It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
***
Alkisah, bumi Padhus adalah tanah suci yang merupakan tempat pijakan Sang Guru ketika menciptakan realita, ruang, waktu, dan surga. Atas kehendak Sang Guru, siapapun yang mendiami tanah suci ini akan diberikan restu, keberkahan, dan kelimpahan sepanjang usianya. Sang Guru menitahkan pada dua bersaudara, Orca, sang penguasa air, dan Qy, sang penguasa api, untuk menjaga tanah suci sepeninggal Sang Guru.
Tahun berganti dekade, dekade berganti milenia kedamaian di bumi Padhus senantiasa terjaga. Hingga suatu ketika, Anggra Si Pembisik, menghasut masing-masing dua bersaudara tersebut untuk bertikai menentukan siapa penjaga utama dari bumi Padhus. Sejatinya kedua bersaudara ini memiliki perasaan tak mau kalah satu sama lain yang lalu dimanfaatkan oleh Si Pembisik. Pertikaian keduanya berlangsung maha dahsyat, menciptakan kehancuran yang tak terselamatkan bagi seluruh penghuni bumi Padhus.
Menyaksikan hal tersebut, Sang Guru sangat murka pada kedua bersaudara itu dan mengutus tiga putera nya: Aria, Sva, dan Vajra, untuk meredakan pertikaian mereka. Karena kesaktian Orca dan Qy, tiga putera Sang Guru membutuhkan ribuan tahun lamanya sebelum akhirnya dapat mengalahkan mereka. Sang Guru yang welas asih memberikan pengampunan pada keduanya, mengabulkan permintaan mereka untuk menjalani hukuman abadi di tempat terdekat dengan bumi Padhus yang mereka cintai lebih dari apapun. Konon, Orca dipenjara jauh di dasar laut Erann yang mengelilingi bumi Padhus, sedangkan Qy, dipenjara dalam perut gunung berapi Marapi yang berada persis di tengah bumi Padhus.
Sang Guru memerintahkan ketiga puteranya untuk berdiam di bumi Padhus, menjadi penjaga baginya, memastikan kedamaian penghuninya, dan mencegah pertikaian kembali terjadi antara Orca dan Qy. Ketiganya diberikan bagian tanah yang sama besarnya dari bumi Padhus, membelah tanah suci menjadi tiga bagian serupa busur yang terrenggang. Ketiganya memerintah daerahnya masing-masing dengan bijaksana. Kedamaian pun kembali di bumi Padhus, tanah suci yang diberkahi, hingga waktu yang dijanjikan, untuk kembali bersua Sang Guru dalam keabadian.
***
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Saya hendak berbagi kisah fiksi bertema fantasi kolosal, ini cerita pertama saya dari imajinasi semasa kecil yang coba saya sempurnakan seiring bertambahnya usia hehe. Saya belum tahu cerita ini akan berkisah hingga berapa chapter tapi sudah ada gambaran alur ceritanya semoga bisa dinikmati. Sehubungan dengan kesibukan saya usahakan untuk meng-update cerita tiap seminggu sekali selambat-lambatnya 2 minggu tiap hari sabtu atau minggu. Saya sangat terbuka dengan kritikan maupun saran terutama untuk bahan pembelajaran dan perbaikan saya. Karena ada beberapa istilah yang mungkin kurang familiar, silakan ditanyakan ya kalau kurang paham. Ohya hampir lupa,
Terakhir selamat menikmati dan berkomentar.
Best Regard.
Nimo.
Sepanjang sejarahnya sudah banyak Maharaja yang kukagumi diangkat sumpah di tempat yang sama. Maharaja III misalnya, Anombiwa, dikisahkan sangat perkasa, dia mampu membangun Candi Agung Rawalu dalam waktu semalam saja! Lain lagi Maharaja V, Maendra. Kecerdasannya menyudahi pertikaian tiga Padas dengan lahirnya Codex, aturan ketatapadaan dan perjanjian damai yang berlaku mutlak tak terbatas tak berkesudahan. Tidak lupa Maharaja VII, Quiroga, dia adalah pelayar tangguh penggagas perahu kebanggan Ariapada, perahu Punjul, sekaligus orang pertama-dan satu-satunya-yang mampu menembus cakrawala dan kembali dengan selamat.
Tetapi favoritku dari semua itu jelas Partaya, Maharaja X. Dia mungkin tidak sekuat Anombiwa, tidak secerdas Maendra, juga tidak seberani Quiroga, tapi rakyat mencintainya lebih dari diri mereka sendiri, demikian juga sebaliknya.
Suatu ketika saat musim kemarau terpanjang dalam sejarah Ariapada, Partaya bertolak seorang diri menembus Terusan Anak Marapi di hulu sungai Kukurikan. Terusan itu merupakan satu-satunya jalan menuju puncak Gunung Agung Marapi. Jalan yang tak lagi ramah bagi makhluk hidup, lebih-lebih manusia. Empat purnama lamanya dia tak kembali, semua sudah putus asa, orang bilang dia pasti lah sudah gila, atau bahkan mati, kesedihan menyemut di raut setiap orang. Malam berikutnya semua orang di Ariapada memimpikan hal yang sama, bahwa Partaya akan kembali pada purnama ke-lima dari cakrawala. Begitu berturut-turut setiap malam, tanpa terkecuali, entah itu bangsawan, perompak, tua bangka, hingga anak-anak. Tanpa disadari malam purnama ke-lima, ribuan orang sudah menyesaki pantai sekitar Delta Mas, bertaruh pada dirinya sendiri, nubuat yang sulit dipercaya akankah menjadi nyata. Dari lepas pantai di kejauhan, tampak sebuah sampan kecil dengan seorang compang-camping kelelahan mendayungnya menuju pantai. "Puji Sang Guru! Itu Partaya!" Pekik orang-orang dalam kerumunan. Partaya kembali,
Hujan tumpah tak kenal henti,
Seperti menangis tersedu,
Menyambut pulangnya Maharaja terkasih.
Derit roda-roda kayu Glugu berhenti berujar, seiring lamunanku yang terbuyar. Sampai sudah iringan panjang ini tepat di depan gerbang kembar Balairung. Sesosok wajah yang familiar turun dari kudanya di ujung barisan. Seperti Selat Merah terbelah oleh kuasa Sang Guru, barisan Daffadar beraturan merapat ke kedua sisi, menyisakan jalan terbuka baginya hingga tepat di hadapanku. Dia berjalan mendekat dengan pandangan tertunduk hormat. Rambut ikalnya terkuncir rapih di atas ubun-ubun. Badannya tegap dengan langkah yang penuh percaya diri, seolah menasbihkan kepantasannya sebagai Prima Daffadar, bercirikan dua chevron emas yang melingkar di kedua lengan besarnya.
“Kita sudah sampai Kanjeng Gusti Maharaja,” ujarnya sambil berlutut pada satu kaki.
“Aku bisa lihat sendiri,” selorohku.
Air mukanya berubah merah padam, dia tampak berdeham untuk menghilangkan kegugupan. Dia condongkan tubuhnya ke arahku.
“Kalau kau mau buat aku malu, sekarang bukan saat yang tepat!” bisiknya masih dengan nada di-resmi-resmi-kan.
“Baiklah, aku mengerti kok apa yang harus dilakukan selanjutnya, hafal lebih tepatnya,” kulangkahkan kaki cepat-cepat meninggalkannya, berhenti sejenak, berbalik, “secara teknis, dalem belum seorang Kanjeng Gusti Maharaja, wahai Gusti Prakosa.” Mukanya kembali merah padam, sudah lama semenjak aku panggil utuh namanya.
Kedua dayang terhuyung-huyung mengikuti langkahku menaiki anak tangga demi anak tangga. Dayang di kanan tampak kesulitan menggenggam gagang panjang payung dari mahoni krem, bentuk payung itu jauh dari proporsional, lebih terlihat seperti jamur lily, hanya saja bertudung ungu dengan ornamen emas. Dayang di kiri terlihat cemas, berharap langkah terbatanya tidak menumpahkan isi air dari dalam tempayan tanah liat yang dibawanya. Di atas permukaan air itu tampak beradu tiga bunga indah, saling berebut untuk menjadi pusat perhatian.
Bunga Wendah memiliki enam buah mahkota berwarna putih gading ivory, ukurannya paling kecil dibandingkan dua bunga lainnya, bunga musim semi ini hanya tumbuh di Ariapada saja. Bunga kedua adalah Rotunjere, beberapa orang juga menyebutnya bunga kematian, warna kelima mahkotanya berbentuk sekop cokelat kemerahan auburn hanya tumbuh di daerah gurun, spesifik pada lansekap Vajrapada. Bunga terakhir adalah bunga keabadian Kasmiree, khas dataran tinggi Svapada. Bunganya terdiri dari lapisan rapat mahkota berbentuk setengah bola berwarna biru langit cerulean. Keberadaan ketiganya secara bersamaan menandakan betapa penting dan sakralnya suatu peristiwa, seperti juga halnya saat ini.
Keriuhan di belakangku seketika memudar seiring tiupan terompet para Nayak di kedua ujung masing-masing tiga-tiga anak tangga. Sedari gerbang gading kembar yang termasyhur, ada total 96 anak tangga untuk mencapai Balairung. Magis bangunan kuno ini tak kalah memesona kala disandingkan dengan Patung Raksasa Vehemoth atau Candi Agung Rawalu sekalipun. Balairung tidak memiliki dinding, hanya sembilan lantai persegi yang dipisahkan oleh satu undakan bertinggi satu hasta masing-masingnya. Luasannya mengerucut secara eksponensial tiap lantainya, lantai paling dasar mampu memuat 400 orang lebih, sedangkan lantai paling atas hanya cukup untuk satu orang duduk bersila. Tiang-tiang kayu besi, legam nan kokoh setinggi belasan depa menopang langit-langit kerucut berlukiskan kisah keagungan Maharaja terakhir, Partaya.
Lukisan pada langit-langit Balairung akan diturunkan bersamaan dengan berakhirnya kepemimpinan seorang Maharaja, lebih banyak karena mangkat. Prestasi dan kisahnya akan dilukiskan secara kronologis hingga saat terakhirnya. Sejujur-jujurnya lukisan, pelukisnya tidak akan pernah tahu isi hati seorang yang dilukisnya. Kalaupun tahu pastilah dia robeknya lukisan itu, kalau perlu dia jebol langit-langitnya, seperti pernah Partaya sendiri katakan padaku,
Tetapi menjadi seorang Maharaja, kau tidak bisa sepenuhnya jujur pada dirimu sendiri. Kau harus berpikir untuk kepentingan orang banyak, bertindak untuk kemaslahatan satu Pada, seringkali harus mengorbankan prinsip lebih-lebih keinginan pribadi. Pun sesungguhnya aturan itu hanya dibuat-buat oleh Partaya. Master Dakka saja tak pernah menyebutkan ada aturan seperti itu, meskipun sejurus kemudian dia ralat.
“Kalau anda tidak jujur pada diri anda sendiri, bisakah anda bahagia, wahai Master?” tanyaku di salahsatu sesi kelas kami.
Master Dakka tersenyum kecil, “Ada kalanya nanti kalian akan menyadari bahwa kebahagiaan bersumber dari banyak hal, yang mana bisa berbeda untuk masing-masing orang.”
“Mmm, tapi Simbok selalu mengatakan bahwa berbohong itu tidak lah baik-terutama setelah saya kerap tertangkap basah menyelinap ke bukit lepas senja,” kekeh kakak-kakakku tak kuindahkan.
“Ada perbedaan mendasar antara tidak jujur dan berbohong, wahai Wiryateja, ketika anda seusia saya anda akan berkesimpulan yang satu,” jawab Master Dakka tenang.
“Apakah itu berarti juga ada perbedaan antara tidak berbohong dan jujur?”
“Tentu saja.”
“Bolehkah saya tahu?”
“Ketika kita tidak berbohong maka kita memiliki pilihan dan kita sudah memilih hal yang benar, kelak anda akan mengerti.”
“Tetapi, Partaya sepertinya tidak mempunyai pilihan untuk jujur?”
“Raden Mas Wiryateja, apakah sinuhun merasa sudah dewasa?”
“Ha? Belum, wahai Master.”
“Maka percuma bila dalem jelaskan karena Raden Mas belum akan mengerti,” suara kekeh kembali terdengar, walau tertahan. Aku pun hanya bisa tertunduk malu.
“Partaya adalah sosok Maharaja yang sangat dicintai oleh rakyatnya, tentu kalian pernah mendengar kisahnya yang meredakan kemarau panjang hanya dengan sebelah kakinya? Juga kisahnya menaklukkan Qy Sang Penguasa Marapi? Semua itu dia lakukan untuk kepentingan rakyatnya, apakah jauh di dalam hatinya dia enggan melakukan itu semua? Hanya Sang Guru yang tahu, yang perlu kita ketahui dan perbuatkan adalah meneladani kisahnya yang kelak akan terukir di langit-langit Balairung Gading, suka atau tidak suka,” lanjut Master menerangkan.
“Tentang lukisan itu wahai Master, kenapa saat ini langit-langit Balairung putih saja?” selaku memberanikan diri.
“Berhenti menanyakan hal yang sama terus-menerus, Teja!” seru Master menghardik. Dahinya mengerut menampakkan emosi. Ketenangan hilang tak berbekas dari nada suaranya. Aku kembali tertunduk, demikian juga ketiga kakakku.
Keheningan memenuhi ruangan beberapa saat. Master Dakka tampak berusaha mengatur kembali emosinya. Dia menyudahi kelas hari itu secara sepihak. Ketika aku hendak mempersilahkan diri menyusul ketiga kakakku, bisa kudengar Master berujar lirih pada dirinya sendiri, “Mereka yang tersesat, tak perlu lagi diingat, tak perlu lagi dikenal, tak perlu lagi diakui.” Sejak saat itu aku berhenti bertanya, berhenti mencari tahu, mengubur keingintahuanku rapat-rapat. Aku anggap itu salahsatu bentuk pengorbanan, dibayar oleh waktu yang tertunda, terlunaskan oleh kedewasaan, kelak saat usiaku 20 tahun, saat aku dipandang cukup untuk memahami.
Anak tangga terakhir telah kupijak, kepalaku mendongak pada kerumunan orang bersimpuh pada lututnya. Mataku tertuju lurus pada puncak balairung, singgasana yang telah kosong untuk delapan tahun itu akan segera kembali terisi. Perhatianku teralihkan pada tepukan lembut di bahu kanan, itu Simbok-ku. Mbok Patima menggenggam tangan kananku dengan kedua tangan rentanya. Ditepuknya punggung tanganku sambil tersenyum bangga bercampur haru, matanya basah, tapi ditahannya untuk tidak menetes. Kugenggam kedua bahu Simbok, menariknya jauh ke dalam pelukanku. Tepukan lembutnya kali ini kurasakan di punggungku, memberikanku kekuatan baru.
Dayang di kiri maju mendekat, menyodorkan tempayan tanah liat yang sedari tadi dibawanya, seolah mengingatkan masih ada tugas menanti. Simbok mencelupkan kedua tangannya dan membasuh mukaku. Air yang seharusnya dingin itu terasa hangat menyentuh kulitku. Dibasuhnya mukaku dengan kain Rokan, tak dibiarkannya setetespun tersisa. Selanjutnya dia basuh kedua tanganku dan menyekanya lagi. Terakhir, dia jatuhkan tubuhnya serendah yang dia bisa, seolah menghamba padaku, bahunya tampak bergetar saat jemarinya membasuh kedua kakiku. Kualihkan pandanganku ke depan, kuacuhkan perasaan haru di dada.
Kulangkahkan kaki perlahan, selangkah demi selangkah, menjauh dari mana Simbok berada, semakin masuk, semakin tinggi mendekat ke singgasana pualam Balairung. Karpet ungu amethyst jadi penunjuk jalan sejak dari gerbang gading, terhampar begitu saja di tanah, lurus tak kenal belok tak pula putus, mengikuti kontur tanah yang berundak-undak. Kuabaikan ratusan pasang mata yang menghakimi setiap gerik. Di undakan ke-delapan dalam balairung menunggu Mahapatih Samas, kedua tangannya sudah memegang mahkota emas bertatahkan kristal warna ungu. Aku berhenti beberapa langkah di hadapannya. Suara terompet menghilang begitu saja, membawa keheningan di puncak bukit. Tak ada suara serangga, hanya angin berkejaran, menggoyang helaian daun tak berdosa.
“Hari ini langit cerah tanpa kelabu!” Pekik Samas memecah kebisuan. “Srengenge terbit dari peraduannya tanpa keraguan, tekukur berkicau penuh suka cita, pepohonan berbisik saling berkabar gembira,” lanjutnya penuh makna.
“Wahai segenap rakyat Ariapada yang dalem banggakan, juga utusan tetangga yang kepadanya dalem haturkan salam. Hari yang dijanjikan telah tiba. Hari yang telah tertunda delapan tahun lamanya. Hari yang sudah kita bersama nantikan, untuk kembali terisinya singgasana tertinggi Ariapada,” nada suara Mahapatih terus memuncak.
“Atas seijin Sang Guru, mendekat ke hadapan dalem, wahai Wiryateja putera Partaya putera Adibrata!” perintahnya klimaks dalam satu hela nafas.
Sedikit tersentak, aku beranikan mendekat padanya hingga sekiranya kami berhadap-hadapan. Mataku masih tak berani menatap wajah Samas, menunduk, mengamati beda satu hasta tinggi pijakan antara aku dengannya. Aku tajamkan pendengaranku, memastikan tak satupun instruksi Mahapatih yang aku lewatkan.
“Mulai saat ini hingga waktu kisahmu menggantikan lukisan di langit, tak perlu lagi kau merendahkan pandanganmu pada siapapun,” lirih Mahapatih kali ini halus penuh kasih, seperti seorang Bapak memberi wejangan pada puteranya. Perlahan aku alihkan pandangan dari lantai pualam, menimang-nimang ekspresi mengintimidasi apa lagi yang dia akan beri padaku setelah selama ini, hanya untuk membuatku terperanjat pada senyum hangat yang tersungging memenuhi wajahnya. Untuk kali pertama.
Mahapatih Samas selalu keras padaku, apalagi sejak delapan tahun lalu ketika aku “mengacau” di rapat tinggi di Bale Gedhong. Perawakannya jangkung dengan jari-jari kurus penuh keriput. Usianya sudah lebih seratus tahun, berubah keperakan semua rambut di kepalanya, bahkan hingga kedua alisnya sekalipun. Jalannya gontai kadang terbata, tapi nafas dan pemikirannya tetap prima. Menjadi Patih untuk Maharaja tiga generasi, belum pernah ada yang menyamai.
“Berbaliklah! biarkan rakyatmu melihat rupa Maharaja mereka.” Aku mematuhi perintahnya begitu saja, tanpa bantahan, tanpa keraguan.
Semua rambut di kulitku serasa berdiri, sensasi berada di tiga lantai puncak Balairung jauh lebih mengesankan dari bayanganku selama ini. Aku coba menguasai diriku sendiri dari gairah yang menghanyutkan. Satu dua hembusan nafas sedikit membantu. Aku beranikan menatap ke sekeliling, sedalam apapun aku menggali ingatanku, belum pernah aku kira Balairung sepenuh sesak sekarang ini.
Puncak Balairung adalah singgasana pualam kepunyaan Maharaja seorang. Selama delapan tahun terakhir sejak mangkatnya Partaya pada hari terkutuk itu, singgasana dibiarkan saja kosong. Mahapatih lah yang selama delapan tahun ini menggantikan peran Partaya sebagai pemimpin Ariapada hingga salahsatu keturunannya yang terpilih dipandang mampu, atau setidak-tidaknya setelah dia menyelesaikan tiga upacara kedewasaan. Sepanjang sejarah belum pernah ada posisi Mahapatih memerintah Ariapada, sejatinya Patih “hanya” berperan sebagai penasihat utama Maharaja. Sayangnya, sebelum sempat Partaya memilih penggantinya, dia lebih dulu dipanggil Sang Guru. Meskipun aku kemudian terpilih menjadi Maharaja ke-sebelas, tapi karena usiaku yang baru genap dua belas tahun ketika itu maka diciptakanlah posisi Mahapatih yang, seperti seorang Patih, hanya berhak menempati pualam kedua Balairung.
“Hari ini dan seterusnya,” aku rasakan bayang-bayang di atas kepala, aku mengejap berkali-kali, memastikan semua ini bukanlah mimpi.
Demi Bumi Padhus dan keanggunannya yang abadi,
Demi raksasa penguasa gunung dan lautan,
Melagukan harapan dan ke-ridho-an,
Maharaja kami hingga batas senja,
Pemimpin yang amanah dan panutan,
Rakyatmu memuji menyilangkan dada,
Beriring berarak mengikuti,
Bertameng badan menjagai.
Gemuruh senandung seisi Balairung mengguncang badan. Aku rasakan beban tak terkira disematkan di kepala. Di sudut mata tampak Kosa memalingkan wajahnya dariku, menyembunyikan haru yang kentara. Mbok Patima berekspresi antara senyum gembira dan tangis haru, susah dipastikan. Master Dakka melingkarkan tangan pada bahu Simbok, menjaga badannya agar tetap tersadar, memastikan hari tuanya jadi saksi. Dia bertepuk sembari mengangguk penuh bangga ke arahku, kubalas dengan senyuman kecil di sudut bibir.
Kulangkahkan kaki berkeliling, menabuh senyum dan hormat pada seisi ruangan. Sejenak pandanganku tertawan pada sosok wanita tinggi berkebaya serba hitam. Dihaturkannya tabik hormat ke arahku, diluar itu masih bisa kurasa kecewa, tidak suka, tidak adil, berkecamuk menghias air mukanya. Sahasika, istri pertama Partaya, Ibu tiriku. Gelar Maharatu-nya berakhir hari ini seiring kenaikanku, tapi aku yakin dia lebih ingin mendongakkan kepala pada salahsatu anak kandungnya saat ini, bukannya aku. Duduk bersila disamping kanan sang Maharatu adalah putera ragil-nya, Jasma. Dua yang lain tak bisa kutemukan.
Kuakhiri seremoni kembali ke awal putaran, tepat di hadapan Samas. Diraihnya kedua bahuku, seperti berusaha mengangkatku, aku terima isyaratnya. Aku ambil satu langkah menaiki undakan, kali ini kami berpijak pada pualam yang sama. Samas seketika itu pula menundukkan pandangan, bersimpuh seperti yang lain. Aku tinggalkan dia dan melanjutkan langkah menuju pualam terakhir. Ini kali pertama aku menatap singgasana songo, hanya para Maharaja dan Patih-nya yang mungkin bisa menikmati pemandangan ini. Langkah terakhirku menaiki undakan seperti selamanya, sensasi dingin lantai pualam membanjiri kesadaran.
Singgasana tertinggi-juga dalam artian yang sebenarnya-di Ariapada. Singgasana pualam songo Balairung Gading Astanagari yang tersohor. Dan kini aku duduk bersila di atasnya.
“Hari ini,” seruku pada ratusan pasang mata yang mendongak.
“Bukan tentangku! Bukan kepunyaanku! Bukan kuasaku!”
Aku tatap sejenak kerumunan, antusias menunggu lanjutan.
“Hari ini, adalah tentang kita. Kepunyaan kalian rakyat Ariapada. Atas kuasa Sang Guru yang Maha Agung,” sambungku merendah sambil memainkan jemari di udara.
Tepukan dan siulan membahana di seluruh Balairung, menggema hingga ke balik Thuraya. Kabar menyebar cepat bak api melalap belantara. Aku lah Wiryateja putera Partaya putera Adibrata, tiyang Aria panggulu Sang Guru, Kanjeng Gusti Maharaja XI Ariapada.
@kikyo bacanya sampe senyum2 sendiri haha. Kalau setting daerahnya terinspirasi sama salahsatu provinsi di jawa, tapi ga seratus persen sama sih. Untuk updet kurang dari seminggu sekali masih dipertimbangkan ya bro, maklum penulis pemula, takutnya malah bikin kecewa. Nah perkara kamus kecil itu sebenarnya kemaren sempat kepikiran untuk tengah pekan saya buat semacam informasi sampingan pendukung cerita, lebih seperti kamus ensiklopedi istilah yang perlu dijelaskan untuk membantu imajinasi pembaca. makanya saya perlu masukan juga yang kira-kira perlu penjelasan hehe.
Kalau ga keberatan silakan dibaca update hari ini, semoga bisa jadi bacaan yang bermanfaat menutup waktu liburan.
Best Regard.
Nimo
Sisa-sisa pesta masih membekas di kepala, rasa pening dari tenggakan arak belum jua hilang. Aku ambil salahsatu obor di dinding terdekat, melangkahkan kaki beranjak dari lorong temaram. Cahaya purnama menerangi lantai kusam, menuntun jalan keluar dari Graha. Seorang Narak baru tertidur pulas di pos jaganya, mencabangkan hati pada kemungkinan tak perlu memanjat jalan biasa. Kubawa langkahku berjinjit menjauh, mengitari alun-alun kota, memotong masuk ke hutan gelap, menghindari pandang orang yang sekiranya terjaga.
Napasku sedikit tersengal mendaki jalan setapak tanpa petunjuk arah. Sudah terlalu lama badan ini tak dilatih, terlalu disibukkan aku dalam perayaan penasbihan. Usai penobatan di Balairung Gading dua minggu yang lalu, keriuhan berlanjut ke dalam Graha. Setiap malam selalu ada saja penamu dengan membawa segala macam upeti. Selalu saja ada alasan terdahului kokokkan ayam untuk bangun pagi. Entah itu rapat hingga larut di Bale Gedhong, mengkaji surat-surat penting dengan Patih, atau menjamu kerabat dan utusan, berdalih mengucapkan selamat sambil membawa puteri tercantiknya, tentu saja dengan maksud lain.
“Sekarang setelah penobatan, belum lah laik kau seorang Maharaja tanpa sosok Maharatu yang mendampingi,” nasehat Patih Samas menggurui. Tak habis pikir dibuatnya aku oleh si tua bangka itu, hanya dia-dan Mbok Patima mungkin-yang seperti tak menganggapku seorang Maharaja. Masih seolah anak-anak aku di mata dia tampaknya.
Sekarang dengan titel baru di depan namaku, mana bisa aku membantah. Aku iyakan saja tiap ajakan makan malam, sudah tiga kali seingatku, tapi tak satupun aku melempar tanya pada para gadis di seberang meja. Tak bisa dipungkiri mereka semua berparas ayu, dengan tata krama yang terjaga nan santun, belum lagi status puteri para Panggede di daerah asalnya masing-masing. Tapi belum mau hati ini terbuka untuk mereka. Entah belum saatnya atau yang lain.
Berkas cahaya bulan menyelinap dari celah pepohonan di ujung jalan setapak. Semakin dekat langkahku pada tujuan, semakin keras irama dibalik dada. Ketika kusibak belukar yang menghalangi, tampak sosok punggung bidang tengah duduk di puncak bukit. Kuhampiri sosok itu sambil mencari alas duduk berdekatan. Kami tak saling berucap, tak saling bertatap, hanya kepulan uap dari tarikan napas.
“Menikmati waktumu jadi seorang Prima?” tanyaku padanya.
Bibirnya manyun sebentar. Dia pandang aku lekat, hampir-hampir salah tingkah dibuat.
“Coba kupikir, lebih sering berjumpa Bapak, lebih lama berkutat di dalam ruangan, lebih sering bicara di depan orang, *jauh* lebih banyak tanggung jawab,” jawabnya sambil berhitung dengan jari. “Selama masih belum pecah kepala kurasa,” sambungnya sambil tertawa ringan.
Aku tersenyum saja mendengarnya.
Aku dan Kosa selalu menyelinap ke tempat ini sedari kami kecil. Entah itu untuk bersembunyi dari ketiga kakakku ketika tak umpet, atau sekadar melahap hasil curian dari dapur Mbok Patima. Kami akan habiskan sisa senja, diam menatap sang surya tenggelam di balik Thuraya. Kosa selalu ingin bertahan hingga malam guna memandang bintang, tapi selalu gagal karena tak lama Bapaknya, Yodha, akan datang dengan sejuta omelan. Yodha adalah Prima Havaldar, sudah semenjak Partaya naik tahta. Tugasnya menjadi penasehat Maharaja di bidang militer serta membawahi semua kekuatan militer Ariapada, dari infanteri Havaldar, prajurit adat dan keseharian Nayak, hingga pasukan khusus Daffadar. Bisa dibilang orang paling berpengaruh ketiga di seantero Pada. Perawakannya tinggi besar, dengan kepala plontos dan bekas codetan luka menghiasi wajah. Gigi depan Yodha hanya sisa beberapa, dia bilang itu hasil pertempuran dengan raksasa Marapi, kami tak pernah percaya.
Ketika Kosa dikirim untuk belajar militer ke Vajrapada saat usia kami sama-sama 14 tahun, aku kehilangan alasan untuk menghabiskan waktu di bukit ini. Kira-kira setahun yang lalu dia kembali dari belajarnya, setelah lima tahun lamanya. Badannya jadi jauh lebih besar, otot menjuntai dari sudut-sudut tubuhnya. Tatapannya lebih tajam dari sebelumnya, suaranya pun jadi lebih berat. Tapi Kosa yang kukenal tak pernah berubah. Jauh di dalam dia masih sosok anak kecil yang gemar mengejar serangga, meskipun menghabisi beruang hitam seorang diri pun aku yakin kini dia bisa.
“Bagaimana denganmu, Teja?” tanya Kosa sambil asyik mencoret-coret tanah lembab dengan sebatang kayu patah.
“Menjadi Maharaja? Aku sudah tahu dari delapan tahun yang lalu.”
“Bukan. Aku dengar banyak penamu singgah membawa upeti. Tak sedikit yang membawa puteri tercantiknya turut serta bukan?” timpal Kosa meralat.
“Oh itu,” balasku canggung. “Tak ada yang menarik.”
“Masih saja karibku Teja Si Pemilih ini, mau aku kenalkan dengan kerabatku saat belajar militer?” saran Kosa spontan.
“Perempuan kah?” tanyaku sedikit curiga.
“Pertanyaan macam apa itu Teja? Pasti lah perempuan, tak ingat kau apa yang tengah kita bahas?” tawa Kosa meledek.
“Bukan itu maksudku, Kau ini. Baru dengar aku ada wanita turut serta belajar militer. Hingga ke Vajrapada pula, mau jadi petinggi dia rupanya,” jawabku sambil berkelakar.
“Iya, kaget pula aku dibuatnya, bahkan salah seorangnya pernah ka..” dia menahan bicaranya, seperti menakar akankah menyesal dirinya bila terucap, “tak lah, tak jadi kulanjutkan.”
“Kau dikalahkan seorang wanita?” tanyaku sumringah, “Seorang Prakosa, pembunuh serigala bermata darah, putera Yodha, Prima Daffadar Ariapada, disungkurkan oleh seorang pembawa susu.”
“Kau ini ya,” Dipitingnya leherku sambil dia poles kepalaku keras-keras dengan kepalannya. Itu istilahnya untuk jitakan halus dengan buku-buku jari tengah sembari tangan terkepal. Sakitnya bukan main, hampir menangis aku dibuatnya saat dia contohkan pertama kali. Tapi juga yang terakhir, setelahnya polesan itu tak lebih dari jentikan pada ubun-ubun, mungkin dia iba melihatku meringis kala itu. “Ampun, ampun,” pintaku tak berdaya. Kosa melepas pitingannya, lalu kami tertawa bersama.
Sejak setahun lalu Kosa kembali, kita tak lagi punya waktu untuk bercengkerama menyaksikan senja. Dia sibuk dengan persiapannya menjadi seorang Daffadar, sementara aku disibukkan dengan tetek bengek menjadi Maharaja. Sekeras apapun aku berupaya, selalu ada saja yang menahanku seharian hingga mentari kembali terbenam.
Tanpa kusadari aku mulai berangkat tidur lebih cepat, dengan harapan aku bisa bangun lebih awal, menyelesaikan apa yang harus kuselesaikan, dan mengakhiri hari di atas bukit dengan Kosa. Jauh panggang dari api, tak satupun hari bisa kuselakan. Hingga di satu pagi, kasur berkelambu tak lagi bisa tenangkan pikiran, tak lagi bisa lanjutkan bunga tidur. Langkah kaki membawaku hingga bukit, betapa terkejutnya, kala kudapati Kosa sudah terlebih dulu menungguku disana, seterusnya, seperti juga hari ini.
Tak terasa langit sudah menampakkan semburat merah, pertanda akhir jumpa. Doaku untuk sahabat karib, semoga harimu menyenangkan, hingga perjumpaan esok hari, berceloteh berbagi kisah.
“Bagaimana menurut Anda rencana persiapan kemarau yang akan datang ini?”
Aku pikirkan masak-masak pertanyaan Patih Samas. Mataku segera tertuju pada hamparan peta Ariapada dari kulit kerbau di atas meja kayu jati besar persegi panjang. Aku miringkan kepala ke kanan berharap melihat suatu pencerahan. Jariku aku arahkan pada jajaran Bukit Thuraya yang mengarak di utara Astanagari, membentang ke Barat Daya hingga Gerbang Raksasa Partendra, juga ke arah Timur Laut di sebaliknya hingga hulu Sungai Kukurikan di kaki Gunung Marapi.
“Tak bisa kita gantungkan harapan pada laju Kukurikan sepanjang kemarau semata. Bencana untuk daerah yang jauh daripadanya,” gumamku seraya bertopang dagu.
“Coba sebutkan berapa sumber mata air yang kita punya?” tunjukku pada salahsatu penasehat.
“Se-semuanya wahai Kanjeng Gusti?” jawab salahseorang penasehat, Vivendra. Sedikit tersedak.
“Tentu saja. Sejak kapan kau berani beri Maharajamu informasi setengah-setengah,” gertakku angkuh. Vivendra tergeragap bisu, dalam hati aku terkekeh.
“Menghitung semuanya akan butuh waktu. Tapi dalem yakin penasehat Vivendra lebih dari mampu untuk mengatasinya,” ujar Patih Samas menengahi.
“Baik, kabarkan padaku segera. Juga laju keluarnya air, perkiraan luas daerah yang akan mampu dialiri, dan rencana peremajaan masing-masingnya, selesai dalam tiga bulan ke depan. Bisa kau, penasehat?”
“Sendika dawuh, Kanjeng Gusti,” jawab Vivendra mengamini. Wajahnya sedikit pucat.
“Kalau begitu segera atur rencana perjalanan dan bekal yang diperlukan. Aku berbicara denganmu, Bendahara Haryosoko.” Panggilku pada sosok pria paruh baya di ujung terjauh meja.
“Sendika dawuh, Kanjeng Gusti Maharaja,”
“Aku rasa cukup untuk hari ini, ada baiknya kita lanjutkan esok hari hal yang belum terselesaikan,” pintaku setengah memaksa. Senja sudah jauh terlewat, mungkin hari sudah hampir berganti. Tak ada yang membantah, toh semua dari kami butuh istirahat.
Satu persatu para penasehat dan petinggi meninggalkan ruangan sembari kuseruput teh hangat dari cangkir keramik putih telur mengilat. “Kau juga boleh beristirahat Yodha, aku rasa amanlah seorang Maharaja dalam Graha-nya sendiri,” ucapku pada pria tinggi besar di sudut kanan ruangan yang sedari tadi mengawasi. Dia hanya diam tak bereaksi, bahkan sekelebat senyum pun tidak.
“Nuwun sewu, Kanjeng Gusti Maharaja, kalau berkenan ada sedikit yang hendak dalem diskusikan,” sela seorang lagi dari dua penasehat yang baru aku angkat. Hidungnya mancung dengan paras rupawan, usianya tak jauh dariku hanya terpaut 2-3 tahun.
“Kau bisa tanggalkan formalitas itu, Jasma, aku masih saudaramu, kita tumbuh besar bersama kau ingat?” candaku yang sepertinya kurang ditangkapnya. Raut mukanya sangat serius, dengan sedikit gurat pucat dan kebingungan. “Tampaknya kau tak bergurau, ada apa gerangan?”
Matanya menyisir ruangan seperti ketakutan. Pandangannya berhenti pada sosok yang tinggal, Yodha dan Patih Samas. “Bisa menunggu lain hari Kanjeng Gusti Maharaja, sebaiknya Kanjeng Gusti beristirahat, nuwun sewu kelancangan dalem, dalem pamit undur diri,” ujarnya terburu-buru.
Aku mengernyit keheranan. Jasma berjalan cepat meninggalkan ruangan. Patih Samas tampak menyusul, tapi bukannya meninggalkan ruangan, ternyata dia hanya melongokkan kepalanya mengawasi koridor luar ruangan, seperti memastikan sesuatu.
“Sekarang Teja, ada hal penting yang harus kau tahu,” ujar Samas serius.
“Tak bisakah menunggu? Aku lelah. Dan panggil aku Kanjeng Gusti. Aku ini Maharajamu, kau sendiri yang meletakkan mahkota di kepala yang satu ini, ingat?” balasku jengkel. Sedikit kantuk berbicara juga.
Tua bangka itu sama sekali tak mengindahkanku.
“Sudah aman, Gusti Yodha?”
“Semua penjaga sudah dalem pindahkan Gusti Patih, juga dayang-dayang,” tegas Yodha. Air mukanya tak kalah serius.
“Ada apa sebenarnya ini?” Tanyaku sedikit panik, jauh lebih manjur mengusir kantuk ketimbang bertenggak-tenggak minuman hangat.
“Masuklah, kalian tak terlambat, kami baru hendak memulai,” Yodha mempersilahkan dua orang lain masuk ruangan mengikuti perbincangan yang entah apa ini tanpa persetujuanku. Master Dakka! Untuk apa dia ada disini pikirku dalam hati.
Aku semakin terperanjat ketika Kosa melangkah masuk mengikuti Master. Aku mengernyit padanya, Kosa menggeleng mengisyaratkan ketidaktahuan yang sama.
“Bisa kita mulai?” tutur Samas selesai melipat gulungan peta dan perkamen dari atas meja.
Aku dan Kosa saling tatap penuh curiga.
“Yang akan aku ceritakan adalah suatu kenyataan yang hanya segelintir orang hidup yang tahu, dengarkan baik-baik,” terang Samas. Mata tua nya yang biasa sayu tidak kali ini.
Aku terpaku pada kursiku di ujung berlawanan meja. Mengamati dengan seksama pada gerak-gerik Samas dan Yodha yang sudah memantik curiga sejak pagi. Aku siapkan belati di genggaman, sekiranya salahsatu dari dua orang itu berkomplot hendak meng-kudetaku, sudah kutikam bilah jantungnya terlebih dulu. Aku rasa mampu lah aku kalau hanya menghabisi si tua bangka, tapi Yodha.. lain cerita.
“Aku mohon maaf sebelumnya tak memberitahukan terlebih dulu. Kami sudah menimbang masak-masak, sekarang setelah kalian berdua cukup dewasa, kalian perlu tahu,” ujar Samas berbasa-basi.
“Tak perlu bertele-tele kau, Samas,” sela-ku tak nyaman.
“Teja,” Master Dakka menepuk bahu kiriku lembut, mengingatkanku untuk bersabar. “Kamu ingat langit-langit yang putih saja?” Terdiam aku mencerna pertanyaan Dakka.
“Maksud Anda langit-langit Balairung? Yang putih saja selama Bapak-ku berkuasa?”
Dakka mengangguk dalam. Dia nampak mengatupkan kedua baris gigi gerahamnya dengan keras hingga menonjol kesana kemari garis rahang pembatas raut sesal yang menghias air mukanya.
“Bukankah itu karena Maharaja IX mangkat jauh di awal kuasanya? Belum sempat dia berbuat apa-apa untuk Ariapada,” Kosa menimpali. Matanya menajam mencium ketidakberesan yang menghantui.
“Itu yang kalian percaya. Atau yang kami ingin kalian percayai,” Sosok diam di pojok ruangan akhirnya mengeluarkan suara beratnya. Yodha tidak menatap kami, pandangannya awas mengintip ke luar ruangan. Seperti memastikan bahkan tak seekor serangga pun mendengar percakapan kami.
Aku semakin mengernyit mendengar penjelasan Yodha.
“Namanya adalah Pargata,” ujar Samas. Penyesalan dan kesedihan nampak jelas pada wajah tertunduknya.
“Pargata putera Adibrata, Maharaja IX Ariapada.” Samas memejamkan mata mengambil napas panjang usai menyelesaikan kalimatnya. Seperti melepas beban berat dari kedua pundaknya.
Dakka memalingkan wajahnya dariku, seperti menghindar. Yodha menarik kursi lalu duduk dengan tangan mencengkeram kedua lutut. Pandangan matanya lurus ke bawah saja.
“Dia sosok yang sulit dipercaya,” gumam Dakka, sejurus kemudian larut dalam diam.
“Sosok yang mengagumkan,” timpal Yodha masih tak mengindahkan kami.
Samas terbatuk, dia paksakan jemari tuanya menuangkan isi cangkir membasahi kerongkongan, gemeretak cangkir kosong beradu keras dengan tatakan keramik, tangan gemetarnya kembali membatu di bibir meja.
“Pargata adalah anak yang cerdas luar biasa, anugerah Sang Guru untuk seantero Bumi Padhus. Hampir-hampir aku percaya ramalan kuno itu,” lanjut Samas.
“Sayang seribu sayang..”
“Obsesinya semakin hari semakin menjadi,” pungkas Samas sedikit tercekat pada akhir kalimatnya.
“Ramalan apa Gusti Patih?” tanya Kosa antusias. Aku yang tadinya setengah tak percaya jadi turut terbawa antusiasmenya.
“Hanya legenda kuno, Kosa, tak seorang pun yang benar-benar percaya,” sela Master Dakka, “Mari kita tetap pada bahasan yang utama, tak boleh kita siakan waktu yang ada, bila tak ingin tragedi terulang,” Master mengatupkan rahang sangat kuat hingga gemeretak gigi-gigi yang bersinggungan tertangkap daun telingaku.
“Kau benar,” sesal Samas menyudahi.
“Dia terobsesi menyatukan Bumi Padhus di bawah kuasanya, dia percaya dirinya lah Anak Yang Dijanjikan,” potong Yodha.
Belum sempat aku bertanya perihal Anak Yang Dijanjikan, Yodha bangkit dari kursinya. Pria setinggi empat hasta itu nampak bergetar pada bahunya.
“Aku percaya dia terlibat dalam pembunuhan Partaya,” ujar Yodha lirih berkesimpulan, matanya jauh menatap keluar jendela, kedua tangannya keras meremas lengannya sendiri.
Aku rasakan kantuk hilang tak berbekas. Mataku membelalak memenuhi rongganya, seketika itu emosi menyeruak dari pori-pori tubuh.
“Kau terlalu terburu-buru, Yodha!” bentak Samas kali ini setengah berdiri dari kursinya.
“Bagaimana lagi kau jelaskan seseorang menyelinap lolos dari kawalan seluruh prajurit Pada?! Lolos dariku?! Kalau bukan dia yang jauh tersesat!” balas Yodha tak kalah kerasnya.
Tensi seisi ruangan seketika meninggi. Kosa menyadari perubahan pada raut mukaku. Samar-samar aku dengar dia membisik menanyakan apakah aku baik-baik saja. Master Dakka yang duduk tepat di sampingku sedari tadi sudah lebih dulu membelai punggungku, tak perlu memandang untuk tahu simpati terlukis di wajahnya.
Suara jatuh tergabruk memecah canggung. Yodha terduduk pada tempatnya tadi berdiri. Kedua lengan besarnya mengatup menyembunyikan raut muka penuh luka.
“Penyesalan terbesarku,” suara parau terdengar dari balik bayang-bayang lengannya. “Aku biarkan Maharaja-ku mati di bawah pengawasanku sendiri.”
Ketidakberdayaan seorang Yodha mengembalikan kesadaranku.
“Tidak bisa dipungkiri Samas, Pargata lah yang paling punya alasan untuk itu,” sambung Dakka.
“Apa pun maksud kalimatmu itu Dakka. Kegilaan macam apa yang membawanya berjalan-jalan mengacungkan senjata pada saudara mudanya, kembali ke tempat yang menistakannya? Seperti menari-nari di dalam mulut buaya,” timpal Samas. “Itu bukan seperti Pargata yang aku kenal.”
“Dia tidak sendiri, ada sesuatu yang membantunya membalaskan dendam,” bisik Yodha seperti ketakutan.
“Kembali lagi kita. Tak habis pikir aku sosok tinggi besar ini begitu percaya pada takhayul,” cemooh Samas sarkastis.
“Kau tidak melihatnya sendiri Samas,” Yodha tampak tersinggung. “Omong-omong, dimana kau saat semua itu terjadi?” tanyanya penuh kecurigaan.
“Harus berapa kali lagi aku ucapkan agar kau percaya? Berhenti menuduhku yang bukan-bukan!” hardik Samas.
Samas memalingkan muka dan kembali menyeruput cangkir setengah kosong di hadapannya. Tegukan demi tegukan yang menelan kata-kata, menghindar dari perdebatan yang tak berkesudahan.
Bisa aku rasakan frustasi dan penyesalan dari tiga orang yang sedari kecil aku percayai sebagai orang-orang terbaik dalam bidangnya. Sosok-sosok yang aku yakin tak pernah punya seujung kuku pun kegagalan dalam hidupnya, selalu sepaham dalam setiap keputusan. Ketiganya tertunduk lemas di hadapanku, tak mampu bersolusi, tak lagi sependapat, menemui kebuntuan tak berujung.
Aku kumpulkan sedikit keberanian dan kejernihan pikiran untuk mengambil kendali situasi, “Percuma mendebatkan hal yang sudah lalu, kasus Bapak-ku sudah kadaluwarsa bertahun-tahun lamanya.”
Ketiga pria tersebut saling bertukar pandang. Seperti menakar siapa yang lebih berani untuk pertama berucap.
“Ada satu kekhawatiran Teja,” bisik Dakka lebih lirih dan hati-hati dari suara biasanya.
“Beberapa orang percaya penyerangan delapan tahun lalu ada hubungannya dengan Adipati Kostuba,” pungkas Dakka pendek. Ketegangan terpancar pada raut tiap wajah di dalam ruangan.
“Kalian juga?” tanyaku sambil mengedarkan pandang pada ketiga orang tersebut. Ketiganya hanya mengangguk perlahan, menyiratkan keyakinan berselimut ragu.
Tangan kananku menjangkau dahi yang berkerut berkeringat. Bila benar Adipati Kostuba ada kaitannya dengan ini maka masalah akan menjadi berkali-kali lipat besarnya. Kostuba adalah pemimpin tua nan kolot dari Kadipaten Bedjalen di ujung timur Ariapada. Bedjalen mencakup wilayah yang sangat luas dari utara berbatasan dengan hutan berkabut Kunjara di kaki gunung Marapi hingga pantai berbatu di selatan, luas wilayahnya nyaris separuh luas Ariapada sendiri. Ingatanku memutar satu-satunya memori yang aku ingat tentang Bedjalen, itu adalah saat usiaku tujuh tahun.
Samar-samar aku ingat saat kami melintasi Sungai Kukurikan melalui jembatan besar Paneruca. Bayang-bayang tiang pancang dan kepakan burung laut yang tersibak dari balik kabut kelabu sepanjang waktu. Melintasi kota-kota kecil sepanjang jalan tanah hingga Candi Agung Rawalu. Sayang saat itu rombongan kami tak pernah mencapai ibukota Bedjalen bernama sama di ujung tenggara, sebuah kota besar dengan latar belakang Gerbang Raksasa-nya, ekuivalen dengan milik Partendra di arah mata angin sebaliknya dari Astanagari.
“Dan menurut kabar Gusti Adipati akan secara khusus datang ke ibukota guna mengucapkan selamat atas penobatan dalem panjenengan, Kanjeng Gusti,” timpal Kosa memecah kebisuannya sedari tadi.
“Tidak untuk seminggu lagi Kosa,” sanggah Samas percaya diri. “Rombongannya baru akan berangkat malam ini, bertepatan dengan malam purnama.”
“Nuwun sewu Gusti Patih, tetapi anak buah saya sudah melihat rombongan panjang melintasi Paneruca sore dua hari silam. Bila tak ada aral berarti rombongan Gusti Adipati akan tiba lusa pagi sekali,” potong Kosa tanpa menghilangkan sedikit pun hormat.
“Apa orangmu bisa dipercaya, Kosa?”
“Lidah saya taruhannya Gusti Patih,” jawab Kosa tangkas tanpa jeda.
“Kau pikir untuk apa aku mengajaknya kemari, Samas? Kosa bisa kita andalkan untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, dia tidak seperti Prima Daffadar terakhir kau tahu,” ujar Yodha membela putera semata wayangnya itu.
Perdebatan masih berlanjut di atas meja tanpa tatak, tapi pikiranku melayang entah kemana. Sekujur tubuhku dipenuhi kekhawatiran, akan sama kah nasibku dengan nasib Bapak-ku? Pertanyaan itu terus saja bergema di dinding kepala. Kedua mataku tak bisa melepas imaji delapan tahun lalu, kala mata cokelat namun dingin Bapak-ku menatap kosong pada kami, basah darah merah bertetesan di lantai sekitar, sejurus kemudian desis tawa menakutkan seperti ular bercampur dengan tangis, mencipta harmoni kengerian yang takkan terlupakan.
Menunggu kelanjutannya