It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@lulu_75 @adrian69 @digo_heartfire @rama212
@o_komo @RakaRaditya90 @boyszki
@QudhelMars @akina_kenji @Secreters
@Algibran26 @rama_andikaa @DafiAditya
@viji3_be5t @riordanisme @happyday
@CouplingWith @andrik2007 @josiii @master_ofsun @Feri82 @RenataF @Satria91 @aris_
Selamat membaca...
Bagi yang nggk mau di mention lagi, bilang ya.
Dengan malas, aku akhirnya memenuhi keinginan Rini untuk makan bersama di warung kaki lima langganan kami. Selain rasanya yang pas di lidah, juga harganya yang sangat bersahabat dengan kantong kami para mahasiswa membuat kami sering kesana untuk mengisi perut kami yang lapar. Sambil memasuki warung, aku mencari keberadaan teman-temanku di dalam warung yang sarat dengan pengunjung ini.
Rini terlihat melambai-lambaikan tangannya di tengah ruangan. Aku lalu memesan nasi goreng spesial sambil menunjuk ke arah meja kami, sehingga paman penjual nasi goreng tersebut mengangguk. Sambil meneteng buku-buku yang dipinjam dari perpustakaan, aku berjalan lesu menuju arah meja 7 yang diperuntukkan untuk enam orang tersebut. Ada Rini, Doni, Alfi dan Gaga telah duduk rapi di meja berbentuk persegi panjang tersebut. Nama terakhir adalah nama seseorang yang tidak aku sangka kehadirannya saat ini. Pertama kalinya dia bergabung dengan kita di sini.
"Dari mana aja lo?" tanya Rini sambil memperhatikanku penuh selidik dari ujung kepala sampai ujung kaki. Wajahku yang kusut mungkin membuatnya tergelitik untuk menanyakan hal tersebut kepadaku. Terlebih dengan tentengan di tanganku yang sukses membuatnya heran. Aku lalu duduk di sampingnya sambil meletakkan setumpuk buku yang membuatnya kaget.
"Dari kampus lah, dari mana lagi?" jawabku sambil mengedarkan senyum ke setiap orang yang ada di meja 7. "Tadi ke perpustakaan sebentar, minjam buku," aku menepuk buku yang ada di depanku sambil menatap Rini, "kaget ya?"
"Tumben lo ke perpus sekarang," celetuk Doni yang ada di sampingku, "kesambet setan apaan lo?"
Rini mengiyakan sambil menelisik tumpukan bukuku dengan jarinya. "Biasanya kan lo amat anti yang namanya perpustakaan. Paling hebat minjam buku dari teman," lanjut Rini.
"Gue tadi kesambet setan Datuk Maringgih," ujarku sambil melempar tugasku ke sembarang tempat. Dengan cepat Rini berhasil meraih makalahku sebelum tangan Doni sempat meraihnya. "Gue di suruh revisi tugas."
Rini membalik-balik makalahku sambil berdecak geleng-geleng kepala melihat makalahku dengan miris, "gila nih dosen, dia kira mau bikin skripsi apa, sampai di coret-coret kayak gini," dia mengangkat makalahku yang penuh dengan tinta merah pak Samsul Bahri itu sehingga Doni dan Gaga dapat melihatnya dengan jelas. Mereka nampak meringis ngeri melihat perlakuan sadis pak Samsul kepada makalahku.
"Makanya lo pinjam buku sebanyak gini ya?" tanya Doni melirik tumpukan bukuku yang aku balas dengan anggukan.
"Katanya salah di penulisan kata, bahasa baku sama buku referensi yang kurang. Makanya gue pinjam nih buku ke perpustakaan. Soalnya harus di serahin besok, kalau ingin ujian."
"Malang bener nasib lo," ujar Alfi menatapku miris. "Yank tolongin sobat kamu," Alfi menyenggol bahu pacarnya yang sedang antusias membalik-balik makalahku, "kasihan tuh."
Rini menghembuskan nafas berat. "Aku sih mau aja sih Yank, tapi kan kamu tahu sendiri kalau aku nggak pintar soal beginian, jadi percuma aja aku nolong," ucap Rini sambil menatapku iba, "maaf ya."
Aku tersenyum. "Iya nggak apa-apa kok," ujarku. Aku tahu apa yang di katakan oleh Rini itu memang benar. Kami bertiga memang tidak bisa di andalkan untuk membuat karya tulis seperti makalah ini. Biasanya aku akan minta tolong kepada Reza untuk membantuku, minimal merevisi kembali makalah yang telah aku buat. Aku menghela nafas sambil menatap tumpukan buku yang mungkin saja tidak akan begitu berguna nanti malam.
Doni nampak berfikir keras sambil menggosok-gosok dagunya. Dia menoleh ke arah Gaga. Seperti mendapatkan sebuah ide cemerlang, dia menjentikkan jari, "Ah..., lo bisa nolongin sobat gue kan Ga?" tanya Doni ke Gaga, membuat pria yang ada di depanku itu tersebut tercengung. Mungkin dia tidak menyangka akan di mintai tolong oleh Doni. Dia mematap Doni tidak percaya, lalu melirikku sekilas. Kami yang ada di meja tersebut menatap Gaga, membuatnya sedikit salah tingkah.
"Emmm... Anu..." Dia kembali mencuri-curi pandang padaku.
"Anu apa?" tanya Doni. "Anu saudara?" tanya Doni lagi yang sontak membuat tawaku meledak. Terlebih muka Gaga yang tiba-tiba memerah di ledek oleh Doni membuatku semakin tidak bisa untuk tidak tertawa. Doni sukses menirukan gaya Pak Burhan, Profesor yang menskaknya di MKU kemarin, sehingga pria di depanku itu tertunduk malu.
"Bukan itu," sanggah Gaga. Dia kembali menatapku ragu-ragu, "Gue mau nolongin Adek kalau dia mau."
"Adek?" Serempak Rini dan Doni menatap Gaga dan aku bergantian. Kening mereka berkerut dengan raut wajah bingung sekaligus geli. Gaga nampak menggaruk-garuk tengkuknya tidak enak hati sambil menatapku meminta persetujuan. Aku hanya diam sambil mengedikkan kedua bahuku tidak acuh. "Selesaikan sendiri," batinku.
Gaga berdehem. "Adek itu, panggilan khusus aku ke sobat kalian, biar kami lebih dekat. Bolehkan?"
Rini menatapku geli hingga tanganku otomatis menepis mukanya yang menjengkelkan itu. Aku lalu menghembuskan nafas sambil menatap Gaga lekat-lekat. Tidak ada doa tolak rezeki, jadi tidak ada alasan bagiku untuk menolak tawaran dari Gaga.
"Aku mau kok," jawabku, membuat pria itu tersenyum lebar. Begitupun Doni yang nampak puas dengan keputusan yang aku ambil. Minimal Doni tidak akan repot-repot ke kosan membantuku merevisi tugas.
"Fix, berarti yang menolong lo bikin tugas yaitu Gaga." Doni menepuk-nepuk bahu Gaga senang.
"So, lo nggak usah mikirin tugas itu dulu, singkirin tuh buku dari meja ini," Rini mengibas-ngibaskan tangannya, "menyempit-nyempit meja saja," titah gadis itu bak seorang ratu.
Aku menoleh sekilas ke arah kursi yang ada di samping Gaga. Seperti mengetahui jalan fikiranku, pria berzodiak Sagitarius itu menggeser buku-bukuku ke arahnya lalu meletakkan buku tersebut ke kursi yang ada di sampingnya. Aku tersenyum sambil berterima kasih, yang di balas Gaga kembali dengan senyuman manisnya.
"Ngomong-ngomong 'adek' tahun baru kemana?" tanya Rini -dengan menekankan kata adek tentunya- kepadaku. Kata adek Rini tadi yang terkesan mengolok-olok diriku, walau aku tidak perlu mempersalahkan olokannya, karena akan membuat dia semakin bersemangat untuk mengolok-olok diriku.
Aku berfikir sejenak sebelum menjawab pertanyaannya itu. Apabila aku masih dengan Reza, tentu aku pasti akan menjawab kalau aku akan menghabiskan malam tahun baru bersama Reza nantinya. Tapi kenyataannya, secara de facto aku bukan lagi pacarnya, walau secara de jure aku masih pacar dari Reza, karena belum ada kesepakatan putus dari kita berdua. Aku menggaruk-garuk hidungku sambil menatap gadis berambut panjang itu.
"Mungkin gue di kosan aja kali ya," jawabku dengan senyum getir terpatri di bibir.
Rini mengangguk sambil menoleh ke arah Doni dan Gaga. "Kalian berdua?" tanya Rini. Wajah Doni tiba-tiba berubah masam, sedangkan Gaga masih diam tanpa berniat buka suara.
"Ngapain lo nanya-nanya? Mau pamer lo?" serang Doni ketus. Doni terlihat tidak suka dengan pertanyaan Rini tadi. Mungkin Doni beranggapan bahwa Rini sedang meledeknya.
"Bukan itu keles, gue nanya supaya kita pas taun baruan bisa sama-sama gitu," sangkal Rini sambil melirik pacarnya sekilas sebelum kembali menatap Doni, "lo kenapa sukzhon mulu sama gue?"
"Gue udah ada acara taun baruan," jawab Doni seraya melipat tangan di dadanya.
"Sama siapa?" potongku cepat.
"Pasti sama si Widya," tebak Rini, "ya kan?"
Doni tersenyum sambil mengangkat alisnya, "yoi dong. Taun 2017 masih sendiri, apa kata Mimi Peri coba."
"Palingan dia cuman bilang cocol manja tuh," celetuk Gaga yang membuat kami berempat terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa di tengah warung yang sedang ramai ini.
"Lo follow instagram dia ya?" tuding Doni menatap Gaga dengan ekspresi geli.
Gaga menggeleng sambil menahan tawa. "Tunggu dia di telolet om-om bertruk putih baru gue mau follow instagramnya," jawab Gaga yang membuat tawa kami semakin riuh. Beberapa pasang mata pengunjung warung kaki lima tertuju kearah kami yang tengah ribut sendiri karena guyonan Gaga yang menggelikan itu.
"Lo sendiri kemana Ga?" tanya Rini di sela tawanya yang belum berhenti.
"Ke Kayangan gue," jawab Gaga asal hingga pacar ketua HMJ itu kembali tertawa. "Gue nggak kemana-mana kok, palingan di rumah aja kok. Nggak ada yang di ajak tahun baruan sih," sambungnya.
Rini melirikku, "mending lo ajak sobat gue deh Ga, dari pada dia lumutan di kosnya, ajak dia gih ke Kayangan," ujarnya disertai tawa geli, "mana tau ketemu sama Mimi Peri kan." Rini lalu menyembunyikan wajahnya ke Alfi sambil menahan tawanya.
Aku mendengus sambil menopang dagu, membuang pandangan sembarangan. Rini memang gila. Iseng, aku melirik Gaga yang ada di depanku. Sial, mataku dan mata Gaga berserobok sehingga cepat-cepat aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Mukaku pasti memerah saat ini karena ketahuan sedang mencuri-curi pandang kepada Gaga. Syukurlah paman penjual nasi gorengpun datang membawa pesanan kami, sehingga perhatian Gaga lepas dariku, dan aku tidak perlu berpura-pura bahwa kejadian tadi tidak pernah terjadi.
---
Aku berjalan ke arah Doni yang sedang memasang helm sambil meneteng buku yang aku pinjam dari perpustakaan kampus. Sahabatku itu nampaknya tidak menyadari kehadiranku, sehingga dehemanku membuatnya kaget.
"Gue boleh nebeng sama lo nggak?" tanyaku. Doni tertegun sebelum melirik motor bebeknya dan mobil Gaga yang terparkir tidak jauh dari kami.
"Lo pulang sama Gaga aja ya. Kebetulan gue nggak bawa helm dua," ujar Doni sambil menunjuk mobil merah yang tengah terparkir di tepi jalan. Aku menoleh ke arah Gaga yang sedang menatap kami dengan tangan di dalam saku, bersandar di kepala mobilnya.
Aku menggigit bibir bawahku, sambil menimbang-menimbang tawaran Doni yang lebih mirip perintah itu. Kejadian curi-curi pandangku masih terngiang di ingatanku, sehingga aku sedikit segan meminta tumpangan pada Gaga. Tidak lupa aku menatap Rini yang sedang memasang helm meminta persetujuannya.
"Mending lo sama Gaga aja, sekalian Gaga bisa langsung ke kosan lo juga. Lagian Doni juga nggak bawa helm kan. Bahaya buat lo," ujar gadis itu sambil naik ke atas motor pacarnya. "Lagian pasti Gaga nggak akan keberatan kok. Ya nggak bro?" Dan si punya namapun mengangguk setuju.
Aku menghembuskan nafas berat sambil menoleh ke arah Gaga yang telah ada di sampingku. Dari pada aku pulang sendiri, yang mungkin saja akan membuat Gaga tersinggung, aku lebih memilih untuk pulang bersamanya, walau konsekuensinya aku masih tidak bisa menghilangkan rasa seganku padanya. "Baiklah," jawabku.
Doni lalu menaiki motor bebeknya itu sambil memasang helmnya. "Jaga sobat gue ya bro. Kalo dia nakal, lapor gue ya," ujar Doni sambil melirikku sekilas. Anak itu sedang mencari perkara denganku rupanya. Aku membuang muka, mengeratkan penganganku pada buku-buku yang aku pinjam itu.
"Siip bro." Gaga mengacungkan jempolnya. Dia lalu menoleh ke arahku, memperhatikanku sejenak sebelum dia meraih buku yang aku tenteng dengan tangan kanannya. "Yuk," ujarnya seraya merangkulku menuju mobil merahnya. Aku sampai salah tingkah dengan perlakuannya itu padaku.
Setelah sampai di depan mobilnya, dia melepaskan rangkulannya lalu membukakan pintu depan sebelah kiri untukku. Aku menatapnya ragu sehingga dengan isyarat tangannya, Gaga mempersilahkanku masuk. Setelah aku masuk, dia menutup pintu, membuka pintu belakang dan meletakkan buku-bukuku di kursi belakang. Dia lalu memutari mobil dan masuk ke dalam mobilnya yang keren.
Gaga melirikku lalu memasangkanku sabuk pengaman. Dia lalu memasang sabuk pengamannya sendiri dengan cepat sebelum tersenyum kearahku sambil memegang stir. Seperti teringat sesuatu, pria itu menoleh ke arah tumpukan buku yang ada di kursi belakang. Dia berfikir sejenak lalu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Kita ke perpustakaan kota dulu ya," ujarnya membuatku terkesiap. Gaga tertawa dengan ekspresiku sehingga dia mengulangi perkataannya tadi. "Kita ke perpustakaan kota, buku referensi kamu nampaknya kurang deh dek."
Aku menoleh ke arah buku yang ada di belakang. "Terserah kamu deh kak," ujarku lagi. Pria yang aku panggil kakak itu tersenyum puas sambil menyalakan mobilnya.
"Santai aja," ujarnya yang aku balas dengan anggukan.
Beberapa lagu telah di putar dan tidak ada pembicaraan di antara kami berdua. Aku yang masih belum dapat melupakan kejadian curi-curi pandang tadi, berhasil membuatku bungkam dan tidak mampu berkata-kata. Begitupun Gaga, pria itu lebih memilih fokus menatap jalanan sambil mendengarkan musik.
Rasa penasaranku ke Gaga membuatku tidak bisa menahan diri untuk tidak menoleh ke arah pria berzodiak Sagitarius itu. Wajahnya rupanya sangat tampan. Rambutnya, alisnya, hidungnya, bibirnya, kombinasi yang pas. Orang tua Gaga pasti sangat gagah dan cantik sehingga dikaruniai anak yang sangat cocok menjadi model ini. Bahkan seharusnya Gaga lebih cocok menjadi selebgram dibanding diriku.
Gaga tiba-tiba menoleh ke arahku, membuat jantungku tiba-tiba bergemuruh ketika pandangan mata kami bertemu. Ah... sial aku ketahuan memperhatikannya lagi.
"Ada apa dek?"
Tenggorokanku tercekat dengan jantung yang berdetak kencang. "Nggak ada kok Kak. Potongan rambut kakak bagus," kilahku asal, membuat Gaga tertawa.
"Potongan rambutnya yang bagus atau orangnya?" godanya. Aku melempar pandanganku keluar, menyembunyikan wajahku yang tengah merona. Apa Gaga cenayang, sehingga dia tahu isi hatiku saat ini.
"Rambutnya kok," jawabku dengan suara sangat pelan. Dari pantulan bayangan di kaca, aku bisa melihat Gaga tersenyum sambil tetap fokus menatap ke depan.
"Iya deh kakak percaya," balasnya.
Aku menghembuskan nafas, mengatur detak jantungku. Hari ini sungguh berat. Makalahku yang harus di revisi, bertemu dengan Reza, ketahuan sedang curi-curi pandang pada seseorang, dan parahnya lagi, aku sedang ada di atas mobilnya sekarang dan bonusnya dia akan membantuku merevisi makalahku yang menggenaskan.
"Kalau adek suka potongan rambutnya, nanti kakak bawa deh ke barbershop langganan kakak."
"Iya kak," Aku tersenyum canggung ke arahnya. Senyum masih terpatri di bibirnya.
Tidak lama, kita sampai di perpustakaan kotaku yang besar. Gaga memarkirkan mobilnya di parkiran perpustakaan yang agak sedikit terpisah dengan bangunan utama.
"Udah sampai," ujarnya sambil melepaskan sabuk pengaman. Begitupun aku yang melepaskan sabuk pengaman tanpa berniat melihat mukanya. Aku lalu cepat-cepat keluar dari mobil sebelum Gaga membukakan pintu buatku. Itu terlalu berlebihan buatku yang seorang laki-laki.
Dari parkiran, aku bisa gedung perpustakaan kotaku yang megah. Gedung berlantai empat dengan arsitektur tradisional modern, bewarna putih, dengan tiang-tiangnya yang besar. Ditambah dengan taman yang ada di sekeliling perpustakaan, membuat kita betah berlama-lama di sini. Sangat cantik sebagai latar belakang foto tentunya.
"Adek mau di foto?" tanya Gaga yang ada di sampingku. Aku menoleh ke arahnya sambil menggelengkan kepala.
"Nggak kok kak," jawabku sambil nyengir padanya, "kita kan ke sini buat cari buku kak, bukan buat foto-foto."
"Nggak ada salahnya kan kita foto-foto. Mumpung lagi sepi." Gaga menoleh ke sekeliling parkiran yang memang sepi.
Aku menggaruk-garuk kepala belakang. Tidak ada salahnya aku berfoto di sini, sambil menyelam minum air. Aku mengangguk mengiyakan pendapat Gaga. Cowok itu tersenyum sambil merogoh sakunya. Dia menyuruhku untuk berdiri membelakangi perpustakaan sambil mengatur sudut pandang yang pas dengan ponselnya. Gaga lalu mendekat ke arahku, lalu merangkulku sambil mengambil foto kita berdua. Tidak hanya satu, tapi beberapa buah foto dengan berbagai pose. Aku kembali meliriknya yang sedang fokus memperhatikan layar ponselnya. Aku merasa deja vu ketika melihat fotoku bersamanya itu.
"Kenapa dek?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya, membuatku terkesiap. Aku langsung melempar pandanganku ke arah lain sambil menggigit bibirku mencari alasan yang tepat.
"Mmm..., Nggak ada kok. Fotonya bagus," jawabku sambil melihat ke arah layar ponsel Gaga.
Gaga tersenyum sambil memasukkan ponsel ke dalam sakunya. "Ya dong bagus. Kan karena ada kakak di situ."
"Hih, pede sekali dirimu kak."
"Bilang aja iya, apa susahnya sih, kalau kak Gaga itu ganteng."
Aku memutar bola mataku jengah. Pantesan saja Gaga dan Doni bisa akur, rupanya mereka adalah orang dengan tipe yang sama. Pede tinggi tanpa bercermin terlebih dahulu. Walau harus aku akui kalau kenyataannya Gaga memang ganteng.
"Ehm, segitu amat sih mau bilang kakak ganteng."
"Kakak ganteng? Fitnah kali ah," jawabku sambil meninggalkannya di belakang. Dia terdengar tertawa di belakang sana, berusaha untuk mengejarku. Tidak ingin terkejar, aku lalu mempercepat langkahku sambil meledeknya lamban. Gaga lalu berlari ke arahku sehingga pria itu menangkapku dan memelukku erat. Aku terpekik kaget, berusaha untuk melepaskan diri dari pelukannya. Rupanya satpam penjaga perpustakaan mendengar pekikanku, sehingga aparat keamanan yang ada di posnya tersebut berlari ke arah kami.
"Ada apa dek?" tanya pak satpam berbadan gempal tersebut dengan pentungan di tangan. Gaga langsung melepaskan pelukannya sambil menatap satpam tersebut terkejut. Satpam tersebut lalu menoleh ke arahku, sambil menatapku khawatir, "adek nggak apa-apa kan?"
"Nggak apa-apa kok pak," jawabku sambil menoleh ke arah Gaga, "kakak saya bercandanya memang sedikit keterlaluan."
"Syukurlah kalau begitu," ujar petugas keamanan tersebut. Tak lupa dia memperhatikan Gaga penuh selidik dari ujung kaki hingga ujung kepala, sebelum satpam berbadan gempal tersebut pergi.
Aku tidak bisa menahan tawaku lagi melihat ekspresi Gaga yang seperti telah melihat hantu. Dia menghela nafas sambil membarut dada. Melihat aku yang tertawa, diapun turut mentertawakan dirinya sendiri.
"Gila, kakak disangka penjahat," ujarnya tidak percaya. "Mana ada penjahat ganteng kayak gini."
"Hih sok kepedean," ujarku membelakanginya menuju pintu masuk. Seulas senyum yang tersungging di bibirku tidak dapat aku tahan karena kejadian tadi. Gaga lalu berlari mengejarku dan kami berjalan beriringan menuju pintu masuk. Aku bisa merasakan satpam itu masih mengawasi Gaga dari posnya.
Setelah mengisi buku tamu, kami lalu masuk kedalam perpustakaan terbesar di kotaku. Aku terdiam sejenak, terperanjat melihat ruangan perpustakaan. Aku jadi bingung sendiri hendak memulai pencarian buku dari sebelah mana.
Gaga menoleh ke arahku. "Ada apa?"
"Eh anu, aku nggak tau mau harus mulai dari rak mana," jawabku malu sambil menggaruk-garuk kepala belakangku. "Aku jarang ke sini."
Gaga terkekeh. "Okedeh sebentar ya," ujarnya sambil menuju meja resepsionis. Aku hanya bisa membuntutinya dari belakang.
"Selamat sore, ada yang bisa kami bantu mas?" tanya wanita berdandanan menor yang ada di meja resepsionis. Dia menatap Gaga seperti singa betina yang sedang kelaparan dengan senyuman yang membuatku muak.
"Buku tentang psikologi di mana ya mbak?"
"Owh, buku-buku tentang psikologi ada di sana mas," ujarnya menunjuk ke arah kiri kami, "rak L.8.07 hingga rak L.8.09. Semuanya tentang ilmu psikologi," ujar wanita yang aku taksir telah berkepala tiga itu. Dia nampak senyum-senyum tidak jelas kepada Gaga.
Gaga menoleh ke arah rak yang dimaksud resepsionis. "Makasih ya mbak," ujar Gaga sambil menggamit tanganku untuk mengikutinya. Aku mengangguk walau mataku belum dapat lepas dari wanita resepsionis tadi.
"Sama-sama mas," ujarnya sambil menggerling nakal ke Gaga. Aku menggeliat jijik sambil menyusul Gaga. Ada banyak rak dan rak tentang psikologi berada lumayan jauh dari meja resepsionis, hingga resepsionis itu pasti tidak akan mendengar percakapan kami.
"Hih, udah tante-tante gitu masih juga godain brondong," gumamku bergidik ngeri membayangkannya menatap Gaga tadi.
Gaga terkekeh, "biasa itu mah. Kenapa?"
"Nggak suka aja. Seharusnya dia profesional dengan pekerjaannya, bukannya malah dengan menggoda pengunjung."
Gaga berhenti sejenak, sehingga akupun turut berhenti. Dia menatapku membuatku tidak nyaman dengan tatapannya itu. "Ada apa?" tanyaku.
"Kamu nggak suka atau kamu cemburu kakak di godain tante-tante?" tanyanya. Aku tercekat dengan pertanyaan Gaga tadi. Aku juga tidak tahu perasaan yang aku rasakan saat Gaga digoda resepsionis tadi, apakah tidak suka atau....
Aku menggeleng sambil menatap Gaga. "Aku nggak suka aja," jawabku tak acuh, mengedikkan kedua bahu. "Yuk kak, kita cari bukunya," ajakku sambil menyeret tangannya menuju rak yang dimaksud oleh resepsionis genit tadi.
Tidak aku sangka ada 3 buah rak besar buku untuk ilmu psikologi. Aku cukup tercengang, karena aku menang tidak pernah datang ke sini sebelumnya. Aku menoleh ke arah Gaga meminta solusi yang tepat memecahkan masalahku ini.
"Materinya mirip-mirip buku yang kamu pinjam tadi kan?" tanyanya yang aku balas dengan anggukan. Dia berdehem sejenak sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya. "Gini aja. Kita bagi tugas, adek yg sebelah kiri dan kakak yang di sebelah kanan. Bagaimana?"
Aku mengangguk setuju sambil menuju rak L.8.07 itu. Sangat banyak buku-buku psikologi di sana. Gila, aku hampir menemukan semua buku yang tertera di silabus saat semester sebelumnya. Tapi tidak untuk semester ini. Aku menyusuri rak-rak buku yang mungkin saja setengah kali lebih tinggi dari tinggiku itu.
Aku mengerang sambil meremas rambutku gemas. Mencari buku membuatku sedikit frustasi. Bagiku ini seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Aku lalu berpindah ke rak berikutnya, menyusuri tiap jengkal buku-buku yang tersusun rapi menurut nomornya. Ini menurutku sia-sia, sangat tidak mungkin aku menemukan buku yang aku inginkan. Aku menyandarkan kepalaku pada rak buku, sehingga aku mendengar suara orang tertawa-tawa di seberangku.
"Gitu aja nyerah," ujar Gaga dari sela-sela buku. "Kakak aja udah ketemu satu." Dia memutar-mutar buku bersampul hijau itu di tangannya. Aku berdecak sambil memutar bola mata jengah. Tak lupa aku mencibirnya dari balik buku.
"Kakak udah sering kesini, makanya mudah aja nemuin buku," ilakku sambil melipat tangan di dada. "Nggak bisa dong disamakan orang yang udah berpengalaman dengan orang yang baru ke sini."
"Makanya sering-sering ke sini. Jangan ke perpus saat ada tugas aja," ujarnya dengan senyum mengejek. "Tahan dulu!" perintahnya sambil merogoh sakunya. Dia kembali memotretku. Dia lalu memperlihatkan fotoku yang sedang cemberut di balik susunan buku. Rupanya Gaga punya bakat di fotografi, dengan fotonya yang sangat keren menurutku. Tidak lupa aku memintanya untuk mengirimkannya kepadaku nanti.
Dengan malas, aku kembali menyusuri rak L.8.08 yang penuh buku. Mataku menjelajahi setiap buku yang tersusun itu dari bawah hingga atas. Aku menyerah apabila di rak ini aku tidak menemukan buku yang sesuai dengan materi makalahku.
Tidak sengaja mataku menangkap salah satu buku yang sesuai dengan materi tugasku, berada di rak yang paling tinggi tepat di depanku. Dengan bersemangat aku melompat-lompat berusaha meraih buku bersampul kuning itu. Sayang sekali tanganku tidak sampai untuk menggapainya. Sambil mengambil ancang-ancang, aku melompat untuk meraih buku itu. Bukannya sukses, tidak sengaja tanganku menggapai sebuah buku yang persis berada di bawah buku psikologi tersebut. Aku terpeleset, hingga buku setebal kamus itu lalu jatuh dan menimpa kepalaku. Tak ayal, buku tebal itu sukses membuatku mengaduh kesakitan.
"Ada apa?" tanya Gaga yang refleks menghampiriku yang duduk tersandar memegang kening. Dia menatapku khawatir, dengan berhati-hati menyentuh keningku yang pasti membenjol. Gaga lalu memegang kepalaku, menghembus sambil mengelus-elus kepalaku. Aku bisa merasakan kepalaku berdenyut-denyut saat ini.
"Kok bisa gini sih?" tanyanya sambil menyerahkan buku setebal kamus itu kepadaku. Dia nampak mengiris melihatku yang nampak kesakitan. Sambil mengelus-elus kepalaku yang masih sakit, aku menunjuk buku bewarna kuning yang ada di rak paling tinggi. Pandangan mata Gagapun tertuju kepada buku itu.
"Aku mau ngambil buku itu, tapi sialnya tanganku malah menyenggol buku ini," jawabku sedikit kesal.
Dia mengangguk-angguk sambil memperhatikanku seksama. Nggak usah memperhatikanku seperti itu Ga, aku tahu bahwa tinggiku tidak sampai untuk meraih buku itu. "Mau aku bantu berdiri?" tawarnya yang aku tolak dengan anggukan. Aku sedikit tersinggung dengan tatapannya tadi.
Dengan perlahan, aku berpegangan pada rak buku dari kayu tersebut, bangun sambil bergelayutan memegang buku tebal yang telah membenjolkan kepalaku. Tubuhku lemas di buatnya.
"Buku warna kuning itu?" terdengar suara Gaga di belakangku, yang langsung aku iyakan. Setelah sempurna berdiri, aku menyandarkan kepalaku ke rak dambil memejamkan mata sejenak. Aku lalu berbalik menghadap kearah Gaga yang ada di belakangku. Darahku tiba-tiba berdesir disaat sahabat Doni itu persis tepat di depanku meraih buku bewarna kuning tersebut. Jarak antara kami tidak sampai sejengkal sehingga bau tubuhnya menyeruak membuat nafasku tertahan. Aku bisa melihat badannya yang tercetak sempurna di balik kemeja yabg dia pakai.
"Ini bukunya," ujarnya sambil menyerahkan buku karangan guru besar ilmu psikologi itu kepadaku. Aku meneguk ludah saking syoknya. Seperti mengetahui apa yang aku rasakan, dia lalu bergeser ke belakang sambil nenggaruk tengkuknya. "Maaf," kata tersebut keluar dari mulutnya.
Aku berusaha mengendalikan diriku sendiri. Aku tersenyum sambil mengucapkan terima kasih padanya. Gaga juga nampak salah tingkah. Dia lalu meraih buku setebal kamus tersebut dari tanganku, mungkin hendak menolongku untuk mengembalikannya kembali me posisi semula. Aku lalu bergeser sehingga kejadian tadi tidak terulang kembali, sekaligus menyembunyikan mukaku yang pasti sudah memerah itu. Seharusnya aku terima saja bantuannya untuk membantuku berdiri tadi tadi.
Kita berdua masih terdiam diantara rak-rak perpustakaan. Aku merasa sangat canggung dengan kejadian yang seharusnya tidak aku persoalkan tersebut. Terdengar bunyi pemberitahuan bahwa waktu berkunjung sebentar lagi akan habis. Gaga lalu melihat jam tangannya, "kebetulan waktu berkunjung udah habis. Bagusnya kita minjam bukunya deh," ujarnya.
Aku menggigit bibirku tanpa mau menatapnya. "Ada apa?" terdengar suara Gaga yang terdengar khawatir.
"Anu, aku nggak punya kartu anggota kak." Aku menatapnya dengan ujung mataku.
"Owh itu," dia tersenyum, "pakai punya kakak aja." Gaga mengeluarkan kartu anggota perpustakaan dari dompetnya.
"Emang nggak apa-apa ya?"
Gaga meraih buku yang ada di tanganku. "Nggak apa-apa kok, pinjaman atas nama kakak aja," jawabnya. "Yuk!"
Aku mengangguk sambil berjalan bersisian menuju tempat peminjaman. Ada beberapa orang yang juga ingin meminjam, sehingga Gaga harus mengantri terlebih dahulu. Iseng, aku lalu menyusuri rak-rak buku yang tidak jauh dari meja peminjaman. Tak jauh dari rak tersebut terdapat beberapa meja yang di khususkan untuk membaca buku. Ada sepasang siswa SMA yang sedang pacaran, dan orang yang sedang tertidur pulas beberapa meja di samping pasangan yang di mabuk asmara tadi.
Mataku tiba-tiba terpaku pada seseorang yang sedang tidur tersebut. Tidurnya sangat nyenyak, berbantalkan salah satu tangannya, dengan tangan yang lain memegang buku. Rambutnya acak-acakan menandakan dia memang sedang menanggung masalah yang cukup sulit. Aku sampai terdiam sejenak menatap pria itu.
"Dek," seseorang menepukku dari belakang sehingga aku terlonjak kaget. Gagapun turut kaget dengan ekspresiku. Dia terkekeh sambil memandangiku takjub. "Liat apa sih, segitu amat," tanyanya sambil mengarahkan pandangannya ke meja baca. "Owh... kamu pengen pacaran di perpustakaan juga?" bisiknya tepat di belakang telingaku dengan senyum mengembang di wajahnya. Wajahku langsung tersipu malu sambil mendorongnya menjauhiku.
"Ah kakak apaan sih," ujarku memalingkan muka. Gaga terkekeh.
"Yaudah, yuk balik," ujar Gaga. Aku mengangguk sambil kembali menoleh ke arah pria yang tengah tertidur itu.
Aku merogoh flashdisk tadi yang ada di kantong celanaku.
--- tbc
R~
Uda plis lah balas Line ku!!!!
Misalnya seperti ini:
1. Selain rasanya yang pas di lidah, juga harganya yang sangat bersahabat dengan kantong kami para mahasiswa membuat kami sering kesana untuk mengisi perut kami yang lapar.
2. Aku lalu memesan nasi goreng spesial sambil menunjuk ke arah meja kami, sehingga paman penjual nasi goreng tersebut mengangguk.
3. Tapi kenyataannya, secara de facto aku bukan lagi pacarnya, walau secara de jure aku masih pacar dari Reza, karena belum ada kesepakatan putus dari kita berdua.
Sorry bukan bermaksud menggurui, tapi bahasa kaya itu kesannya jadi bertele-tele. Chapter selanjutnya semangat..
@josiii @Gabriel_Valiant Maaf atas hasilnya yg krg memuaskan. Part dpn d usahakan yg terbaik. Terima kasih udah memberi saran.
@andrik2007 Aku maunya sma Reza.
@RaraSopi Maaf, mungkin karena aku lagi ngegarap 2 cerita sekaligus, jadinya cara penulisan u/ tokoh Adrian d MBA malah ke bawa2 sma tokoh Aku d AYG. Untuk poin 1dan 3 itu emang cara penulisan tokoh cerita sebelah yg emang agak gmn gt. Klo nomor 2 sebenarnya menjelaskan klo aku ketika mau masuk mesan makanan dlu. Karena nanti si paman nasgor dtng dg pesanan. Terimakasih komentarnya bang. Part dpn akan lebih baik lagi.
@lulu_75 Nampaknya nggk deh bang. Siapa yg ngejodohin.