It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Mas? Kau demam?"
"Ah?" Ardi membuka kelopak matanya lemah.
"Kau semalam pulang jam berapa?"
"Jam satu." nada bicaranya mulai kacau.
"Duh.." gerutunya.
Dengan cekatan ia pergi ke dapur menuang air dari termos ke baskom dan mencampurnya dengan air dari galon. Sekembalinya di kamar, ia melihat suaminya masih terbaring di ranjang. Segera ia mencelupkan kaos kaki yang ia ambil dari lemari hingga mulai terasa hangat dan memerasnya untuk kemudian ia letakkan di dahi suaminya tersebut.
"Kan aku udah bilang kamu kalo kerja jangan capek banget. Kalo udah gini, kan, jadi kamu sendiri yang susah."
"Mbak.."
"Ditelen dulu obatnya," tangannya memasukkan pil putih itu ke mulut Ardi dan meminumkan air untuk mendorong obat tersebut masuk ke kerongkongannya.
"Mbak.."
"Apa?"
"Aku mau bisikin sesuatu."
"Apa, deh, jangan bikin takut!" ia menundukkan kepalanya. Namun belum sampai telinganya dekat dengan bibir, arah kepalanya sudah berputar sehingga bibir mereka bertemu.
"Iihhh...". Mia menarik bibirnya. "Bibirmu pahit! Bekas obat." ia meneguk habis sisa air di gelas.
"Tapi aku ngerasainnya manis." ucap Ardi membuat Mia tersipu. "Makasih, ya".
"Sepertinya demam ini membuatmu semakin kacau" gerutu Mia dengan nada dibuat kesal sambil memanaskan lagi kaos kaki di dahi Ardi. Tapi ia tak mampu menutupi wajah tersipunya. "Kau lanjut tidur aja. Biar Bara jalan samaku." ucapnya sambil mengecup kembali bibir suaminya tersebut dan merapatkan selimutnya.
"Ardi abis briefing ntar ke tempat saya, ya?" suara Bu Lia membuyarkan konsentrasiku.
"Sip, Bu!" seruku sembari mengembalikan konsentrasiku pada monitor. Ia mengintip lagi jam di pojok monitor. Sepertinya sudah harus bangkit.
Seperti biasa, setiap hari Senin --dan juga Rabu-- di kantorku diadakan briefing sebelum memulai aktivitas kantor yang dilakukan di koridor.
Iya. Ini benar-benar di koridor selebar dua meter dengan panjang sekitar sepuluh meter dengan kami berdiri bersisian membelakangi dinding. Aku kurang paham sebenarnya dengan penyebutan briefing ini sudah benar atau kurang tepat. Tapi demikianlah orang-orang di kantorku menyebutnya.
Tapi sepertinya briefing kali ini bukan briefing biasa. Selain durasinya yang lebih lama , kepala cabang kami kali ini juga memperkenalkan beberapa anak baru yang nantinya akan menambal kekosongan tim.
"Oh.. Itu, toh, yang bakal ngisi posisi mbak Dian?" celetuk Ferdi.
Aku sebenarnya kurang peduli dengan perkenalan ini. Yang aku pedulikan sekarang adalah kembali ke mejaku untuk menyelesaikan laporanku dan segera mengirimkannya.
"Ini kantor makin gersang lama-lama banyakan lakinya." Ferdi terkekeh tertahan.
"Baiklah. Seperti biasanya sebelum mengakhiri briefing pagi ini, marilah sebelumnya kita menyanyikan jingle perusahaan!" seru mbak Rani dari bagian marketing yang kebagian piket yang kemudian diiringi dengan nyanyian anak-anak kantor.
Setelah briefing usai dan semua karyawan kembali ke ruangan masing-masing, aku berjalan mengekor di belakang Bu Lia. Entahlah. Mungkin aku akan kena teguran karena laporanku kali ini tak kunjung usai.
"Selama ini, kan, kerjamu selalu bagus," puji Bu Lia. "Nah.. Kamu mau, ya, ngebimbing anak barunya itu?" lanjutnya.
"Saya?" tanyaku tak yakin.
"Iya, lah. Masa si Dian?" tegasnya.
"Tapi, Bu.."
"Saya tahu. Kamu masih punya tanggungan laporan, kan?" potong Bu Lia. "Ya, namanya karyawan pasti ada aja, lah, kerjaannya. Saya yakin kamu bisa." ucapnya seakan tak ingin dibantah.
"Selamat pagi, Bu."
"Nah. Ini anaknya," sambut Bu Lia. "Masuk."
Yang bersangkutan pun mengambil duduk di sampingku. Si anak baru itu.
"Ini Ardi. Dia nantinya yang ngajarin kamu tentang kantor ini," Bu Lia memperkenalkanku.
"Kalo gitu boleh saya langsung balik, Bu?" pamitku.
"Silahkan. Silahkan."
"Ayo.." ajakku dengan nada menggantung.
"Baskoro." jawabnya cekatan.
"Oke. Mari, Bu." pamitku sekali lagi.
Baskoro mengikuti di belakangku menuju meja kami.
"This is your desk." ucapku sambil memegang kursinya.
Ia mengangguk dan langsung mengambil duduk.
"Gue duduk di sini. Jadi kalo ada yang mau ditanyain, elu tinggal nengok." ucapku lagi.
"Di sini pakainya apa?" ia bertanya sambil menghidupkan komputernya.
"Oracle. Elu paham cara pakainya, kan?" jawabku kemudian balik bertanya.
"Bisa, sih."
"Oh, iya. Nama lu tadi siapa?" tanyaku lagi.
"Baskoro."
Aku mengangguk.
"Baskoro Adi Subroto."
"Gilee. Bagus banget nama lu?" tanyaku heri. Heran Sendiri. Sedang yang bersangkutan hanya tersenyum.
"Oh, iya. Ini bagaimana?"
"Ah.. Lu pelajarin ini dulu. Baca-baca dulu. Ntar kalo udah paham tinggal lu lanjutin aja inputannya." aku mengarahkan.
Yang bersangkutan hanya mengangguk-anggukkan kepala. Ia tampak serius dengan monitornya.
Terlalu nanggung kalo disebut cerpen :v
"Tumbenan banget lo telat?" sapa Teguh dengan pertanyaannya.
"Iya, nih. Tadi gue salah ambil jalan." aku menjawabnya panik. "Briefingnya belum mulai, kan?"
"Belon. Bentar lagi. Kalo udah mulai mana mungkin lo gue bolehin masuk?" cengir Teguh.
"Gue duluan, ya?" pamitku tergesa-gesa.
"Ah. Sial! Anak-anak udah pada baris." batinku.
Aku menenangkan langkahku melewati barisan karyawan menuju ruanganku.
"Lu telat juga?" tanyaku saat melihat Baskoro masih di mejanya.
"Harusnya, sih, seperti itu." ia menolehkan kepalanya ke sumber suara.
Kami bergegas menuju koridor untuk berbaris mengikuti briefing.
"Begini ini emang dua hari sekali, ya?"
"Cuma Senin sama Rabu doang."
"Bagus, sih."
"Di kantor lu yang lama ada ginian?"
"Baru ini kerja kantoran"
"Oh.."
"Selamat pagi semuanya. Sebelum kita mulai briefing kita kali ini, marilah kita berdoa menurut kepercayaan masing-masing." Bu Leni, kepala cabang kantor ini, memulai memimpin doa. "Berdoa dimulai."
Briefing pagi ini masih sama seperti briefing-briefing yang sudah-sudah. Masih membahas tentang profit perusahaan, hasil penjualan, kendala-kendala dan rencana-rencana ke depannya. Tapi untungnya briefing kali ini tak semolor dua hari yang lalu. Tepat jam setengah sembilan jingle perusahaan sudah selesai dinyanyikan.
"Eh, Bas. Ikut gue ke gudang arsip, ya?" ajakku saat berjalan kembali ke meja.
"Harus?" ia balik bertanya.
"Banget. Elu belum tau, kan, di mana gudangnya? Makanya sekarang lu gue ajak ke gudang biar tahu dan kapan-kapan kalo lu butuh ke gudang, elu bisa sendiri." jelasku.
"Okay. Jadi di mana gudangnya?"
"Di bawah. Ini gue mau ambil kunci dulu" aku mempercepat langkahku mendahuluinya menuju mejaku mengambil kunci gudang.
"Mau cari apa di gudang?" ia berjalan mengiringiku menuruni tangga.
"Berkas April yang diminta Bu Santi kemarin." jawabku.
"Ini gudangnya?" tanya Baskoro saat kami sudah sampai di depan pintu gudang sambil ia mengintip jendela pintu.
"Harusnya, sih, iya." aku menirukan gaya bicaranya sambil memutar kunci.
Aku meraba-raba dinding mencari saklar lampu dan menghidupkan AC.
"Carinya di rak yang mana?"
"Yang itu." tanganku melewati tengkuknya menunjuk rak yang ada di depannya.
Ia melakukan gerakan menghindar secara reflek.
"Wot.. Wot. What's wrong?" aku terkejut.
"Ng.. Gak. Aku orangnya gelian." kilahnya.
"Okay. Sorry." ucapku. "Gue cari sendiri aja. Lu duduk aja di situ." kali ini aku menunjuk dengan mataku.
Ia tampak mengamati beberapa ordner di satu rak. Mencoba mengambilnya satu dan melihat isinya lalu ia kembalikan lagi.
"Kau menemukannya?"
"Sepertinya." aku mengambil satu ordner dan menghampirinya.
"Cerita dong anything about lu." ucapku datar sambil membuka satu persatu halaman ordner di tangan.
"Apa?" ia balik bertanya.
"Ya.. Cerita." ulangku.
"Harus?" ia bertanya lagi.
"Harusnya, sih, iya." jawabku sekenanya. "Ya, gue kurang nyaman aja kenal orang, apalagi kita rekan kerja, loh. Tapi gue nggak tau latar belakangnya. Ya.. Minimal gue tahu, lah, lu kuliahnya di mana atau lu umur berapa, nama orang tua lu siapa, tinggalnya di mana"
"Okay. Itu terlalu detail." potongnya tegas.
"Okay, okay." aku terkekeh. "Jadi?"
"Aku kuliah di UPJ. Tahun lalu baru diwisuda"
"Serius?" potongku.
"Ada masalah?" ia balik bertanya.
"Enggak. Gue juga kuliah di situ." jawabku antusias. "Tapi gue udah angkatan lumayan lama, sih. 5-6 tahun lah."
"Kuliah berapa tahun?"
"Heh? Normal, kok" jawabku bingung.
"Kita seumuran, kan?"
"Kalo lu umur 27, sih, harusnya iya." jawabku masih bingung.
"God..". Baskoro menunduk.
Aku terkekeh. "Lu bukan orang pertama, kok." ledekku. "Gimana?". Aku memeragakan gaya imut.
Ia menahan senyumnya. "Udah ketemu berkasnya?". Ia masih mencoba mengontrol emosinya.
"Belum, deh." jawabku sambil langsung membuka halaman paling akhir. "Nah! Ini!" ucapku girang.
"Ayo balik." ia beranjak.
"Di sini dulu, deh." tolakku. "Ngadem."
"Makan gaji buta." ledeknya.
"Lagian gue juga udah biasa nongkrong di sini, sih" kilahku. "Ya.. Kalo pas vertigo gue kambuh, gue ke sini trus tiduran."
"Vertigo?"
"Hahaha. Maklum, lah. Udah tua ini." kelakarku.
"Tapi beneran umurnya 27?" ia masih tak yakin.
"Apa untungnya gue bohong?" aku balik bertanya. "28, sih, sebenernya tahun ini. tapi masih Juni." lanjutku. "Jadi masih sah, dong, kalo gue ngaku 27?"
Baskoro memandangi sekeliling. Tumpukan kardus di mana-mana. "Cukup nyaman memang." ucapnya.
"Ya.. Walaupun anak-anak pada bilang pernah liat penampakan di sekitar sini, sih, gue nggak terpengaruh."
Sontak Baskoro memandangku tajam.
"Ada yang salah?"
Ia menggeleng. Namun aku bisa melihat kegelisahannya.
"Dan kata anak-anak, ngintip jendela di pintu dari luar seperti yang lu lakuin tadi itu agak bahaya." aku semakin menakutinya. "Masih katanya anak-anak sini, pas mereka ngintip, mereka ngeliat sepasang cahaya merah.". Aku mencoba mengontrol ekspresiku.
"Kembalikan ordnernya dan kita kembali!" perintahnya.
Tawaku meledak.
"Apa yang kau tertawakan?" ia mulai jengah.
"Gue becanda, kali."
"Sama sekali tidak lucu."
"Sekalipun ada juga lu aman sama gue." aku meyakinkannya.
Tapi sepertinya ia tak menggubrisku. Baskoro beranjak dan menunggu di pintu.
"Oh, iya. Aku dari kemarin nggak nemuin ada tanda-tanda kantin di sini. Aku yang nggak nemu atau memang nggak ada?"
"Emang nggak ada." jawabku. "Biasa juga karyawan sini carinya di luar. Atau bawa bekal dari rumah."
"Pantesan."
"Emang kenapa nanyain kantin?" tanyaku. "Lu, kan, biasa bawa bekal."
"Tadi nggak sempet bikin." jawabnya lesu.
"Nyokap lo kesiangan juga?"
"Aku di sini ngekos."
"Weh? Gue aja sampe umur segini masih tinggal sama orangtua." kelakarku.
Yang diajak bicara hanya menampakan cengiran di wajahnya.
"Ar!" sapa bu Santi saat kami melewati kamar mandi.
"Iya, Bu?" aku membalas sapaan Bu Santi sambil mengangkat berkas yang kucari tadi. "Lu duluan aja." isyaratku pada Baskoro.
"Itu berkasnya?" Bu Santi meyakinkan dirinya.
"Iya." jawabku.
"Ya sudah. Buruan. Tadi orang audit udah datang lagi." pesan Bu Santi.
"Oke, Bu." jawabku sigap.
"Gimana anak barunya?" tanya Bu Santi.
"Apanya?" aku malah bertanya balik.
"Perkembangannya. Kinerjanya." ucap Bu Santi lebih detail.
"Oh.. Masih belum ketahuan, Bu. Baru juga dua hari." jawabku.
"Oh, ya. Nanti kamu makannya di tempat biasanya, kan?" tanya Bu Santi lagi.
"Iya, Bu. Ada Apa?"
"Biasanya, ya?"
"Oh.. Oke."
"Jangan lama-lama makannya. Ntar saya nggak keburu makan." kelakarnya.
"Tenang." aku terkekeh.
"Ya sudah. Sana balik!" usir Bu Santi. "Ini saya juga udah kebelet."
"Oke, Bu. Awas basah, ya." godaku kemudian berlalu.
"Mas!" panggil Baskoro saat aku beranjak dari kursiku.
Iya. Sejak tahu usiaku, Baskoro mulai membiasakan dirinya memanggilku dengan embel-embel 'mas'. Sedikit risih sebenarnya. Haha
"Oi?"
"Mau cari makan, ya?"
Aku mengangguk. "Mau ikut?"
Baskoro mengangguk.
"Ya, udah. Ayo."
Baskoro membereskan mejanya dan mematikan monitornya kemudian beranjak.
"Kenapa nggak bawa bekal lagi? Kesiangan lagi?" ledekku.
"Cuma lagi males."
"Oh.. Kirain. Percaya, deh, yang abis gajian." ledekku lagi.
"Ini makan di tempat biasanya, kan?". Suara Baskoro terdengar sedikit antusias.
"Cocok, ya, makan di sana?" selidikku.
Baskoro mengangguk.
"Enggak, ah. Bosen." jawabku. "Mau ganti suasana."
Ia terlihat sedikit kecewa.
"Tapi di sana suasananya enak, kok. Beneran, deh." aku meyakinkan. "Tapi emang agak jauh, sih."
Baskoro sepertinya tidak mempersoalkan lagi masalah itu. Tak bermaksud ingin berduaan dengan Baskoro, tapi memang kebetulan kami ke sana hanya berdua, karena karyawan yang lain makan di tempat biasanya.
Sebenarnya aku lebih menyukai menikmati makan di sini daripada tempat yang biasa kukunjungi. Selain harganya yang sedikit lebih murah, pemandangan tepi waduknya juga menenangkan. Pilihan makannya juga lebih variatif. Hanya saja karena memang jaraknya yang lebih jauh, karyawan di kantorku lebih memilih untuk pergi ke warung yang letaknya persis di belakang gedung kantor. Aku masih ingat saat Teguh, satpam di kantorku, kena tegur gara-gara terlambat kembali ke posnya sekembalinya dari tempat ini.
"Ini tempatnya?" Baskoro meyakinkan dirinya.
"Yuhuu!!" seruku sambil melepas helmku. "Lu mau makan apa? Di sini ada soto, rawon, nasi goreng, pecel, nasi uduk." jelasku sambil menunjuk beberapa spanduk warung-warung yang berjajar di pinggiran waduk.
Baskoro tak segera menjawab.
"Bingung, ya?" ledekku. "Kalo gue, sih, lagi pengin makan pecel."
"Aku ikut, deh." Baskoro tampak tak yakin.
"Yakin doyan?" ledekku lagi. "Gue nggak tanggung jawab, ya, kalo lu muntah."
"Aku omnivora." Baskoro menggunakan istilah dalam Biologi.
"Dengan tubuh seramping ini?" tanyaku tak percaya.
"Omnivora bukan berarti aku makan banyak." jawabnya sinis.
Kami memilih duduk tepat di tepi pagar waduk yang masih masuk ke dalam 'teritori' warung pecel ini. Angin semilir dan bau air seakan menyambut pecel yang kami pesan.
"Yang bikin gue seneng makan pecel di sini, tuh, rempeyeknya boleh ambil sendiri." ucapku sambil menarik toples rempeyek di pojokan meja dan mengeluarkan isinya.
"Ini, mas, pecelnya." Dinda meletakkan dua piring pecel ke meja kami.
"Makasih, ya, Din." aku membalasnya dengan senyum.
"Minumnya kaya biasa, mas?" tanya Dinda meyakinkan.
Aku mengangguk.
"Kalo masnya?" Dinda mengarahkan pertanyaannya pada Baskoro.
"Es teh tawar, mbak." jawab Baskoro sigap.
"Oke. Tunggu, ya." pamit Dinda.
"Sesering itu kah hingga kau hafal namanya?" Baskoro menyelidik.
"Dari awal gue kerja di sini." kelakarku.
"Berapa lama?"
"Dua tahunan, lah."
"Ini, mas." Dinda datang lagi dengan gelas minuman kami.
"Makasih, ya, Din." sekali lagi aku membalasnya dengan senyum.
"Namanya Dinda. Dia ikut ibunya jualan di sini." aku menjelaskan
"Dia nggak sekolah?" selidik Baskoro.
"Baru lulus SMU tahun kemarin." jawabku. "Makan?"
"Oh.. Oke."
Kami mulai menyendoki nasi pecel di piring hingga habis. Sesekali aku menyeruput minumanku untuk melegakan tenggorokan.
"Gimana?" tanyaku.
"Apanya?" Baskoro bertanya balik.
"Makanannya." aku mendetail.
"Ya.. Begitulah."
"Lu memang selalu begini?"
"Apanya?"
"Oke. Setelah ini gue janji nggak bakalan mau lagi ngomong sama orang kaya elu lagi." ucapku sinis. "Din!" panggilku.
"Jangan!" cegahnya cepat.
Aku menyodorkan gelasku saat Dinda sudah datang. "Nambah minum, dong." ucapku sedikit melunak.
"Aku hanya tak mau ada yang tersakiti dengan ucapanku." ucap Baskoro lirih. "Dan aku juga hanya memastikan bahwa aku tidak sedang berbicara dengan orang yang salah."
"Great job."
Suasana mendadak hening setelah ucapanku yang terakhir. Hingga akhirnya Dinda datang memecah suasana dengan gelas di tangannya.
"Gimana rasanya jadi anak kos?". Aku berinisiatif memulai lagi pembicaraan saat gelas keduaku sudah kosong.
"Ya begitulah." jawabnya singkat. "Ya.. Kau bangun tidur sendiri, tidur sendiri, melakukan apapun secara lebih mandiri." ralatnya segera.
"Sepi sekali hidupmu."
"Seharusnya begitu"
"Seharusnya begitu?"
"Aku sudah terbiasa menyepi" jawab Baskoro.
"Gitu banget, ya?" cibirku.
Baskoro mengangguk.
"Kenapa gitu?"
"Begitulah"
"Oke." ucapku datar
Baskoro tersenyum simpul. "Bagaimana denganmu?"
"Gue? Hidup gue sama, lah, sama yang lain." jawabku diplomatis.
"Itu tidak menjawab pertanyaanku."
"Gue tinggal sama nyokap. Bokap udah koit pas gue baru semester tiga." aku mendetail.
"Turut berduka."
"Biasa aja, lagi. Udah berapa tahun lalu juga." kelakarku.
"Lalu?"
"Ya karena nyokap waktu itu jobless, ya, akhirnya gue ikutan mikir gimana caranya biar kuliah gue bisa beres tanpa perlu terlalu ngerepotin dia."
"Berarti sebelumnya kau bergantung dengan uang ayahmu?"
"Bukankah mayoritas anak juga begitu?"
Baskoro hanya tersenyum sinis.
"Kembali sekarang?"
Baskoro mengintip ponselnya sejenak, "Yap." jawabnya singkat.
"Omong-omong, gue belum punya nomor telepon lu." ucapku sambil memberikan komunikatorku.
Baskoro menerimanya dengan ragu. Sesaat ia menekan keypad ponselku beberapa kali dan menyerahkannya kembali padaku.
"Udah disimpen?" aku memastikan.
Baskoro hanya mengangguk pelan.
Aku memandanginya heran.
"Bu, udah." ucapku pada penjual pecel yang tak lain adalah ibunya Dinda sambil menyerahkan sejumlah uang.
"Mau nyetir?" aku menawarkan kunci sepeda motorku pada Baskoro.
Baskoro menggeleng cepat.
"Lu nggak bisa nyetir?" cibirku.
"Bisa." jawabnya cepat. "Hanya saja berat tubuhmu pasti dua kali lipatku. Kakiku tak akan mampu menahan beban kita."
"Sialan" umpatku datar.