It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Elu sama Juna beneran bisa telepati?”
Saat itu sore pulang sekolah. Arkan sedang main ke rumah. Sahabatku itu mengutak-atik isi komputer, membaca habis seluruh konten blogku yang cuma sedikit. Aku tiduran di ranjang dengan sikap malas.
“Emang lo percaya sama hal begitu?” aku balas bertanya. Mataku memicing seolah berkata, lo uda gila! “Buat gua, telepati itu cuma ada di dalem dongeng. Itu hal yang konyol,” bantahku geli, tersenyum melihat ekspresinya.
Arkan terlihat tidak tahu harus berkata apa, campuran antara jengkel dan penasaran. “Jadi yang elu tulis di blog tuh apa?” tukasnya.
“Maksud lo, gua sama Juna?” Alisku terangkat menggoda. “Kalo kami sih emang bisa bicara pake bahasa tubuh, tahu kan, itu cara komunikasi paling primitif, sudah ada jauh sebelum manusia mengenal bahasa lisan.”
“Jadi elu berdua bisa ngomong bahasa isyarat ala monyet purbakala? Pantesan aja!” Arkan membalasku. Cengirannya terlihat puas.
“Bodo amat deh, Kan!” gerutuku merasa kalah.
Arkan cengengesan. Sejurus kemudian wajahnya menjadi serius. “Bro, obat yang dulu sering elu makan, itu bukan obat asma kan?”
Tubuhku berguling ke arahnya. Bola mata Arkan yang jernih kecokelatan terpaku melihatku. “Bukan, itu obat schizophrenia, antipsikotik, efeknya sejenis anti halusinogen, mengurangi halusinasi dan semacamnya,” sahutku enteng.
Penjelasanku membuatnya terdiam menahan napas. “Maksudnya, elu tuh…” Arkan tak bisa melanjutkan ucapannya.
“Dokter memvonis gua terkena schizophrenia ringan,” aku mengaku. “Terutama halusinasi, yang gak cuma terbatas pada suara, tapi juga penglihatan. Intinya sih gua divonis gila.” Aku tertawa hambar. Tanganku memeluk guling dan jariku menyusuri pola topi jerami Luffy di sarungnya. Sudut mataku mengawasi reaksi sahabatku.
Arkan kembali bernapas. “Tapi elu gak terlihat seperti orang gila!” bantahnya. “Elu tuh lebih waras dibanding orang kebanyakan,” tambahnya nyengir.
Aku tertawa mendengar komentar sahabatku. Diam-diam aku merasa lega. Aku sudah bosan dianggap gila oleh semua orang, baik ayahku, Dokter Bambang, atau guru wali kelasku. Aku cukup yakin aku masih waras!
“Gua udah berenti minum obat,” aku mengaku.
Arkan mengangguk. “Itu hal yang bagus, iya kan?” Wajahnya terlihat cemas. Jari telunjuknya memainkan ujung hidung.
Kubalas anggukannya. “Gua rasa begitu,” jawabku.
“Jadi, elu udah gak pernah ngeliat hantu lagi?” Arkan meneliti wajahku.
Aku mengangkat bahu. “Itu tergantung, kalo Dokter Bambang atau Ayah yang bertanya, gua akan menjawab tidak.”
“Maksud elu?” Mata Arkan melebar.
“Gua masih sering lihat, memori itu ada dimana-mana, gua gak bakal bohong sama lo karena kita enggak saling menyimpan rahasia.”
Arkan meluruskan punggungnya di kursi. “Apa gak masalah elu gak cerita ini ke om Indra?” tanyanya khawatir.
Aku menaikkan alis dengan wajah dibuat pura-pura kaget. “Sejak kapan lo jadi anak penurut? Bukannya buat lo, aturan tuh ada buat dilanggar? Kenapa kita harus patuh sama aturan konyol yang enggak kita percayai?”
Arkan terdiam. “Menurut elu, apa yang elu lihat itu bukan halusinasi?”
“Siapa yang tahu,” sahutku tersenyum samar. Aku termenung menatap sahabatku. “Kan, lo kenal gak sama cowok ceking, rambutnya poni panjang alay, punya tahi lalat gede di bawah mata, terus hidungnya ditindik?”
Pertanyaanku membuat kening Arkan berkerut. “Elu juga kenal sama Bang Ian?” dia bertanya balik, terlihat sangsi. “Kenal darimana?”
Aku diam menatap langit-langit. “Bang Ian ini, kapan meninggalnya?”
Napas Arkan terkesiap. Kerutan di dahinya semakin dalam. “Bulan lalu. Elu baca beritanya di koran? Dia gantung diri karena mabok lem. Itu cara mati yang sangat konyol.”
“Di pohon depan rumah kosong deket rumah lo itu?” cecarku.
Arkan mengangguk. “Gua sama anak-anak sering maen bola di sana.”
“Lo pernah kencing di pohon itu ya? Sekitar tiga empat hari lalu?” aku kembali bertanya.
Arkan terlihat gelisah. “Emang kenapa elu nanya-nanya begitu bro?” Arkan melirik meminta jawaban. “Elu bikin gua waswas aja!”
“Jadi bener lo kencing di situ, kan udah gua bilang kalo kencing jangan sembarangan!” kataku mengomelinya. “Minimal tuh baca doa dulu, emang anjing maen kencing aja di pohon?”
“Ah, sialan elu Pan! Omongan lo ngaco, enak aja nyamain gua ama dogi!”
Aku tertawa. “Lo minta maaf tuh sama Bang Ian, lo udah ngencingin rumahnya. Dari tiga hari lalu gua ngeliat dia suka ngikutin lo. Gua mana kenal sama dia, cuma gua tahu gimana tampangnya karena sekarang Bang Ian lagi berdiri tepat di belakang lo. Dan mukanya kelihatan jengkel banget!” Jariku menunjuk ke balik bahunya.
Wajah Arkan memutih seperti kapas. Dia sontak melompat dari kursi dan kabur ke ranjang, bersembunyi di belakangku. “Elu serius Pan?” Suaranya bergetar ketakutan.
Aku tidak bisa menahan tawaku melihat Arkan ngacir seperti melihat setan. Tubuhku guling-guling di kasur sambil terbahak-bahak. Arkan terlihat syok saat mendapatiku nyaris kehabisan napas karena terlalu banyak tertawa.
“Sialan! Elu berani bener ngerjain gua!” serunya kesal sambil menindih tubuhku. Tangannya memiting leherku tanpa belas kasihan.
“Ampun, gua nyesel!” jeritku memelas.
Kami bergulat dan guling-guling di kasur sambil tertawa seperti orang gila.
Sosok figurin Luffy si topi jerami menghiasi meja di sebelah ranjangku. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku melamun menatapnya. Ini hadiah ulang tahunku yang kesepuluh dari Pandu. Dia sengaja ingin membuatku jengkel dengan kadonya, karena Pandu tahu sosok mungil ini akan selalu membuatku teringat pertengkaran konyol kami tentang siapa yang lebih hebat antara Naruto atau Luffy. Lucu. Pandu percaya kami tidak pernah bertengkar, sementara aku percaya kami tidak pernah bersahabat. Tidak ada yang benar, tentu saja. Karena seperti yang dulu dia bilang di lapangan basket, kami saling membenci, tapi juga saling menyayangi.
Nyatanya kami bertengkar, lalu berbaikan. Pandu lebih dari sekedar abangku, karena tanpa kusadari ternyata dia juga sahabatku, sahabat terbaik! Maksudku, kami bisa saling mengerti hanya dengan bertatapan. Bukankah ini sangat keren?
Aku berguling turun dari ranjangku. Tanpa bisa kutahan, kakiku melangkah membawaku ke depan kamarnya. Saat tanganku hampir menyentuh kenop, daun pintu membuka dan Pandu berdiri di hadapanku.
Dia tersenyum. Aku menatapnya. Bahkan sampai sekarang aku tidak pernah lupa bagaimana cara dia tersenyum melihatku. Dia terlihat gembira, tapi juga sedih secara bersamaan. Itu tak masuk akal kan? Kurasa duniaku emang di luar logika.
“Ingin tidur bersamaku?”
Kepalaku terangguk. Pandu membalas anggukanku dan berbalik. Aku mengikutinya sampai tepi ranjang, melirik figurin Naruto di mejanya dan tersenyum simpul. Lihat kan, kurasa bukan cuma Pandu yang bisa membaca pikiran. Mungkin tanpa kusadari, aku juga bisa menebak apa yang ada di kepalanya.
Tanpa kata kami naik ke ranjang dan duduk bersila, saling berhadapan.
“Aku akan pergi sama Bunda. Dia memintaku gak cerita sama kamu atau Ayah, tapi aku gak mungkin pergi tanpa pamit sama kamu,” kataku kalem, langsung ke inti masalah.
Mata Pandu terpejam. “Aku tahu,” jawabnya tenang. Keningku mengernyit. Kupikir dia akan marah atau berteriak atau apa pun. Jadi sikap kalemnya sama sekali di luar dugaan. Saat matanya kembali membuka, setetes air mata jatuh di kedua pipi.
“Apa Bunda memberitahumu?”
Kepala Pandu menggeleng. “Tidak.” Suaranya masih terdengar kalem.
Tangannya bergerak menyentuh dada, tepat di atas jantungnya berdetak. “Sesuatu di dalam sini yang memberitahuku,” gumamnya. “Kuharap aku salah, tapi ternyata firasatku selalu benar.” Pandu menghela napas.
“Maap.” Aku menundukkan kepala.
“Bukan salahmu.”
“Ini salahku!” aku menukas. “Mereka bilang aku membawa pengaruh buruk untukmu. Karena khayalan di otakku akan menular padamu. Aku gak mau kamu ikut gila karena punya kembaran gak waras. Aku gak pengen jadi hal yang buruk untukmu.”
“Jangan dengarkan mereka!” Suara Pandu meninggi.
“Tapi itu benar!” seruku tertahan.
Pandu membisu.
“Aku selalu meminum obatku, selalu dengerin apa kata Dokter Bambang, tapi aku masih saja melihat apa yang harusnya gak aku lihat!” kataku frustasi.
Pandu menyentuh kedua bahuku. “Kita akan baik-baik saja, it's a promise, aku gak pernah melanggar janjiku padamu, ingat?”
Jari kelingkingnya teracung di depanku.
Aku menatapnya penuh keraguan. “Apa menurutmu kita akan bertemu lagi?” tanyaku sambil menautkan kelingkingku padanya.
“Tentu, kenapa enggak? Kamu kan tetep adikku.”
“Kamu jadi gila karena aku, mereka benar, aku tuh pengaruh buruk!”
Pandu angkat bahu. “You are the best kind of bad something! Itu dengan asumsi kamu emang seburuk apa kata mereka, yang aku enggak setuju.”
Lucu. Dia terlihat sangat kalem waktu berkata begitu. Ucapannya membuatku merasa lebih berarti. Bahwa aku diinginkan. Mungkin suatu saat nanti aku akan kehilangan semua ingatanku dan menjadi gila, entah lah. Kalau saat itu tiba, kuharap Pandu tidak hilang dari ingatanku.
Ada satu hal yang selalu ingin kukatakan padanya sejak kami dipisahkan. Sesuatu yang mati-matian selalu kuingat, agar ketika kami bertemu kembali nanti bisa kusampaikan padanya. “Terlahir seperti ini mungkin karma buruk untukku. Tapi selalu ada sisi baik dari segala sesuatu, bagiku kamu lah sisi baik itu, kamu menjadi abangku adalah sisi baik dari karma burukku.”
TAMAT
iya kakak, gantian gitu pov nya xp
enggak, Juna dibawa pergi sama Bunda, ninggalin Pandu ama Ayah xp
alurnya maju mundur bikin pusing yak, wkwkwk
sebetulnya ini prequel dari cerita yg lagi gua buat, jadi ada lanjutannya, meskipun gak langsung terkait