyah lu dari sini!” dia membanting pintu dengan keras dan menguncinya. Meinggalkanku yang masih berdiri di depan pintu.
Aku mengetuk pintu memanggil-manggil namanya agar mau memberikan izin untuk bertemu dengan Andri. “Tolong izinkan saya bertemu dan bicara dengan Andri!” aku masih terus mengetuk pintu dan meminta izin untuk bertemu dengan Andri. Hingga....
Cklek..
Bugh..
Dia menghadiahkan sebuah pukulan ke wajahku. Menatapku tajam dan penuh emosi. “Homo brengsek!! Dia tidak ada di sini!!” setelah bicara seperti itu, dia kembali dia membanting pintu dengan kasar.
Aku ingin mengetuk lagi pintu yang ada di hadapanku, tapi terhentikan karena ada panggilan masuk dari Pak Arif orang kepercayaan Papa di hotel.
“Ya, Pak Arif?”
“Tora, bisa kamu ke hotel sekarang? Ada masalah penting yang harus kamu ketahui...”
Setelah mendengar penjelasan dari Pak Arif. Aku meninggalkan rumah Andri dan melajukan mobil ke hotel. Laporan keuangan hotel yang bermasalah karena ada pihak yang berbuat curang dan seorang staff housekeeping yang ketahuan mencuri di dalam kamar salah satu tamu hotel. Aku memijit pelipis, menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan.
**
Hari ini aku tidak masuk sekolah karena harus menghadiri rapat yang berhubungan dengan kejadian kemarin dan berkemungkinan akan memakan waktu yang lama. Staff houeskeeping yang ketahuan mencuri kemarin sudah diberhentikan hari itu juga setelah mempelajari berita acara yang dibuat oleh tim security yang baru selesai melakukan introgasi dan berdasarkan keterangan saksi yang melihat kejahatannya, yaitu tamu hotel si pemilik barang yang dicuri. Tapi aku harus tetap berterimakasih pada staff housekeeping tersebut atas jasanya selama ini, sebelum dia melakukan pencurian.
Hampir seharian aku menghabiskan waktu di ruang rapat, serta memeriksa laporan-laporan yang seperti tidak ada habisnya. Begitu melihat jam di pergelangan tanganku, ternyata sudah pukul delapan malam. Meregangkan otot-otot, kemudian merapikan semua pekerjaanku. Setalahnya aku menyegarkan diri di kamar mandi. Malam ini aku akan pergi ke tempat kerja Andri, menyelesaikan masalah kami.
Pukul setengah sepuluh aku sampai di restoran tempat Andri bekerja. Aku memilih menunggunya di dalam mobil. Semoga malam ini hubungan kami kembali seperti semula. Aku akan meyakinkan Andri, kalau aku akan nenemui dan bicara dengan kakaknya. Walaupun nanti aku harus mendapatkan pukulan lagi darinya.
Aku tersentak dari tidurku. Memperhatikan sekitar, lalu melihat jam tanganku. Sudah pukul sepuluh lewat. Sepertinya aku ketiduran. Tidak mau terlambat, aku membuka pintu mobil dan berjalan memasuki restoran. Baru beberapa langkah berjalan, aku melihat Andri berdiri di samping sebuah motor bersama seorang pria. Sedikit berlari aku menghampiri mereka. Andri sudah mau mengenakan helm ketika aku sampai di hadapan mereka.
"Andri!?" dia menoleh dan sedikit kaget mengetahui kehadiranku. "Aku mau bicara." aku berjalan mendekat kearahnya. Namun dia segera naik ke atas motor dan memasang helm yang belum sempat dia pasang tadi.
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan," ujarnya tanpa menoleh kapadaku. "Yuk Dan, aku udah siap." pria yang dipanggil Dan itu mulai menghidupkan motornya. Tapi aku segera menahan tangan Andri, membuat pria tersebut tidak jadi menjalankan motornya.
"Andri. Kita harus bicara dan menyelesaikan masalah...."
"Lepaskan!" teriaknya yang memotong ucapanku. Dengan kasar dia menghentakan tangannya agar terlepas dari genggamanku. "Aku tidak mau mendengar apapun darimu! Dan, cepetan. Aku mau cepat sampai di rumah!" pria tersebut mengikuti ucapan Andri, menjalankan motornya. Meninggalkanku yang terpaku dengan sikap Andri barusan. Baru kali ini aku melihat Andri seperti itu.
Tidak mau menyerah, aku bergegas masuk ke dalam mobil. Mengejar mereka yang sudah menjahui restoran. Aku menambah kecepatan untuk mengejar mereka. Tak kupedulikan teriakan dan umpatan dari pengendara lain karena aku telah memotong jalan mereka. Aku harus memperbaiki hubungan kami seperti dulu lagi.
Aku berhasil menyusul mereka yang saat ini berada tidak jauh dari mobilku. Menambah kecepatan lagi agar bisa menghadang mereka di depan. Aku menghentikan mobil dan melihat dengan jelas motor yang dikendarai pria bernama Dan itu semakin mendekat dan....
Ciiiiiittt..
*******
*Okey, aku gak tau mau tulis apa lagi...part ini udah buntu ampe di situ, jadi segini aja bisanya...sorry yaw jika kurang greget part yang ini hee..
Tanggung kak
@QudhelMars wuih pake +++ pertamaxnya...
udah buntu soalnya, jadi sampe di situ aja part 18 nya xixixi..
@lulu_75 motor dan mobilnya tabrakan..
@RifRafReis sip