It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Maafkan aku, pak! Tapi aku berjanji akan bertanggung jawab atas jas dan juga kemeja yang anda pakai!” Jawab Charlie tak kalah cepatnya dengan kecepatan suara 100km/jam. Bahkan Darren hampir-hampir tak bisa mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Charlie.
Memang, Charlie punya kebiasaan buruk jika sedang takut ataupun gugup. Yaitu dia akan mendadak menjadi gagap, atau dia akan bicara sangat cepat saking takutnya.
Namun bukan itu yang menjadi persoalan bagi Darren. Tiga bulan yang lalu, Darren merasa dilecehkan oleh orang yang ada di depannya ini. Yang menelanjanginya secara tak sengaja dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan Darren beserta celana dalamnya yang sudah merosot di lantai.
Awalnya Darren geram. Dia kesal dan ingin menuntut siapapun orang itu. Tapi dia sama sekali tidak mengenali ataupun tak punya petunjuk. Lalu dia pasrah dan memutuskan untuk tak mempersoalkan masalah ini. Namun, karena Todd, amarahnya jadi membludak lagi saat menemukan ponsel orang yang sudah menelanjanginya yang entah kenapa tergeletak di dalam mobil. Darren kesal dan segera melacak pemilik ponsel tersebut beberapa hari kemudian. Tapi hasilnya adalah, alamat yang diisikan ke dalam database ponsel sudah tak ada lagi. Tak ada orang di apartemen itu dan itu artinya, satu kesempatan untuk menuntut Charlie karena sudah menelanjanginya hilang.
Namun tiga bulan kemudian, Darren malah tak sengaja bertemu dengan orang yang sudah menelanjanginya di dalam sebuah kedai kopi? Yang benar saja!
Darren lantas menghela nafas. “Baiklah.” Katanya sembari membuka jasnya perlahan. Membuat Charlie—yang gay—beserta wanita-wanita yang ada di dalam sana menahan nafas melihat pemandangan itu. Kedua pipi Charlie spontan merona hebat. Sedangkan wanita-wanita malah menjerit-jerit histeris. Darren membuka satu persatu pakaiannya yang terkena noda kopi. Mulai dari jas. Dan kemudian lanjut ke kemeja yang ia pakai.
Membuatnya benar-benar topless sekarang. Menampilkan abs nya yang indah yang menggoda untuk di nikmati. Lihat saja wanita-wanita yang sekarang sudah menjilati bibir mereka sendiri. Mereka seperti bernafsu dan berniat untuk mengajak Darren ke rumah mereka.
Sedangkan Charlie—oh my gosh!—dia hanya bisa menelan ludah melihat pemandangan itu! Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia bisa menyentuh abs Hunter. Dan sekarang tiba-tiba saja ada seseorang yang even more hotter daripada Hunter yang sedang memamerkan otot-otot tubuhnya di depan Charlie.
Lihatlah dadanya yang bidang itu.
Lihatlah bisepnya yang bergelombang tersebut
Lihatlah kulitnya yang sangat eksotis.
Dan lihatlah selangkangan—tidak! Charlie! Kau tidak boleh menjadi bot binal seperti itu. Ya ampun. Memangnya berapa bulan semenjak kau terakhir di jamah oleh seorang lelaki? Hm?
Charlie dengan cepat langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dan menerima kedua jas dan juga kemeja dari Darren. Perlahan bau tubuh Darren yang khas langsung menyelinap masuk ke dalam indra penciumannya. Bau yang sangat jantan. Membuat semua rambut yang terdapat di tubuh Charlie merinding seketika. Meskipun ada campuran kopi, tapi tetap tak bisa mengalahkan bau maskulin dari sosok Darren.
Ohhh... tahan dirimu Charlie. Tahan dirimu. “Sekarang kau sudah mendapatkan jas dan juga kemejaku. Apa yang akan kau lakukan sebagai tanggung jawab?” Suara Darren sambil berkacak pinggang.
Wow. Lengannya itu. Sangat-sangat menggoda iman seorang Charlie.
“A—a—“ Tuh. Charlie mendadak jadi gagap sendiri. “Aku akan memasukkannya ke dalam tagihan laundry-ku.”
Darren menghela nafas putus asa. Charlie ternyata sama sekali tidak mengingat wajah orang yang sudah ia telanjangi beberapa bulan yang lalu. Rasanya nggak banget kalau memaki-maki cowok manis ini di depan orang-orang. Itu bukan gayanya Darren banget.
Menangkap raut kesal dari wajah Darren, membuat Charlie kembali bertanya-tanya. “A—aku akan memasukkannya ke dalam tagihan laundryku. Apa—apa itu masih belum cukup bagi anda?”
Ingin rasanya Darren mengerjai Charlie dengan menyuruhnya untuk membelikan setelan yang sama mahalnya dengan setelan yang telah cowok manis itu kotori. Tapi sekali lagi, itu bukan Darren banget. Selain sportifitas, gengsi yang dimiliki oleh seorang Darren Wolf juga tinggi.
“Tidak.” Jawab Darren setengah hati. “Aku rasa itu sudah cukup.”
“Tapi—“ Sahut Charlie berbarengan. “Apa anda tidak kedinginan berjalan keliling kota tanpa atasan seperti itu, Tuan?”
Ah. Benar juga. Darren langsung menyadari kalau saat ini dia sama sekali tak memakai atasan apapun dan membiarkan tubuhnya dinikmati oleh orang-orang rendahan. Lihat saja remaja tengik yang sekarang selangkangannya sudah menggembung. Ibu-ibu yang memasang tampang mesum.
Ah. Bodohnya aku.. batin Darren. “Entahlah. Mungkin sebaiknya aku segera berangkat ke kantor untuk mencari baju ganti sekarang—“
“Kalau anda tidak keberatan. Aku bisa membelikan anda baju kaus dari toko baju di depan kedai ini.” Potong Charlie cepat. Gosh. Kenapa bisa-bisanya Charlie menawarkan hal seperti itu kepada orang-orang seperti Darren? Orang-orang seperti pria bertubuh bagai pahatan patung dewa yunani ini pastilah tak level memakai baju kaus dengan harga murahan seperti itu.
Dengan itu, Charlie langsung merutuki dirinya sendiri. Rasanya sekarang dia ingin sekali memukul-mukulkan kepalanya ke dinding saking merasa bodoh dengan dirinya sendiri.
Darren perlahan tersenyum kecil melihat bahasa tubuh Charlie yang tampak konyol. Awalnya dia malu-malu, tapi sedetik kemudian dia seperti ingin membunuh dirinya sendiri. Tanpa Darren sadari, perlahan dendamnya tiga bulan yang lalu pada Charlie mulai hilang dari benaknya, digantikan dengan sesuatu yang sama sekali belum ia kenal untuk Charlie.
“Kau ingin membelikanku baju?” Ulang Darren sambil menaikkan sebelah alis. Sementara senyumnya masih belum memudar melihat Charlie yang masih menundukkan wajahnya dalam-dalam ke bawah dengan kedua lengan yang berisi jas beserta kemeja Darren.
“Yah—kalau anda mau—tapi aku tak punya uang untuk membelikan anda baju-baju mahal yang biasanya orang-orang seperti anda—“
“Baiklah.” Charlie terperanjat dan langsung mendongakkan kepalanya mendengar jawaban Darren. “Kalau begitu bawa aku ke toko itu sekarang.”
“Se—sekarang?” Ulang Charlie.
“Ya. Kau bilang tokonya dekat, bukan?”
Charlie lantas mengangkat kedua tangannya yang penuh dengan pakaian kotor. “Tapi bagaimana dengan ini?”
Darren tergelak kecil dan segera meraih kedua pakaiannya dari tangan Charlie. “Lupakan saja setelan konyol ini. Aku masih bisa membelinya nanti kalau aku mau.” Lalu Darren membuang pakaiannya begitu saja ke lantai dan segera menarik pergelangan tangan Charlie. “Come on.”
Dengan itu, kedua orang tersebut berjalan bergandengan tangan keluar kedai menuju jalanan kota yang ramai. Sementara orang-orang tak ada hentinya menikmati tubuh seksi Darren. Beberapa ibu-ibu yang membawa anak-anaknya bahkan menutupi mata sang buah hati dengan kedua tangan mereka. Banyak aktifitas orang yang terhenti melihat pemandangan itu. Tapi apapun yang terjadi, Darren tak peduli dengan pendapat orang-orang.
---
Setiap sore ataupun siang harinya saat Hunter dan Matt punya kesempatan ataupun waktu luang, mereka berdua selalu menghampiri sahabat mereka Ali di kliniknya. Tak ada hal spesifik yang mereka lakukan di sana, hanya aktifitas biasa yang selalu di lakukan oleh ketiga sahabat sejak kecil.
Mengganja.
Menonton video porno bersama-sama.
Tapi tentu saja mereka tak hanya melakukan hal-hal tersebut. Terlebih lagi karena mengingat itu adalah klinik kesehatan, kegiatan mereka sama sekali tak pantas untuk dilakukan di tempat seperti itu.
Yah terkadang jika salah satu dari kedua sahabatnya terluka, mereka akan segera menghampiri Ali dan orang itu akan mengobatinya. Begitupun sebaliknya, setiap kali kliniknya kemalingan ataupun di bajak oleh seseorang, Hunter dan Matt akan langsung meluncur ke TKP untuk menangkap orang-orang jahat tersebut.
Namun selain beberapa hal tersebut, ada satu lagi yang membuat Hunter tak bisa absen untuk menghadiri klinik ini setiap harinya. Terlebih ketika pada akhirnya Charlie meninggalkannya, membuat tempat ini menjadi rumah kedua bagi seorang Hunter Knight.
Adalah Grace. Bocah perempuan dua belas tahun yang menderita kanker otak. Untung saja kankernya jinak. Hunter bertemu dengan Grace empat tahun yang lalu saat ia ditugaskan sebagai tenaga tambahan bagi tim SAR saat badai menerjang kampung halaman bocah malang tersebut. Dari keluarganya, hanya Grace satu-satunya yang selamat. Ia ditemukan tengah meringkuk di bawah reruntuhan fondasi atap rumah oleh Hunter.
Mereka memang susah sekali akrab—maksudku Hunter dan Grace. Tapi setelah beberapa bulan mereka mulai bisa akur. Tetapi.. beberapa bulan setelah itu, Grace mengalami sakit kepala hebat dan Hunter segera melarikannya ke klinik Ali.
Diagnosa Ali? Grace di vonis memiliki kanker otak stadium awal yang jika tidak ditangani akan menyebar ke seluruh organ tubuhnya.
Hunter takut kehilangan Grace. Anak kecil itu sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri—meski Grace lebih menganggap Hunter sebagai abangnya yang sudah meninggal. Karena itulah, Hunter menyerahkan Grace pada Ali untuk diobati dan berjanji akan selalu mengunjungi bocah kecil itu setiap hari. Bahkan, 50% dari gaji yang diterima oleh Hunter di awal bulannya selalu ia berikan untuk Grace.
And guess what? It worked very well. Berkat beberapa kali kemoterapi, Grace sudah mulai membaik dan kankernya tak menyebar ke organ-organ vital di tubuhnya. Guess the miracle is real, huh?
Walaupun demikian, Grace masih belum sepenuhnya sehat dan Hunter tak mau mengambil resiko dengan membawa bocah tersebut pulang kerumah. Tidak. Di klinik ini, ia akan di tangani dengan baik oleh Ali beserta keluarganya yang juga bekerja dalam bidang medis.
Sore itu, Matt pulang lebih awal meninggalkan Hunter. Yah, diantara ketiga childhood besties tersebut, hanya Matt-lah satu-satunya yang paling normal. Dia punya pacar yang sedang hamil anaknya, dan pacarnya tak bisa ditinggalkan lama-lama. Riweuh!
Jadi hari ini, Hunter akan bertandang ke klinik Ali seorang diri.
Lagian kemana lagi Hunter harus pergi setelah jam kerjanya berakhir? See, kedua orang tua Hunter mengusirnya saat ia come out saat berusia 17 tahun dan itu harus membuatnya hidup seorang diri. Dan yang kedua, biasanya dulu dia akan bermalam di rumah pacarnya—Charlie—dan bangun pagi harinya untuk kembali bekerja. Tapi sekarang, Charlie sudah menghilang dan dia tak punya pacar lagi yang bisa ia mainkan setiap malamnya. Yang tersisa hanyalah Grace beserta klinik Ali yang selalu terbuka lebar untuknya.
Sebelum mengarahkan mobilnya ke klinik, Hunter menyempatkan diri untuk membelikan minuman untuk Ali, Grace dan juga beberapa pasien yang sudah akrab dengannya.
Tepat saat ia mematikan mesin mobilnya di depan kedai kopi dan berdiri di samping mobilnya, matanya seperti menangkap seseorang yang sangat familiar. Orang tersebut tampak tengah gugup di depan sebuah toko baju dengan banyak kantong belanjaan. Dia berdiri seorang diri di antara orang-orang yang berlalu lalang.
Charlie? Hunter bertanya-tanya dalam hati. Ia pelototi orang itu lebih lama. Rasanya seperti ada cahaya yang jatuh dari langit tepat di atas kepala orang tersebut.
Bibirnya yang tipis.
Matanya yang indah.
Kulitnya yang selalu ia rindukan untuk ia sentuh setiap malam.
Oohh... membayangkan ia menyentuh tubuh Charlie lagi, membuat air liur penuh nafsu menetes-netes dari sudut bibir Hunter. Betapa ia merindukan sosok manis itu. Suaranya desahannya. Otot-otot tubuhnya yang tak begitu menonjol sepertinya, namun ada. Bokongnya yang—
Ya Tuhan. Ini pasti fatamorgana. Setelah sekian lama Charlie menghilang, dan tiba-tiba saja ia ada di seberang jalan yang berjarak beberapa kaki saja dari posisinya sekarang?
Dan ditambah lagi—astaga! Orang itu berkeringat! Ia menyeka keringatnya dan—astaga! Panas! Panas! Sempit! Selangkangan Hunter benar-benar sudah menjadi sangat sempit dan penuh sesak sekarang.
Ereksi raksasa dari Hunter membuat resleting celananya perlahan turun kebawah.
Hunter—dengan mata yang masih tak bisa beranjak dari sosok Charlie di seberang jalan—dengan gegabah menjangkau zipper celananya. Ia naikkan perlahan.
Namun saking gegabahnya, ia tak sengaja menjepit tongkat bahagianya dengan resleting celananya sendiri.
“Ah shit!” Ringis Hunter sambil memperbaiki letak resletingnya. Namun saat ia mendongakkan kepalanya lagi untuk melihat sosok Charlie sekali lagi, orang itu sudah hilang begitu saja bagai ditelan asap.
Damn it.
---
“Good afternoon, everybody!” Pekik Hunter di depan pintu klinik dan membuat semua orang di dalamnya spontan menolahkan kepala pada polisi tersebut.
“Hai, Hunter!” Sapa seorang wanita tua yang sedang membaca koran di balkon klinik.
“Hai juga, Mrs. Robenson. Bagaimana kabarmu?” Hunter berjalan menghampiri nenek tersebut dan memijit-mijit punggungnya perlahan. “Aku membawakanmu segelas Starbucks.”
“Apa itu panas?”
Hunter menggeleng dengan cepat. “Aku tau kau tak suka panas.” Ia mengambil sebuah gelas bertuliskan Mrs. Robenson dari kantong dan memberikannya pada nenek tua tersebut. “Jadi kubelikan kau kopi dengan ekstra susu didalamnya. Dingin, tentu saja.”
Nenek tersebut tampak gembira dan kemudian tersenyum ramah pada Hunter. “Thank you, Hunter. Kau benar-benar anak yang baik.”
Mendengar itu Hunter hanya tertawa kecil. “Mana Ali? Aku belum melihatnya daritadi.”
“Kau tahu. Tadi ada anak muda yang mengalami kecelakaan. Ia dilarikan ke klinik ini.”
Make sense. Itu artinya Ali sedang sibuk mengurusi anak muda tersebut.
“Hunter!”
Suara itu membuat Hunter langsung menolehkan kepalanya ke sumber suara dan menemukan Grace kecil dengan rambut pirangnya. Gadis itu berdiri di depan pintu kamarnya sambil tersenyum lebar dan melambai-lambaikan tangan pada pria tersebut.
“Gracie!” Hunter dengan cepat langsung menghampiri Grace dan memeluk gadis kecil tersebut. Oh, how he love this girl. “Kau tahu aku merindukanmu, kid.”
Grace tertawa dan mengusap-usap punggung Hunter yang sengaja berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Grace. “You just came yesterday to see me.”
“I know.” Hunter menghirup dalam-dalam bau tubuh Grace. “Tapi aku masih saja merindukanmu.” Pria tersebut melerai pelukannya dan kemudian memperhatikan Grace dari atas ke bawah. “Bagaimana perkembangan kankermu? Kau baik-baik saja kan?”
Grace mengangguk. Rambut bob nya bergoyang-goyang mengikuti gerakan kepalanya. “Ali bilang aku sudah diizinkan keluar dari tempat ini. Kau tahu aku bosan berdiam diri di tempat ini setiap hari.”
“Aku selalu membawamu ke pelayanan do’a setiap minggu. So basically you’re not always stuck in the cage everyday.” Kilah Hunter sambil tersenyum dan mencubit hidung mungil Grace. Sementara gadis kecil itu memanyunkan kedua bibirnya karena Hunter masih saja tak mau membawanya keluar dari tempat ini.
“Kau terlalu berlebihan, Hunter.” Seseorang tiba-tiba saja muncul dari sudut lorong bersama beberapa perawat di belakangnya. Grace langsung tersenyum melihat kehadiran sosok jangkung dan berpakaian putih seperti dokter tersebut. “Apa salahnya membawa Grace berjalan-jalan sebentar keluar sana?”
“Aku tak mau mengambil resiko, Ali.” Kata Hunter sambil menyodorkan segelas starbucks pada sahabatnya tersebut dan kedua perawat yang ada di belakangnya. “Lagi pula aku tak mau Grace melihat gaya hidupku yang sekarang.”
Ali menghela nafas setelah menyesap kopinya. “Kau masih sibuk dengan grindr?”
“Tidak. Jack’d.”
“Kid, you better solve your own problem with Charlie before you ruin your life.” Sahut Ali.
“Yeah.” Timpal Grace. “Kau sebaiknya segera mencari cara untuk mendapatkan maaf dari pacarmu tersebut.”
“Grace! Kau masih kecil!” Suara Hunter, tapi, Grace ada benarnya juga kan? Bisa-bisanya Hunter di nasehati oleh anak kecil. Harga dirinya sedikit tercoreng. Sedikit.
“Hey, Ali. Bagaimana dengan anak tadi, dia baik-baik saja kan?” Tanya Grace sambil mengambil sendiri minumannya dari kantong yang sama dengan kantong yang sedang di tenteng oleh Hunter.
Ali mengangguk dan tersenyum. “Yah, dia baik-baik saja. Tapi dia harus tetap disini selama beberapa hari karena tulangnya patah. Kau boleh berteriak senang sekarang, Grace. Kau punya teman baru.”
Grace tergelak. Namun ternyata Hunter tak mendengarkan mereka berdua. Matanya tiba-tiba saja tertuju pada suatu ruangan yang pintunya terbuka. Disana ia melihat ada seorang lelaki yang tubuhnya dipenuhi oleh kabel tengah dipeluk oleh seorang wanita. Sepertinya suasana di dalam ruangan tersebut penuh dengan haru.
“Orang yang di atas kasur itu, namanya Jamaica.” Ucap Ali sambil memperhatikan kedua pasangan tersebut. “Sedangkan yang wanita itu namanya Alexandra. Jamaica terkena struk saat Alexandra meninggalkannya empat tahun yang lalu.”
“Lalu?” Timpal Hunter.
“Alexandra menikah dengan pria lain setelah meninggalkan Jamaica. Pria tersebut membawa Alexandra jauh ke luar negeri. Namun, kehidupan wanita itu tak seindah saat bersama dengan Jamaica. She lived in hell cause everynight her husband beaten her up. Jadi tadi siang, Alexandra kembali lagi ke rumah Jamaica untuk meminta maaf. Tapi dia malah mendapatkan kabar bahwa mantan pacarnya terkena struk dan sekarang dia menyesal sudah membuat pacarnya seperti ini.”
Hunter merasa ada sesuatu yang bersinar di atas kepalanya mendengar cerita itu. Dia seperti mendapat hidayah. Mendapat pencerahan. Tapi dia tak tahu akan digunakan untuk apa pencerahan tersebut.
“Jadi, setelah melihat keadaan mantan pacarnya seperti itu, Alexandra mengalah dan memutuskan untuk kembali lagi hidup bersama Jamaica?” Tanya Grace dan langsung dianggukkan oleh Ali.
Hunter hanya mengangguk-angguk sambil mengingat-ingat dengan seksama kalimat yang bisa ia cerna dari perkataan Ali. ‘Mereka sudah berpisah empat tahun yang lalu. Dan sekarang mereka kembali lagi bersama.’
---
Charlie memutuskan untuk pindah ke apartemen milik Gordon tiga bulan yang lalu. Ia tahu kalau semakin lama ia tinggal di apartemennya yang lama, maka kenangan tentang Hunter akan menghancurkan dirinya. Terlebih ia juga sadar bahwa Hunter akan mencoba untuk menghubunginya. Yang Charlie mau adalah menjauh dari orang tersebut. Sejauh mungkin.
Meski Charlie tak pernah memberi tahu secara detail alasan kenapa ia menangis malam itu, serta alasan ia ingin pindah ke apartemen milik Gordon, pria itu tau jika adiknya tengah bermasalah. Dan kedua hal tersebut—ia menangis dan pindah apartemen—punya alasan yang saling berhubungan satu sama lain.
Gordon tak mau ikut campur dalam masalah adiknya. Menurutnya biarlah adiknya yang menyelesaikan masalahnya sendiri. Tapi jika saja ada satu orang saja yang berani melukai dan membuat adik tersayangnya tersebut menangis, maka ia tak segan-segan untuk membunuh orang itu.
Well.. at least Gordon nggak tau kalau orang yang membuat hati adiknya terluka dan menangis sepanjang minggu adalah seorang polisi bernama Hunter. Gordon orangnya cukup nekat, if y’all wanna know.
Lagipula, dengan pindahnya Charlie ke apartemen kakaknya tersebut, kuliahnya pasti akan terbantu juga. Yah meski tak seberapa. Charlie dan Gordon mengambil jurusan yang sama di kampusnya, yaitu Food Technology. Jurusan dimana mahasiswanya harus berkonsentrasi pada biologi, kimia dan fisika, serta mengharuskan mereka untuk dekat dengan alam.
Charlie yang sedikit tidak menyukai Fisika bisa dibantu oleh Gordon. Begitupun sebaliknya Gordon yang tidak menyukai Kimia. Kedua adik kakak tersebut saling mengajarkan satu sama lain.
Bicara tentang Food Technology, ada banyak hal yang menarik dari jurusan yang satu ini. Seperti prospek kerjanya. Lalu setelah diwisuda kita bisa mengembangkan usaha sendiri karena setidaknya kita sudah di cap sebagai Chef oleh sebagian masyarakat awam. Terkadang mereka juga diajak untuk mengunjungi perusahaan-perusahaan besar yang bergerak dalam bidang pangan dan pertanian. Dan kemudian karena setiap hari adalah praktikum—in other word it’s cooking time in the lab—maka urusan makan harian sudah bisa diabaikan. Setidaknya untuk sementara. Karena pada malam hari biasanya tidak ada praktikum, maka anak-anak di jurusan tersebut lebih memilih untuk memasak makanannya sendiri.
Seperti halnya Charlie saat ini. Ia tengah berkutat dengan bahan-bahan masakannya. Tahu. Telur. Sosis. Daging. Entah apa yang akan cowok manis itu buat. Biasanya dia hanya mengambil bahan-bahan makanan yang ada di kulkas sesukanya, lalu mencampurkannya dengan bumbu-bumbu alami dan mengolahnya hingga menjadi masakan baru. Charlie sangat hobi bereksperimen di dapur. Berbeda sekali dengan Gordon yang sangat disiplin untuk mengikuti petunjuk yang tertulis di resep.
Namun agaknya berbeda dengan malam ini, ada yang sedikit menganggu Charlie.
Charlie menghentikan aktifitas motong memotong tahunya sambil menerawang kebelakang. Ia mencoba untuk mengingat-ingat apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. Tepatnya pagi tadi.
FLASHBACK
“Selamat datang. Ada yang bisa kami bantu?”
Darren melepaskan genggaman tangannya dari tangan Charlie dan melirik cowok manis tersebut yang sekarang tampak gugup setengah mati. Dan sekarang dia kesal kepada pelayan yang menyambut mereka tadi. Tidakkah ia melihat siapa yang topless saat ini dan langsung menunjukkan saja pada mereka baju-baju yang mungkin pas di tubuh seorang Darren Wolf?
Gosh!
“Uhm—“ Charlie kemudian bersuara sambil melihat-lihat ke sekeliling toko. “Aku—uhm—teman aku membutuhkan baju yang pas untuk tubuhnya, jadi..”
“Ah. Aku bisa melihat itu.” Sahut si pelayan dan semakin membuat Darren kesal. Apa Darren tampak bodoh di matanya? “Silahkan ikuti saya.”
Darren dan Charlie saling bertatapan sebentar sebelum kemudian mengikuti si pelayan yang mengantarkan mereka ke jejeran baju-baju kaus yang di atasnya tampak ada label discount di atasnya. Charlie sengaja berjalan di depan Darren karena dia merasa sangat gugup melihat orang tersebut yang berjalan tanpa atasan sama sekali dengan pedenya. Rasanya seperti melihat orang sialan tersebut berjalan-jalan di apartemennya dulu saat mereka masih menjadi sepasang kekasih.
Yang jadi permasalahannya adalah, kenapa Charlie hanya gugup pada orang ini sedangkan ia tak pernah gugup melihat Gordon yang selalu berjalan hanya dengan celana dalamnya saat malam hari?
“Kau ingin membelikanku baju discount?” Bisik Darren di telinga Charlie yang sontak membuat cowok manis itu tersentak kaget. Dia bisa merasakan kalau saat ini pria bertubuh bagai pahatan patung yunani tersebut hanya berjarak satu kepalan tangan saja dari tubuh cowok manis itu. Charlie bahkan bisa merasakan nafas Darren yang panas di tengkuknya. Dan itu, membuat seluruh rambut di tubuh Charlie berdiri. Horror.
Satu hal yang Darren tangkap dari sosok Charlie, orang ini terlalu banyak diam daritadi. Dia tidak tahu ada apa di balik semua tingkah cowok manis tersebut. Bukankah tadi dia bilang dia ingin membelikannya baju? Kenapa dia tidak memilihkannya sekarang? Kenapa dia malah hanya diam? Apa dia sengaja menyuruh Darren memilih bajunya sendiri? Kalau dilihat dari perawakannya, cowok manis itu sepertinya hanyalah murid SMA biasa yang masih mengandalkan uang dari kedua orangtuanya. Apa dia tidak takut kalau nanti Darren memilih baju yang diluar dari budget bulanan yang diberikan orang tuanya?
Darren menemukan dirinya ingin berbicara lebih jauh dengan Charlie. Entahlah. Dia merasa tertarik dengan orang ini. Caranya berdiri dengan malu-malu. Caranya menundukkan wajah. Suaranya yang sarat akan rasa takut dan bersalah. He’s just.. adorable.
“Hey, Charlie.” Panggil Darren. Pria itu memang sudah tau nama Charlie sejak tiga bulan yang lalu. Sejak ponsel itu berada di tangannya, ia tak bisa berhenti membaca ratusan pesan yang datang dari seseorang bernama Hunter yang tak bisa berhenti meminta maaf, meminta untuk mendengarkan penjelasannya, dan menyebut-nyebut nama Charlie.
Charlie sontak langsung menoleh ke belakang dengan ekspresi horror. “Kenapa kau bisa tahu namaku?”
Darren terkesan. Hanya dengan menyebut namanya saja ekspresi malu-malu dan ketakutan Charlie bisa langsung berubah 180’ derajat? Ohh. “Oh, jadi namamu benar-benar Charlie?”
Ia mengangguk. “Tapi darimana—darimana anda bisa mengetahui namaku.”
Tanpa disadari, senyum Darren mengembang begitu saja. Itu dia, ekspresi itu datang lagi dari seorang Charlie. “Aku bisa menebaknya dari penampilanmu.” Jawab Darren asal dan langsung memutuskan untuk memilih-milih baju—meninggalkan Charlie dengan sejuta tanda tanya.
Astaga. Apa orang ini mentalis seperti yang di TV-TV? Batin Charlie dalam hati.
Charlie masih melamun saat Darren memanggilnya. “Oi oi”
“Huh? Ya?” Jawab Charlie setengah sadar.
Tiba-tiba saja Darren langsung menarik tangan Charlie. “Menurutku baju ini cocok untukmu.” Katanya sambil menyesuaikan baju tersebut di badan cowok manis tersebut.
Tapi tentu saja Charlie kebingungan. Sekarang kan dalam rangka mencarikan baju untuk Darren. “Tunggu dulu. Kenapa harus cocok untukku?”
Darren mengangkat kedua bahunya cuek sambil kembali memilih-milih baju. “Aku mau yang ini.” Katanya dan melemparkan baju tersebut pada Charlie. “Lalu ini.” Terusnya. “Ini. Ini. Ini. Dan semua baju yang ada di rak ini.”
Charlie terperanjat kaget. Tumpukan baju di tangannya bahkan sudah membuat wajahnya tak tampak lagi. Semua pakaian itu menggunung menutupinya. Ia sendiri bahkan tidak tau apa dia bisa membayar semua ini atau tidak.
“Kau.” Kata Darren. “Segera masuk ke kamar ganti dan pakai semua baju itu. Aku ingin melihat semuanya di badanmu.”
“Tapi—aku kan yang—“
“No but’s, and’s and anything. Cobakan saja. Aku sudah punya baju pilihanku sendiri.” Ucap Darren cuek dan membalikkan badannya untuk memilih baju-baju lain yang harganya lebih mahal. “Kau, daripada menonton kami begitu saja, segera bantu orang ini.” Sambungnya lagi.
Charlie yang masih bingung dengan Darren memilih untuk mengikuti perintah pria itu saja. Yah, daripada dia semakin bingung kan? Jadi dia dengan pasrah berjalan menuju baju ganti. Tapi sebelum itu, sang pelayan meminta tumpukan baju yang menggunung di tangan Charlie untuk dipegangi.
Darren yang sudah memilih sebuah baju kaus yang tampak sangat pas di badannya—benar-benar mencetak semua otot yang ada di tubuh bagian atasnya—langsung duduk di sebuah sofa kecil yang terletak tepat di depan kamar ganti yang dimasuki oleh Charlie. Sambil menunggu, ia melihat seisi toko dan setelah beberapa saat menarik sebuah majalah dari tumpkan. Sementara itu si pelayan hanya mesem-mesem saja melihat tingkah Darren yang sangat sombong.
Salah. Darren bukan orang yang sombong. Dia hanya menjaga harga dirinya.
Charlie pun membuka tirai dan menampakkan dirinya dalam baju kaus putih bergambarkan animasi kucing di depannya. Darren yang sedang membaca koran langsung mendongakkan kepalanya dan terpukau melihat sosok cowok manis itu yang ke-adorable-annya bertambah sepuluh kali lebih lipat dalam baju tersebut.
“Cute.” Kata Darren datar. “Baju selanjutnya.” Lanjutnya dan kembali fokus pada majalah.
Charlie menggerutu dan kembali masuk untuk mencobakan baju yang lain. Beberapa saat kemudian ia keluar dengan dengan menggunakan sebuah baju hitam yang di bagian depannya tertulis MIND YOUR OWN FUCKING BUSINESS. Agak sedikit kasar memang. Tapi Darren terkesan.
“Mencoba untuk menggodaku, huh?” Sahut Darren sambil menaik-naikkan sebelah alisnya pada Charlie.
Charlie mendesis kesal. “Aku hanya melakukan apa yang kamu perntahkan. Oke? Lagian kenapa kau menyuruhku untuk mencobakan semua baju-baju ini jika kau tak akan membayarnya?”
“Memang aku akan membayarnya.” Jawab Darren cepat dan berdiri. “In fact, aku ingin membeli semua baju yang ada di tempat ini.”
Mata Charlie sontak membelalak mendengar jawaban yang keluar dari mulut Darren. Mana mungkin ia punya uang sebanyak itu untuk Darren? Apa setelannya semahal itu?
Darren lantas mendaratkan kedua tangannya di bahu Charlie sambil menatap mata cowok manis itu dalam-dalam. “Maksudku, aku yang akan membeli semua baju ini. Untukmu.”
“What?” Jawab Charlie, reflek.
Jika saja wajah Charlie tidak menggemaskan, mana mungkin Darren akan melakukan semua itu? Charlie adalah orang pertama yang berhasil membuatnya tertarik. Dan—dia juga tidak mengerti kenapa dia ingin membelikan Charlie semua baju yang ada di toko ini. Rasanya melakukan itu sangat benar. Melakukan itu adalah tindakan yang tepat meski—ah sudahlah.
“Anggap saja kau memakai baju-baju itu, adalah bayaran untukku.”
“Ta—“
“Sshhtt—“ Darren langsung menutup mulut Charlie dengan telunjuknya. “No but’s, and’s and anything.” Ia mengingatkan cowok manis itu lagi. “Kau mau aku meminta bayaran? Aku yakin kau pasti takkan bisa memberikan uang seharga setelan itu padaku dalam waktu satu tahun.”
Masih dalam keadaan bingung, Charlie lagi-lagi menghela nafas dan memutar badannya kembali masuk ke dalam kamar ganti bersama baju-baju yang menunggu untuk dipakai.
Sedangkan Darren perlahan tersenyum. Senyum yang sangat tulus untuk Charlie.
End of flashback
Charlie melirik tumpukan barang belanjaan yang dibelikan oleh pria yang tak dikenalnya tadi. Semua tas tersebut masih terungguk di atas meja ruang tengah, tepat di depan TV. Ia masih bingung depan apa yang sudah terjadi padanya. Siapa orang tersebut sebenarnya. Kenapa ia bisa mengetahui nama Charlie dan kenapa ia tiba-tiba saja membelikannya semua baju yang ada di toko tersebut? Yah, tidak semuanya sih, hanya beberapa. Tapi tetap saja banyak.
Cowok manis itu tidak tahu harus menjelaskan apa pada Gordon nanti. Gordon tahu kalau keluarga Charlie adalah orang-orang yang hidup sederhana dan pas-pasan. Orang itu juga tahu betapa hematnya Charlie jika ia tak ada praktikum hari itu yang bisa membuatnya bebas uang makan. Gordon pasti akan bertanya-tanya darimana Charlie mendapatkan semua barang-barang tersebut.
Menghela nafas, Charlie kemudian melanjutkan acara memotong-motong sosis dan memasukkannya ke bersama tahu ke dalam penggorengan yang sudah berisi minyak panas mendidih. Ia harus menyingkirkan semua pikiran-pikiran tentang pria misterius tersebut kalau ia ingin makan dengan normal malam ini.
Beberapa saat kemudian saat Charlie sibuk meniriskan sosis dan juga tahu yang sudah ia gorengnya, pintu apartemen terbuka. Membuat cowok manis tersebut langsung menolehkan kepala ke arah pintu dan menemukan Gordon sudah berdiri disana sambil membuka baju hangatnya.
Rambut Gordon tampak berantakan. Tapi tak mampu mengalahkan senyuman yang terukir di wajah tampannya.
Tentu saja hal tersebut membuat Charlie bertanya-tanya. Sudah hampir satu bulan ini Gordon selalu berlatih untuk meningkatkan kualitas masakannya agar bisa mendapatkan investasi dari Wolf Company untuk mengembangkan bisnis dan juga menulis tugas akhirnya. Pria itu tak bisa berhenti menceritakan betapa nervous nya dia dan betapa gugupnya dia untuk bertemu langsung dengan orang terkaya di dunia secara langsung. Dan hari ini, Gordon beserta teman-temannya mendemostrasikan secara langsung resep dan juga masakannya di depan orang itu.
Dan tiba-tiba saja malam ini Gordon kembali dengan wajah yang berbinar-binar.
“What’s happened?” Tanya Charlie spontan dan mematikan penggorengannya. “Apa kau menerima komentar buruk dari orang tersebut?”
Gordonpun perlahan menghampiri Charlie. Senyumnya semakin mengembang di setiap langkahnya. “Tidak juga.” Katanya sambil mencomot satu sosis goreng yang masih panas.
“Astaga. Itu masih panas, Gordon!”
Gordon tertawa. “Tapi aku tak merasakannya, Charlie. Yang aku rasakan sekarang adalah, aku sangat senang!”
“Senang?” Ulang Charlie. “Kenapa?”
“Kau tahu Darren Wolf. Pemimpin tertinggi Wolf yang sering kubicarakan tersebut?” Tanya Gordon yang langsung dianggukkan oleh Charlie dengan cepat. “Kau pasti tak akan percaya dengan apa yang akan aku katakan.”
“Kau mendapatkan komentar baik darinya?”
“Even better!” Seru Gordon bahagia. Iapun mengangkat tubuh Charlie yang lebih kecil darinya dan memutar-mutarnya seperti anak kecil yang sama sekali tak terasa berat badannya bagi Gordon. Tapi tiba-tiba euphoria nya berhenti saat melihat tumpukan tas yang ada di atas meja. “Tunggu, ini semua—kau yang belanja?”
Duh. Charlie mendadak bingung akan menjawab apa. Andai saja dia cukup pintar untuk berbohong. Tapi meskipun begitu, ia sangat pintar mengalihkan topik pembicaraan. “Ja—jadi apa yang dilakukan si Darren Wolf ini?”
Gordon kembali tersenyum, melupakan masalah barang belanjaan Charlie yang banyak dan duduk di sofa. Perlahan ia mengeluarkan ponselnya dan mengutak-atiknya sebentar sambil berkata : “Kau pasti tak akan percaya kalau aku katakan kalau dia, dan perusahaannya bersedia untuk membiayai tugas akhir kami serta memproduksi makanan buatan kami secara massal kan?”
“No way!”
“Aku tahu kau takkan percaya. Jadi aku meminta seseorang untuk mengambilkan fotoku saat sedang berjabatan dengannya.” Kata Gordon sembari menyodorkan ponselnya yang menampilkan fotonya sedang berjabatan tangan dengan seseorang.
“Siapa?” Kata Charlie sebelum melihat ke layar ponsel milik kakak angkatnya tersebut. Namun sesaat kemudian dia langsung terbelalak kaget saat melihat sosok yang ada di layar.
“Darren Wolf!”
@Aurora_69 makasih. hihihi udah dimention yaa
@Riyand makasih.. udah dilanjut tuh hihihi
@Yirly makasihh.. udah dimention ya ^_^
@Gabriel_Valiant
@Riyand
@GrayF
hehehehe
ini terjemahan atau karya sendiri yah?
Jng lupa seret Klo da up....:-) :-)