It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku terguncang-guncang di kursi belakang.
Bukan karena jalannya jelek, tapi karena Ayah harus ngerem mendadak. Di depan sana truk besar terguling, membuat jalanan kontan dipenuhi jeritan klakson. Suara mobil berdecit-decit dan terjadi tabrakan beruntun sekitar sepuluh mobil di depan kami. Untung lah kami tidak ambil bagian dalam drama itu. Nanti perjalanan dua jam berubah jadi setengah hari dengan semua tetek bengek yang harus dijalani.
“Kamu nggak pusing maen laptop gitu?”
Om Nino melongok ke belakang dari kursi penumpang di kiri Ayah. Sohib sekaligus tangan kanan ayahku, Om Nino yang masih melajang ternyata ikut pindah bersama kami ke Bumi Telaga Dalom. Perawakannya tinggi besar seperti tukang pukul. Wajahnya seperti preman, namun hatinya lembut. Kurasa dia sedikit perasa.
“Nggak kok, Om,” jawabku singkat.
Tanganku sedang menimang sebuah bungkusan, kado ulang tahun yang diberikan Arkan di menit-menit terakhir sebelum aku pergi. Cowok itu datang diantar papanya tadi pagi, terlihat sedih melihat kami sudah siap berangkat.
“Kado ulang tahun elu,” katanya menyodorkan bungkusan yang kini kupegang.
“Kok baru dikasih sekarang?”
Dia tersenyum kecil sebagai balasan.
Setelahnya kami hanya diam membisu, berdiri berdampingan melihat Ayah sibuk melakukan persiapan akhir sebelum berangkat. Aku sudah berpamitan pada Mbak Diana malam sebelumnya karena dia kan harus masuk kerja. Sebetulnya dia ingin ngambil cuti supaya bisa ikut mengantarku pergi, tapi kutolak dengan tegas. Aku tak ingin banjir air mata di hari kepergianku. Lagipula aku kan pindah tidak jauh-jauh amat.
Kami masih saling mendiamkan hingga Ayah menyuruhku masuk mobil. Tangan Arkan tiba-tiba mencengkeram lenganku, seolah tidak rela aku pergi. Aku meliriknya. Tidak kusangka dia akan maju dan memberiku pelukan erat. Kurasakan wajahnya basah di sisi leherku.
“Cepetan buka kado gua di mobil, tapi elu butuh laptop buat melihat isinya,” dia berpesan saat melepasku.
Alisku terangkat penuh tanya.
“Elu bakal ngerti semuanya. Gua ingetin dari sekarang, pake earphone, kalo elu nggak mau yang laen ikut denger.”
Aku bisa mengira-ngira apa isinya, jadi aku memberinya anggukan sekilas dan senyum tipis sebelum menghilang ke dalam mobil.
Setelah lama termenung akhirnya aku membuka kado dari Arkan. Benar dugaanku, sebuah flash disk bekas. Kurasa hadiahnya bukan flash disk-nya sendiri, namun folder-folder di dalamnya. Penasaran juga aku dengan isi folder itu. Mengingat sifat Arkan yang ajaib, aku nyaris bertaruh isi folder ini bokep gay, atau deretan foto cowok telanjang, ya… hal-hal norak semacam itu. Benarkah? Jantungku berdegup kencang.
Kalau benar, aku janji bakal menghajarnya saat kami bertemu lagi.
Ternyata dugaanku salah. Puji Tuhan!
Aku menatap takjub pada deretan folder yang dinomori. Sebuah notepad bernama ‘Baca Dulu’ nangkring di atas folder yang lain.
Kupencet notepad tadi.
‘Untuk sahabat terbaikku, Pandu Wiratama Atmaja, dari sahabat, atau mungkin bagimu, mantan sahabatmu, Orion Arkan al-Jauza.’
Begitu lah isi kalimat pertamanya. Respon awalku adalah, ehm, tumben si Arkan sopan dikit, pake ‘aku-kamu’. Lalu diikuti dengan sebaris kalimat kedua.
‘Ini semua memori tentang kita, gua tahu elu masih marah bro, dan mungkin elu nggak mau mengingat semua ini, tapi gua juga tahu, memori ini nggak bakal bisa ilang dari kepala gua, sampai kapan pun, elu sahabat terbaik gua, gua minta maap karena gua nggak bisa jadi teman yang baik buat elu.’
Wah, yang ini sudah kembali pake ‘gua-elu’. Benar-benar tipikal Arkan, plin-plan dan tidak punya pendirian.
Terakhir sebuah catatan, isinya kurang lebih memintaku membuka foldernya satu per satu, dimulai dari angka satu.
Folder pertama diberi judul ‘awal mula’. Untung lah dia tidak sok English dan menamakan folder itu genesis atau apa. Isinya foto-foto waktu kami MOS, awal masuk kelas tujuh. Kami masih mengenakan seragam putih-merah. Meskipun aku sudah bertekad untuk bersikap biasa saja, hatiku tersentuh melihat semua memori di depan mata.
Arkan pasti mengumpulkan semua foto-foto ini dari teman-teman kami yang lain. Ternyata cowok itu bisa juga tidak malas kalau emang sedang niat. File paling bawah sebuah format video. Apakah ini yang tadi dimaksud olehnya agar aku memakai earphone? Aku kembali curiga, jangan-jangan isinya beneran bokep gay?
Elu kayak bukan cowok aja, masa sih kagak punya bokep? Emang nggak pernah coli apa?
Kata-katanya dulu kembali terngiang di kepala.
Kurasakan wajahku matang seperti cabe. Kalau Arkan ada di sebelahku, pasti sudah kuhajar dengan bogem mentah.
Bisa-bisanya dia mencuci otakku dengan kata-katanya yang cabul!
Akhirnya kuputar video itu setelah memastikan earphone-ku sudah terpasang. Aku tak mau terjadi hal tak diinginkan jika ternyata isinya emang bokep gay, dan suara tidak pantas menggema kemana-mana di dalam mobil.
Bisa mati aku dirajam Ayah!
Alih-alih model porno ganteng, wajah bintik-bintik Arkan tampil di layar. Dia duduk di depan meja komputernya, merekam diri sendiri dengan web cam. Whaaat? Apa si Arkan mau jadi model amatir yang suka chatting jorok dan striptis di internet? Kubuang jauh-jauh pikiran itu dari kepala. Terlalu menjijikan! Aku tidak bernapsu membayangkan Arkan melepas pakaian satu per satu, lalu joget-joget di layar, itu membuatku mual.
Rasanya seperti membayangkan ayahku mandi. Sumpah, lebih baik kita akhiri saja soal ini! Gimanapun bagiku Arkan tetap bagian dari keluarga, sama seperti Ayah, Juna, Mbak Diana. Jauh di lubuk hati, masih kuanggap begitu.
Arkan di layar laptop berdehem.
“Hei, Pan… gua seneng elu mau liat video buatan gua. Ya, gua harap elu nggak bosen sama monolog yang bakal elu denger.”
Jari Arkan menyentuh hidungnya sendiri dengan lagak sengak.
“Suatu hari kelabu…” katanya memulai cerita, “di hari pertama perploncoan yang menyaru sebagai masa orientasi siswa, seorang cowok tampan bernama Arkan sang pemburu bertemu muka dengan cowok ajaib yang berhasil mencuri sebongkah hatinya.”
Aku mengernyit. Sebongkah hati? Gombal amat!
“Cowok ajaib itu, karena sebuah alasan bodoh, jatuh dari khayangan, tempat mahluk serba sempurna seperti dirinya memandang rendah dunia. Ya, dia diusir dari nirwana karena sebutir Pir Korea. Di saat para bangsawan nirwana meminta upeti berupa sebutir apel, si cowok ajaib dengan nekatnya membawa Pir Korea ukuran jumbo yang memenuhi kotak makan biru berbentuk wajah si tikus ganteng.”
Anjrit! Kok dia masih ingat sama kotak makanku di hari pertama MOS? Kotak makan Mickey Mouse yang bikin aku pengen bunuh diri saking malunya! Salah ayahku yang dengan teganya lupa membelikan aku kotak makan untuk keperluan MOS, sehingga aku terpaksa membawa peninggalan jaman kelas tiga SD dulu.
“Awalnya kupikir bodoh sekali cowok ajaib ini, kenapa dia rela dihukum di neraka bersama pemburu tampan sepertiku cuma untuk sebuah pir? Ya, anjing-anjing nirwana itu semakin menggila dalam menyelewengkan kekuasaan, apalagi di kelompok neraka, kumpulan jiwa-jiwa biadab yang sama sekali tidak berarti di mata mereka. Aku tertawa melihat cowok ajaib itu menyeret tubuhnya menggelepar seperti cacing di tanah, semua ini demi sebuah pir bodoh? Setimpal kah? Ingin sekali kutanyakan ini pada wajah ajaibnya, yang kini belepotan tanah, membuat kulitnya yang seperti porselen ternoda oleh bumi.”
Em, ini beneran Arkan kan ya? Bukan orang tidak dikenal yang pura-pura jadi dirinya? Masa cowok selengekan itu bisa kepikiran bikin video penuh omong kosong semacam ini? Apa dia baru diculik alien dan otaknya diganti dengan otak sapi? Entah lah.
“Hei, cowok ajaib, tanyaku. Kenapa kamu kurang kerjaan guling-guling di tanah hanya demi sebuah kepuasan sesaat? Dia balas menatapku seolah aku pemburu tampan paling sarap di muka bumi. Maksud kamu apa, wahai pemburu tampan? Aku melirik anjing-anjing nirwana di sekeliling kami, kulihat mereka sedang bersantai memijat-mijat kaki sambil makan berbagai jajanan langit. Ya Allah, siomay itu bikin aku ngiler saja! Kualihkan mataku pada potongan apel di pangkuanku, inilah makan siang kami, mahluk-mahluk hina korban perploncoan. Lalu kutatap potongan besar pir di tangan cowok ajaib. Dia makan dengan lahapnya, seolah tidak iri seperti aku ketika melihat jajanan langit berseliweran tanpa bisa kami sentuh.”
Aku mulai tertawa, ini cara yang aneh untuk menceritakan kisah pertemuan pertama kami yang melibatkan hukuman dari kakak kelas dan Pir Korea. Aku ingat menu makan siang kami adalah sebutir apel, dan aku berulah dengan membawa pir ukuran raksasa. Aku dan Arkan berakhir pada kelompok pembangkang. Ya, kalo Arkan sih emang selalu berulah, berani-beraninya dia menggoda kakak kelas cewek, tidak heran dia dikerjai habis-habisan waktu itu.
“Melihat sorot mengiba si pemburu tampan, membuat cowok ajaib luluh juga. Kamu mau? tanyanya menyodorkan potongan paling kecil. Ish, tidak kuduga ternyata dia pelit juga, niat ngasih kagak sih, umpat pemburu tampan dalam hatinya yang sudah dicuil oleh cowok ajaib. Cuilan itu awalnya nyaris tidak terlihat, tapi semakin hari semakin menganga, membuat si pemburu tampan ketakutan, apakah dia akan mati saat seluruh hatinya dicuil tak bersisa?”
Oke, aku mulai tidak nyaman dengan bagian ‘cuil-cuilan hati’. Entah apa maksud kata-kata Arkan itu? Apa dia sedang menyindirku? Karena dia tahu aku gay? Bukankah sudah kutegaskan aku tidak pernah suka padanya?
Lupakah dia? Atau, dengan semua sifat kepedean dan kepala besarnya itu, dia mengira aku bohong padanya? Bahwa aku diam-diam suka padanya, tapi mengelak karena keadaan? Aku tidak menyukai pemikiran ini.
Kupaksakan diri terus melihat videonya yang tidak lucu.
“Oke, sekian dulu intronya, gua udah kehabisan bahan buat cuap-cuap, gua harap elu nggak bosen dan sudi mampir ke lapak kedua, oke bro!”
Gubrak! Videonya selesai.
Folder kedua dan seterusnya hampir sama seperti folder pertama, berisi kenangan kami di sekolah, dari kelas tujuh sampai kelas sembilan. Kumpulan foto itu membuat hatiku hangat, bahwa sejauh ini hidupku tidak sia-sia. Ternyata aku punya banyak teman, semula tidak kusadari itu, dan semua yang kami alami nyata.
Dulu Bunda pernah bilang ketika dirinya sedang termenung memandangi album keluarga di atas pangkuan, salah satu kelebihan manusia adalah otak kami bisa digunakan sebagai flash disk, tempat menyimpan memori. Kalau kata Bunda, hanya sedikit mahluk ciptaan Tuhan yang diberkahi kemampuan untuk mengingat.
Kupikir dia cuma mengada-ada, membohongi bocah kecil seperti Juna yang tidak mau ikut poto keluarga karena sedang ngambek tidak dibelikan es krim. Tapi sekarang aku sadar, kenangan itulah yang membuat kita jadi manusia, membedakan kita dengan binatang yang hanya didominasi oleh hasrat.
Memori membuat kita ingat hal-hal terbaik yang pernah kita alami, juga hal-hal buruk dan hikmah yang bisa kita petik darinya.
Aku masih tidak yakin alasan Arkan melempar semua kenangan ini ke mukaku tepat di hari aku pindah. Tapi aku mulai berbaik sangka padanya, seperti ajaran Bunda dulu. Kupikir inilah cara Arkan menyemangatiku, memintaku melupakan hal-hal buruk, karena masih banyak kenangan baik yang pernah terjadi.
Perasaanku campur aduk dibuatnya.
Dengan setia aku memencet setiap file berformat video di tiap folder. Meskipun tampang Arkan jauh dari penampakan model porno favoritku, suaranya juga tidak seseksi Phillip Phillips, dan ceritanya soal Arkan sang pemburu dan cowok ajaib kacau balau, mataku terus lekat memandangi laptop sampai video selesai diputar.
Secara sadar atau tidak, aku curiga dia emang sengaja, ada sebuah latar yang selalu tampak, meski tidak mencolok, di dalam layar, di sudut sebelah kanan. Sebuah kalender sobek ukuran besar merah menyala.
Jika melihat dari clue di kalender, sepertinya Arkan membuat video-videonya dengan urutan terbalik. Video di folder pertama dibuat pada hari ketujuh aku di rumah sakit, hari yang sama saat Arkan membawakanku Pir Korea, yang juga disinggung dalam videonya.
Rasanya terlalu pas untuk dibilang sebagai kebetulan. Apa dia emang sudah merencanakan ini? Aku nyaris tidak percaya. Bukan kah kita sedang membicarakan Orion Arkan al-Jauza? Cowok paling simpel yang pernah hidup di muka bumi. Sejak kapan dia jago berstrategi? Apa dia terpaksa belajar bersiasat karena aku, orang yang biasa melindungi dari balik layar, akan segera pergi dari hidupnya yang sederhana?
Tapi nyatanya inilah yang terjadi. Arkan bersiasat di belakangku. Aku kembali memutar apa yang terjadi selama aku di rumah sakit, semua kunjungannya, oleh-oleh yang dia bawakan, obrolan kami, semua seperti diputar kembali oleh videonya di setiap folder. Satu tema untuk setiap folder. Sekali ini Arkan berhasil membuatku angkat topi.
Ada satu hal yang tidak lepas dari pengamatanku. Arkan selalu terlihat lebih murung pada video selanjutnya. Bisa kurasakan efek tindakanku pada dirinya. Arkan terlihat kacau di video yang dibuatnya di awal-awal aku masuk rumah sakit. Terlihat jelas dia mengkhawatirkan aku. Video itu ditaruhnya di folder-folder akhir.
Aku sempat terenyuh melihat penampilan Arkan pada video di folder keempat. Kalau aku benar, artinya video ini dibuat di hari keempatku rawat inap, hari ulang tahunku. Hari dimana dia datang berkunjung membawakanku red velvet. Arkan terlihat rapi dan gagah saat mengintip malu-malu dari punggung ayahku. Yang tidak aku tahu, dia sangat kacau sebelumnya.
Terlihat jelas di video. Rambut berantakan, kemeja seperti tidak disetrika, bahkan matanya sembap. Saat itu mungkin Arkan baru mendengar kabar kalau aku sudah sadar, lalu terburu-buru membuatkan video untuk kadoku, mungkin loh ya, karena nyatanya dia tidak memberiku kado hari itu, hanya sebuah cake.
Di akhir monolog cerita pemburu dan cowok ajaib, Arkan mendesah.
“Hei, Pan… ini video pertama gua soal pemburu dan cowok ajaib, haha.. konyol, gua tahu. Seharusnya gua nyerahin ini buat kado elu, betewe selamet ultah bro, gua harap elu suka kado gua yang aneh ini, meskipun gua pikir-pikir, mungkin gua nggak berani ngasih ini ke elu. Entah lah, kita lihat saja nanti.”
Arkan terdiam selama beberapa detik. Sudut matanya kini basah, jatuh ke pipi bintik-bintik tanpa suara.
“Gua cuma pengen elu tahu, gua sayang elu bro, maapin salah gua selama ini, gua tahu gua udah jahat sama elu. Pan, elu tuh lebih kuat dari ini, gua tahu. Gua mohon sangat bro, jangan lagi ngelakuin apa yang elu lakuin kemaren. Gua nggak bakal ngegombal gua akan selalu ada buat elu, karena nyatanya nggak begitu, tapi elu masih punya Juna, elu harus jadi kuat buat dia.” Suaranya bergetar oleh isakan.
Aku termangu melihat sesal di mata Orion Arkan al-Jauza, ingusnya yang keluar dari lubang hidung, dan pipinya yang basah.
Mobil kembali terguncang. Kualihkan mataku dari laptop ke jalanan di depan.
“Ada lobang tadi,” Ayah memberitahu. “Tumben, biasanya jalan ke sini mulus, namanya juga tujuan wisata.”
“Palingan resort terlambat ngasih angpau, bentar lagi kan Natal,” celetuk Om Nino.
“Hush, jangan komen nggak-nggak!” tukas Ayah.
Om Nino cengengesan di kursi depan.
Aku geli sendiri melihat tingkah dua sohib setengah baya ini. Kata ayahku, mereka berteman akrab sejak SMP, sama seperti aku dan Arkan. Ya, kuharap pertemanan kami bisa seperti Ayah dan Om Nino, langgeng sampai punya anak, meskipun Om Nino masih selibat. Mau tak mau aku curiga kalau omku itu sama seperti aku, dari caranya menatap Ayah, kurasa Om Nino suka padanya, entah lah, aku tak enak hati memikirkan itu.
Rasanya aneh, dan sedih juga. Apakah aku akan ditatap seperti itu oleh anak Arkan nanti? Bukannya aku suka sama Arkan loh ya, tapi bisa saja anaknya nanti berburuk sangka padaku, sama seperti yang kini kulakukan pada Om Nino. Ah, pusing!
“Kamu dari tadi serius amat ngeliatin kado dari Arkan,” komentar Ayah membuatku kaget. “Emang apaan sih isinya?”
“Foto-foto, satu album,” jawabku menerawang. “Ada video juga, sama cerpen.”
Ayah terbahak. “Ayah nggak sangka dia segigih itu.”
“Maksud Ayah?”
“Ayah nggak tahu dia salah apa sama kamu,” kata Ayah sambil angkat bahu. “Tapi dia serius minta maap, kamu jangan lama-lama ngambeknya, kasihan.”
Oh, jadi itu maksud perkataan ayahku dulu di rumah sakit. Aku jelas lega. Kukira Ayah tahu apa yang terjadi antara aku dan Arkan, kalau begitu kan sama saja artinya dia tahu soal kondisiku. Tidak, Ayah masih belum boleh tahu!
Aku tidak mau diusir dari rumah, aku belum sanggup, pikirku muram.
Oke, Pandu, selesaikan ini satu per satu! Kita mulai dari Arkan, ayok kita lihat apa sih mau cowok ini sebenarnya.
Kubuka folder kelima. Isinya sederetan foto dan sebuah cerpen. Aku tidak tahu Arkan bisa menulis cerita. Segera kubaca. Kalimat demi kalimat menari di mataku.
Namanya Pandu Wiratama Atmaja.
Pertama kali bertemu, kami dikerjai sama kakak kelas, diberi berbagai macam tugas sampai aku muak dan meninju salah satu di antara mereka. Bukan salahku! Karena kakak kelas itu sudah keterlaluan. Dia menyuruh Pandu lompat katak dua puluh kali, padahal cowok itu sudah pucat pasi. Mereka tidak tahu Pandu punya asma.
Hari itu hari ketiga MOS. Dua hari pertama, Pandu selalu membantuku. Ya, aku emang suka cari masalah, bahkan saat berdiam diri sekalipun. Lucu, tidak pernah aku begitu cepat akrab dengan orang lain seperti dengannya, mungkin karena kami punya banyak kesamaan. Sama-sama ditinggal pergi ibunda kami, misalnya. Atau golongan darah O rhesus negatif.
Dan kami sama-sama suka melihat langit malam.
Entah apa pesona seorang Pandu sampai aku tidak bisa berhenti memikirkannya.
Aku berhasil masuk kelas unggulan. Kaget juga mengingat semua ulahku saat MOS dulu. Aku dan Pandu duduk semeja. Aku tidak pernah sesenang ini dalam hidupku. Pandu begitu pintar, dan anaknya juga asik. Rasanya kami emang jodoh, aku cerewet dan suka mendominasi, sedang Pandu tidak banyak bicara dan suka mengalah. Aku egois, Pandu bisa mengerti keegoisanku. Kami saling melengkapi, kurasa.
Atau dia cuma senang menjagaku, terserah. Toh Pandu lebih tua dua bulan.
Liburan kenaikan kelas delapan, sekolah mengadakan kegiatan study tour ke Bumi Telaga Dalom, sebuah resort di pedalaman Lampung. Aku sudah lama ingin pergi ke sana, jadi aku sangat senang dengan pilihan sekolahku. Aku yakin di sana tidak kalah dari Bali atau Jogja atau Bandung. Lagipula tempat itu kampung halaman Pandu. Kurasa aku mulai posesif pada sahabatku, ingin tahu semua hal tentang dirinya. Wajar kah itu? Entah lah, kalau dia cewek mungkin sudah kutembak dari kelas tujuh dulu.
Tentu saja tidak kulakukan. Pandu kan cowok. Dan aku masih waras.
Momen yang tidak mungkin kulupakan adalah ketika kami tiduran di sebuah taman bunga di samping danau. Aku dan teropongku, bersuka ria menatap taburan bintang di langit. Tubuh Pandu rebah di sebelahku.
“Danau ini angker loh, Kan!” dia menakut-nakuti.
Aku tidak peduli. Kenapa harus takut kalau dia di sebelahku?
“Gua nggak pernah bosen ngeliat tiga bintang berjejer itu,” kataku mengabaikan ucapannya. Tanganku menunjuk sebuah rasi bintang.
“Bintang Bajak?”
“Emangnya elu orang Jawa?” kataku sewot tanpa alasan jelas. “Gua lebih suka menyebutnya sang pemburu,” tambahku.
Satu alisnya terangkat. “Kalo gua lebih suka nyebut itu narsis!”
“Ah, elu, sialan!” sungutku.
Pandu terbahak. “Lagian lo aneh, suka melototin rasi bintang yang namanya sama kayak lo, apalagi sebutannya, kalo bukan narsis.”
“Tapi sang pemburu emang kilau paling tampan di langit!” tukasku.
“Emm, sayangnya lo bukan mahluk paling cakep di muka bumi.”
“Anjrit!”
Tawanya kembali menyeruak, memenuhi hatiku.
“Tapi lo lumayan cakep kok, bukan paling d’best, di atas rata-rata lah, meski cuma sedikit,” tambahnya, entah menghibur atau menghina. “Kalo lo tetep pasang muka badak, menggombal tiap hari, mungkin Nadia bakal klepek-klepek juga.”
Aku terdiam memikirkan Nadia, cewek yang sejak sebulan lalu jadi gebetanku. Kok bisa ya Nadia mencuri masuk ke dalam hatiku? Padahal selama ini kami tidak akrab, bisa dibilang musuhan. Cewek itu ketua kelas paling galak dan paling sistematis di kelas tujuh. Sebagai ketua kelas, tindak tanduknya seperti robot, nyuruh ini nyuruh itu, lebih cerewet dibanding guru. Dan korbannya tidak jauh-jauh dari aku, si kambing hitam kelas unggulan. Cowok yang dicap badung, tukang berantem, pengaruh jelek buat lingkungan.
Temanku sih banyak, tapi rata-rata mereka segan sama aku, seolah aku sewaktu-waktu bisa meledak dan bogemku terbang kemana-mana. Cuma Pandu yang bersikap biasa saja di dekatku, dia menyapa bukan karena basa-basi, berani meledek tanpa takut kupelototi. Lebih dari itu, Pandu lah yang selalu membelaku di depan guru, Pak Erwansah, misalnya.
Dan Nadia. Cuma dia cewek yang berani marah-marah sama aku, bahkan aku pernah kena jewer sama dia. Cewek sarap! Tapi seperti kata pepatah, kalo itu emang pepatah, benci jadi cinta, kurasa aku kualat.
“Jangan ngomongin Nadia sekarang,” kataku menghindar.
“Ah, lo mah cemen, berantem aja jago, nembak cewek nggak berani!”
Lihat kan, Pandu menggodaku tanpa perasaan.
Kutinju bahunya sampai cowok itu mengaduh. Sukurin, rasain tuh bogemku! “Mungkin gua bakal nembak sang pemburu di atas sana aja,” keluhku.
“Emm, lo mau nembak diri sendiri?” gumam Pandu sinis. “Ternyata lo nggak cuma sekedar narsis, tapi sarap! Emang nggak malu nembak sesama cowok?”
Whaaaaat? Aku tersedak.
“Kalo nembak diri sendiri emang dianggep nembak sesama cowok?” bantahku.
“Ya, nggak juga, kalo lo-nya cewek, ya nembak sesama cewek,” balas Pandu asal.
“Elu sarap kalo lagi liat langit.”
Pandu menghela napas. “Gua sarap kalo ngeliat gemini.”
Kami terdiam sejenak. Pandu mengambil teropong dari tanganku, matanya menggeser dari tiga kilau sabuk Orion, pindah tidak jauh ke sebelahnya, ke arah dua bintang yang menjadi kepala si kembar Castor dan Pollux, mahluk paling berkilau di rasi Gemini.
“Kangen Juna?” tanyaku pelan.
“Selalu.”
Jawabannya membuatku cemburu. Ya, bodohnya aku, kok bisa aku cemburu pada saudara kembarnya? Elu emang sarap, Arkan! Baru sadar?
“Apa gua udah pernah bilang, kalo gua iri sama Juna?”
“Sering.” Pandu memutar bola mata.
“Juna beruntung banget punya abang model elu, perhatian,” gumamku.
Pandu mendengus. “Emang gua kurang perhatian sama lo? Kan udah gua bilang, tingkah lo mirip Juna, bikin gua sayang aja.”
Aku tertawa canggung. Rasanya ajaib banget kan, kami bisa ngomong soal sayang-sayangan begini, secara blak-blakan pula. Gimanapun aku dan Pandu kan sama-sama cowok. Untung lah kami cuma berduaan, tidak ada teman yang dengar. Nanti mereka bisa mikir macam-macam, padahal kan tidak begitu.
Pastinya, iya kan? Sesaat aku meragu, namun ketika sosok Nadia kembali hadir di kepala, semua pikiran aneh yang sempat terlintas langsung lenyap tersapu. Tentu saja tidak ada apa-apa antara aku dan Pandu. Aku anak tunggal yang selalu kepengen punya saudara, dan Pandu seorang abang yang rindu pada adiknya.
Lihat, hubungan kami sesimpel itu bukan? Kami sama-sama cowok.
“Lo inget nggak, Kan? Tiga bulan lalu, abis mid semester?”
Aku menoleh sahabatku. Wajahnya tampak mendung. Teropongku dimain-mainkan seperti tongkat sihir.
“Pas elu mendadak pergi ke Bandung seminggu?” tebakku.
Kepalanya terangguk. “Gua belum sempet cerita, waktu itu gua melayat ke makam Bunda,” katanya lemah.
Napasku terkesiap. Tanganku bergerak mencari telapaknya. “Maap, gua ikut berduka,” aku berbisik, tidak tahu harus berkata apa. Sedikit kuremas kepalan tangannya. Waktu itu Pandu sedikit murung setelah menghilang seminggu tanpa kabar. Saat aku bertanya dulu, sikapnya menghindar. Tidak heran, ternyata ada kejadian seperti ini.
“Bunda kecelakaan, tabrak lari.”
Bisa kudengar amarah pada suaranya. Tentu saja dia marah. Aku yang sahabatnya saja ingin mengamuk mendengar kisahnya. Tabrak lari! Apalagi sampai timbul korban jiwa, bundanya sendiri! Ingin rasanya aku menghajar siapa pun itu yang membuat sohibku kehilangan bundanya, bila perlu kumutilasi sekalian!
“Yang nabrak masih belum ketangkep.”
“Tabah ya, bro!” kataku, merasa bodoh dan tidak berguna. Ya, dari dulu aku tidak pandai merangkai kata. Aku orang yang simpel, tidak bisa menunjukkan perhatianku, tidak seperti Pandu, kurasa aku tidak bakat jadi abang.
Saat ini aku sangat merana, kalau saja aku bisa memindahkan sedikit kesedihan Pandu pada diriku sendiri, pasti sudah kulakukan, lagi dan lagi. Aku tidak tahan melihat kepedihan yang tersirat pada wajahnya.
“Yang gua heran, kenapa Ayah nggak bawa Juna balik?” Pandu kembali curhat padaku. “Dia sama siapa sekarang, gua nggak tahu. Gua cemas banget, gua aja masih nggak terima Bunda pergi, kebayang gimana dengan Juna?”
Hening. Dasar aku mahluk tampan tidak berguna. Kenapa di saat-saat begini otakku malah macet? Kenapa tidak ada kata-kata penghiburan yang keluar dari mulutku? Aku selalu begini, tidak heran orang-orang menuduhku tidak punya perasaan. Aku tahu aku bukan teman yang baik, selalu kesulitan mengutarakan isi hatiku di saat orang lain membutuhkan aku. Mereka pasti mengira aku sangat kejam.
“Tahu nggak, Pan?” kataku memutar otak.
“Hmmm?”
“Mungkin Juna di luar sana juga sedang memandangi Gemini, kepikiran soal elu,” kataku mengarang-ngarang cerita. “Mungkin, di mana pun dia berada saat ini, dia lega ngeliat Castor dan Pollux masih berkilau di langit, karena Juna pasti tahu abangnya, elu bakal selalu mikirin dia, selalu mendoakan yang terbaik untuknya.”
Setelah beberapa saat Pandu tertawa. “Sarap, gombalan lo jelek bener, pantes Nadia kagak bisa lo dapet-dapetin.”
Aku terhenyak.
“Sialan, nyesel gua nyoba ngehibur elu!”
Dia tertawa semakin keras. Aku lega mendengarnya. Jujur aku tidak suka melihatnya sedih. Sama halnya Pandu tidak suka melihatku dijewer.
“Elu tahu nggak, tujuh bintang paling cerah di rasi Orion, semua masuk dalam list bintang paling berkilau di langit malam,” kataku mengalihkan obrolan. Aku tidak suka hal-hal sedih, dan tidak bakat jadi penghibur.
“Yaelah, kumat lagi narsisnya.”
Tidak kupedulikan gerutuan sahabatku. “Kata Papa, dia sama mamaku pertama bertemu di perkemahan kampus, kedua-duanya suka menatap Orion, jadi saat aku lahir mereka langsung milih Orion sebagai namaku.”
“Kok lo nggak dinamain Bintang Bajak aja sekalian?” kata Pandu jutek.
“Elu gimana sih, papa mama gua kan bukan orang Jawa,” jawabku lugu.
“Ish, nggak nyambung.”
“Tadinya gua mau dinamain Orion al-Jabbar.”
“Orion si Raksasa?” tanya Pandu ngakak. “Lo ceking begini ngaku-ngaku raksasa, untung Om Soetarjo berubah pikiran.”
“Ah, sialan lu, bodi atletis gini dibilang ceking, minta beliin kacamata sono sama Om Indra!” tudingku mencak-mencak.
“Bodi atletis?” ulang Pandu, terbahak semakin kencang.
Kutubruk tubuhnya, lalu kupiting lehernya sampai dia mengampun. “Enak aja berani ngatain gua ceking!”
“Udah, nyerah!” serunya. “Sesak, nggak bisa napas, asma gua…”
“Alah, bohong!”
Kami berdua cekakak-cekikik sambil guling-gulingan di tanah.
Tamat!
p.s.
Gua selalu pengen nanya Pandu, apa dia pernah nanya Om Indra, kenapa nama mereka harus Pandu dan Arjuna, bukan Nakula dan Sadewa aja, kalo emang pengen nyomot nama wayang buat anak kembar, kenapa pake setengah-setengah begitu ya, entah lah..
p.s. lagi
Gua bingung pengen nyebut cerita ini cerpen ato apa, karena ini kan bukan fiksi, rasanya tidak pas kalo disebut cerpen, tapi gua enggan menyebut ini diari! Tolong ya ini bukan diari, ehm.. boleh deh disebut jurnal..
Kupandangi foto-foto saat kami liburan ke Bumi Telaga Dalom satu setengah tahun lalu. Itu acara sekolah paling berkesan. Aku ingat hampir semua murid ikut, karena lokasinya tidak jauh dan biayanya tergolong murah.
Ya, study tour itu menjadi pelipur lara di saat hatiku gundah setelah kepergian Bunda, aku sangat merana karena kali ini kepergiannya mutlak, bukan sekedar pindah rumah atau pindah kota dengan alasan yang tidak kuketahui, seperti yang dia lakukan saat usiaku sepuluh. Dia tidak pernah menghubungiku, Bunda pergi seolah aku tidak ada lagi di hatinya. Gimana aku tidak hancur ketika mendapat kabar Bunda kecelakaan dan tubuhnya telah dimakamkan di Bandung. Aku bahkan tidak menghadiri prosesi pemakaman. Bunda sudah dikubur saat aku datang.
Sudah lah, aku tidak mau mengingat soal ini. Rasanya pedih, sakit hati!
Kubaca ulang cerpen, atau diari, atau jurnal, terserah lah, yang dibuat Arkan. Ternyata tidak sejelek yang kukira, meski Arkan tidak bakat menulis, tapi kisahnya mengena di hatiku. Arkan sang Pemburu, begitulah dia menjuluki diri sendiri. Orion seorang pemburu dalam mitos Yunani, dan al-Jauza adalah nama kuno rasi bintang itu dalam bahasa Arab, meskipun nama modernnya berubah menjadi al-Jabbar, sang raksasa.
“Kok elu bisa tahu arti nama gua? Elu ngepens sama gua? Kepo amat!”
Dulu Arkan pernah bertanya, dengan nada sengak minta digampar.
Yang kubalas dengan tonjokan di bahu. Meskipun staminaku lemah karena asma, aku cukup kuat kalo menonjok. Aku tidak mahir berkelahi, tapi aku bisa membuat lawanku babak belur, meski aku tahu aku bakal kalah pada akhirnya.
“Yaelah, lo lupa siapa gua?” balasku sengit.
“Cowok paling pinter seangkatan? Calon astronom amatir?” tebaknya cengar-cengir.
“Nah, itu belum amnesia.”
“Lo sering nuduh gua narsis, terbukti lo lebih narsis!”
“Emang,” jawabku cuek.
“Anjrit!” makinya. “Nggak pernah menang gua debat sama elu.”
“Makanya belajar debat dulu yang bener, baru bebantahan sama gua,” aku terbahak. “Gitu loh, sodara Saif al-Jabbar.”
Arkan membeku di tempat. Mulutnya menganga seperti ikan mas koki. Aku heran, kok dia senang banget terlihat seperti orang bodoh.
“Elu beneran kepo… gila, nggak sangka sohib gua ternyata stalker!”
Saif al-Jabbar, itu nama aliasnya di sebuah forum game. Sumpah, aku juga kaget kami ikut forum yang sama, maksudku, ini kan game kesukaanku, bukan game ketangkasan tidak perlu mikir yang disukai kebanyakan orang.
Tanpa bermaksud merendahkan seorang Orion Arkan al-Jauza, tapi sejak kapan sih cowok simpel itu jadi tergila-gila game strategi macam civilization? Ya, ampun, aku tahu Arkan cinta mati sama game ini, kalau melihat jumlah post dan semua komentar berbunga-bunga di forum. Aku yang cuma kenal saja malu setengah mati dengan komen-komennya, apalagi di sub forum bebas tempat para member berceloteh.
Dia seperti punya kepribadian ganda.
“Udah deh, Pan, stop ketawa!” semburnya. “Emang belum puas bikin gua malu? Entar gua tonjok juga lu!”
Kulihat mukanya semerah tomat busuk. Sejak mengaku suka sama Nadia, mukanya mulai jerawatan. Tapi saat ini, bintik-bintik merah muda di pipinya terlihat kalah merona dibanding sisa wajahnya. Aku terpingkal sampai sakit perut.
“Entar pulang sekolah, maen civ lima aja yuk, bosen maen dota, gua kalah terus.”
Dia mengangguk lesu.
“Sialan elu Pan,” katanya masih tidak terima. “Kok elu tega mata-matain gua. Saif al-Jabbar tuh borok gua, malu tahu!”
“Makanya pilih alias tuh yang bener dikit, kalo al-Jabbar sih clue-nya udah jelas sama kayak nama lo. Terus Saif, emang keren sih, artinya pedang kan, cocok dengan sifat lo yang sengak. Lagian Saif al-Jabbar salah satu bintang di rasi Orion, kalo gua bacanya sih, salah satu nama samaran Orion Arkan al-Jauza.”
“Wew, sejak kapan elu jadi Detektif Conan?” sindirnya.
“Sejak gua muak dengan postingan seseorang bernama Saif al-Jabbar yang sering one liner, flaming dan ngejunk di forum favorit gua, dan tahu kalo lokasi bocah labil ini ternyata di Bandar Lampung, Indonesia.”
“Huu, rugi punya temen calon astronom,” keluhnya.
“Oh iya, Kan, dari kemaren gua pengen nanya satu hal sama lo, emang sejak kapan lo punya bakat eksibisionis?”
“Jangan dibahas!” kilahnya dengan muka merah.
“Ternyata lo bakat bikin stensilan, hobi amat bahas selangkangan di forum.”
“Beneran gua tonjok nih!” Arkan mengejarku.
Tentu saja aku langsung ngacir.
“Kita udah mau sampe,” Om Nino mengumumkan.
Kulepas earphone-ku dan kutatap jendela samping. Jalanan sepi berliku-liku. Di kanan kiriku tampak jurang menganga, tampaknya kami mulai memasuki kawasan Bukit Barisan. Ayah dari tadi sudah mematikan AC karena udara terasa semakin dingin menusuk.
“Kamu nangis, Pan?” Kali ini suara Ayah.
Buru-buru kusapu sudut mataku. “Kelilipan,” kataku jelas-jelas berbohong.
“Hmm, kayaknya kamu udah maapin si Arkan ya?” goda ayahku. “Ayah jadi pengen lihat isi flash disk yang dia kasih ke kamu.”
“Isinya pribadi!” tukasku jutek.
Om Nino tertawa. “Kamu kangen sama Arkan?” dia ikut-ikutan menggodaku. “Nggak sampe satu hari udah kangen-kangenan.”
Aku mati kutu. Kok tega duo bapak-bapak di depanku ini ngebuli remaja unyu-unyu seperti aku. Entah mereka salah makan apa tadi. Kuabaikan saja, daripada mood-ku tambah jelek, kupakai kembali earphone dan kubuka folder terakhir.
Isinya sebuah video bernama ‘conscience’. Selain file video, tidak ada apa-apa lagi di sana, kosong melompong. Tidak ada foto, tidak ada cerpen, hanya sebuah video. Entah kenapa judulnya dalam bahasa Inggris.
Emm, akhirnya dia mulai sok English, responku otomatis.
Saat kupencet tombol putar, sosok Arkan dalam web cam kembali memenuhi layar laptop. Perlu sedetik penuh bagiku untuk mengenalinya. Arkan terlihat berantakan. Banget! Maksudku, dia emang cuek, tapi jelas tidak selepek ini! Tampilannya lebih lusuh dari gembel yang biasa tidur di trotoar jalan.
Rambutnya kusut seperti habis dijambaki, setelan kemeja lusuh dan jins robek yang entah sudah berapa lama tidak diganti. Aku berani taruhan Arkan belum mandi, pesonanya sama sekali hilang, kurasa dikasih gratis pun Nadia bakal menolak cintanya saat ini. Kantung matanya bengkak oleh tangis. Lingkaran hitam dan segaris keletihan tercetak jelas di bawah mata.
Aku belum pernah melihat Arkan kacau begini.
Kulirik ayahku, apakah dia juga terlihat separah ini setelah menungguiku semalaman tanpa tidur saat aku menjalani operasi? Kemungkinan begitu, tapi bedanya Ayah tidak seputus asa Arkan sampai memaksakan diri bikin rekaman dalam kondisi seperti korban tsunami. Kutatap sahabatku, pada sorot matanya yang terlihat nekat.
Cukup lama Arkan membisu, sebelum akhirnya mulai bicara sendiri.
“Hei, Pan…”
Kalimat pembuka yang biasa dia gunakan. Namun ada yang berbeda, suaranya parau, tanpa keceriaan apapun. Arkan terlihat putus asa, mau tak mau membuatku khawatir. Hei, yang baru saja gagal bunuh diri kan aku, terus kenapa sosoknya jauh lebih merana dibanding saat aku menyayat lengan menggunakan pisau dapur? Kudengar jantungku bertalu-talu.
Dia kan tidak mungkin ikut-ikut aku potong tangan?
Aku tahu video ini diambil sebelum aku sadar.
“Gua lega operasi elu udah selesai, kata dokter elu bakal baik-baik aja, tinggal istirahat dan tunggu sadar, bagus lah.”
Ternyata di video kali ini tidak ada akting apapun, tidak ada cerita tentang sang pemburu, cowok ajaib, atau apalah.
Simpel, seperti Arkan yang selama ini kukenal.
“Pas denger beritanya dari Papa, sumpah gua kaget banget. Selama ini elu tuh sosok paling tangguh yang pernah gua kenal, role model semua orang.”
Cowok itu menarik napas dalam-dalam, kemudian terdiam.
“Gua kaget, Pan,” ulangnya lagi, lirih. “Dan gua juga takut, elu begini pasti ada kaitan sama gua, gara-gara sikap gua! Gua emang orang paling tega di dunia. Gua pikir, elu bisa nerima tingkah bodoh gua untuk terakhir kali, seperti elu memaklumi semua sikap gua selama ini. Teganya gua ninggalin elu di saat elu lagi butuh dukungan sahabat elu, dukungan dari gua. Gua emang bego bro. Kenapa sih gua tega bikin sahabat terbaik gua menderita?”
Jeda sejenak. Arkan mendesah.
“Gua mau jujur sama elu, Pan. Dari pertama kita duduk semeja, gua ngerasa ada yang aneh sama diri gua, nggak tahu kenapa sosok elu nggak bisa ilang dari kepala. Tiap kali ke sekolah, gua seneng banget, karena gua bisa ketemu elu lagi. Aneh ya, mana ada sih orang suka pergi sekolah, kecuali mahluk sarap kecanduan belajar kayak elu sama Nadia.”
“Omong-omong soal Nadia, gua beneran jatuh cinta sama dia. Waktu dia mulai merespon semua gombalan gua, sumpah rasanya seperti terbang,” cerita Arkan. Sorot matanya tidak fokus, seolah mengingat kembali perasaan senangnya waktu itu. Sudut mulutnya tersenyum. Tidak lama. Karena detik kemudian wajahnya kembali mendung.
“Tapi bro, elu tahu nggak, sesuka-sukanya gua sama Nadia, tetep nggak bisa bikin elu enyah dari kepala. Pandu Wiratama Atmaja, kenapa elu bagai candu buat gua? Selama ini gua selalu mikir kalo ternyata seorang sahabat lebih penting dari gebetan, seperti elu yang selalu jadi nomor satu, ngalahin Nadia di hati gua.”
“Bro, ternyata gua cuma menipu diri sendiri. Elu masih inget majalah NatGeo edisi Februari yang dulu elu tunjukin, dengan cover pink lope-lope norak. Ya, gua nggak bakal mungkin lupa sama majalah itu, bukan karena covernya norak, tapi karena artikel yang dulu gua baca, artikel yang elu tunjukin sama gua.”
“Karena setelah gua baca tulisan itu sehari sebelum valentine, tiba-tiba gua sadar bro, apa yang selama ini gua rasain buat elu, sama dengan yang dirasain si cowok dalam artikel,” kata Arkan mengaku, setengah panik.
Cowok itu mulai terisak, semula perlahan, makin lama semakin kencang, sampai akhirnya menangis sesugukan.
Aku menelan ludah.
Tenggorokanku terasa kering.
Ini bukan sekedar akting kan? Aku cukup yakin sekarang bulan Desember, tidak ada orang kurang kerjaan yang mau ngerjain aku dan tiba-tiba berteriak April Mop! Dulu kupikir aku mengenal seorang Orion Arkan al-Jauza, membacanya luar dalam seperti membaca buku cetak matematika, simpel dan mudah ditebak.
Ternyata aku salah. Aku tidak lagi mengenalnya.
“Bahkan setelah gua jalan sama Nadia, meskipun belum berstatus pacaran, elu masih jadi nomor satu di hati gua. Ya, Allah, gua jijik sama diri gua sendiri! Gua merasa berdosa sama Nadia, berdosa sama elu. Kenapa gua bisa mengkhianati perasaan kalian? Kenapa gua nggak bisa berenti sayang sama elu, Pan?”
Aku meremas jok kursi begitu erat hingga kuku jariku membekas. Selama ini Arkan al-Jauza suka padaku? Apa tidak salah? Kepalaku berputar, mataku berkunang-kunang.
Ini cuma mimpi kan? Pasti tidak benar-benar terjadi.
Arkan tuh normal, jeritku dalam hati. Kuulangi berkali-kali seperti membaca mantra.
“Selama ini gua selalu memendam rasa suka yang salah ini diam-diam. Gua takut kalo elu sampe tahu, elu bakal benci sama gua, nggak bakal mau lagi jadi temen gua. Pasti elu bakalan jijik sama gua! Sumpah, gua merana banget bro! Sempet terpikir di kepala pengen berbuat aneh-aneh, seperti yang elu lakuin, tapi gua beruntung bro, punya elu sama Nadia. Kalian selalu ada buat gua. Terutama elu, Pan. Elu selalu ngertiin gua, perhatian sama gua.”
“Tapi semua berubah hari itu bro. Elu inget nggak, waktu elu nunjukin majalah keparat itu? Sumpah, jantung gua nyaris copot, apalagi pas elu ngebuka artikel itu, sama sekali nggak terpikir di kepala kalo elu coming out sama gua. Yang ada gua malah parno, elu udah tahu borok gua, dan elu pengen bikin gua ngaku.”
“Gua takut, Pan,” isaknya lirih. “Gua nggak mau kehilangan elu. Rasanya pengen mati aja, daripada elu tahu soal gua.”
Aku menyedot ingus. Tanganku masih mengepal erat. Sekuat tenaga kutahan agar air mata tidak jatuh, tapi percuma. Entah sudah berapa lama tangisku mengalir seperti anak sungai di pipi. Bodohnya aku.
Kenapa waktu itu aku begitu fokus pada diri sendiri, gagal menebak reaksi sahabatku yang ternyata sama takutnya seperti aku.
“Saat elu bilang elu gay, gua pikir elu mau gua ngaku soal perasaan gua sama elu, kalo elu udah nebak sayang gua buat elu. Gua takut banget bro, takut elu pura-pura, takut kalo elu cuma pengen gua ngaku. Dan waktu akhirnya gua sadar kalo elu serius, semuanya udah terlambat. Gua terlanjur bikin elu kecewa.”
“Elu bilang dulu elu sayang sama gua. Dulu, Pan! Artinya sekarang rasa elu udah mati buat gua, rasanya gua mau nangis mendengarnya bro! Meskipun gua tahu elu cuma sayang gua sebatas sodara, adek yang harus elu jaga, karena untuk seorang Pandu, Orion nggak akan lebih dari sekedar pengganti Gemini, selalu begitu, iya kan?”
Arkan mengelap air mata yang tumpah ruah di pipi menggunakan lengan kemeja. Tampak kelegaan ganjil pada sorot matanya, mungkin dengan mengakui semua perasaannya, separo beban pikiran kini terangkat.
“Gua nggak bakal menghindar lagi, Pan. Capek otak gua, sekarang elu udah tahu perasaan sayang gua buat elu.”
Sikapnya kini lebih tenang. Dia berhenti terisak, meskipun butir-butir air mata masih turun meleleh dari sudut mata.
“Pasti elu bingung kan, kenapa gua nggak joget guling-guling waktu elu ngaku ke gua soal rahasia elu?” Senyumnya sedikit merekah. “Jujur gua sempet seneng, gua pikir artinya gua punya harapan bikin elu klepek-klepek sama gua. Meski gua tahu selama ini elu nggak punya rasa buat gua, tapi kalo gua terus pasang muka badak, seperti saran elu dulu, gua bakal gombalin elu setiap hari, pasti rasa suka bakal tumbuh juga di hati elu.”
Dahiku mengerut. Sialan nih bocah, berani amat kegeeran gombalin aku!
“Pasti elu lagi pasang muka jutek ngedenger gua di sini,” tebaknya memaksakan senyum.
Aku tertawa sampai tersedak ingus sendiri.
“Ini yang paling gua sesalin, Pan. Waktu gua sadar gimana adanya elu, gua kok malah takut setengah mati,” bisiknya lirih.
“Gua emang sayang banget sama elu, Pan. Ini fakta dan masih seperti ini sampe sekarang. Tapi, gua nggak mau munafik, gua juga nggak mau terjebak sama perasaan gua ini. Sebut gua egois, karena nyatanya begitu! Gua jatuh cinta sama Nadia, emang nggak sebesar rasa sayang gua buat seorang Pandu, tapi rasa cinta itu ada, nggak dibuat-buat. Cinta gua buat Nadia bukan pura-pura, bukan sekedar kedok. Dan gua terlalu lemah, terlalu takut memperjuangkan sayang gua sama elu. Karena itu gua menjauh dari elu, Pan.”
Wajahnya meringis pedih, seperti muak pada diri sendiri.
“Elu bener tentang gua, Pan. Gua teman paling egois, habis manis sepah dibuang, terserah makian apa yang elu pake buat nyebut gua, nyatanya gua emang mengkhianati elu. Karena gua cari selamet sendiri. Gua takut tertular sama elu, padahal gua sendiri udah terjangkit. Gua mati-matian menjadikan Nadia sebagai obat penawar dari candu bernama Pandu. Dalam prosesnya, gua udah bersikap nggak adil sama kalian, sama Nadia karena selalu gua duakan oleh pesona seorang Pandu, dan sama elu, sahabat yang gua tinggalin karena takut tekad gua runtuh dan gua bakal gombalin elu setiap hari buat jadi cowok gua.”
Arkan kembali menangis.
Kembali kulihat sosok seorang adik pada wajah bintik-bintik di depanku. Ya, aku akan selalu menyayangi Arkan, seperti sayangku untuk Juna. Keduanya adik yang tidak bisa digantikan. Kutatap Arkan, wajahnya yang tampan meski sedikit jerawat menghias pipinya, sikapnya yang keren, cowok paling selengekan di kelas unggulan. Banyak orang salah mengerti dirinya, dia emang terlihat acuh, kadang sangat egois, tapi sikapnya bisa sangat manis.
“Gua capek jadi orang egois, Pan,” katanya lagi. “Tahu nggak, waktu nungguin elu di kamar operasi, gua nggak pernah nyesel begitu seumur hidup. Gua tahu sesal itu nggak ada obatnya. Jadi waktu itu gua bertekad, gua nggak bakal ninggalin elu lagi. Gua janji, Pan, gua akan selalu ada buat elu, baik di saat elu senang atau sedih.”
Matanya kembali menatap nanar, seperti kehilangan sebagian kewarasan.
“Kalopun elu kenapa-napa, gua janji gua bakal nemenin elu sampe akhir,” bisiknya. “Bahkan kalo gua harus nyusul elu ke tempat lain. Gua takut bro, makanya elu harus baek-baek aja, jadi gua nggak perlu nyusul elu kemana-mana.”
“Pan?” Suara ayahku terdengar sedikit geli.
Tiba-tiba aku sadar masih di mobil, tatapan kami bertemu di spion belakang. Aku dan Ayah. Kulihat wajahku merona matang.
Ayah terkekeh. “Kenapa ya, anak Ayah tingkahnya dari tadi seperti orang gila?” gumamnya, cukup keras untuk bisa didengar satu mobil. “Udah nangis, lalu tertawa, terus merengut kemudian cengar-cengir sendiri.”
Aku tidak menanggapi.
“Kamu kayak anak cewek yang lagi jatuh cinta,” komentar Ayah menohok hati.
“Pandu kan cowok, Yah!” seruku murka.
Kedua pria di kursi depan terbahak-bahak. “Perasaan Ayah nggak kayak gitu deh waktu jatuh cinta sama Bunda,” goda ayahku.
“Waktu itu Ayah udah kuliah, dan Bunda cerita kalo Ayah nggak berani nembak langsung,” balasku tidak mau kalah.
“Bunda bilang Ayah nembak pake surat cinta pink lope-lope yang diselipin diem-diem ke tas Bunda! Ayah tahu nggak, waktu di kelas tujuh, temen Pandu pernah nembak Pandu begitu, dan dia CEWEK!” seruku.
Kali ini Om Nino terbahak paling kencang.
“Wah, baru tahu kalo kamu nembak Bundanya Pandu kayak anak cewek nembak cowok.” ledek Om Nino, sengaja membantuku godain Ayah. Kami bertukar kedip penuh konspirasi di spion. Omku itu emang om terbaik.
Ayah berdehem. “Kita udah sampe nih!” katanya ngeles.
Kulihat sebuah bangunan bercat putih di kejauhkan. Ternyata kami emang sudah sampai. Kehidupan baruku akan segera dimulai.
Tapi ada satu hal yang perlu kuselesaikan.
Aku segera turun dari mobil dan pergi ke sudut rumah yang sepi, tidak menghiraukan Ayah dan Om Nino yang sibuk mengatur pindahan. Barang-barang kami sudah dikirim sehari sebelumnya menggunakan jasa ekspedisi. Dan Ayah kini sedang mengkomandoi orang-orang suruhan kakekku untuk beres-beres.
Dengan tidak sabar, kukeluarkan hapeku dari saku celana. Kupencet nomor yang ada dalam daftar prioritas.
Brukk!
Seseorang menabrakku, atau aku yang menabraknya, entah lah.
“Maap,” gumamku otomatis.
“Baru pindahan udah sibuk maen hape, pasti mau telepon ceweknya nih.” Cowok yang tadi kutabrak tiba-tiba menggodaku.
Hah, serius nih? pikirku kaget setengah mati.
Suaranya berat, enak didengar. Kualihkan tatapan mataku dari layar hape. Sosoknya besar menjulang di depanku, setengah kepala lebih tinggi. Kurasa dia anak kuliahan, baru semester awal mungkin, soalnya masih muda banget.
“Baran Noval Alberdo,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Panggil aja Kak Baran.”
Aku sedikit bengong oleh sikapnya yang sok kenal sok dekat. Kusambut tangannya. “Pandu Wiratama Atmaja,” aku mengenalkan diri dengan kaku.
“Gua tinggal di sebelah,” katanya menunjuk bangunan bercat oranye di samping rumahku. “Kita resmi tetanggaan.”
Aku manggut-manggut seperti orang bego. Selintas pikiran menyeruak di kepala. “Kak Baran bintangnya Taurus?” tanyaku tanpa pikir.
“Loh kok tahu?”
Aku cuma tersenyum tipis.
“Hmmm, menarik juga,” gumamnya. “Punya tetangga paranormal, meskipun anak kecil, ya udah, kak Baran pergi bantu-bantu dulu.”
Secepat kilat dia menghilang, kembali ke halaman depan. Tangannya tadi sempat melambai padaku, membuatku terbengong-bengong.
Masih separo bingung oleh tingkah calon tetanggaku, kutekan tombol panggilan di hapeku, menimbang-nimbang apa yang akan kukatakan nanti. Aku sempat merasa cemas melihat rekaman terakhir Arkan. Tapi kupikir cowok itu sudah lama tahu kalau aku baik-baik saja. Jadi tidak perlu ada adegan susul-menyusul dramatis.
“Hei bro,” Arkan mengangkat teleponku.
“Orion Arkan al-Jauza,” aku balas menyapa. “Lo nggak usah sarap pake acara pengen nyusul gua segala!”
Napasnya tersentak di ujung sana. “Elu udah buka kado gua?” tanyanya lirih.
“Lo pikir gimana?”
Arkan mendesah. “Elu marah ya bro?”
“Nggak, cuma murka! Rasanya pengen mutilasi orang!”
“Pan, elu masih nggak mau kasih maap elu buat gua?” gumamnya pasrah.
Suaraku macet di tenggorokan. Kutarik sejumput rambut dengan frustasi. Kenapa sih punya sahabat, tapi bego macam si Arkan!
“Gua sayang sama lo, Kan. Harusnya lo ngomong jujur dari pertama, jadi nggak pake salah paham ala sinetron begini.”
Keluar juga pengakuanku. Omong-omong ini bukan pengakuan cinta ya!
“Maap, Pan, gua…” Arkan terdengar ragu-ragu di sana. “Gua emang sayang sama elu, lebih dari sayang gua sama Nadia, tapi sekarang kami resmi jadian. Meskipun itu elu, nggak ada niat gua buat selingkuh.”
Aku terdiam. “Lo barusan nolak gua?”
“Emang kapan elu nembak gua?” dia balik bertanya, ngeles.
“Ya, nggak pernah sih,” balasku, garuk-garuk kepala. “Cuma sedih aja, kok lo lebih milih Nadia dibanding gua.”
“Emang kalo gua milih elu, elu nya mau sama gua?”
Aku berpikir sejenak, mengulang pertanyaan yang sama sejak aku tahu Arkan suka padaku. “Mungkin nggak,” jawabku jujur.
“Gua kurang ganteng buat elu?”
Loh, kok malah dia yang sewot, padahal aku yang ditolak, aku memaki dalam hati. Eh, tapi kapan aku ditolak, nembak aja nggak pernah kok!
“Orion bakal selalu jadi pengganti Gemini buat gua,” gombalku.
Desahnya menggema di ujung telepon. “Gua selalu tahu.” Suaranya pasrah.
“Kan, lo baek-baek ya di sana,” kataku mulai serius. “Lo bener, Kan. Jangan sampe hanyut kayak gua. Lo masih punya kesempatan. Seenggaknya lo punya penawar bernama Nadia, lo nggak boleh maenin perasaan dia, kalo gua sampe tahu lo selingkuh, lo bakal gua culik ke sini, terus gua tenggelemin ke danau!”
Hening sejenak.
“Maapin gua, Pan, rasanya gua berkhianat lagi sama elu.”
“Jangan gombal, gua nggak pernah jatuh hati sama lo, dasar ge-er!”
“Tapi kalo jatoh sayang pernah kan? Elu ngaku aja deh bro,” katanya terbahak dengan nada kepedean.
“Kan udah tadi ngakunya,” tukasku asal.
Arkan menghela napas. “Orion bakal selalu ingat sama Gemini,” katanya lembut. “Elu tuh sahabat sekaligus cinta pertama gua, kombo maut, dobel kill, nggak bakal mungkin bisa gua lupain seumur hidup!”
Gantian aku yang terbahak.
“Diingat boleh, tapi perasaan lo ke gua harus berubah,” aku mengingatkan. “Lagian lo juga nggak punya harapan bro, kayaknya barusan ada yang berhasil mencuri hati gua, dan nggak cuma sebongkah kayak seseorang, tapi semuanya!”
Pipiku merona, teringat calon tetangga yang tadi kutabrak.
Ya, Tuhan, ini pasti bohong kan? Aku tidak pernah percaya gombalan bernama jatuh cinta pada pandangan pertama, menurutku itu sekedar napsu. Aku penganut paham ‘dalam kebersamaan lahirlah cinta’. Ya, buatku cinta itu harus lah dipupuk, disiangi, dan disiram seiring berlalunya waktu, bukan tumbuh begitu saja seperti kacang ajaibnya Jack.
Tapi di sini lah aku, jatuh cinta pada pandangan pertama, kurasa. Kalau tidak begitu, kenapa kepalaku terus memutar adegan kami berkenalan tadi, cowok kuliahan yang baru saja kulihat dan kukenal, kenapa sosoknya tidak bisa enyah dari otakku?
“Hah, baru tiga jam, elu udah lupa sama gua?” protes Arkan.
“Kalo gua lupa, ngapain gua telepon.”
“Gua bakal merengek sama Papa, biar bisa pindah ke tempat elu.”
“Sarap!”
“Gua cemburu!”
“Lo nggak punya hak, kan lo sendiri yang milih suka sama cewek.”
“Tapi gua masih nggak bisa ngelupain seorang Pandu, hati gua terlanjur dicuil terlalu banyak, gua minta elu balikin beserta bunga!”
Kami berdua terpingkal-pingkal. Air mataku sampai menetes di sudut mata. Tangis bahagia, tentunya. “Gua seneng kita berdua baik-baik saja,” kataku.
“Gua lega kita masih bisa ketawa meskipun elu udah jauh di sana,” balas Arkan.
“Dulu gua sempat cemburu sama Nadia,” aku mengaku.
“Katanya elu udah bisa move on dari gua?”
“Sumpah, kadang gua pengen jewer Nadia kalo lo nggak jadi nginep gara-gara nganterin dia kemana, bikin jengkel aja.”
“Emang elu berani sama Nadia?”
“Emm, lo nggak tahu aja, Kan. Nadia sih jinak kalo sama gua.”
“Karena dia pernah nembak elu?”
Aku kaget. “Nadia udah cerita?”
“Yap, dari awal jadian,” jawab Arkan lirih. “Aneh ya, Pan. Gua dan Nadia sama-sama pernah suka sama elu, dan sekarang kita malah pacaran.”
“Lo bukannya masih suka sama gua sampe sekarang?” godaku.
“Anjrit!”
“Ngaku aja deh!”
“Kalo elunya terus ngegoda gua begini, gimana gua bisa move on dari elu?” protesnya pasrah. Berani taruhan dia sedang menggosok ujung hidung dengan lagak sengak, kebiasaannya kalau lagi merasa jengah.
“Gua juga masih cemburu kok sama Nadia.”
“Buset dah!”
“Mungkin gua juga bakal cemburu begini kalo Juna punya pacar,” kataku tiba-tiba. “Rasanya menakutkan ketika orang yang kita sayang membagi sayangnya dengan orang lain, entah lah, gua mungkin cuma takut kalo gua bakal dilupakan, seperti mainan lama yang tergantikan dengan yang lebih baru.”
“Gombal!”
Aku kembali tertawa untuk kesekian kalinya.
“Lagian elu tuh bukan maenan, mana mungkin bisa dilupain begitu aja.”
Sebentuk rasa lega menyeruak dari perutku, terasa hangat. Aku senang mendengar Arkan berkata begitu.
“Akhirnya kata-kata lo bisa dewasa juga, artinya gua bisa ninggalin lo dengan tenang di sana, Orion Arkan al-Jauza.”
“Tapi elu tetep harus sering nelepon gua.”
“Kenapa bukan lo aja yang telepon?”
“Karena elu kan abangnya, gua kan adek elu, masa gua yang keluar pulsa?”
“Manja!”
“Biarin, omong-omong, elu cerita dong soal gebetan elu yang tadi.”
“Males amat!”
“Pasti ganteng, mirip sama gua.”
Aku membuat suara pura-pura muntah. “Namanya Baran,” akhirnya aku cerita. “Bintangnya Taurus, gua rasa namanya diambil dari Aldebaran, mahluk paling berkilau di rasi Banteng Jantan. Sosoknya gagah seperti namanya.”
“Elu… nggak jauh-jauh dari itu, ketara banget belum bisa move on dari Orion, inget nggak, Orion sama Taurus kan tetanggaan!”
“Masa sih?”
TAMAT
Btw, kisahnya menarik. Ini kisah pribadi kah.....? *karena nama tokohnya diangkat dari username (atau sebaliknya ? Entahlah haha)
@lulu_75 ada lanjutannya sih, nanti gua post kalo uda agak banyakan xp
Ditunggu update Pandu x Baran ya ! Dikasih "bumbu drama" juga nggak apa apa *eh
Kalau mau masukan, paling kayak beberapa typo sih *kayak "maap", atau emang disengaja biar ngikutin flow pembicaraan anak muda pada biasanya ? Hahahaha
Semangat, @Pandu_gemini !
*btw, aku Gemini lho (nggak penting sih LOL)