It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
See you sampai aku isi ulang nanti, sayang! Lol
*
7
*
Aku benar-benar teman yang luar biasa.
Sepanjang sisa minggu itu aku membiarkan Lydia mengabaikanku dan mengizinkannya mengisolasi dirinya sendiri dari dunia luar. Dia selalu kelihatan sedang berpikir keras, mengerutkan kening dan mengetuk jemarinya dengan berisik ke permukaan meja, atau memandang gelisah ke sekitarnya saat berada di koridor.
Hendra dan Marco sendiri tidak menunjukan batang hidungnya setelah itu, Al memberitahuku kalau mereka telah medapat skorsing dari pihak sekolah karena melakukan tindakan yang melampaui batas. Jadi bisa dibilang sisa minggu itu berjalan dengan sangat membosankan dan mengkhawatirkan. Sisi baiknya aku menghabiskan lebih banyak waktu bersama Al dan tidak ada seorang pun yang mengeluh.
Pada hari Jumat, cowok itu kembali berjalan di sebelahku dan kali ini aku tidak sampai mencelakai diriku sendiri atau setidaknya, mempermalukan diriku. Al terus bicara sepanjang perjalanan, menceritakan berbagai pengalaman konyol yang pernah dia alami bersama kakaknya, dan aku mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku suka melihatnya bicara padaku, suka mendengar suaranya, senang karena dia tidak kelihatan keberatan dekat-dekat denganku.
Pada hari Sabtu, sehabis bel pelajaran terakhir berbunyi, aku dan Al belajar bersama di belakang sekolah, sebuah lahan terbuka dimana terhampar rumput yang hijau, pesawahan warga, dan beberapa tanaman dalam pot plastik milik anak ekskul pecinta alam.
Al membawa sebuah tikar yang dia dapat dari Ruang OSIS, entah bagaimana dia bisa mendapatkannya, dan menggelarnya di salah satu bagian rumput yang terlindung dari sinar matahari. Aku mengeluarkan beberapa makanan ringan yang aku beli di minimarket terdekat.
Kami berbaring telungkup di atas tikar, bertukar pikiran tentang apa dan bagaimana cara penyelesaian soal terbaik, sangat dekat sampai bahu kami bersentuhan. Aku ingin memeluknya, tapi aku tidak melakukannya, meskipun tahu dia takkan keberatan.
Setelah merasa cukup dengan pelajaran, kami memakan makanan ringan yang aku bawa sambil berbaring telentang, memandang langit biru dengan beberapa benda putih yang kelihatan lembut melayang di bawahnya. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Bagaimana kau bisa mengenal Hendra?" Tanyaku dengan nada sebiasa mungkin, mengunyah keripikku dengan suara berisik.
"Hmmm," Al berguman pelan sebelum melanjutkan. "Dulu aku satu sekolah dengannya, waktu SD,"
Aku berpikir sebentar. "Wow, itu berita baru. Aku selalu berpikir kalian baru saling mengenal saat masuk SMA,"
"Yaa, mungkin bisa dibilang begitu juga," Al menggaruk hidungnya. "Waktu itu Hendra pindah sekolah saat kami masih kelas empat, dan semenjak saat itu, kami tidak pernah bertemu lagi sampai akhirnya masuk ke sekolah ini,"
"Pindah? Kenapa?"
"Nah, ini sebenarnya agak.. rumit, kurasa," Al memandangku dengan matanya yang bersinar dengan kekhawatiran dan rasa malu. "Waktu itu ada sedikit kejadian -- kejadian kecil sebenarnya -- dan Ibu Hendra, Ibunya marah besar,"
Aku mendengar nada sedih dalam suaranya, dan karena aku adalah seorang Divergent yang tidak egois dan selalu peduli dengan orang lain, aku menyentuh permukaan tangannya dengan jemariku. Hanya menyentuhnya, tapi Al langsung menggapainya dan menggenggam tanganku erat.
"Apa yang terjadi?" Tanyaku pelan, sebaik mungkin menyembunyikan rasa penasaranku, atau Al akan menyadarinya dan membenciku karena berpikir aku memanfaatkannya. Tidak sepenuhnya salah juga sih..
"Tapi kau jangan tertawa, oke?"
"Oke.."
"Kau harus janji," Al berkata dengan alis bertaut, aku menganggukan kepalaku yakin. "Aku janji,"
"Saat itu.. Hendra.. Dia.. Mecium.. Ku,"
"Oh," gumanku, menghembuskan nafas pelan, lalu menyadari apa yang baru saja aku dengar. "Apa?!"
"Waktu itu dia cuma -- dia cuma menempelkan bibirnya doang, kok!" Kata Al cepat-cepat, seperti seseorang yang ketahuan selingkuh dari pacarnya, mengangkat satu tangannya dan melakukan sumpah dua jari. Aku bertanya-tanya kenapa. "Kami tidak benar-benar ciuman! Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dia lakukan saat itu,"
"Tapi.. Kenapa? Kenapa Hendra menciummu?"
Aku berusaha menyusun puzzle bodoh ini menjadi satu cerita yang utuh, lengkap, dan tidak membingungkan. Aku melihat bagaimana Hendra bereaksi pada Marco saat cowok itu mendekati Lydia, tapi dia tidak pernah menghajarku seperti itu karena dekat-dekat dengan cewek(harusnya..)nya. Aku bahkan tidak pacaran dengan Lydia, tidak juga Marco. Tapi Al..
"Dia suka padaku..?" Al seolah mempertanyakan perkataannya sendiri, karena bahkan bagiku, yang barusan itu kedengaran sangat tidak masuk akal sampai aku mungkin akan tertawa saat itu juga. Tapi ekspresi wajah Al membuatku menahannya. "Dia bilang begitu dulu,"
Nah, itu menjelaskan kenapa Hendra selalu memandangku dengan tatapan benci bila dekat-dekat dengan Al. Dia mungkin belum move on, dan sekarang rencanaku jadi berantakan. Rencananya aku ingin balas dendam pada Al dan Hendra, membuat mereka berkelahi dan menghancurkan wajah satu sama lain, tapi yang aku dapat malah bayangan dua cowok itu saat kelas empat SD, berciuman di suatu tempat yang hanya mereka, orang tua mereka, dan tuhan yang tahu.
"Kau suka padanya juga? Hendra, maksudku," aku bertanya dengan gaya masa bodoh, tapi tidak bisa menolong nada mendamba yang keluar dari bibirku.
"Tentu saja tidak!" Kata Al tegas, mengeratkan genggaman tangannya. "Dia itu tak lebih sahabatku, orang yang aku ajak berbagi cerita dan keringat bersama di lapangan, orang yang selalu berbagi rokok dan kopi bila aku sedang bokek,"
"Oh, bagus, lah," kataku, bernafas lega dan tersenyum padanya. Aku ingin bilang 'aku tidak perlu khawatir', tapi aku tidak ingin dia salah menafsirkan perkataanku.
"Kau tidak mau aku pacaran dengan Hendra?"
"Tidak," aku tertawa kecil mengatakannya. "Tidak Hendra, tidak cowok yang lain pun,"
"Kalau begitu ada satu cowok yang boleh aku pacari? Benar?"
Aku menganggukan kepala.
"Siapa?"
Siapa? Apa aku orang yang boleh Al pacari? Apa Marco orang yang sebaiknya Al pacari? Tapi kalau Marco, Lydia pasti akan sangat patah hati. Apa yang akan dia katakan nantinya.
"Hmm.. entahlah," aku mengangkat bahu. "Siapa orang yang ingin kau pacari?"
"Siapa orang yang ingin kau pacari?"
Kami tertawa terbahak bersama, saling dorong, sebelum akhirnya memutuskan untuk membereskan barang-barang kami dan pulang. Al mengantarkanku dan berkata, dengan malu-malu, kalau dia ingin menginap di kosanku. Aku tersenyum sampai rasanya wajahku mau terbelah dan mengiyakan perkataannya.
Keesokan harinya aku terbangun dengan lengan Al melingkar di pinggangku, wajahnya bersembunyi di suatu tempat di belakang leherku, dengan sesuatu yang keras menempel erat di belahan pantatku. Aku bertanya-tanya sendiri kenapa aku tidak berkata jujur saja kemarin.
*
8
*
Hari Senin datang begitu saja tanpa aku sadari. Aku berangkat ke sekolah pagi itu dengan hati gelisah dan mata jelalatan seperti pencuri yang takut ketahuan warga komplek. Aku tak tahu kenapa aku merasa begitu, tapi aku tak punya waktu untuk memikirkannya terlalu keras.
Kupegang erat tali tas ranselku sambil memasuki halaman sekolah. Beberapa anak tersenyum padaku saat mata kami bertemu, beberapa hanya nyinyir dan kembali pada kesibukan mereka masing-masing. Nah, aku tidak terlalu peduli dengan mereka, karena satu-satunya yang ada di kepalaku adalah Hendra dan Marco. Oke, mungkin itu ada dua, tapi kalian tahu apa maksudku.
Berdasarkan apa yang aku dengar dari Al, hari ini adalah hari pertama dua cowok itu kembali ke sekolah setelah skorsing yang -- katanya -- membosankan. Aku pribadi meragukan apakah Hendra dan Marco merasa bosan karena mendapat skorsing, karena sepengetahuanku, mereka bukanlah type anak yang seperti itu.
Di puncak tangga lah saat pertama kalinya aku menemukan sesuatu yang menenangkan hatiku.
Lydia berdiri sambil memainkan ponselnya, palingan baru selesai upload foto Instagram, lalu mendongkak dan tersenyum saat menyadari keberadaanku. Ya, Tuhan! Cewek itu tidak tahu betapa aku sangat merindukan senyumannya.
"Hei, selamat pagi, Adrian," Lydia menyapa dengan riang gembira sambil mengantongi ponselnya. "Bagaimana kabarmu hari ini?"
"Pagi juga," aku menyipitkan mata memandangnya. Beberapa anak yang tertawa saat melewati kami pasti berpikir aku sedang memejamkan mata. "Sejak kapan kamu jadi sebersemangat ini?"
"Mmm.. Kapan, ya?" Lydia memasang pose berpikir, satu tangan melintang di bawah buah dadanya, satu lagi menekuk dan mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk. "Mungkin semalam, aku lupa,"
"Hmmm," aku menganggukan kepala paham. "Kau yakin baik-baik saja?"
Lydia memutar bola matanya dan mendadak, kelihatan sangat jengah. Ayey! Lydia-ku sudah kembali. "Tidak, sebenarnya, aku merasa gelisah seperti ingin bersin dan buang angin diwaktu bersamaan. Aku tidak tahu mana yang ingin aku lakukan lebih dulu, tapi aku juga tidak mau melakukan keduanya,"
"Ya, aku mengerti," aku mengajaknya berjalan menuju kelas kami. "Kau mau membicarakannya denganku?"
"Nanti. Saat ini terlalu banyak telinga yang mendengar," kata Lydia saat kami memasuki ruang kelas kami.
*
Selama ini aku belum pernah terlibat hubungan romantis, atau sesuatu yang mendekatinya, dengan siapapun selain bantal gulingku. Kebanyakan cewek tidak terlalu menyukaiku, atau dalam kasus Lydia, hanya menganggapku sebagai teman saja. Sebenarnya, Lydia pernah berkata padaku, kalau baginya aku sudah seperti saudara tiri yang super menyebalkan.
Jangan tanyakan kenapa aku tidak berusaha mendekati anak cowok, karena tentu saja mereka akan segera menendangku bahkan sebelum aku sempat mengucapkan 'hai'. Tapi dengan Al rasanya berbeda, spesial.
Cowok itu selalu bersikap baik padaku, setidaknya dalam beberapa minggu belakangan ini, dan tidak pernah kasar(-lagi..) seperti dulu. Kalau aku pikir-pikir sih dia malah memperlakukanku seperti pangeran. Apa sebaikanya aku mengatakan yang sebenarnya saja pada dia, ya?
"Siapa orang yang ingin kau pacari?"
Tentu saja aku ingin memacari Al, ingin selalu menggandeng tangannya sepanjang hari, ingin tidur dengannya, menghabiskan waktu dengannya, menghisap penisnya.. Oke, berhenti di sana, Adrian! Kau sudah melampaui batas. Sheriff Stilinski akan menilangmu karena berpikir ugal-ugalan seperti orang mabuk!
Aku menghembuskan nafas pelan, mendongkak dan memandang cowok berkacamata itu dengan sedih. Dia kelihatan sangat terkejut, karena yang barusan, adalah kalimat terpanjang yang pernah aku berikan padanya. Eh, sebentar, apa aku baru saja mengatakan apa yang ada dalam kelapaku pada cowok ini?
Seolah membaca pikiranku, cowok itu menganggukan kepala, masih dengan ekspresi terkejut yang sama.
"Tali Kutang Lydia!" Aku mengumpat kesal dan bangkit berdiri, menatap cowok berkacamata itu dengan marah. Beberapa anak memandang kami dengan penasaran sambil meminum es seribuan yang mereka beli dari Mang Ujang, aku hanya melambaikan tangan supaya mereka menjauh. "Kenapa aku ada di sini sementara seharusnya aku ada di perpustakaan dan duduk mengobrol bersama pemilik tali kutang itu?!"
"Aku tidak tahu," cowok itu mengangkat bahu. "Kau datang begitu saja menemuiku dan mulai bicara tentang kisah cintamu yang menyedihkan,"
"Silencio, Muggle!" Teriakku kesal. "Anggap saja aku tidak pernah melakukan hal itu dan kularang kau menceritakannya pada siapapun tanpa terkecuali!"
"Kau bicara cukup keras, semua orang dalam radius sepuluh meter bisa mendengarmu,"
"Obliviate! Obliviate! OBLIVIATE!"
*
Aku bertemu dengan Hendra saat aku sedang setengah jalan menuju perpustakaan. Begitu dia menghentikanku, aku tahu aku dalam masalah.
"Dimana Lydia?" Tanyanya tanpa basa-basi. Dia kelihatan lebih berbahaya dari sebelumnya dengan plester kecil menempel di hidungnya, memar yang mulai pudar, dan sorot mata seperti orang yang baru saja keluar dari Arena Hunger Games.
"Aku -- anu -- dia mungkin ada di --"
"Aku bilang, dimana Lydia?" Cowok itu maju dan memangkas jarak kami, aku melangkah mundur mengikuti insting. Astaga, cowok ini pasti kesurupan Nogitsune.
"Aku tak tahu," aku mengatakan kebohongan itu dengan suara bergetar, entah karena kebohonganku atau gertakan Hendra. "Aku juga sedang -- mencarinya,"
"Bohong!" Hendra mendorong pundakku. Tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuatku terjungkal. "Katakan, dimana Lydia berada?!"
Anak-anak mulai berhenti untuk menonton dan mengambil gambar, beberapa bahkan aku yakin sedang merekam video. Tapi aku tidak punya waktu untuk memperhatikan mereka, karena aku punya sesuatu yang lebih berbahaya untuk aku tangani. Kepalan tangan Hendra terangkat, siap menghantamku saat aku menutup rapat mulutku, meluncur dengan mulus ke mukaku.
Kalau saja tidak ada lengan itu yang menahannya, aku yakin aku akan babak belur saat itu juga.
Al menahan lengan Hendra dengan ekspresi keras, seperti orang yang melampaui amarah dan mencapai sesuatu yang lebih tinggi, melotot pada cowok itu seolah siap menelannya hidup-hidup.
"Apa yang sedang kau lakukan?!"
"Lepaskan, Al! Sampah ini harus mendapatkan pelajaran," aku beringsut mundur karena rasa takut. Hendra berusaha menggapaiku, tapi Al mendorong tubuhnya dengan kasar sampai dia menghantam salah satu tiang penyangga atap.
"Sudah kubilang jangan ganggu dia lagi," Al berkata dengan suara setegas baja. Hanya masalah waktu sebelum dia mulai berteriak dan menyerang Hendra. "Apa yang kau inginkan darinya?"
"Kau ini kenapa sebenarnya, Al? Kenapa kau membelanya terus? Apa sebenarnya yang terjadi denganmu?!" Kata Hendra marah, bangkit berdiri dengan muka merah padam. "Kau berubah semenjak Kepala Sekolah memanggil kita! Apa ini semua karena perkataan Kepala Sekolah? Apa kau melakukannya karena kau tak mau menghadapi resiko dikeluarkan bila mencari masalah dengan sampah itu lagi?!"
Nah, aku pernah memikirkannya, jadi aku tidak terlalu terkejut mendengarnya. Aku lebih terkejut lagi karena rencanaku berjalan lancar sepertinya, bahkan tanpa aku berusaha melakukannya. Aku hanya berdiri di antara mereka, dan sekarang, dua cowok ini seolah sedang berusaha meledakan tubuh satu sama lain dengan tatapan lasernya.
"Aku melakukan ini," kata Al, menarik nafas kasar. "Karena aku menginginkannya dan sadar bahwa tidak ada seorang pun yang pantas diperlakukan sebagaimana aku memperlakukan Rian. Dia pantas mendapat perlakuan yang lebih baik, dan aku katakan padamu, aku ingin jadi salah satu orang yang melakukannya,"
Hendra tertawa mengejek, mengerling jijik padaku. "Apa yang sampah itu tawarkan padamu, hah? Apa dia menawarkan tubuhnya padamu? Membiarkanmu menggerayangi --"
Cowok itu tidak sempat menyelesaikan perkataannya, sebab Al keburu maju dan menghantamkan kepalan tangannya ke wajah Hendra. Dia terjungkal dan kehilangan keseimbangan, tapi hanya sebentar, sebelum melakukan serangan balas dendam yang sukses mengenai wajah tampan Al.
Aku bangkit dengan kaki gemetar, berusaha menyeimbangkan diri saat adrenalin dan rasa takut membanjiri tubuhku dengan porsi yang tidak seimbang. Sebenarnya, aku ingin berteriak dan melontarkan kata-kata kotor yang berhasil aku rangkum dari berbagai sumber, tapi aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, dan memutuskan untuk diam saja dan menonton.
Anak-anak sekarang mengalihkan fokus mereka pada kedua anak Adam yang sudah tampak babak belur itu. Hendra kelihatan makin parah denngan memar-memar tambahan. Aku lalu mendaratkan fokusku pada Al, yang kelihatan selangkah lagi menuju kehilangan akal, dan mendadak merasa khawatir.
Tidak, aku tidak sedang menghawatirkan Hendra, aku pribadi berharap dia mati saat itu juga. Tapi aku tak bisa pura-pura tak peduli pada Al. Kalau seseorang tidak segera menghentikannya, dia akan berada dalam masalah besar. Kulangkahkan kakiku mendekat dengan penuh keyakinan dan rencana bodoh yang aku susun dalam waktu lima menit.
"Al, berhenti!" Aku berkata dengan suara keras, nyaris berteriak, dan Al dengan mudahnya mengabaikanku. Dia menghantamkan beberapa pukulan lagi ke perut Hendra, membuat cowok itu kewalahan dan seperti sekarat. "Al, kau bisa membunuhnya, berhenti sekarang!"
Tanpa berpikir aku mendekat lagi dan menggapai lengannya, membuat cowok itu tersentak, hanya sedikit dan mengibaskan lengannya dengan kasar. Sialnya, sikutnya itu yang kurang ajar menghantan sisi wajahku, membuat mataku berkunang-kunang.
Seolah tersadar pada apa yang baru saja terjadi, Al berhenti dan berbalik, tepat saat aku jatuh ke lantai dengan bintang berputar-putar di mataku. Perlahan, pandanganku menggelap, sedikit demi sedikit dimulai dari bagian tepi, terus menyempit ke tengah. Tapi sebelum semuanya benar-benar gelap, aku melihat wajah penuh memar Al melayang di atasku.
Nah, kalau pun aku mati sekarang, setidaknya wajah Al adalah wajah terakhir yang aku lihat sebelum menuju entah-kemana.
*
Aku terbangun karena sesuatu yang basah menempel di lenganku, dan awalnya, aku pikir itu cuma handuk basah. Tapi lalu aku menyadari kalau aku belum pernah menyentuh handuk selembut ini sebelumnya, aku bahkan tidak yakin kalau di dunia ini ada handuk yang seperti itu. Dan lagi, kalau pun itu handuk basah, kenapa ada orang yang melakukannya padaku? Aku bahkan belum 20 tahun.
Mataku yang cantik berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang terasa seperti menusuk indra penglihatanku saat mereka terbuka, memaksaku menyipitkan mereka, dan mengerang tak nyaman. Ada pergerakan mendadak di sebelahku, lalu sebuah suara berkata.
"Hei, Rian? Rian sudah sadar! Rian? Rian? Kau bisa dengar aku? Rian? Adrian?"
Al? Apa yang sedang dia lakukan di sini? Kenapa dia ada di sini?
Lalu seperti adegan film, potongan-potongan kejadian itu pun melintas dengan kecepatan cahaya dalam kepalaku, bergantian menjelaskan mengapa dan bagaimana aku bisa berada di sini. Belakangan aku menyadari tempat ini adalah UKS dan wajah penuh memar Al adalah pemandangan pertama yang bisa aku tangkap dengan jelas.
"Al?" Gumanku dengan suara serak, seperti telapak kaki pecah-pecah yang menyapu karpet berbulu. Aku berdehem dan mencoba bangkit, bersandar di kepala ranjang dengan bantuan Al.
"Rian," suara Al sangat serak, agak basah seperti dia habis menangis, dan itu menjelaskan kenapa wajahnya kelihatan basah dan berkilau saat terkena cahaya. Itu juga membuktikan teoriku tentang handuk tadi. "Aku benar-benar minta maaf -- aku tidak bermaksud -- Hendra mengatakan sesuatu tentangmu yang tak bisa aku -- aku sungguh menyesal melakukannya,"
Aku memijit keningku yang mendadak sakit dan memejamkan mata. Ada suara berbisik di sekitarku, aku pikir hanya dalam kepalaku, tapi begitu aku membuka mata, ternyata bukan cuma Al saja yang menungguiku, atau begitu lah asumsiku.
Lydia berdiri dengan muka sedih, melipat tangannya di dada dengan gelisah, meskipun sedikit rileks saat mata kami bertemu. Ada Bu Tri, beberapa anak cowok yang aku lupa namanya, Marco, dan di sanalah, duduk di atas ranjang lainnya di ruangan ini, dengan kaki menjuntai ke lantai, cowok paling menyebalkan yang pernah aku temui. Hendra.
Dia memandangku dengan ekspresi jijik yang sama, bahkan setelah tahu bagaimana masa lalunya dengan Al, aku tidak pura-pura bersimpati pada keadaannya. Karena satu-satunya yang aku rasakan adalah kebencian yang menggelegak seperti minyak panas dalam kepalaku. Aku ingin membunuhnya.
"Al?" Aku menatap Al, dengan sengaja mengeraskan suaraku. Cowok yang aku panggil bergerak mendekat seperti seorang kakak yang kelewat protektif. "Kau tidak apa-apa?"
"Aku -- ya, aku tidak apa-apa. Aku hanya sedikit memar, akan sembuh dalam beberapa hari," jawab Al, kelihatan sedikit bingung, tapi sekaligus senang aku bertanya padanya. "Kau baik-baik saja?"
"Ya, hanya sedikit pusing. Aku mau minum,"
Lydia dengan sigap maju dan memberikan Al segelas air mineral yang selalu tersedia di UKS ini. Cowok itu menusukkan sedotannya untukku dan mengoperkannya pada bibirku. Tanganku terulur untuk menggapainya, tapi Al menepisnya dengan lembut dan memaksaku minum dari tangannya. Astaga, aku kedengaran seperti seseorang yang sedang mengeluh.
Aku bisa mendengar Hendra memutar bola matanya, dan aku tersenyum kecil karenanya. Kecil karena pipiku sakit setelah kecelakaan tadi, sekaligus karena ada sedotan yang menahan pergerakan bibirku.
Bu Tri bilang aku, Al, dan Hendra boleh keluar nanti saat jam pelajaran sekolah usai, tapi karena Hendra bukan jenis orang yang suka menerima perintah, dia melangkah keluar begitu saja dengan gaya superb. Terpesona, aku ingin mengikutinya, tapi Al si pengkhianat menahanku.
"Kau tidak boleh kemana-mana," katanya, menatapku dengan keras kepala, mengabaikan semua memar mengerikan di wajahnya yang kelihatan seperti tattoo khusus para pecundang.
Al seorang pecundang, dulunya, karena dia membullyku yang lebih lemah dan segalanya dari dirinya. Tapi beberapa jam yang lalu dia membuktikan keseriusannya untuk menjadi lebih baik. Dia membelaku, dan itu artinya, dia adalah Four-ku. Four-ku yang tampan dan pemberani, seorang Dauntless, Divergent sepertiku. Rotfl. Lmao. Lol. Ha. Haha.
"Tapi Hendra boleh keluar, kenapa aku tidak? Dia punya lebih banyak luka dariku!"
"Seperti kau tidak tahu dia saja," kata Lydia sambil mendengus. Aku melotot padanya, atau berpura-pura melotot padanya, karena aku bahkan tidak pernah bisa melakukan hal sesimple itu. "Sudahlah, nanti aku bawakan semua PR-mu, kau diam saja di sini dan beristirahat. Lagi pula kau benci pelajaran Agama,"
"Ah, benar juga," aku menganggukan kepala, lalu berbaring. Senang rasanya bisa membolos pelajaran tanpa perlu berbohong. "Ya, sudah, pergi sana, aku mau tidur lagi,"
Semua orang, kecuali Al, pergi meninggalkanku di ruangan ini. Setelah memastikan pintu tertutup dan tidak ada orang yang mengintip, Al naik dan menyusup ke ranjang sempit yang aku tempati.
Cowok itu berbaring menyamping dan memelukku dengan lembut. Tangannya memeluk pinggangku, kakinya melingkari kakiku, dan wajahanya ia susupkan di dekat leherku. Dia bahkan dengan kurang ajar mencium pipiku, tepat di memar yang baru saja dia berikan.
"Aku sungguh menyesal,"
"Aku tahu," kataku, pelan, sebelum memejamkan mata dan tertidur. Lagi.
*
Lydia menepati janjinya untuk membawakanku PR dari sekolah hari ini. Dia datang bersama dengan Marco malam itu ke kosanku, membawa nasi goreng bersamanya, dan sejumlah PR dan catatan yang super mengerikan.
"Astaga, aku kira kau tadi bercanda," kataku, mengeluh saat Lydia mengeluarkan mereka semua dari dalam tasnya. "Kau harusnya tidak benar-benar berpikir aku menginginkan ini semua,"
"Hei, kau sendiri yang selalu mengingatkanku untuk mengerjakan PR dan belajar yang rajin! Kenapa kau sekarang malah mengeluh padaku?" Omel Lydia sambil menekuk bibirnya dengan posisi yang sangat jelek. "Dewasa lah, Adrian!"
"Ugh, dasar menyebalkan,"
Sebelum mulai mencatat dan mengerjakan soal-soal itu, aku memutuskan untuk memakan nasi goreng yang mereka bawa sambil mengobrol dengan Lydia. Marco sedang sibuk bermain-main dengan laptopku, entah sedang melakukan apa cowok itu, tapi dinilai dari ekspresinya, aku kira dia sedang menonton salah satu vidio kucing koleksiku.
"Koleksimu boleh juga, Adrian," Marco berkata dan tersenyum menatapku, aku menoleh, dan menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan cowok itu. "Aku boleh minta tidak? Aku juga mau menambah koleksiku yang mulai ngebosenin,"
"Eh, sejak kapan gigimu ompong begitu?" Tanyaku penasaran, bergerak mendekat untuk mendapat pemandangan yang lebih baik, tapi Marco dengan cepat menutup mulutnya. "Hei, aku mau lihat!"
Marco menggelengkan kepalanya dan memandang Lydia meminta pertolongan. Cewek itu kelihatan berusaha menahan dirinya agar tidak meledak karena tawa dan air mata. "Oh, tidak, biarkan dia melihatnya, 'Co. Lagi pula cepat atau lambat dia juga akan mengetahuinya,"
Cowok itu merengut, tapi membuka mulutnya juga, perlahan seperti buaya yang kekenyangan. Aku menarik nafas pelan dan beberapa kali berkedip memandang mulutnya.
Secara keseluruhan gigi Marco kelihatan lebih rapi dan cantik dibandingkan gigi siapapun yang pernah aku lihat. Warnanya putih, bersih, dan berkilau, yang mana seharusnya memakai peringatan 'HATI-HATI! BISA MENYEBABKAN BUTA PERMANEN'. Semuanya sempurna, kalau saja tidak ada bagian rumpang di bagian depannya.
"Ya, ampun," kataku disela-sela tawa yang tidak bisa aku kendalikan. Meringis saat kulit wajahku teregang terlalu lebar. "Kau kelihatan -- kau kelihatan -- konyol sekali! Bagaimana kau bisa tahan memandang cermin setiap hari?"
"Ugh," Marco mengeluh dan memasang ekspresi muka super dongkol, yang sebenarnya, kelihatan sebaliknya. Mukanya merona di beberapa bagian, dan dia tidak berani memandang siapapun selain pahanya sendiri. "Ini karena perkelahianku dengan Hendra. Dia mematahkan salah satu gigiku ini,"
"Ugh -- itu sangat --" aku menyeka air mata dipelupuk mataku dengan jemariku. "Kamu luar biasa! Luar biasa menggelikan!"
Aku baru berhenti tertawa saat Marco mengancam akan menghapus semua vidio kucing kesayanganku dan semua file lain yang ada hubungannya dengan kucing di dalam hardiskku. Astaga, cowok itu licik sekali.
*
"Jadi, kau dan Marco?" Tanyaku keesokan harinya saat sedang berjalan menuju kelas kami. "Kau sudah jadian dengannya?"
"Jangan bodoh," Lydia berkata dengan nada tegas, menatapku seolah aku sudah kehilangan akalku. "Aku bukan cewek seperti itu,"
"Tapi kalau dibandingkan dengan Marco," kataku saat kami menaiki tangga. "Dia kelihatan seperti pilihan terbaik,"
"Bisa jadi," guman Lydia pelan. "Aku hanya ingin memastikan beberapa hal dulu,"
"Misalnya?"
"Bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Al,"
"Oh," aku berhenti di puncak tangga, menatapnya dengan kebingungan. Lydia cuma menyeringai dan pergi mendahuluiku. Ugh, dasar cewek.
*
Dahulu kala, jauh sebelum semua skenario membingungkan ini dimulai, kalau aku bertemu dengan Hendra aku mungkin akan memilih jalan yang berbeda atau memutar kalau masih sempat. Tapi karena sekarang aku hidup dalam skenario yang benar-benar baru ini, aku memutuskan untuk mengangkat daguku dan menyambut dengan penuh rasa percaya diri tatapan yang Hendra berikan padaku.
Dia berhenti tepat saat mata kami terkunci pada satu kondisi yang mendebarkan seluruh saraf di tubuhku.
"Adrian," katanya, kedengaran seperti meludahkan namaku dari mulutnya.
Aku mengangkat daguku lebih tinggi. "Ya. Apa?"
"Aku ingin bicara denganmu,"
"Kau pikir apa yang sedang kita lakukan sekarang?" Kataku sinis, bertanya sendiri dari mana keberanian ini datangnya. "Berdansa di prom?"
"Ikut aku," seolah tidak mendengar perkataanku, dia berputar dan berjalan menjauh. Aku mendengus marah sebelum mengikutinya. "Hei! Kau tidak bisa begitu saja menyuruh orang mengikutimu tanpa mendengarkan dahulu apa yang orang itu ingin katakan,"
Hendra membawaku ke sebuah tempat di belakang sekolah, lahan terbuka yang sama tempat aku berguling-guling bersama Al dulu. Dia berhenti sangat mendadak sampai aku nyaris menabraknya. Ugh! Aku benar-benar ingin membunuh cowok ini.
"Katakan bagaimana perasaanmu yang sebenarnya pada Al," kata Hendra, berbalik dan menyilangkan lengan di dadanya. "Aku harus memastikan kau aman dulu sebelum cowok itu menyentuhmu,"
Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi menutupnya lagi saat yang keluar hanyalah suara tarikan nafas dalam yang aku lakukan. Kedua tanganku terangkat dengan gerakan tanggung, telunjuk menantang langit biru. Mataku bergulir pada bibit tanaman yang tidak aku kenali.
"Aku.." aku tak tahu apa yang harus aku katakan.
Hendra mengangkat sebelah alis dan memiringkan kepalanya. "Apa? Kau tidak tahu apa namanya perasaanmu pada Al? Biar kuberi petunjuk; suka, nyaman, sayang,"
"Kurasa aku.." aku memaksa otakku bekerja keras dan menyusun kalimat terbaik untuk merangkum semua perasaanku pada Al. "..suka padanya, benci padanya, nyaman di dekatnya, ingin menjauh darinya.."
"Katakan kau mencintainya,"
Oh, cinta itu kata yang berlebihan, kurasa. Aku baru dekat dengannya beberapa minggu dan masuk akal kah kalau aku bilang aku mencintainya? Secepat itu? Aku khawatir kalau pun aku merasakannya itu hanyalah sebuah perasaan sementara. Ilusi. Imajinasi. Apa bahkan semua kejadian ini nyata?
Tapi meskipun begitu.. balon-balon bodoh yang memantul dalam dadaku, perasaan nyaman saat Al melakukan kontak fisik denganku.. Yang barusan itu kedengaran seperti adegan porno.
"Ya, aku rasa begitu," kataku dengan suara pelan, menurunkan tanganku, dan mengalihkan pandangan. Melalui udara yang aku hirup bisa aku cium aroma seringai Hendra. Baunya seperti sesuatu yang bersisik, berderik, dan punya lidah yang bercabang.
"Apa?"
"Aku mencintainya," kataku setelah menghela nafas, mendongkak dan memberanikan diri menatapnya. "Aku mencintai Al,"
"Baguslah," kata Hendra, menghela nafas lega dan kelihatan sedikit santai. "Kuperingatkan kau! Kalau sampai kau melukainya, sedikit saja aku akan --"
Ugh! Aku tak tahan lagi.
"Kenapa?"
Hendra kelihatan bingung. "Apanya yang kenapa?"
"Kenapa kau khawatir aku akan melukai Al? Kau pikir aku orang yang paling mungkin untuk melakukannya? Aku bahkan takkan bisa mendorongnya supaya menjauh dariku,"
"Karena aku sahabatnya," kata Hendra, menyondongkan badannya padaku. Nah, meskipun begitu, aku melihat ada kilat keraguan di matanya. "Memangnya kenapa lagi menurutmu aku peduli padanya?"
"Hmm, aku nggak tahu sih," aku menyeringai. "Mungkin kau suka padanya?"
Aku perhatikan, wajah Hendra mengalami perubahan dari merah ke ungu lebih cepat dari pada merah ke pucat. Dia mengangkat tangannya, siap menyerangku, tapi berhenti di tengah jalan saat seringaiku makin lebar.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Al menceritakan apa yang terjadi pada kalian saat kalian masih SD dulu," aku mengangkat bahu dengan gaya menyebalkan. "Dia bilang kau menciumnya,"
"Astaga," Hendra berkata, diikuti beberapa kata umpatan yang mengerikan dan tidak enak di dengar. Dia mengusap mukanya dengan frustasi dan untuk beberapa saat, kelihatan sudah siap meledak dalam lautan air mata. "Itu.. aku tidak sengaja,"
"Tapi kau tidak mungkin tidak sengaja suka padanya," aku memutar bola mataku. "Kau masih suka padanya?"
"Ya.."
"Apa karena itu kau selalu kelihatan seperti ingin memakanku belakangan ini?"
"Sebenarnya.." Hendra menatapku. "Itu adalah alasan yang sama yang aku pakai untuk membencimu dua tahun belakangan ini,"
Aku menatapnya kebingungan. "Apa maksudmu?"
"Kau tidak tahu, ya?" Sekarang Hendra yang kelihatan bingung dan kehilangan pegangan. "Aku kira dia sudah memberitahumu,"
"Dia siapa?" Aku benar-benar kebingungan, dan kemarahan sudah siap meledak dalam dadaku karenanya. "Apa yang seharusnya aku ketahui?"
"Al, tanyakan pada Al," Hendra menggelengkan kepalanya, kelihatan lelah. "Aku tak mau memberitahumu,"
Cowok itu berbalik sebelum aku sempat mengatakan apa-apa. Dia berjalan dengan cepat meninggalkanku.
"Hei! Kembali, beritahu aku dulu! Hendra! Kembali ke sini! Accio! Accio Hendra!"
*
Aku duduk meluncur seperti roket lupa di kunci rem di sebelah Lydia yang sedang mengobrol dengan Marco di kantin. Mereka duduk berhadapan dengan meja sebagai pembatas, masing-masing dengan minuman dingin di depan mereka. Aku menyambar minuman Lydia dan meneguknya sampai habis.
"Adrian!" Cewek itu berkata, dengan nada tinggi dan tidak percaya. "Apa yang sedang kau lakukan?!"
"Oh, Nemeton," aku berkata dengan mata terpejam. "Barusan itu aneh sekali,"
"Kau ini sedang ngomong apa, Adrian?" Tanya Marco heran. Aku membuka mata dan memandangnya yang sekarang mengangkat kedua alisnya dengan tampang khawatir. "Kau diganggu orang lain lagi?"
"Tidak secara fisik," aku berkata sambil bernostalgia. "Tapi ya, seseorang menggangguku. Secara mental,"
"Maksudmu?" Tanya Lydia bingung. Aku menjelaskan apa yang baru saja terjadi diantara aku dan Hendra.
".. dan dia bilang aku harus menanyakannya langsung pada Al kalau ingin mendapatkan jawabannya,"
"Kalau begitu tanya saja dia," kata Marco menyarankan, seolah segalanya semudah membalikan telapak tangan. Dia memainkan bibirnya dengan sedotan minuman di tangannya. "Mudah kan? Masalah selesai,"
"Tidak semudah itu," aku memutar bola mataku kesal. "Aku tidak bisa mengatakannya begitu saja tanpa membuatnya merasa tersinggung atau dihakimi,"
"Memangnya kenapa dia merasa seperti itu?"
"Karena ini ada hubungannya denganku! Astaga, Marco kamu bego banget deh," aku merengut dan mengetuk keningku sambil berpikir. "'..alasan yang sama yang aku pakai untuk membencimu dua tahun belakangan inj'.. kalah dia benci padaku karena aku menyukai Al, dan sudah melakukannya selama dua tahun, maka itu jadinya sangat tidak masuk akal.."
"Kalau dia benci padamu karena kau menyukai Al.." Lydia mengulang. "Hei, sudah berapa lama tepatnya kau menyukai Al?"
"Eh, beberapa minggu? Aku tidak menghitungnya,"
"Kalau dia benci padamu selama dua tahun karena kau menyukai Al, yang mana tidak masuk akal.." Lydia menggerakan bibirnya ke kanan dan ke kiri, seirama dengan gerakan kepala Marco. "Mungkin sebenarnya bukan kau yang Hendra maksud,"
"Maksudmu?" Tanyaku dan Marco bersamaan.
"Mungkin, Al sudah menyukaimu dua tahun lamanya sampai Hendra sangat benci padamu," Lydia menyimpulkan, aku dan Marco tertawa terbahak seperti orang gila, membuat beberapa pasang mata mendelik dengan tatapan terganggu. "Tapi masuk akal, kan? Maksudku Hendra masih menyukai Al sampai saat ini, tapi dia tidak bisa memiliki Al karena cowok itu suka padamu, dan menumpahkan rasa frustasinya pada Adrian yang malang dan tidak tahu apa-apa ini,"
"Lydia, itu sangat lebih luar biasa sangat tidak masuk akal lagi," aku menyeka air mata di pelupuk mataku. "Kalau Al menyukaiku selama itu, dia tidak akan mungkin membullyku,"
"Nah, itu yang harus kau cari tahu," Kata Lydia yakin. "Barangkali itu tepatnya yang harus kau tanyakan pada Al,"
"Apa tepatnya yang harus Adrian tanyakan pada Al?" Marco bertanya sambil berusaha mempertahankan suaranya agar tidak pecah dan meledak dalam tawa lagi.
"Kenapa Al membully Rian selama dua tahun belakangan ini," kata Lydia, dengan nada seolah seharusnya semua itu sudah jelas. Aku menganggukan kepala pelan dengan mulut terbuka menanti semprotan sperma. "Semua orang punya alasan. Hendra, karena dia suka pada Al – atau karena Adrian suka pada Al,"
"Nah, benar juga," aku menoleh pada Marco. "Kenapa dulu kau menggangguku?"
Marco kelihatan seperti sedang ditodong dengan golok mengkilap berlumuran darah yang masih segar dan hangat. "A – pa?"
"Kenapa dulu kau menggangguku?"
"Aku.. Entahlah. Mungkin karena kau adalah.. kau?" Dia memandangku dan Lydia bergantian, seolah tidak yakin kenapa dia berada di sini sekarang. "Aku hanya mengikuti orang lain saja,"
"Tidak masuk akal, tapi boleh juga," aku mengangkat bahu dengan lagak tidak peduli, padahal dalam kepala berpikir keras apa kiranya yang ada pada diriku yang membuat orang lain ingin membullyku. "Mungkin aku memang harus menanyakannya pada Al,"
"Keputusan cerdas," Lydia tersenyum dan menepuk pundakku.
*
The End
:v
Ha. Haha. Ha.