It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Hampir dua puluh satu jam aku menghabiskan perjalanan dari Jakarta menuju kota San Francisco bersama Ibuku. Perjalanan dari Jakarta menuju San Francisco dengan transit satu kali di Taipe cukup membuatku bosan. Untungnya kami duduk di kelas bisnis sehingga bisa tidur walaupun tidak begitu nyenyak.
Ku tengok ke sebelah kiri dan kudapati Ibuku sedang membaca salah satu novel yang dibawanya. Terlihat wine merah yang masih tersisa sedikit di gelas yang terletak di meja kecil di hadapannya.
"Mama nggak tidur ma?" Tanyaku.
"Udah tadi. Ini baru kebangun. Masih lama ya kak?" Tanya ibuku.
"Dua jam lagi sih ini kalau lihat di monitor." Jawabku sambil menekan nekan layar sentuh di depanku.
"Kak, mama laper deh. Mintain Roti dong sama mbak nya" Pinta ibuku.
"Roti?" Tanya ku agak heran.
"Iya itu tadi roti sama mentega-nya. Kan dikasih tuh pas kita makan tadi habis tek of (baca: take off)." Jelas mamaku.
Aku menekan tombol untuk memanggil pramugari. Tak selang beberapa lama seorang pramugari menghampiri kursi kami.
"Mr. Putra, Can i get you anything?" Sapa pramugari itu ramah.
"Yes, my mom would like some bread and butter-" Aku menghentikan perkataanku sejenak kepada pramugari itu dan menoleh ke arah Ibuku.
"Ma mau apa lagi? Roti aja sama butternya?" Aku bertanya kepada Ibuku.
"Kopi boleh deh Kak." Jawab ibuku.
"And two black coffee with sugar no creamer." Aku melanjutkan perkataanku kepada si pramugari.
"We are about to serve dinner. Would you like to get the bread first? " Balas pramugari itu lagi
"Oh hold on." Aku kembali menoleh ke arah ibuku.
"Ma, ini katanya makan malamnya sebentar lagi keluar. Masih mau rotinya atau nunggu sekalian makan malam?" Tanyaku sambil menjelaskan kepada Ibuku.
"Oh gitu. Ya udah lah tunggu aja. Tapi kopinya Mama mau sekarang." Balas Ibuku
"Can we just get the coffee then?" Kataku kepada pramugari
Tak lama setelah kopi pesanan Aku dan ibuku datang. Makan malam kami pun dihidangkan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Good evening Ladies and Gentlemen, this is your captain speaking. We are descending towards San Francisco International Airport. The temperature on the ground is 12 degree celsius and We will be arriving shortly. Please fasten your seatbelt and thank you for flying with us."
"Cabin crew prepare for landing"
Suara pilot pesawat terbang memberikan pengunguman bahwa sebentar lagi pesawat akan segera mendarat. Aku pun mulai menegakkan kursi dan mengenakan sabuk pengaman. Kulihat ibuku juga mulai melakukan hal yang sama.
"Udah mau mendarat ya kak?" Tanya ibuku
"Iya." Jawabku.
"Aduh akhirnya sampai juga. Mama udah nggak tahan pengen ngerokok." Jawab ibuku sambil memasukan novel nya ke dalam tas yang disimpan dibawah kursi depannya. Para pramugari terlihat berjalan mondar mandir untuk mempersiapkan pendaratan pesawat.
45 menit kemudian pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Internasional di San Francisco. Satu persatu penumpang pesawat secara tertib dan bergantian keluar dari lorong duduknya dan menuju ke pintu keluar.
Setelah kami masuk kedalam bandara, aku mulai mencari cari petunjuk jalan yang bertuliskan "immigration" dan mengarahkan ibuku untuk mengikuti aku.
Ini pertama kalinya Aku dan Ibuku pergi ke Amerika Serikat. Rasa tegang mulai menyelimutiku. Konon katanya imigrasi di Amerika Serikat itu sangat ketat tidak seperti di negara negara lainnya.
Kamipun tiba di depan antrian masuk imigrasi bandara. Ada dua jalur imigrasi, yang satu bertuliskan "Non-Citizen Visitors" dan satu lagi "Citizen Residence". Aku dan ibuku memilih jalur antrian untuk pengunjung atau "Non-Citizen Visitors". Antrian tidak cukup panjang karena loket imigrasi yang cukup banyak serta kami keluar terlebih dahulu dibandingkan para penumpang yang berada di kelas ekonomi.
"Nggak usah tegang Kak. Santai aja" tegur ibuku disela sela kami menunggu antrian
"Masuklah ya Ma." balasku berusaha menenangkan keteganganku.
"Iya kali" jawab ibuku datar. Jawaban datarnya itu membuatku terheran heran.
"Lho kok iya kali? Mama nih bercanda atau serius?" protesku
"Ah kamu Kak. Gitu aja kok." jawab ibuku meledek
"Ya abis Mama nih. Kan katanya susah masuk Amrik ma." balasku
"Ya kalau nggak boleh masuk ya kita pulang aja." jawab Ibuku santai
"Mama nih!" protes aku semakin keras.
"Udah tuh maju yuk." jawab ibuku sambil menunjuk kearah loket imigrasi. Tanpa sadar kamipun sampai antrian paling depan. Sekarang giliran kami berdua yang berada di loket tersebut untuk diperiksa oleh petugas imigrasi.
Aku menyerahkan paspor dan formulir kedatangan yang sudah diisi waktu di pesawat kepada petugas imigrasi. Petugas itu membuka paspor kami satu persatu dan menaruhnya di semacam alat untuk meng-scan paspor kami.
"Who's Aditya Putra?" Tanya petugas imigrasi yang terdengar lucu dengan logat Amerika-nya saat membaca namaku.
"That's me." Jawabku
"And Sri Astuti? " Tanya-nya melihat ke arah ibuku. Aku tersenyum menahan tawa mendengar nama Ibuku disebut masih dengan logat Amerikanya.
"Yes." Jawab Ibu-ku Singkat.
Petugas itu menanyakan beberapa pertanyaan seperti dimana aku bersekolah dan juga hal hal kecil lainnya. Dia juga bercerita tentang kunjungan ia dan istrinya ke Jakarta di tahun 60-an. Setelah itu dia membubuhkan cap di paspor kami masing masing dan mengucapkan selamat jalan kepada kami.
Lega rasanya hati ini setelah lolos dari pintu imigrasi Amerika Serikat. Ibuku yang berjalan mengikutiku dibelakang senyum senyum melihat raut mukaku yang tadinya sempat sedikit pucat menjadi berbinar.
Kami berdua lanjut menuju pengambilan bagasi pesawat dan berjalan menuju pintu keluar. Sebelum pintu keluar kami di periksa kembali di bea dan cukai. Terlihat ada petugas yang berjaga didekat area bea cukai.
"Eh ma, itu form yang biru mana?" Tanyaku kepada ibuku
Ibuku mengeluarkan satu form lagi berwarna biru bertuliskan 'U.S Customs and Border Protection Declaration Form' dari tas tangannya.
Aku serahkan formulir tersebut kepada petugas bea dan cukai. Mereka membaca sebentar formulir tersebut dan mempersilahkan kami untuk langsung keluar kepintu tanpa harus memeriksa barang bawaan kami.
"Kak... Mama mau ngerokok dulu." Seru ibuku sekeluarnya kita dari dalam bandara.
"Dimana ma?" Tanyaku
"Diluar situ boleh kali." Jawab ibuku sambil menunjuk ke pintu keluar
"Emangnya boleh ma. Biasanya kan ada tempat smoking khusus." Balasku lagi
"Ya udah coba keluar dulu. Nanti kan ada tandanya." Kata ibuku
Kami berjalan menuju pintu keluar dan begitu pintu otomatis terbuka angin kencang dan dingin menerpa kami berdua.
"Buset Kak. Sebentar mama keluarin baju hangat dulu. Ih gila dingin banget!" Kata ibuku berjalan kesamping pintu dan membuka koper kecilnya.
Ibuku mengeluarkan baju hangat berupa coat berwarna merah tua yang panjang sampai di atas lutut. Kemudian Ibuku mengeluarkan sarung tangan kulit berwarna cokelat dan kain pashmina besar berwarna putih dari tas tangannya. Kemudian Ibuku mengenakannya.
"Mama kaya bendera aja." Komentarku sambil sedikit tertawa melihat kombinasi warna warna pakaian hangat yang baru saja dipakai ibuku.
"Eh ini anget banget Kak. Tuh dalemnya kasmir lembut. Enak." Bela ibuku.
"Aku tau. Tapi kenapa harus yang merah sama putih gitu sih?" Tanyaku menggoda lagi.
"Kamu nih kok gitu sama mamanya." Balas ibuku sambil mengait koper kecil ber roda empat berjalan keluar meninggalkanku.
"Ma eh tunggu! Ninggal ningalin lagi. Kok sama anaknya begitu." Balasku meledek sambil mengikutinya keluar.
Ibuku tidak bisa berbahasa inggris dengan lancar. Kalau kata-nya sih bisa sedikit-sedikit. Tapi kalau soal mencari tempat merokok, dimanapun itu ibuku selalu bisa menemukannya. Bahkan saat kita di Jepang, Korea, atau di Thailand yang huruf-nya bukan alphabet sekalipun dia bisa menemukan tempat untuk merokok.
Ibuku bisa dibilang perokok berat. Pernah aku tanya sejak kapan ibuku merokok. Dia bilang sejak SMA. Dulu almarhum kakekku punya toko di depan rumahnya di Solo dan ibuku suka diam diam mengambil rokok di warung kakekku tersebut. Kalau ketahuan dihajar habis oleh kakekku yang mantan tentara itu.
Akupun juga sebenarnya merokok, tapi ibuku pernah berkata 'Oh awas aja sampai mama liat kamu ngerokok. Mama gebok kamu. Kamu nanti kalau mau merokok kalau sudah kuliah.' Jadilah aku merokok secara sembunyi sembunyi.
Aku duduk di sebelah ibuku yang sedang merokok sembari melihat telepon genggam-nya. Bunyi dering pesan singkat datang silih berganti. Sebentar kemudian dia membuat panggilan telepon.
"Halo Pa. Baru aja nih keluar dari imigrasi... Ini Saya lagi merokok... Habis ini menuju ke hotel... Nih Ditya sebentar..." Ibuku menyerahkan telepon genggamnya kepadaku.
"Halo Pa. Lancar aja sih tadi. Cuman ditanya mau sekolah dimana, ngambil jurusan apa, gitu doang sih. Ini jam berapa Pa di Jakarta? Ooo. Sekarang di sini jam..." Jawabku sambil melihat jam di tanganku.
"Jam setengah sembilan. Iya malam. Papa kok udah bangun? Ini kan baru jam setengah enam pagi. Ooo mau golf. Iya abis mama merokok mau cari taxi ke hotel. Mau ngomong sama mama lagi? Sebentar, ini mama ya." Aku menyerahkan kembali telepon genggam ibuku.
"Halo. Besok paling ke sekolah Ditya sama buka bank... Ini nanti kalau udah beres Saya mau ke tempat Yani... Iya di San-" Ibuku menghentikan sejenak percakapannya dan melihat ke arahku untuk menanyakan kota tempat sahabat ibuku tinggal dengan bahasa isyarat.
"San Diego" Jawabku
"Iya itu San Dego. (baca:San Diego) Ya belum tau naik apa. Pesawat paling. Saya belum kontak Yani, ini baru juga sampai. Udah yaa, mau cari teksi ke hotel. Yaa yaa... Yukk.." Ibuku memutuskan panggilan teleponnya.
"Kak ayo cari teksi." katanya setelah menaruh kembali handphonenya di tas.
Sejujurnya, Aku dan Ibuku kurang begitu paham tentang pengaturan perjalanan kami ini, karena semua sudah diatur oleh agency yang khusus menangani para calon pelajar yang ingin bersekolah di luar negeri. Dari mulai pendaftaran, pengurusan visa, sampai tiket pesawat dan hotel semua diurus oleh agency tersebut. Dan sejauh ini semua berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan kita.
Setelah mengantri sebentar di tempat pengambilan taksi , Aku dan ibuku masuk ke dalam taksi untuk kami. Aku memberikan nama hotel kepada supir taksi yang ternyata langsung tahu posisi tempat hotel kami tersebut.
Perjalanan dari bandara menuju hotel kurang lebih memakan waktu 30 menit. Sepanjang perjalanan aku berkali-kali berdecak kagum sambil sesekali meremas remas lengan ibuku melihat pemandangan yang begitu indah. Terlebih ketika kami mulai memasuki jantung kota San Francisco. Pemandangan gedung gedung tinggi dengan lampu lampu yang gemerlap membuat kesan megah.
Kami tiba di hotel sekitar pukul 10 lebih sedikit. Begitu sampai di depan hotel kami berdua pun saling memandang. Tidak ada bell boy yang menyambut kami dari taksi dan hotel kami pun terlihat tua dan kecil.
"Ma, beneran ini hotelnya?" tanyaku kepada ibuku
"Lha kamu ngomongnya sama supirnya gimana tadi?" Ibuku malah bertanya balik kepadaku.
"Ya itu tadi aku sebut nama hotelnya yang ada di kertas. Ini namanya bener sih." balasku sambil membuka lembaran kertas yang berisi informasi reservasi hotel kami.
"Ya udah coba masuk aja dulu." kata ibuku
Kami berdua pun masuk ke dalam hotel tersebut. Di dalam terlihat dua orang berdiri di meja resepsionis sedang melayani tamu. Hotel ini bisa dibilang berukuran kecil dengan desain kuno. Lobi hotel yang kecil terlihat penuh hanya dengan diisi kurang lebih 10 orang termasuk aku dan ibuku saat kami masuk.
Ibuku langsung berjalan menuju salah satu sofa tua yang terletak di lobi hotel itu sambil mengait dua koper kecil bawaan kami. Aku pun tergopoh gopoh membawa dua koper besar kami lainnya.
"Udah sana kamu check in dulu. Mama tunggu sini. Koper kopernya taruh sini aja." perintah ibuku setelah duduk.
Aku berjalan menuju meja resepsionis. Setelah beberapa lama menunggu akhirnya akupun mendapatkan kunci kamar yang bukan berupa kartu seperti pada hotel hotel yang biasa aku menginap tapi berupa gagang kunci. Aku menghampiri ibuku dan memberitahukan kepadanya kalau kita sudah bisa masuk ke kamar.
Kamar kami berada di lantai 3. Kami berdua masuk ke dalam sebuah lift yang sudah tua. Lift itu kecil dan sempit, terlebih dengan dua koper besar dan dua koper kecil bawaan kami. Sesampainya di lantai tiga, kami berjalan menuju nomer kamar kami.
"Oalah kuncinya gitu kak." komentar ibuku saat melihat aku memasukan gagang kunci kedalam lubang kunci.
Aku diam saja dan membuka pintu kamar kami. 'Kriet. kriet' begitu bunyi derik lantai kayu pada saat kami berjalan ke dalam kamar kami. Warna karpet hitam bermotif emas dengan wallpaper merah bermotif bunga warna putih menghiasi kamar tua dan kecil ini. Tempat tidur ukuran queen yang dibalut dengan sprei dan bed cover berwarna putih berada di tengah ruangan yang mungil.
Aku menaruh dua koper besar di sudut ruangan. Aku memandang seisi ruangan. TV cembung ukuran 32 inchi warna hitam bertengger di atas meja TV berwarna cokelat tua dengan kulkas kecil di rak bawahnya.
Pandanganku terhenti ketika mataku dan ibuku bertemu. Kami pun tiba tiba tertawa terbahak bahak.
"Mama kok milih hotel ini sih?" kataku sambil tetap ketawa
"Mama nggak tau. Kata Mbak Vina ini hotel dekat sekolah kamu." jawab ibuku
"Ma itu ada Marriott deket sini!" komentarku sedikit menjerit.
"Ya nanti mama bilang Mbak Vina untuk ganti hotelnya besok." jawab ibuku yang masih dalam tawanya.
Mbak Vina adalah orang dari agency yang mengurusku. Mbak Vina datang ke SMA ku pada saat aku di kelas 3 SMA. Aku dan teman-teman sekolah yang ingin kuliah di luar negeri diberikan konsultasi gratis dari agency tempat Mbak Vina dan akhirnya Aku dan Ibuku-pun melanjutkan hasil konsultasi tersebut hingga sekarang aku berada di kamar hotel pilihan Mbak Vina yang membuat kami berdua tertawa.
"Emang Mama bisa tidur di sini?" jawabku dengan nada sinis.
"Ya terpaksalah." jawab ibuku sambil melepaskan baju hangat dan pasmina yang ia kenakan.
Jam sudah menunjukan pukul 11 kurang. Aku merasakan lapar dan letih dicampur sedikit kesal dengan kondisi hotel tempat kami menginap. Kulihat ibuku sedang mengetik sesuatu di telepon genggam-nya
"Gimana?" Tanyaku penasaran. Aku mengira ibuku sedang mengirimkan pesan singkat ke Mbak Vina perihal hotel kami.
"Ya besok kita pindah." Jawab Ibuku sambil meletakkan telepon genggamnya.
"Kok besok? Nggak bisa sekarang ma?" Protesku
"Aduh Kakak! Ini sekarang udah malam! Tahan semalam aja kenapa sih?" Ibuku menghentak kepadaku. Aku pun hanya bisa terdiam.
"Mama, laper nggak?" tanyaku pelan sehabis kurang lebih 10 menit kita berdiam diaman.
"Kan tadi udah makan di pesawat. Kamu laper? Ya pesen aja" jawab ibuku dengan nada yang sudah tidak marah lagi.
Aku meraih gagang telepon yang terletak di atas meja samping tempat tidur.
"Hi, yes. I would like to order room service. Close? Oh I see. No thank you." Aku meletakkan gagang telepon kembali ketempatnya.
"Yah Ma, masa udah nggak ada room service, katanya kitchen-nya close jam 10." kataku dengan nada kecewa.
"Itu tadi mama liat ada warung disebelah hotel kak. Kali aja jual makanan disitu." ujar ibuku.
"Warung?" tanyaku keheranan.
"Iya sebelah hotel persis." jawabnya
"Oh mini mart gitu?" tanyaku yang masih aneh dengan sebutan warung.
"Iyaa kak." Jawab ibuku yang kemudian membuka dompetnya dan menyerahkan uang $100.
"Eh lho kok gede amat duitnya Ma. Nggak ada duit kecil?" tanyaku
"Berapa? Ada nih dua puluh dolar-an kembalian beli setarbak di Taipe." Ibuku mengeluarkan dua lembar uang $20.
"Setarbak?" tanyaku yang kembali heran dengan apa yang diucapkan ibuku. Ibuku ini memang kadang kadang suka mengatakan sesuatu dengan ala nya sendiri.
"Itu lho Kak kopi yang kamu suka minum di mall mall itu." kata ibuku mencoba menjelaskan
"Oh starbucks." balasku yang sudah mengerti maksud perkataan ibuku.
"Iya setarbak. Emang mama bilang apa?" tanya ibuku dengan santai.
"iya iya. Yuk turun." Ajakku.
"Nggak ah mama males. Diluar dingin banget." jawab ibuku yang saat ini mulai menyalakan sebatang rokok.
"Yah mama..." protesku
"Alah masa beli makanan aja takut kak. Kamu udah mau kuliah lho." balas ibuku.
Dengan berat hati aku pun keluar dari kamar untuk pergi membeli makanan di mini mart samping hotel. Jujur walapun waktu SMA aku bersekolah di sekolah dengan bahasa pengantar bahasa inggris, namun di sekolah aku dan teman teman selalu menggunakan bahasa Indonesia dan kalaupun harus berbicara dengan guru guru ekspatriat terkadang aku menggunakan bahasa Indonesia dengan bahasa inggris sekedarnya. Aku juga sering dikritik oleh guru guru di SMA kalau katanya tata bahasa Inggris ku sangat buruk.
Aku juga sempat heran bisa lulus program internasional yang ujiannya dalam bahasa inggris. Aku bukan tipe orang yang suka belajar. Aku lebih banyak bermain waktu di SMA. Satu bulan sebelum ujian kelulusan, ibuku dipanggil ke sekolah karena guru guru sangat menghawatirkan kelulusanku.
Yang lebih menyebalkan lagi, ketika pengunguman hasil ujian kelulusan keluar dan aku langsung bersorak dan mengucapkan terimakasih kepada wali kelasku karena aku lulus. Ibu wali kelasku menyeletuk "Kok kamu bisa lulus ya Dit? Padahal nama kamu salah satu yang diprediksi tidak lulus."
Walaupun kesal tapi aku tidak heran kalau guru guru memprediksikan aku tidak lulus. Karena memang aku di sekolah jarang sekali belajar dan nilai nilaiku selalu pas pas-an. Walaupun demikian aku bisa lulus program internasional juga. Meskipun nilai kelulusanku juga pas pas-an. Hanya lebih 1 poin di atas nilai minimum untuk lulus.
Saat ini aku sudah berada di dalam 'warung' di sebelah hotel tempat aku menginap. Aku mengambil beberapa sandwich dengan berbagai macam isi. Tak lupa aku mengambil 3 botol air mineral ukuran 1.5 liter. Karena seingatku di kamar hotel tidak terlihat ada botol air mineral sama sekali. Setelah aku membayar, aku segera kembali ke kamar hotel.
"Beli apa kak?" tanya ibuku yang sedang bersandar di tempat tidur sambil membaca novel.
"Sandwich sama aku beli air minum." jawabku.
"Eh mama buatin kopi dong kak." pinta ibuku.
Aku menaruh barang belanjaanku di meja yang berada di samping pintu masuk. Kubuka salah satu botol air mineral yang baru saja ku beli dan ku tuang ke dalam pot untuk merebus air.
"Itu kopinya ada di koper kecil Mama." seru ibuku.
Aku berjalan ke arah letak koper kecil milik ibuku. Kudapati satu pak kopi tubruk. Ibuku hanya suka minum kopi tubruk. Kemanapun dia pergi pasti selalu membawa kopi tubruk dalam sachet yang sudah terdapat gula didalamnya. Gara gara kebiasaan Ibuku yang hanya memilih kopi tubruk aku pun ikut ikutan menyukai kopi tubruk. Biarpun kopi tubruk biasa dijajakan di warung atau kalau kata teman temanku minuman abang abang, buaku kopi tubruk rasanya mantab.
"Banyak amat bawa kopinya Ma." komentarku
"Ya mama kan dua minggu di sini. Di Amerika kan nggak ada yang jual. Mama nggak mau minum kopi Amerika. Apalagi setarbak. Nggak enak." balas ibuku.
"Ini kopinya." Aku meletakkan kopi tubruk yang baru saja kuseduh di meja samping tempat tidur. Bau harum kopi tubruk merebak ke seluruh ruangan. Aku menarik nafasku dalam dalam.
"Ini di Amerika baunya kayak di Indonesia ya ma." candaku yang diikuti tawa Ibuku.
"Coba sini mama ngicipin sanwik-nya (baca:sandwich)." kata ibuku.
"Mau rasa apa? Ada telur, tuna, sama apa ya ini daging kayaknya ya." tanyaku sambil mengeluarkan sandwich yang tadi aku beli.
"Kak ini mama nggak habis lho. Gede banget sih ini ya. Makannya gimana coba?" jawab ibuku.
"Ya udah nanti aku yang abisin. Mama mau yang mana?" balasku
"Yang daging boleh." jawab ibuku
Aku membukakan plastik pembungkus sandwich isi daging dan memberikan sandwich tersebut kepada ibuku.
"Lumayan nih kak. Dagingnya banyak." komentar ibuku setelah gigitan pertama.
"Abisin lah." balasku sambil membuka plastik pembungkus sandwich isi tuna.
"Mama nggak kuat kak. Ini gede banget. Pantes ya Kak orang bule badannya gede gede. Porsinya aja segede ini." balasnya.
Aku tak menghiraukan ledekannya barusan, karena aku sedang sibuk mengunyah sandwich isi tuna yang entah karena sedang lapar atau memang sangat enak.
"Wah kamu bisa gendut lho Kak kalau makanan di Amerika kaya gini." komentar ibuku yang sudah menghabiskan separuh sandwichnya.
Aku yang masih sibuk mengunyah sandwich ku kembali tidak memberikan tanggapan.
"Ini harganya berapa kak?" tanya ibuku
"Nggak liat. Aku ambil ambil aja tadi. Totalnya dua puluhan berapa gitu." jawabku sambil meletakkan sandwich yang sedang ku makan dan mengeluarkan sisa uang yang tadi diberikan oleh ibuku.
"Masih ada... dua belas dolar nih. Sama recehnya." lanjutku setelah menghitung uang kembalian tadi.
"Masukin dompet. Besok buat naik teksi" Perintah ibuku
Aku memasukan uang tersebut kedalam dompetku dan menaruh dompet tersebut di meja samping tempat tidur.
"Ma, besok rencana mau ngapain?" tanyaku yang sudah selesai makan.
"Jadi abis itu sandwich-nya?" sambungku lagi ketika mendapati Ibuku berhasil menghabiskan sandwich isi daging yang katanya terlalu besar.
Ibuku tertawa geli "Iya, enak sih sanwik-nya." kata ibuku sambil menyerahkan plastik bekas pembungkus sandwich-nya.
"Perut mama penuh banget ini kak." lanjutnya kembali.
"Iya. Padahal katanya nggak laper ya ma?" balasku meledek.
'Duuuthh' tiba tiba bunyi kentut yang cukup kencang terdengar di telingaku
"Wah duh!" aku berteriak sambil ketawa menutupi hidungku. Ibuku pun ikut ketawa.
"Ini mungkin mama tadi masuk angin ya kak. Makannya perutnya berasa kenyang tapi sebenarnya laper." ujarnya sambil terkekeh-kekeh karena barusan ibuku kentut kencang sekali.
"Mau pake kayu putih?" tanyaku yang masih sambil tertawa.
"Nggak usah. Udah kentut lega." jawab ibuku sambil senyum senyum.
"Ya iyalah segede gitu kentutnya. Ya pasti lega banget lah." balasku
"Kan nggak bau kak." bela ibuku
"Mana ada kentut nggak bau ma!" balasku lagi
"Besok kamu kan mesti lapor ke sekolah terus cek in (baca: Check in) ke dom (baca: dorm alias asrama). Terus bikin rekening bank sama beli HP kan?" kata ibuku mengalihkan topik pembicaraan yang membahas soal kentutnya yang katanya tidak bau.
"Aku masuk dorm-nya abis mama pulang aja ya." kataku
"Iya... Tapi kan kamu harus cek in dulu kak. Taruh barang barang kamu. Nanti yang kurang apa. Mumpung mama di sini." kata ibuku.
"Besok nyantai aja ya bangunnya. Nggak usah pagi pagi. Lagian kita baru bisa check in hotel baru kan abis jam 2 siang." pintaku
"Memang kamu harus lapor ke sekolah jam berapa?" tanya ibuku.
"Mbak Vina nggak bilang sih jamnya. Katanya kalau sudah sampai SF lapor ke sekolah gitu. Nanti suruh test bahasa inggris." jelasku
"Oh, ini masih test lagi?" tanya ibuku
"Iya, kata mbak Vina karena nilai TOEFL aku kemarin jelek jadi kata-nya nanti disuruh test lagi untuk nentuin apa aku harus ambil kelas ESL lagi, atau langsung kelas inggris biasa." jawabku
"ESL apa itu kak?" tanya ibuku
"ESL itu singkatan dari English for Second Language. Itu kelas bahasa Inggris buat yang bahasa inggrisnya belum bagus bagus amat." jelasku
"Kamu udah sekolah di sekolah internasional tiga tahun lho Kak, masa inggris-nya masih jelek. Dari SMP juga udah les Inggris privat sama Bu Ida." kata ibuku.
"Di sekolah kan aku kalau ngumpulin tugas di periksa dulu grammar-nya sama si Martin." kataku.
"Kak, sini mama kasih tau." Kata ibuku. Aku yang dalam posisi tidur tiduran mendudukan tubuhku. Kalimat ini biasanya dilontarkan ibuku kalau ingin memberikan semacam wejangan. Ibuku ini bisa dibilang orang yang jarang marah. Ibuku lebih sering memberikan wejangan yang entah kenapa bisa membuatku menangis tersedu sedu karena biasanya merasa bersalah atau menyesal.
" Kak, Kamu sekarang umurnya sudah 18 tahun. Sudah dewasa lho itu. Kamu sudah tidak bisa seperti waktu SMA lagi. Harus serius belajar. Apa lagi universitas pilihan kamu ini mahal lho. Belum biaya hidup kamu di sini. Nyari duit itu nggak gampang kak.
Masa sekolah itu memang masa paling indah. Tapi juga saat yang penting untuk masa depan kamu. Kamu itu pinter sebenarnya, tapi tanggung jawab kamu masih belum ada. Masih pengen main terus, hura hura terus. Mau sampai kapan kamu seperti itu?
Ya mama percaya sih anak-anak mama tidak ada yang bodoh. Hanya tinggal ada kemauan atau tidak. Kalau tidak ada kemauan yang tidak usah sekolah. Nanti kan yang rugi kamu sendiri. Saat ini kamu bisa seperti ini karena ada Mama dan Papa. Tapi, kalau nanti Mama dan Papa sudah nggak ada, terus kamu-nya tidak pintar, jerih payah mama dan papa habis karena kamu hambur-hambur-kan yang susah nantinya kamu sendiri Kak." Aku mulai menundukan kepala ku.
"Mama sama papa jangan mati dong."Jawabku lirih.
"Kak, semua manusia hidup ini ada waktunya. Kita tidak pernah tau kapan akan dipanggil Tuhan. Mudah mudahan umur Mama dan Papa panjang sampai bisa menghantar kamu dan adik adik menjadi orang sukses. Bahkan kalau bisa lebih dari Papa dan Mama.
Mama itu dari Solo, anaknya orang nggak punya. Papamu juga begitu dulunya. Walaupun Papa itu orang asing, tapi kan dulunya papa pegawai kak. Gajinya cuman berapa waktu itu. Semua orang mikir kalau orang asing itu banyak duit. Boro boro Kak. Awal mama kawin sama papa itu perhiasan tabungan Mama yang mama tabung waktu masih bujang, satu satu mama jual buat nutup kekurangan biaya rumah.
Papa waktu itu bilang sama Mama, ekonomi itu landasan rumah tangga. Kalau ekonomi kita kuat maka rumah tangga kita juga akan kuat. Kan banyak kak suami istri berantem gara gara masalah ekonomi. Jadi, nggak ada itu bulan madu pas Mama sama Papa awal awal kawin. Kerja, kerja, dan kerja terus untuk membangun fondasi keluarga kita.
Mama sama Papa dulu itu satu kantor. Waktu mama masuk kantor itu, Papamu sudah disitu. Papa itu kan insinyur listrik. Papa yang desain instalasi listrik semua proyek proyek di perusahaan itu.
Papa waktu itu tunangan sama anaknya bos yang punya PT itu. Nah terus nggak tau gimana kok nggak jadi tunangan. Terus selang berapa lama gitu Papa mulai ngedeketin Mama. Ngajak makan lah, nonton lah. Dulu bahasa Indonesia Papa itu masih kurang banget kak. Mama juga nggak bisa bahasa Jepang waktu itu. Jadi suka salah sambung sama Papa. Dan Papa itu 8 tahun di atas mama. Aduh waktu itu mama masih umur 21 tahun kak.
Mama waktu itu diajak ke puncak sama papa buat makan malam. Mama takut lho waktu itu. Ya kan Mama dari daerah, diajak ke puncak sama Papa terus mau nginep. Mama nangis-nangis minta pulang. Eh di anterin balik.
Terus mama bilang, saya nggak mau pacaran, kalau kamu mau harus serius. Terus papa bilang mau jadi istri saya? Mama jawab 'Ya kalau kamu berani bilang ke bapak saya ya saya mau'. Eh beneran kak, Papa nemuin kakek. Ya singkatnya akhirnya kita nikah. Waktu itu Mama nikah sama Papa tahun 86.
Eh habis kita nikah, Bos kita bilang, salah satu mesti keluar karena di perusahaan tidak boleh suami istri kerja bareng. Ya mama keluar lah. Karena mama sudah tidak berpenghasilan mama mulai dagang baju. Beli kain di mayestik terus di jahit sendiri terus di jual keliling gitu. Lama lama banyak orderan terus mulai rekrut tukang jahit.
Pas Mama hamil kamu tujuh bulan, Papa dipecat sama dari perusahaan. Berantem sama bos-nya. Papakan orang asing, ijin tinggal Papa itu sponsor dari perusahaan. Karena dipecat otomatis ijin tinggalkan dicabut. Ya mau dideportasi. Mama stress banget. Mama samperin itu kantor imigrasi. Mama ketemu-in kepalanya. Mama bilang, Pak saya ini hamil tua sebentar lagi anak saya lahir. Ini bagaimana kalau bapaknya nggak ada. Ya akhirnya, papa tetep suruh keluar dulu dari Indonesia. Di suruh ke Singapore dulu.
Nah mama nyusul lah ke Singapore, katanya ada orang yang mau bantuin. Eh malah kita diperas dimintain duit. Ngamuk lah mama. Terus ada orang dari KJRI di Singapore. Baik banget kak. Mungkin dia kasihan ya lihat mama. Ya dibantu lah. Dikasih ijin sementara dengan catatan sampai di Indonesia kita harus buat PT yang akan mensponsori papa sebagai pekerja.
Uang pesangon papa dari perusahaan lama, kita buat modal untuk buka PT. Karena Papa ahlinya di bidang kontraktor listrik, ya kita buka sama seperti PT tempat mama sama papa kerja dulu. Awalnya cuman sewa satu ruangan kantor, kira kira separuh kamar kamu lah di rumah. Itu isinya cuman ber lima. Papa, Mama, Tante Wida temen mama, supir satu, sama pembantu satu. Awalnya cuman ngerjain proyek proyek kecil.
Ini lucu lagi kak. Pas kamu lahir... Udah masuk rumah sakit, kamu udah lahir, pas mau bayar kurang duitnya. Hahaha. Jadinya kita nunggu sampai papa dapat uang pinjaman buat nebus Mama sama kamu di rumah sakit.
Kamu mungkin udah nggak inget ya pas kamu kecil kita sempat ngontrak di tebet barat dalam deket TK mu dulu. Itu kita di sana sampai tahun 1992. Kamu itu lahir tahun 88, Dek satria itu 92. Ya bener kita, Soalnya pas Mama hamil Dek Satria papa dapet proyek mengerjakan airport bali. Terus hasilnya mama beliin rumah di Pasar Minggu." Cerita ibuku
"Rumah kita di Pasar minggu dulu itu ma?" tanyaku
"Iya... Rumah kontrakan tebet kan kecil. Pas barang barang masuk ke rumah pasar minggu yang segitu... ya jadi keliatan kosong banget. AC masih itir itir. Dek Rian belum lahir waktu itu. Dek Rian kan lahir tahun 96. Ya pelan pelan kita mulai isilah rumah itu. Makin lama perusahaan makin berkembang. Ya sampai sekarang ini lah. Dari kontrak di kebon jeruk terus ke tebet, punya rumah pertama di Pasar Minggu, sampai rumah kita yang sekarang di kuningan." cerita ibuku
"Ya mama dan papa sadar sih, kamu dan adik adik itu lahir papa dan mama sudah dalam keaadaan cukup mapan. Kamu sekarang sudah mulai dewasa. Mama cerita panjang lebar ini, supaya kamu tahu bahwa untuk mendapatkan apa yang kita punya sekarang nggak gampang. Penuh perjuangan.
Kamu anak pertama. Harus bisa menjadi panutan untuk adik adikmu. Mama dan Papa kan semakin tua. Anak-Anak Mama dan papa semua laki laki ada tiga biji. Saat ini Mama dan Papa masih punya energi untuk mengatur kamu dan adik adikmu. Tapi nanti kalau kalian bertiga sudah mulai dewasa dan mama sama papa tambah tua, energi kita sudah habis. Kamu sebagai anak pertama harus bisa menggantikan peran orang tua. Kamu-lah yang akan membimbing adik adik mu. Tempat mereka bisa bersandar jika ada kesulitan.
Belajarlah sebanyak banyaknya Kak. Nikmati pengalaman hidup kamu selama di Amerika. Carilah ilmu sebanyak banyaknya. Jaringlah koneksi selebar lebarnya.
Mama dulu dari solo merantau ke Jakarta. Sekarang kamu dari Jakarta merantau ke Amerika. Kamu nanti kembali ke tanah air membawa bekal ilmu. Jadilah orang yang dapat memberikan pengaruh pengaruh positif untuk dirimu, keluarga, lingkungan, dan negara mu.
Mama sama Papa akan berusaha sekeras mungkin untuk membiayai sekolah kamu dan adik adik sampai tingkat pendidikan yang paling tinggi. Untuk pendidikan berapapun biayanya pasti kita carikan. Tapi bukan untuk pergaulan hura hura ya kak. Kalau untuk pergaulan hura hura ya Mama nggak mau lah bayarin. Enak aja!"
Aku hanya diam sambil mengangguk anggukan kepala mendengar wejangan dari Ibuku.
"Kamu mengerti kak apa yang mama sampaikan?" tanya ibuku
"Iya aku ngerti ma." jawabku
"Ya udah. Udah jam setengah tiga nih. Ayo bobok." kata ibuku mengakhiri malam pertama kami di kota San Francisco.
- San Francisco, CA, USA Circa 2006 -
Tidak terasa, sudah hampir dua tahun setengah Aku tinggal di kota San Francisco. Aku yang awalnya sering menangis karena takut dan kesepian kini sudah terbiasa.
Aku ingat hari pertama setelah Ibuku pulang ke Jakarta, Aku menangis tak tertahan sewaktu aku sedang duduk sendiri menunggu kelas yang belum dimulai disebuah bangku coffee shop dekat sekolahku.
Dari lahir, baru kali ini aku tinggal di luar rumah jauh dari kedua orang tuaku. Awalnya sulit bagiku menyesuaikan diri. Selama ini selalu saja ada pegawai yang melayani semua kebutuhanku, mulai dari membangunkanku dari tidur, mencuci baju, menyetrika, memasak, menyiapkan makanan.
Dua minggu setelah ditinggal Ibuku, baju bajuku sudah kotor semua. Aku kebingungan saat pertama kali hendak mencuci baju. Untung ada salah satu roomate ku yang mengajari aku cara mencuci baju. Lebih lucu lagi ketika aku mencoba menjemur baju di halaman belakang asrama. Ternyata di sini baju tidak dijemur melainkan dikeringkan dengan mesin pengering.
Banyak kejadian kejadian unik lainnya yang aku ceritakan kepada Ibu dan Ayahku ketika aku pulang ke Jakarta untuk liburan musim dingin. Ayahku hanya berkata 'Sudah saatnya kamu belajar untuk mandiri.'
Dua tahun yang lalu, tidak banyak mahasiswa Indonesia yang bersekolah di universitasku. Hanya kurang lebih tujuh orang yang aku temui pada saat orientasi. Itupun kami berbeda jurusan. Universitasku ini memiliki gedung kampus yang tersebar dipenjuru kota. Masing masing fakultas mempunyai gedung yang berbeda.
Pada semester pertama aku hanya memiliki satu teman dekat berkebangsaan Amerika keturunan Filipina. Namanya Jessie Borlas. Aku berkenalan pada saat orientasi khusus fakultas Animasi.
Jessie merupakan sosok yang ramah dan banyak bicara. Karena Jessie lah aku jadi lancar berbahasa Inggris. Kata Jessie caraku berbicara dalam bahasa Inggris pada waktu itu seperti keluarga-nya. Selain aksen, rupa orang Indonesia dan Filipina juga mirip. Jessie sempat mengira aku berasal dari Filipina.
jessie juga yang mengajariku cara naik transportasi umum. Sarana transportasi umum di Kota San Francisco sangatlah banyak dan terintegerasi. Mulai dari yang menghubungkan kota San Francisco dengan sekitarnya seperti BART (Bay Area Rapid Transportation), Caltrain yang merupakan kereta antar kota yang membawa penumpang dari San Francisco sampai ke kota San Jose yang berjarak sekitar 80 Km ke arah selatan. Kemudian untuk dalam kota sendiri ada Bus, Cable car, Street car, dan Light Rail. Sarana transportasi di sini juga relatif aman. Walaupun sering ada tindak kriminal seperti pencopetan atau orang mabuk yang mengacau.
Meskipun orang tuaku membelikanku mobil, sepertinya sekarang aku lebih senang berjalan kaki atau naik transportasi umum yang tersedia. Mobil biasanya aku pakai untuk berjalan jalan ke luar kota atau pada saat belanja ke super market.
Selain dengan Jessie, Aku lebih banyak berhubungan dengan kawan kawan semasa SMA yang tersebar di berbagai belahan dunia melalui skype atau chat messenger. Baru diawal semester berikutnya aku diperkenalkan oleh salah satu staff dari kantor Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) kepada beberapa mahasiswa dan mahasiswi dari Indonesia.
Saat itu mereka sedang berencana untuk membentuk kembali Organisasi Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat atau lebih dikenal dengan nama PERMIAS. Aku menjadi perwakilan mahasiswa dari universitasku. Dari situ aku mulai berkenalan dengan banyak mahasiswa Indonesia lainnya.
Salah satu dari mahasiswi tersebut adalah Amanda. Entah kenapa kami langsung cocok dan menjadi teman dekat walaupun Amanda bersekolah di universitas yang berbeda denganku.
Pada semester ketiga kami berdua memutuskan untuk tinggal bersama. Orang tua Amanda memperbolehkan dia tinggal bersamaku setelah Amanda memberitahukan bahwa aku pencinta sesama jenis atau lebih dikenal dengan sebutan gay. Sedangkan ibuku sendiri entah kenapa tidak keberatan.
"Dit! Ayo dong udah jam berapa nih! Rapatnya jam 4 lho!" Teriak Amanda.
"Iya iya sebentar! Gw beres-beres dulu." Sahutku sembari mengemasi barang-barangku di kamar.
"Gw turun duluan ya! Jangan lupa kunci pintunya!" Teriak Amanda lagi sambil berjalan keluar apartment tempat tinggal kami berdua.
"Iya!" Aku berteriak menjawab.
Aku melihat ke sekeliling kamarku untuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal.
"Nyetir atau naik MUNI?" Tanyaku kepada Amanda sesampainya aku di lobi gedung apartemen.
"Naik MUNI aja lah. Parkir sekitar KJRI susah lho. Ntar kena tiket lagi kaya waktu itu." Balas Amanda.
"Lama lho naik MUNI. Belum jalan ke Bus Stop-nya. Nanti transfer lagi. Iya kalau pas nggak rame bus nya. Nyampe nggak? Ini udah jam setengah empat." kataku dengan nada khawatir.
"Ya Elo lama! Gw udah dari tadi nungguin!" Jawab Amanda dengan nada melengking tinggi.
"Taxi aja ya?" Balasku.
"Lo yang bayar ya?" Sambut Amanda
"Iya. Baliknya baru naik MUNI aja." Kataku sambil membuka telepon genggamku untuk menelepon salah satu menyedia jasa layanan taxi.
-------------------------------------------------------
"Selamat sore semuanya. Perkenalkan nama Gw Aditya Putra biasa di panggil Ditya. Gw adalah ketua perkumpulan mahasiswa Indonesia di San Francisco atau yang lebih dikenal dengan PERMIAS- SFBA. Gw pertama-tama mengucapkan thank you banget buat kalian yang udah mau datang ke acara recruitment kita kali ini." Sapaku kepada para mahasiswa yang menghadiri pertemuan tersebut.
"Sekedar informasi buat temen temen. PERMIAS SFBA ini diaktifkan kembali pada tahun 2007. Sebenarnya PERMIAS sendiri dibentuk pertama kali tahun 1961 di (Washington) DC. Dulu PERMIAS berupa one big Indonesian student organization yang terdiri dari beberapa chapter di kota kota yang banyak mahasiswa Indonesia-nya. Nah terus for some reason lama lama PERMIAS bubar sendiri sendiri. Tersisalah organisasi mahasiswa Indonesia yang berada di campus campus yang ada orang Indo-nya."
"Belakangan ini PERMIAS sudah mulai banyak yang aktif kembali. Seperti PERMIAS Los Angeles, PERMIAS Seattle, PERMIAS DC, PERMIAS New York, dan lain lain. PERMIAS di masing masing kota itu sekarang berdiri sendiri sendiri. Secara organisasi sudah bukan merupakan one big organization lagi seperti dulu. Tapi ya kita saling kenal sih."
"Kalau lo pada nanya. Apa sih tujuan ikut PERMIAS? Kalau gw boleh jawab, tujuannya supaya kita yang sedang studi di Amrik bisa lebih kenal satu sama lain. Mungkin someday, somehow kita bisa jadi colleague atau business partner. We'll never know kan? Kita belajar berorganisasi, networking dan give back untuk Indonesia." Kataku memberikan penjelasan singkat mengenai organisasi yang saat ini sedang aku pimpin.
"Segitu dulu dari Gw. Nanti ada sesi Q&A. Kalau ada yang masih mau nanya seputar PERMIAS SFBA bisa tanya lagi. Ayo yang lain silahkan memperkenalkan dirinya." Pintaku kepada para anggota organisasi lainnya.
"Gw Amanda Bukit biasa dipanggil Manda, Wakilnya Ditya. Sekolah di USF." Ujar Amanda yang disusul oleh Ridho.
"Gw Muhammad Rhido Adriyanto, panggil gw Ridho. Kepala bagian event. Sekolah di SF State." Lanjut Ridho.
"Kalau Gw Cindy Herdjanto, Kepala bagian keuangan. Sekolah di CCSF." Sambung Cindy
Satu persatu para anggota pengurus organisasi yang berjumlah kurang lebih 30 mahasiswa yang berasal dari berbagai universitas memperkenalkan dirinya.
Setiap satu tahun sekali, PERMIAS mengadakan pertemuan untuk merekrut anggota pengurus baru. Kami diperbolehkan menggunakan salah satu ruangan di Kantor Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) untuk melakukan pertemuan.
"Kak Ditya, Saya mau nanya dong." Ujar salah seorang mahasiswi yang ikut hadir dalam acara tersebut.
"Kenalan dulu dong. Namanya siapa? Sekolah dimana?" Ridho tiba tiba memotong pertanyaan mahasiswi tersebut.
Dan belum sempat mahasiswi itu menjawab, Ridho melanjutkan pertanyaannya lagi "Udah punya pacar belum?" Pertanyaan terakhir Ridho membuat seisi ruangan bersorak sorak.
"Ridho jangan TP TP woyy!" Teriak Cindy dari belakang. Ridho hanya cengar cengir saja.
"Nama Saya Bella, sekolah di DVC." Kata mahasiswi itu.
"Yang terakhir belum di jawab tadi pertanyaannya Ridho?" Timpalku yang membuat gaduh kembali seisi ruangan.
"Jangan dengerin Bell. Ini cowok cowok gila. Udah, apa tadi yang mau ditanya?" sambut Cindy sambil melotot ke arah kami berdua.
"Kak Ditya udah punya pacar belum?" Pertanyaan Bella sontak membuat seisi ruangan terdiam untuk beberapa detik dan kemudian pecah dengan tawa dan sorak sorai.
"Wah, salah target mbak!" Kata Amanda sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku yang sekarang mukanya merah padam dan hanya bisa cengar cengir.
Setelah keadaan ruang rapat sedikit tenang. Bella melanjutkan perkataannya. "Nggak Saya cuman bercanda kok. Pertanyaan saya itu sebenarnya lebih ke concern sih Kak. Kan kita semua di sekolah udah sibuk sama tugas tugas sekolah. Ada project lah, essay, belum kalau pas midterm atau final. Gimana caranya supaya kita bisa berbagi waktu. Apalagi kampus saya kan di Pleasant Hill. Kalau dari Pleasant Hill naik BART sekitar 1 jam ke downtown SF abis itu disambung bus ke KJRI 45 menit."
Kulihat beberapa mahasiswa yang kelihatannya juga berasal dari kampus kampus yang berlokasi di luar kota San Francisco ikut manggut manggut mendengar pertanyaan Bela.
PERMIAS SFBA yang merupakan singkatan dari San Francisco Bay Area, mencakup sekolah sekolah yang letaknya tidak hanya di Kota San Francisco tapi juga kota kota di sekitar yang masih termasuk dalam kawasan Bay Area. Dan jarak dari kota kota tersebut ke San Francisco bisa dibilang cukup jauh. SFBA itu Kurang lebih seperti Jabodetabek.
"That's very good question. Ya kalau soal time management memang itu balik ke kita masing masing ya. Bagaimana kita mengatur jadwal kita masing masing. Biasanya PERMIAS kalau bikin acara pas lagi ada short break atau long weekend gitu kok. Dan meeting biasa lewat Skype. Jadi bisa dilakukan di rumah masing masing." kataku memberikan penjelasan.
"As long as you guys willing to work it out bisa lah." tambahku lagi. Bella dan beberapa mahasiswa lainnya manggut manggut mendengar penjelasanku.
"Ada lagi yang mau nanya?" tanya Amanda kepada mahasiswa mahasiswa lainnya. Terlihat mereka semua terdiam dan sepertinya sudah lapar.
"Kalau ngga ada lagi, kita udah siapin makanan untuk kalian. Silahkan boleh diambil. Sekalian pada ngobrol ngobrol yaa." Lanjut Amanda.
"Jangan pada malu malu yaa... Makan aja.. Enak lho ini. Amanda yang masak. Kalaupun nggak enak lo semua harus bilang enak yaa!" Kelakar Ridho yang disambut dengan pukulan keras di punggungnya dari Amanda .
Disela sela sesi makan, Aku dan Amanda duduk di kursi meja rapat besar memperhatikan satu persatu para mahasiswa dan mahasiswi yang hadir dalam acara tersebut. Kami berdua membaca baca resume yang mereka berikan sebelum acara dimulai.
"Nih ganteng nih." Komentar Amanda saat melihat foto di resume salah satu calon anggota.
"Lumayan... Brondong Cuy. Demen lo?" Balasku yang ikut melihat resume tersebut.
"Buat elo. Eh Dia anak kampus lo juga nih. Tapi bukan Animasi ya. Anak industrial design." Lanjut Amanda berkomentar.
"Tuh yang itu Dit anaknya." Amanda menjulurkan telunjuknya ke arah salah satu mahasiswa yang sedang makan sambil ngobrol bersama beberapa mahasiswa lainnya.
"Eh, kok pake ditunjuk segala sih!" Balasku sambil menurunkan tangan Amanda.
"Nggak liat dia. Ih kalau gw single dan dia nggak brondong mau deh gw. Ganteng banget!" kata Amanda dengan gemas.
Aku tertawa agak keras yang membuat beberapa dari mahasiswa yang sedang makan menoleh ke arah kita termasuk Ridho dan Cindy. Mereka berdua lantas menghampiri kami.
"Dasar Lo pada! Pasti lagi nge stalk anak anak baru deh. Manda, Lo udah punya laki juga!" Komentar Ridho disambut dengan cibiran Amanda.
"Bukan buat Gw. Nih buat Pak Pres. First Lady-nya belum ada kan." Jawab Amanda sambil melirik aku.
"Eh yang mana bro? Sini gw kenalin." Jawab Ridho antusias. Ridho celingak celinguk berusaha menemukan orang yang dimaksud oleh Amanda.
"Mana sini gw liat! Kayak apa sih calon first lady kita." Cindy merebut resume yang berada di tanganku. Dia membaca sejenak dan memberikannya kepada Ridho.
"Ini lo pada ngapain sih? Ini Amanda yang demen bukan gw!"Jawabku protes.
"Woy Lo! Bintang! Sini sebentar!" Tiba tiba Ridho berteriak memanggil orang yang dari tadi sedang kita bicarakan.
Mahasiswa yang bernama Bintang itu terlihat kaget dan bingung. Dia menaruh piring yang sedang dipegangnya ke meja yang berada didekatnya. Bintang berjalan menghampiri kami yang juga kaget dengan apa yang dilakukan Ridho.
"Oh my God mau ngapain lo Dho!" Jawabku sambil berteriak pelan dan memijit-mijit keningku.
"Udeh Lo diem aja. Gw mau ajak kenalan dulu. Background check." jawab Ridho santai.
Amanda dan Cindy cekikikan geli melihat aku yang terlihat gelisah.
"Ya kak?" sapa Bintang yang sudah sampai di depan meja tempat kita sedang berkumpul.
"Duduk sini. Kenalan dulu kita. Gw Ridho, ini Manda, ini Cindy, yang itu udah tau dong siapa?" Ridho mempersilahkan Bintang duduk di kursi rapat yang posisinya berhadapan dengan kami semua.
Bintang yang terlihat masih canggung dan bingung menuruti perkataan Ridho.
"Halo Kak, nama saya Bintang." sapanya sambil tersenyum.
"Bintang siapa lengkapnya?" Tanya Ridho
"Bintang Adikara Kak" Jawab Bintang
"Bintang, Kamu dari mana?" tanya Cindy.
"Dari apartemen kak." jawab Bintang polos.
Kami berlima tertawa geli mendengar jawaban Bintang.
"Maksud Gw, Lo di Indo tinggal dimana?" jelas Cindy
"Oh... Saya dari Jakarta Kak." jawab Bintang yang mukanya sedikit memerah karena malu.
"SMA di?" tanya Amanda.
"DB PI Kak." Jawab Bintang.
"Eh.. Lo kenal Jonathan dong? Eh angkatan berapa sih lo?" tanya Ridho.
"Kak Jonathan kakak kelas saya kak. Saya angkatan 08." Jelas Bintang.
"Baru nyampe fall kemarin dong lo?" tanya Cindy
" Iya kak." Jawab Bintang
"Dit ada yang mau ditanya ke Bintang nggak?" tiba tiba Ridho melotarkan pertanyaan kepadaku yang membuatku kaget dan tiba tiba kurasakan panas pada pipiku. Aku melihat kearah Amanda untuk meminta pertolongan. Namun Amanda malah memainkan matanya menunjuk ke arah Bintang .
"Gw..." Aku berdehem sejenak karena suara serak keluar dari mulutku. "Lo anak Industrial design ya? Gw liat di resume lo." lanjutku.
"Iya Kak. Kak Ditya anak Animation ya?" Kami berlima tertegun mendengar respon dari Bintang. Aku mencoba mengingat ingat apakah dari tadi aku pernah mengatakan jurusan yang ku ambil. Sepertinya belum.
"Kok lo tau, Ditya anak Animation?" tanya Amanda dengan nada penasaran.
"Saya sering lihat Kak Ditya di downtown campus." jawab Bintang.
"Hah?" Aku tambah terheran. "Lo ada kelas di Montgomery? Gedung Industrial Design bukannya yang deket Van Ness ya?" tanyaku meminta penjelasan dari Bintang.
"Nggak, apartemen saya di downtown Kak. Jadi kalau lagi mau ke kelas kan naik bus dari Montgomery Street suka liat Kak Ditya lagi jalan ke arah campus." jelas Bintang yang membuatku semakin tertegun.
Kampus tempatku kuliah terdiri dari beberapa gedung terpisah yang lokasinya tersebar di penjuru kota San Francisco. Masing masing fakultas memiliki gedung campus sendiri sendiri. Sebagai jurusan animasi, kampusku berada di Jalan New Montgomery no 180 yang berlokasi di downtown kota San Francisco. Kami menyebut gedung itu dengan 180, atau downtown campus.
"Ooo gitu. Kok lo bisa tau itu gw?" tanyaku menyelidik.
"Hah.. mmm..." Bintang gelagapan menjawab pertanyaanku barusan. Mukanya yang sedari tadi tenang mulai menunjukan kepanikan serta warna merah muda mulai muncul di kedua pipinya yang putih.
"Iya.. So.. Soalnya temen saya pernah ngasih tau kalau Kak Ditya ketua PERMIAS disini, pas kita berdua lagi liat Kakak di jalan ." Begitu penjelasan dari Bintang. Aku mengurungkan niatku untuk bertanya lebih lanjut. Kulihat Bintang mulai sedikit menundukan mukanya yang memerah.
"Ooo... Besok besok kalau lihat gw panggil aja... Kadang gw suka keburu buru soalnya.. Jadi suka nggak liat sekitar." balasku dengan nada yang aku buat sesantai mungkin.
"Bro... Di panggil Pak Pensosbud." Tiba tiba Ridho memecah suasana yang sedikit canggung.
"Oh.. Ok Gw duluan ya.." kataku sambil berdiri dari kursi dan meninggalkan mereka.
--------------------------------------------------------------------------
"Dit... Gw rasa Bintang demen ama Elo." Amanda yang sedang masak di dapur tiba tiba menegurku yang sedang mengambil minuman di kulkas.
"Kok bisa?" jawabku sambil menuang jus aple ke dalam gelas yang aku ambil dari tempat cucian piring dan gelas.
"Itu yang pas di KJRi. Dia kan keliatan banget malu pas Elo tanya soal dia sering liat lo di kampus." kata Amanda.
"Masak apa lo man?" Tanyaku sambil melihat ke wajan.
"Nasi goreng udang." Jawab Amanda yang sedang mencicipi nasi goreng yang sedang dimasaknya.
"Cobain deh. Kurang apa?" Pinta Amanda kepadaku.
Aku mengambil sendok makan dan menyendok nasi goreng dan langsung memasukan kedalam mulutku. "Panas! hah hah hah..." aku membuka mulutku sambil mengipas ngipasnya serta meniup niup mencoba mengurangi panasnya nasi goreng di mulutku.
"Lagian... Gimana? Kurang apa?" tanya Amanda lagi.
Aku berhasil menurunkan temperatus nasi goreng yang membuat mulutku kepanasan dan kemudian menelannya.
"Udah kok... Lo masak banyak amat. Jaya mau dateng?" Tanyaku.
"Iya..." Jawab Manda sambil mematikan api di kompor.
"Eh nanti dong Dit makannya! Nunggu Jaya." Sergah Amanda ketika melihat aku sudah mengambil piring dan hendak mengambil nasi goreng yang baru dimasaknya itu.
"Berapa lama lagi? Gw jadi laper nyium nasi goreng lo." Tanyaku memelas.
"Udah deket katanya." Jawab Amanda yang berjalan meninggalkan dapur menuju living room yang posisinya di sebelah dapur.
Aku mengikuti Amanda ke living room. Kami duduk di sofa berwarna cokelat muda yang diatasnya terdapat banyak bantal dan beberapa bonek milik Amanda.
"Man... Lo udah gede juga masih mainan boneka." komentarku yang melihat Amanda memeluk salah satu boneka kesayangan dia.
"Biarin!" balas Amanda.
Telepon intercom apartemen kami berdering. Amanda bergegas mengangkat dan menekan salah satu tombol intercom untuk membukakan gerbang apartemen kami. Sepertinya Jaya yang merupakan pacar Amanda sudah datang.
"Jaya?" tanyaku
"Iya." Jawab Amanda sehabis meletakkan gagang telepon intercom dan dia berjalan menuju ke dapur.
"Udah boleh makan dong?" Tanyaku sedikit berteriak agar Amanda bisa mendengar dari dapur. Aku tidak menunggu jawaban dari Amanda. Aku langsung beranjak dari sofa di ruang tamu dan berjalan menuju dapur.
"Ini anak nggak sabaran banget." Komentar Amanda yang sedang menyalakan kembali kompor untuk memanaskan nasi goreng.
'Ting Tong' bunyi bel apartemen kami.
"Bukain Dit." perintah Amanda.
Aku meletakkan kembali piring yang sudah ku ambil.
"Hey What's up Jay. Manda lagi di dapur. Ada nasi goreng tuh." Sapaku mempersilahkan Jaya masuk.
"What's up Dit." jawab Jaya.
Aku dan Jaya berjalan ke living room. Amanda masih berada di dapur.
"Abis kelas Jay?" tanyaku yang melihat tas dengan buku buku yang dibawanya.
"Iya nih. Lo nggak ada kelas?" tanya Jaya kepadaku
"Ada tadi. Sampai jam 3 doang." jawabku.
Amanda datang membawa dua piring nasi goreng dan memberikan salah satunya kepada Jaya. Kemudian dia duduk di sofa di tengah-tengah antara aku dan Jaya.
"Buat Gw mana?" tanyaku.
"Minta Bintang ambilin tuh." jawab Manda nyinyir.
"Oh Lo udah ada pacar Dit?" tanya Jaya dengan polos.
"Kagak.. Ngawur aja nih cewek lo. Padahal dia yang-" Aku menghentikan perkataanku saat melihat mata Amanda yang melotot ke arahku. Memberikanku isyarat untuk diam.
"Manda kenapa? Oh kamu yang suka sama si Bintang-Bintang ini ya?" Ledek Jaya ke Amanda.
"Apa sih kamu! Orang itu si Ditya kok." bela Amanda. "Lagian Bintang itu angkatan 08. Masih brondong..." lanjut Amanda.
"Halah... Waktu itu lo bilang kalau lo single.. Lo mau ama dia." Komentarku sekembalinya dari dapur dengan sepiring nasi goreng. Amanda mengacungkan jari tengahnya ke arahku.
"Oh, Sayang aku sekarang mainannya sama brondong nih? Yah sedih deh aku." ledek Jaya lagi.
"Oh My God! Nih aku liatin orangnya kaya apa. Dit HP gw!" perintah Amanda untuk mengambilkan telepon genggam-nya yang terletak di atas meja. Amanda kemudian mengutak atik telepon gengam tersebut dan mengarahkan layarnya ke arah Jaya.
"Ah ini mah tipe lo banget Dit!" Komentar Jaya setelah melihat layar telepon genggam Amanda.
"Lo punya fotonya Bintang?" tanyaku keheranan.
"Ini foto kemarin pas di KJRI." jelas Amanda. "Gimana say menurut kamu?" tanya Amanda kepada Jaya.
"Tipe lo banget sih Dit. Putih, rambut pendek, kaca mata-an. Gayanya juga lumayan. Bintang ini gay juga?" tanya Jaya kepadaku.
"Mana Gw tau! Ini tuh kerjaannya anak-anak pas rekrutan kemarin." jawabku sedikit kesal.
"Radar Lo bunyi-bunyi nggak?" tanya Jaya lebih lanjut.
"Nggak Tau!" jawabku sewot.
"Nyantai aja dong Dit. Ampe merah gitu muka lo." lanjut Jaya. Aku langsung menendang kaki Jaya yang membuatnya meringis kesakitan.
"Sayang, Aku di tendang Ditya nih sakit... Pijitin dong." Jaya tiba tiba memelas manja kepada Amanda.
"Alesan aja kamu. Minta dipijitin." balas Amanda.
"Sakit beneran Say. lagian Aku juga capek abis kelas. Kamu nggak kasian sama aku?" Jaya berusaha merayu Amanda dengan mukanya yang dibuat seimut dan sememelas mungkin.
"Najong banget Lo Jay! Kalau mau mesra-mesraan di kamar sana!" jawabku yang kemudian berdiri membereskan piring piring bekas makan kami bertiga.
"Wuiss... Nanti Lo pengen..." balas Jaya meledek.
"NAJIS WOY!" teriakku dari dapur.
Waktu menunjukan pukul 7:30 pagi. Udara dingin disertai angin yang kencang menembus coat warna hitam yang sedang aku kenakan. Kopi yang ada di tanganku sudah tidak panas lagi.
Udara di San Francisco lebih banyak dinginnya dibandingkan hangatnya. Hampir sepanjang tahun San Francisco selalu di selimuti kabut disertai hembusan angin yang kencang. Letak Kota San Francisco yang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik dan dengan topografi yang berbukit bukit membuat kota ini dipenuhi banyak angin. Terlebih lebih di pusat kota. Dimana gedung-gedung tinggi yang membuat deru angin semakin terasa.
Aku mengeluarkan sebatang rokok dari kantong coat-ku kemudian duduk di area khusus merokok yang berjarak 5 meter dari pintu utama gedung kampusku. Aku sengaja datang lebih pagi untuk membeli kopi latte di coffee shop dekat kampusku kemudian duduk duduk di luar kampus sambil merokok melihat orang lalu-lalang di pagi hari.
Di San Francisco orang orang lebih senang berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum dari pada menggunakan mobil pribadi. Karena alasan macet yang sebenarnya kalau dibandingkan dengan Kota Jakarta tidak seberapa dan biaya parkir yang mahal dan terbatas.
"Kak Ditya!" Aku mendengar namaku dipanggil. Aku menoleh ke arah asal suara itu.
"Kak, mau kelas?" Bintang telah berdiri disampingku. Dia mengenakan coat hitam, celana jeans hitam dengan sarung tangan hitam dan sepatu bot kulit warna cokelat dan lehernya dibalut scarf warna cokelat muda yang kontras dengan pakaiannya yang serba hitam itu.
"Iya nih. Lo kelas juga?" tanyaku sambil menyeruput kopi yang sedang ku pegang.
"Iya nih Kak. Saya udah telat nih. Busnya sebentar lagi datang. Duluan ya Kak." jawabnya sambil beranjak pergi.
"Eh, Bintang!" Aku berteriak untuk memanggil Bintang yang belum begitu jauh dari ku. Bintang pun menghentikan langkahnya dan berjalan kembali.
"Kenapa Kak?" Tanya Bintang.
"Boleh minta nomer lo?" Entah apa yang ada di otakku saat itu. Tiba tiba aku berinisiatif meminta nomer telpon Bintang.
"415-677-9992" jawabnya memberikan nomer teleponnya kepadaku.
"Punya Kak Ditya?" balasnya meminta nomerku.
"415-708-6576" jawabku
"Ok thanks Kak. Saya duluan ya! See you!" Bintang berlari meninggalkanku yang masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. 'See you' itu kata kata Bintang yang menyangkut di pikiranku. Aku tersenyum sendiri.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Manda! Lo tau apa yang gw lakukan tadi pagi!" teriakku yang sedang membuat clip animasi untuk tugas sekolah di living room ketika mendengar pintu apartemenku dibuka dari luar.
"Man!" Aku berteriak sekali lagi karena tidak mendapatkan respon apa apa.
"Iya sabar... Gw lagi copot sepatu." jawab Amanda santai
"Man, Gw udah punya nomernya Bintang!" Aku melanjutkan kata kataku.
"Seriusan? Kok bisa?" Tanya Amanda sambil berjalan menuju kamarnya melewati living room tempat aku berada. Aku mengikuti Amanda berjalan ke arah kamarnya dan berhenti di depan pintu kamarnya.
"Iya... Tadi pagi pas gw mau kelas.. Tiba tiba ada orang teriakin nama gw. Pas gw liat eh ternyata si Bintang. Dia keburu buru gitu. Katanya udah telat. Terus nggak tau kenapa Gw kepikiran buat minta nomer dia." Ceritaku diambang pintu kamar Amanda.
Amanda menutup pintu kamarnya di depan muka ku.
"Terus Lo udah kontek dia?" Suara Amanda terdengar dari balik pintu kamarnya.
"Hah? Ya belum... Udah dibilang Gw ga tau kenapa tiba tiba Gw kepikiran minta nomer telepon dia. Spontan aja gitu tadi." jawabku agak sedikit kencang supaya Amanda bisa mendengar.
Selama beberapa lama Amanda tidak merespon. Aku melangkah menuju living room melanjutkan tugas sekolahku yang sedang kukerjakan.
"Udah makan belom?" tanya Amanda yang sudah berada di living room sekitar 20 menit kemudian.
"Udah, gw beli korea tadi di Westfield." jawabku.
"Yah.. Gw belom makan nih. Temenin Gw cari makan yuk." Ajak Amanda.
"Pesen aja. Gw lagi ngerjain tugas." jawabku menolak.
"Jam segini masih ada yang buka nggak ya? Udah jam 10 malem." kata Amanda sambil membuka laptop yang ia bawa dari kamarnya.
"King of Thai 24 Jam." Jawabku sambil mengerjakan tugas sekolahku.
"Lo mau apa nggak? Sekalian Gw pesenin." Tanya Amanda yang sedang mencari nomer telepon salah satu dari sedikit restaurant yang masih buka.
"Nggak, nanti gendut jam segini makan." balasku
"Aduh... Iya nih udah malem... Tapi Gw laper... " kata Amanda yang diliputi dilema.
"Lo belum makan malem?" tanyaku sambil melihat ke arahnya.
"Belum, hari ini gw ada tiga kelas dari jam satu sampai jam sembilan. Makan siang doang tadi. Gimana ya?" Amanda berbalik bertanya kepadaku.
"Makan lah... Ntar asam lambung lho Man. Udah besok pagi lari pagi aja." Jawabku.
"Tugas Gw lagi banyak banget. Terus gw harus belajar buat midterm exam. Gw males lari pagi Dit..." Balas Amanda sambil sedikit merengek.
"Haduh. Jadi sebenarnya lo mau makan apa nggak sih?" Kataku yang mulai agak kesal.
"Jangan marahin Gw dong... Gw kan lagi dilema nih." Jawab Manda dengan muka memelas.
"Bikin Roti aja tuh sama tuna. Masih ada tuna kayaknya di kulkas." balasku
"Gw mau Thai fried rice..." Jawab Amanda merengek.
"Ya udah pesen gih..." balasku lagi
"Nanti gendut... Gw pesen nanti Gw makan dikit terus Lo yang abisin yaa... Please..." Tanya Amanda dengan memasang muka memohon.
"Ya, besok gw makan buat sarapan." Jawabku singkat sembari fokus membuat klip animasi.
"Nggak... maksud Gw, Lo abisin abis gw selesai makan nanti." balas Amanda yang akhirnya membuat aku jengah.
"Oh My God! Iya iya nanti gw abisin!" jawabku dengan nada tinggi.
"Okeh..." Tak lama Amanda menelepon restoran untuk melakukan pesanannya. Aku mendengar dia memesan beberapa jenis makanan lainnya di tambah minuman Thai ice tea.
"Lho kok jadi banyak pesenannya?" Tanyaku heran.
"Kan buat berdua... Gw laper banget..." jawab Amanda polos
"Serah lo deh Man." jawabku menyerah.
"Ngerjain apa sih lo.. Jadi galak amat.." tanya Amanda sambil melongok ke layar laptopku.
"Midterm." jawabku singkat.
"Oooh... Gimana tadi ceritanya si Bintang?" tanya Amanda
Aku mengalihkan pandanganku dari layak laptopku dan melihat ke arah Amanda. Ku ulangi lagi cerita tentang kejadian yang aku alami tadi pagi saat bertemu Bintang. Tak disangka sangka Amanda berkomentar.
"Elo, giliran ditanya soal Bintang langsung ditinggal tuh 'Midterm' Lo!" katanya sambil membuat tanda kutip dengan tangannya di kata Midterm. Aku baru menyadari kelakuanku barusan tersenyum malu.
"Ajak jalan lah." Sambung Amanda.
"Ajak jalan? Gila lo ah... Ntar dia mikir Gw suka sama dia lagi." protesku dengan usulan Amanda.
"Emang nggak suka sama Bintang?" tanya Amanda dengan nada menyindir.
Aku terdiam sejenak, bingung harus menjawab apa. Aku sendiri tidak tahu apakah aku tertarik kepada Bintang atau hanya terbawa perasaan karena kelakuan teman temanku saat pertemuan di KJRI dua minggu yang lalu itu.
Memang benar yang waktu itu dikatakan oleh Jaya. Kalau dari fisik, Bintang memang tipe cowok yang aku sukai. Tingginya sama denganku, kurang lebih 173cm. Bintang mengenakan kaca mata full frame kotak dengan rambut potongan cepak atau crew cut.
Baru dua kali aku melihat Bintang. Pertama pada saat pertemuan PERMIAS di KJRI dan yang kedua tadi pagi. Waktu di KJRI dia mengenakan kemeja warna hitam dengan motif polkadot putih di tutup sweater V-neck warna hitam dipadu dengan celana jeans warna hitam. Sepatunya boat shoes warna cokelat muda dari bahan suede. Cukup stylish bagi ku.
"Nggak tau lah Man. Baru ketemu dua kali." jawabku kemudian
"Ya makanya ajak jalan dong biar lebih kenal." komentar Amanda.
"Ntar kalau ternyata dia straight kan aneh Man tiba tiba di ajak nge-date sama Gw." balasku.
"Lo ajak aja dulu. Apa mau pakai skenario Lo dulu waktu jodohin gw sama Jaya?" tanya Amanda.
"No way! So cheesy!" Tolakku keras.
"Lha kan itu Elo sendiri yang buat dulu." Balas Amanda
"Ya beda lah Man, itu kan gw buat khusus buat bantuin Jaya ngejar Elo. Ya abis tiba tiba Jaya sok akrab sama gw. Secara dari SMA dulu temen temen gw cowok deketin gw supaya dibantuin ngejar yang temen gw yang cewek cewek. Jadi Gw udah tau maksud dan tujuan Jaya sok akrab ama Gw. Langsung aja gw tembak 'Lo demen ama Manda ya.' Eh dianya langsung ngaku." kenangku saat aku membantu Jaya untuk mendekati Amanda setahun yang lalu.
"Lagian ya Man itu karena gayung bersambut. Lo kan kesengsem sama Jaya waktu liat dia main bola pas PERMIAS Cup. Pas Jaya SKSD ke Gw abis PERMIAS Cup ya udah deh." lanjut aku.
"Hahahaha... Tapi abis Jaya ngaku ke Elo, kenapa Lo nggak langsung bilang ke Gw?" Tanya Amanda
"Ya biar seru aja gitu.. Kata orang kalau dapetnya kegampangan nanti cepet bosen." jawabku sambil berkelakar.
"Terus urusan Lo sama Bintang gimana Dit?" tanya Amanda.
"Sambil jalan aja lah. Udah ah.. Gw mau balik ngerjain tugas dulu..." jawabku menyudahi percakapan kami berdua.
Aku melanjutkan aktifitas mengerjakan tugas sekolah yang harus di kumpukan esok harinya. Untungnya sudah mau selesai.
Jam menunjukan pukul 12 malam lebih sedikit. Aku menyimpan hasil karyaku ke dalam USB Thumb Drive untuk dikumpulkan besok. Kuregangkan badanku yang pegal pegal, kemudian melangkahkan kaki ku ke kamar untuk bersiap tidur.
Me: 00:25
Hi Bintang , ini Ditya... Udah tidur?
Aku mengirimkan sebuah SMS ke nomer yang diberikan Bintang tadi pagi.
Bintang-AAU: 00:25
Belum kak. Ada apa?
Tidak sampai satu menit SMS balasan dari Bintang aku terima. Aku yang tidak menyangka akan mendapat balasan secepat itu jadi bingung sendiri. Ku tulis dan kuhapus berulang ulang isi SMS yang hendak aku kirim ke Bintang.
Me: 00:27
Lo weekend ini sibuk nggak? Gw ada midterm paper buat kelas disuruh bikin analysis film animasi. Kalau Lo nggak sibuk temenin gw nonton di library dong.
Aku menutupi mukaku dengan bantal sambil berteriak untuk menghilangkan rasa tegang. Aku sedikit menyesal dengan apa yang baru saja aku kirimkan ke Bintang . Timbul perasaan perasaan cemas dan takut ditolak. Mukaku sekarang berasa sangat panas. Terlebih lebih balasan dari Bintang tak kunjung datang.
"Ah F*ck lah!" gumamku frustasi sendiri.
Dering alarm yang berasal dari telepon genggamku membangunkanku dari tidur. Entah pukul berapa aku tertidur. Kumatikan alarm di telepon genggamku dan terlihat pesan pemberitahuan '1 New Message Received' di layar telepon genggamku.
Bintang-AAU: 00:53
Saya ada midterm project kak.
Mau ngerjain di library juga sih.
Aku mengucek ngucek mataku yang baru saja terbuka. Aku tidak mengerti maksud balasan dari Bintang. Dia tidak menjelaskan apakah dia mau atau tidak untuk menemaniku menonton film animasi di perpustakaan sekolahku.
Entah kenapa badan ini tiba tiba berasa lemas. Hari ini aku tidak bersemangat untuk pergi ke kelas. Tapi karena hari ini ada midterm project yang harus dikumpulkan, mau tidak mau aku harus tetap pergi ke kelas.
"Hey, what's wrong with you?" Tanya Jessie yang melihat aku membaringkan kepalaku di atas tangan yang ku lipat di meja sebelum kelas dimulai.
"Nothing." Jawabku singkat
"Are you sick or something?" Tanyanya lagi dengan nada yang terdengar khawatir.
"I'm okay. Just having trouble sleeping last night." Balasku sembari mengangkat kepalaku.
Kulihat ruang kelas mulai ramai dengan murid murid yang sudah berdatangan. Satu persatu mereka meletakkan USB thumb drive di meja professor.
"Have you finished your midterm?" Tanya Jessie sekembalinya dari meja professor untuk menaruh USB Thumb Drive-nya.
"Uh huh." Aku menggeliat meregangkan tubuhku.
Sepertinya Jessie hendak memberikan pertanyaan lanjutan namun terhenti ketika professor kami masuk ke dalam ruang kelas.
"Good Morning!" Sapanya bersemangat kepada seisi kelas.
"Morning..." jawab kami semua secara tak berbarengan dengan suara suara yang seadanya.
Professor ku mulai memanggil satu persatu nama murid-murid untuk di absen sekaligus memeriksa apakah sudah menaruh USB Thumb Drive yang berisi midterm project yang akan di review hari ini.
"All right.. Who wants to go first?" Tanya professor ku kepada seisi kelas.
Satu persatu murid murid menayangkan klip animasi pendek yang menjadi sebuah tugas tengah semester di kelas ini. Tak hanya kritik dan saran dari professor, kami pun diminta untuk memberikan kritik dan saran kepada masing masing murid.
"You did well Ditya." Kata Jessie pada saat klip animasiku selesai ditayangkan dan diberi kritik.
"Thanks." balasku sambil tersenyum ke Jessie.
"So why the face huh?" Tanyanya lagi
"Hmm... there's this guy that I met in one of my Indonesian student group meeting last week." Akhirnya aku menjawab pertanyaan Jessie.
"Awwww!" Jessie memberikan respon yang membuat mukaku memerah
"Stop it!" Jawabku malu
"You're blushing. So who is he?" Tanyanya lebih lanjut.
"He's in ID." jawabku
"Industrial Design? He goes here?" Tanyanya lagi dengan tingkat kehebohan yang makin meningkat.
"Ssshhussh!" Aku dan Jessie menoleh ke arah datangnya suara yang mengisyaratkan kami untuk diam. Dan ternyata suara itu berasal dari professor kami.
"Sorry..." Jessie menjawab sambil menutupi mulutnya.
Aku menundukan kepalaku karena rasa malu yang teramat sangat. Sepanjang kelas kami tidak melanjutkan perbincangan kami.
"Ditya wait!" Jessie berteriak saat aku keluar dari kelas seusai kelas animasi yang hari itu terasa sangat lama. Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang.
"Let's grab some lunch." Ajak Jessie ketika dia sudah berada disampingku.
"Chipotle?" Tanyaku menyebutkan salah satu nama restoran cepat saji yang menyajikan makanan mexico.
"Sounds good." Jawab Jessie.
Kami berdua berjalan menyusuri lorong menuju ke lift untuk turun ke lantai dasar. Ruang kelas kami berada di lantai empat. Sepanjang lorong terdapat banyak majalah dinding yang memamerkan ilustrasi karya karya terbaik para murid di fakultas animasi. Salah satu karyaku berupa gambar ilustrasi gatot kaca terpampang di deretan majalah dinding tersebut.
Setiap kali aku melintasi lorong tersebut ada rasa bangga karena selain namaku terpampang disitu dan dilihat banyak orang. Aku juga bisa memperkenalkan budaya Indonesia kepada murid murid di sini.
Setelah kami memesan makanan kami masing masing. Kami memilih tempat duduk yang menghadap ke jendela yang bisa melihat ke arah jalan.
"Oh My God. That's him!" Aku yang melihat sosok Bintang yang sedang berjalan melintas di seberang restoran. Aku langsung menyembunyikan muka ku.
"What? Who? the guy? Which one?" Tanya Jessie dengan muka yang sangat penasaran dan melihat lihat ke jalan. Dia sampai berdiri dari kursinya dan mengajukan badannya ke arah jendela. Sedangkan aku masih menghadap memunggungi jalan.
"Is He gone?" Aku bertanya kepada Jessie
"I don't even know which one he is." jawab Jessie yang masih terlihat menelongok.
Aku perlahan membalikkan tubuhku untuk melihat ke arah jalan.
"Kak Ditya." Tiba tiba suara Bintang terdengar dari belakang. Aku menoleh dengan cepat kearah datangnya suara itu. Ternyata Bintang masuk ke dalam restoran tempat Aku dan Jessie makan.
Aku tidak melihatnya ketika dia masuk ke dalam restaurant.
"Bintang . Eh kenalin... Jessie this is Bintang... Bintang ini Jessie temen kelas Gw." Aku memperkenalkan Bintang ke Jessie.
"Nice to meet you!" Raut muka Jessie langsung berubah berseri seri.
"Nice to meet you too." Balas Bintang sambil tersenyum. Akupun ikut tersenyum melihat senyuman Bintang.
"Kak aku pesan makanan dulu ya." kata Bintang yang ku balas dengan anggukan.
"Is that him?" Tanya Jessie dengan antusias. Aku hanya mengangguk
"He's hot!" sambungnya lagi.
Aku tidak berani melihat ke arah counter tempat memesan makanan. Aku terus memandang keluar dengan rasa berdebar debar yang teramat sangat. Jessie lah yang dari tadi memperhatikan dimana keberadaan Bintang.
"Bintang!" teriak Jessie memanggil Bintang yang sepertinya baru saja selesai memesan dan hendak duduk di bangku yang berjarak dari tempat kami duduk. Aku menoleh kaget ke arah Jessie.
"Sit with us!" sambungnya lagi.
Debaran jantungku semakin kencang. Entah seberapa merah wajahku saat ini. Aku mengambil air minum di hadapan ku. Aku berharap dapat menurunkan suhu diwajahku yang terasa sangat panas ini.
"Grab that chair." perintah Jessie kepada Bintang setibanya dia di meja kami berdua.
Ku Beranikan diri menoleh ke arah Bintang dan kulihat dia sedang mengambil kursi kosong di meja sebelah kami.
"No Indonesian.. Ok guys?" Kata Jessie yang meminta kami berdua untuk berbicara dalam bahasa Inggris supaya dia bisa mengerti. Aku dan Bintang pun menganggukkan kepala.
"So, you guys in the same class?" Bintang memulai percakapan.
"Yes, we have three classes together this semester. Right Ditya?" jawab Jessie
"Iya kita ada tiga kelas yang bareng." Jawabku
"Dityaaa! What did I say?" Jessie berteriak protes karena aku menjawab dalam bahasa Indonesia.
"Yes, we have three classes together." Aku mengulangi jawabanku dalam bahasa Inggris.
"What semester are you in?" Tanya Jessie kepada Bintang.
"This is my second semester. I got here fall 08." Jawab Bintang yang mengatakan bahwa dia sekarang berada di semester kedua dan baru masuk musim semi 2008.
"How about you?" tanya Bintang kembali.
"We're on the sixth I guess? We came here in fall 06." Jessie melihat ke arahku untuk meminta konfirmasi atas jawabannya bahwa kami sekarang di semester keenam sejak musim gugur tahun 2006.
"Yes." Aku membenarkan perkataan Jessie.
"How do you like it so far?" Tanya Jessie lagi
"It's cold here. But the city is beautiful." Jawabnya mengatakan bahwa walaupun udara yang dingin tapi San Francisco adalah kota yang indah.
"Ditya said that you're in Industrial Design." Jessie bertanya jurusan yang diambil oleh Bintang.
"Oh, So Kak Ditya had told you about me?" jawaban Bintang dengan senyuman sambil melihat ke arahku membuat mukaku yang dari tadi sudah biasa kembali memanas.
"Kak? What's Kak?" Jessie mencoba berkelit dari pertanyaan Bintang tentang bagaimana Jessie bisa tahu jurusan yang diambil oleh Bintang.
"Kak which is short from Kakak. In this context is a call to address a person a little bit older than you. Kakak can also be a call to an older brother." Aku mencoba menjelaskan kepada Jessie perihal panggilan 'Kak' yang dibubuhi Bintang di depan namaku.
Di Amerika Serikat tidak ada kata panggilan khusus untuk memanggil orang yang lebih tua tapi tidak terlalu jauh umurnya seperti "Kakak, Mbak, Mas, Abang.". Mereka langsung memanggil nama depan orang tersebut.
"Anyway.. I gotta go to my next class." kata Jessie tiba tiba.
"Alright... I'll see you Monday." jawabku. Aku dan Jessie mempunyai kelas bersama lagi hari senin.
"I'll see you Monday..." Jessie berdiri dari kursinya. "Have you finished your paper for monday's class?" Tanya Jessie sebelum dia pergi.
"I'm planning to go to the library this weekend. Have you?" Tanyaku kembali
"Of Course! Why You haven't?" Jessie mendelik mendengar aku menjawab bahwa aku baru akan mengerjakan tugas essay untuk menganalisa film animasi akhir pekan ini. Sedangkan essay itu harus sudah dikumpulkan hari senin.
"I was busy! I am busy" Jawabku membela diri. Jessie memutar bola matanya mendengar pembelaan ku
"Oh shoot. I really need to go. Almost 1:30. Nice to meet you Bintang. Bye guys!" Jessie berpamitan kepada kami berdua dan kemudian berjalan sangat cepat meninggalkan kami.
"Kak Ditya nggak ada kelas lagi abis ini?" Tanya Bintang kepadaku
"Nggak... Hari ini kelas Gw cuman satu... Lo?" Aku bertanya kembali.
"Saya juga cuman satu hari ini." Jawabnya diikuti dengan kediaman kita berdua.
"Bin"
"Kak"
Aku dan Bintang berbarengan bersuara dan kami pun tertawa bersama sama.
"Kenapa?" Aku bertanya kepada Bintang di sela-sela tawaku.
"Weekend mau ke library jam berapa?" Tanya Bintang yang membuatku kaget.
"Kenapa emang nya?" Tanyaku yang masih tak mengerti maksud pertanyaan Bintang.
"Semalem Kak Ditya kan SMS Saya minta ditemenin nonton film animasi di library. Mau jam berapa?" Jawaban Bintang membuatku tambah kaget lagi.
"Katanya lo mau ngerjain midterm?" Tanyaku
"Iya.. kan sambil nemenin Kak Ditya nonton. Jadi mau jam berapa?" Tanya Bintang lagi.
"Hah? oh.. Lo bisanya jam berapa?" tanyaku kembali
"Jam 10 kepagian nggak kak?" tanya Bintang.
"Nggak sih. Ya udah hari sabtu jam 10 ya?" Aku mengkonfirmasi.
"Ok.." jawab Bintang mantab.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Dit... Sabtu Gw sama Jaya mau ke San Jose... Mau ikut nggak lo?" tanya Amanda di sela sela makan malam kami di apartemen.
"Gw masih midterm Man. Lo udah selesai midterm?" Tanyaku.
"Besok Jumat terakhir... Abis itu next week nya spring break deh!" jawab Amanda
"Ih enak banget... Pala gw udah mau pecah Man! Kantong mata gw udah segede sarang tawon nih liat... Untung abis ini spring break ya" Aku iri kepada Amanda yang sudah bisa bebas dari midterm-nya.
"Lo midterm sampai kapan?" Tanya Amanda.
"Rabu depan terakhir..." Jawabku
"Kok lama amat midterm lo?" Tanya Amanda
"Gw minta extend kelas english... Nggak ngejar Man... Kelas animation gw udah kelar sih midterm nya. Paling nggak, yang kelas major udah beres satu. Ntar senin satu kelas major lagi kelar midterm nya." Kata ku
"Anak anak Uni lo kalau lagi midterm kasian banget ya... Udah pada kaya zombi semua gitu." komentar Amanda.
"Wah ini belum seberapa man. Lo ga liat kalau gw lagi final?" balasku
"Iya sih... Soalnya lo kebanyakan bikin project sih ya. Bukan exam doang." lanjut Amanda
"Iya.. ah exam tuh malah gampang Man kalau di Uni gw.. Yang ngemalesin tuh suruh bikin paper tau nggak. Kalau project walaupun sampai nggak tidur tapi seru ngerjain nya. Wah kalau Gw suruh bikin paper alah mak... Ampunilah." curhat ku kepada Amanda.
"Nah Senin nih gw mesti submit paper buat kelas History of Animation. Gw disuruh bikin paper tentang film animasi jaman dulu. Kayak suruh bikin analysis dan bla bla bla... Sometimes Gw Wonder... Why did i choose this major?" curhatku berlanjut.
Amanda hanya tersenyum miris mendengarkan curhat mendadak dari ku.
"Ganti topik deh... Bintang apa kabar? Udah lo kontakan belum?" Tanya Amanda
"Semalem gw SMS dia-" belum sempat aku melanjutkan ceritaku Amanda sudah berteriak teriak.
"Cie ciee.... Bilang apa lo?" Tanya Amanda lebih lanjut. Aku menceritakan kronologis kejadian yang aku alami dari SMS ku semalam sampai kejadian tadi siang.
"Oh pantes! Lo ga mau ikut gw ama Jaya ke San Jose! Mau nge-date ya lo! Berani berani dia nge boong, pakai acara alesan mau ngerjain midterm segala!" Amanda tiba tiba bereaksi dramatis selesai ku ceritakan kejadian tadi siang.
"Eh nggak gitu Man... Emang Gw mau ngerjain midterm di library... Beneran..." Aku mencoba menjelaskan ke Amanda.
"Eh chicks before dicks dong." Balas Amanda nyinyir.
"Ya ilah Man... Gw ngerjain midterm beneran Man... Bareng sama Bintang... Dia juga mau ngerjain midterm dia..." Aku mencoba merayu Amanda yang sedang ngambek.
"Hedehh..." Amanda menghela nafasnya...
"Man... Jangan gitu dong..." Aku memasang muka memelas.
"Cepet juga yee progress lo. Perasaan semalem pas Gw tanya Lo bilang masih belum tau kalau Lo suka ama Bintang apa nggak. Ini udah nge date aja..." Amanda berkata dengan nada yang masih menyindir.
"Man... It's not a date... Masa nge-date ngerjain tugas.. Nge date itu ya dinner atau nonton... Ini cuman ngerjain tugas bareng!" jawaban ku lantas dibalas dengan lemparan beberapa lembar tissue yang diremas oleh Amanda ke muka ku.
Amanda mendekatkan mukanya ke muka ku dan berteriak "Sama ajaa!". Aku pun tertawa terbahak bahak.
---------------------------------------------------------------------------
Aku terbangun pukul tujuh pagi. Rasanya badan ini segar sekali pada saat aku bangun. Walaupun sejak dua minggu belakangan ini aku kurang tidur namun pagi ini badanku terasa sangat segar.
Aku bangkit dari tempat tidurku dan berjalan keluar kamar menuju ke dapur. Aku membuka lemari tempat penyimpanan gelas dan mengambil cangkir kopi berukuran besar. Aku memasukan satu sendok kopi tubruk beserta dua sendok teh gula ke dalam cangkir besar tersebut. Aku menekan tombol dispenser berwarna merah yang mengeluarkan air panas. Bau harum kopi tubruk merebak seiring dengan memenuhnya cangkir kopiku. Aku menarik nafasku dalam dalam untuk menikmati harumnya aroma kopi itu.
Selesai membuat kopi aku berjalan menuju teras. Udara dingin menerpa saat aku membuka pintu geser teras apartemenku. Cepat cepat aku menutup pintu itu kembali. Aku berjalan ke kamarku untuk mengambil selimut.
Dari teras apartemenku terlihat pemandangan salah satu jembatan di San Francisco yang terkenal bernama Bay Bridge. Terdengar suara burung-burung laut berkoar ramai. Samar terdengar deru mesin mobil-mobil yang melintas di atas jembatan tersebut.
Aku berdiam dalam suara pagi yang menurutku sangat indah selama kurang lebih 30 menit. Kulihat jam di layar telepon genggamku. Aku beranjak dari teras dan berjalan menuju kamarku.
Aku membuka lemari untuk mengambil setelan pakaian olah raga. Selesai mengganti pakaian tidurku dengan pakaian olahraga, aku mengambil ipod dan earphone yang terletak di meja samping tempat tidurku. Ku kenakan sepatu olahraga dan kuambil jaket hoodie tebal yang tergantung di gantungan baju yang terletak di dekat pintu keluar apartemenku.
"Mau kemana pagi pagi?" Amanda yang baru saja keluar dari kamar tidurnya dengan rambut acak acakan seperti habis tertiup angin puting beliung.
"Lari. Mau ikut?" Jawabku sambil berjalan kembali menuju dapur untuk mengambil botol air mineral dari atas meja dapur.
"Gw baru bangun... Hooaammm." Jawab Amanda sambil menguap lebar dan mengucek kucek matanya.
"Man... Jaya pernah liat lo baru bangun tidur nggak sih?" Tanyaku
"Kenapa?" Tanya Amanda dengan suara bangun tidurnya.
"Kayaknya mesti di training dulu tuh biar nggak shock." Jawabku sambil tertawa.
"Maksud lo Apaaa!!!" Amanda yang tadinya masih terlihat baru setengah sadar langsung dengan sigap berjalan cepat menghampiriku. Tangannya di angkat tinggi, siap untuk memukulku. Aku langsung berjalan cepat menuju pintu keluar dan menutup pintu sebelum Amanda berhasil menyusul ku.
Begitu aku dari lift, telepon genggamku berdering. Kuliat nama Amanda terpampang di layar.
"Kenapa?" Tanyaku saat menjawab panggilan telepon dari Amanda.
"Ntar Lo Jadi nge date?" Tanya Amanda
"Gw nggak nge date ! Mau ngerjain midterm." Jawabku
"Kan lo hari ini lagi bahagia banget. Nanti on the way back beliin gw subway dong yang six inch. Ntar Gw SMS-in lo isinya apa aja." Kata Amanda.
"Ok." Jawabku singkat menyudahi pembicaraan kami ditelepon.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Amanda sedang duduk menonton Disney Channel di living room pada saat aku kembali dari lari pagi. Aku menaruh bungkusan berisi sandwich pesanan Amanda di pangkuannya. "Nih subway lo."
"Thank you." Balas Amanda sambil membuka bungkus sandwichnya.
"Lo nggak beli juga Dit?" Tanya Amanda disela sela ia makan.
"Beli kok. Gw makan subway-nya di sana." jawabku sambil membuka botol air mineral yang kuambil dari dapur.
"Lo ke San Jose jam berapa?" Tanyaku
"Abis ini Gw mau mandi terus siap-siap terus cabut deh." Jawab Amanda
"Iya itu kira-kira jam berapa?" Tanyaku memastikan
"Sekarang jam?" Amanda balik bertanya
"Sembilan kurang dikit." Jawabku
"Ya jam setengah sebelasan lah Gw Cabut." kata Amanda
"Oh, Gw pikir udah mau jalan. Tadinya Gw mau nebeng sampai campus." Balasku.
"Ya udah." Jawab Amanda santai.
"Gw janjian sama Bintang Jam sepuluh. Nggak apa apalah nanti gw nyetir aja. Ini juga hari Sabtu. Street parking kan gratis." Kataku.
"Aduh... Mau di bawa kemana sih Bintang nya sampai niat bawa mobil segala ke campus. Lo kan paling males kalau suruh nyetir dit." Tanya Amanda meledek.
"Nggak kemana mana. Kan ini sabtu Man. MUNI kan jarang kalau weekend." Aku berusaha menjelaskan.
"iya deh..." Amanda menjawab dengan nada yang semakin meledek.
Aku yang sudah lelah digoda terus oleh Amanda tak merespon perkataannya barusan. Aku bergegas masuk ke kamar untuk mandi karena jam sudah menunjukkan pukul 9.
Kurang lebih 30 menit kemudian Aku keluar dari kamar seusai mandi dengan kemeja lengan panjang warna biru tua yang digulung rapih dengan setelan celana jeans biru gelap.
"Oh my God! Lo beneran mau nge date?" Amanda melihat penampilanku dengan raut muka yang terkejut.
"Udah dibilang Gw mau ngerjain midterm." Jawabku "Is it too much?" Sambungku.
Amanda pun tertawa. Dia yang sedari tadi masih menonton di living room beranjak berjalan menuju kamarku. Akupun mengikuti. Dibukanya lemari bajuku dan nampak dia memilah milah baju yang berada di dalam lemariku.
Diambilnya kaos v neck warna putih dan sweater berkerah lebar warna biru tua, serta celana skinny jeans warna merah tua dari lemariku.
"Nih..." Kata Amanda sambil menaruh pakaian yang dia ambil ke atas tempat tidurku. "Pake ini. "Biar Lo kesannya nggak put too much effort." Sambungnya.
Akupun segera melepas kemeja dan celana jeans yang sudah ku pakai dan menuruti saran baju Amanda.
------------------------------------------------------------------------------------------
Pukul sepuluh kurang sedikit aku sudah sampai di depan gedung kampus. Kebetulan parkir di pinggir jalan depan kampus sedang kosong. Sehingga aku tidak perlu repot repot berputar putar mencari tempat parkir yang kosong atau harus parkir di gedung khusus parkir yang tarifnya selangit.
Ku nyalakan sebatang rokok sambil menunggu kedatangan Bintang.
"Morning Kak." Sapa Bintang yang tak berapa lama datang sambil tersenyum.
"Morning." Balasku sambil tersenyum.
Kulihat Bintang mengeluarkan bungkus rokok dari kantong coat nya.
"Lo ngerokok?" Tanyaku kepadanya
"Iya." Jawabnya sambil mencoba menyalakan korek api yang selalu mati tertiup angin.
"NIh pake ini." Ujarku sembari memberikan rokok yang baru saja kuhisap.
Bintang menyalakan rokoknya dari bara api rokok ku.
Setelah menghabiskan satu batang rokok kami berdua masuk kedalam kampus dan naik ke lantai delapan menuju perpustakaan sekolah.
Sesampainya di perpustakaan kami berdua duduk bersebelahan dimeja yang ada komputernya. Setelah menaruh tas, aku berjalan ke arah penjaga perpustakaan untuk meminjam DVD film animasi yang ingin ku tonton.
"Mau nonton apa Kak?" Tanya Bintang sekembalinya aku ke meja
"Dumbo," Jawabku sambil membuka kotak DVD dan mengeluarkan kepingan DVD kemudan memasukannya kedalam komputer.
Aku mengambil earphone dari kantong depan tasku dan mencolokkannya di lubang headphone di komputer. Sebelum kuputar film tersebut aku melihat ke arah Bintang. Kulihat Bintang sudah mulai mengerjakan tugasnya. Aku kemudian memasang earphone dan memutar film.
Aku meneteskan air mata yang cukup banyak karena terharu melihat cerita tentang perjuangan seekor anak gajah yang terlahir berbeda dengan gajah gajah lainnya.
Bintang yang melihatku menangis memberikan tissue yang ia keluarkan dari tasnya. Dia kemudian mengusap usap punggungku yang membuatku tertawa malu. Bintang tersenyum melihat aku yang masih menghisap hidungku yang dipenuhi dengan lendir karena menangis.
"Kak Ditya nonton Dumbo sampe begitu." Komentar Bintang sambil tetap mengusap usap punggungku
"Gw juga nggak nyangka ternyata filmnya sesedih itu." Jawabku setelah berhasil mengeluarkan lendir di hidungku ke dalam tissue.
"Saya waktu kecil juga nangis kok waktu nonton Dumbo." Balas Bintang.
"Oh, Lo udah pernah nonton Dumbo? Kok nggak bilang ke Gw kalau ini film sedih banget?" Tanya Gw.
"Aku pikir Kak Ditya udah pernah nonton. Ini nonton lagi karena buat tugas." Jawab Bintang.
"Iya, gw belum pernah nonton film ini. Padahal hampir semua film animasi Disney udah Gw tonton." balasku.
"Dari semua film disney Kak Ditya paling suka yang mana?" Tanya Bintang.
"Yang animasi atau yang bukan nih?" Tanyaku balik
"Yang animasi apa kalau yang bukan animasi apa?" Tanyanya lagi
"Apa ya? Hampir semua sih. Lion King, Aladin, Mulan, Tarzan, Little Mermaid, Pirates of Caribean, Princess Diaries" jawab ku.
"Nanti bulan Mei ada film Disney-Pixar baru mau keluar. Judulnya 'Up' Saya lihat trailernya kayaknya bagus." ujar Bintang.
"Iya Gw juga udah liat trailernya. Kocak kayaknya. Yang ada anak kecil gendut itu kan?" Jawabku.
"Iya betul." Balas Bintang
"Bintang, Ngomong ngomong Lo laper nggak?" Tanyaku kepada Bintang.
"Laper kak." Jawabnya dengan jujur.
"Makan dulu yuk. Gw juga laper. Midterm project lo apa kabar?" Tanyaku
"Udah mau selesai kok." Jawabnya.
Kami berdua mengemasi barang barang kami. Tak lupa kukembalikan DVD yang aku pinjam ke penjaga perpustakaan.
"Lo mau makan apa?" Tanyaku kepada Bintang saat kami berada di dalam lift untuk turun ke lantai dasar.
"Teserah Kak Ditya aja. Saya apa aja Ok." Jawabnya
"Makan korean barbeque mau?" Tanyaku kepadanya
"Boleh Kak. Yang di Westfield?" Tanyanya balik
"Mmm... Ada yang enak di daerah Richmond. Geary Street sama 28th Avenue." jawabku
"Oh, ya udah boleh deh nyobain." balas Bintang.
Kami berdua masuk ke dalam mobil yang ku parkir tak jauh dari gedung kampus. Kurang dari dua puluh menit kami sudah sampai di restoran korea yang ku maksud. Tidak seperti downtown yang sepi di saat akhir pekan. Daerah richmond merupakan daerah yang dikelilingi oleh permukiman. Sehingga parkir di jalanan penuh dengan mobil-mobil penghuni.
Setelah cukup lama aku berputar putar akhirnya dapat tempat juga untuk memarkirkan mobilku. Kami berdua berjalan sepanjang dua blok dari parkiran menuju ke restaurant sambil merokok dan ngobrol ringan.
Aku menarik pintu masuk restaurant dan mempersilahkan Bintang untuk masuk terlebih dahulu.
"Thanks" kata Bintang.
Siang itu restauran Korea tempat kami hendak makan sangatlah ramai, sehingga kami harus menunggu sampai ada meja yang kosong. Kami berdua duduk di kursi panjang didekat pintu masuk yang disediakan untuk tamu-tamu restaurant yang menunggu giliran.
Aku mengambil buku menu yang ditaruh di meja kecil samping tempat kami menunggu dan memberikannya kepada Bintang untuk dilihat. Aku juga mengambil satu buku menu lagi untuk Aku baca.
"Dit! Baru dateng lo!" Suara sapaan yang cukup keras disertain tepukan di lengan tangan ku membuat aku menengadahkan kepalaku yang sedang membaca buku menu.
"Ridho!" Aku terkejut melihat kehadiran Ridho yang berdiri dihadapanku bersama 2 orang mahasiswa yang juga aku kenal. Mereka bernama Yudhi dan Denis. Yudhi dan Denis bersekolah di universitas yang sama dengan Ridho. Aku kemudian bertukar sapa dengan mereka berdua.
Ikut bersama mereka, tiga orang mahasiswi yang sepertinya mengenal Bintang. Bintang nampak bertukar sapa dengan ketiga mahasiswi tersebut. Mereka berbisik bisik entah apa yang membuat Bintang tiba tiba jadi salah tingkah.
"Uhuy! Eh Guys PERMIAS udah punya first lady nih sekarang!." Kelakar Ridho yang disambut tawa dari Yudhi dan Denis.
Aku meninju lengan Ridho yang membuatnya berteriak kesakitan.
"Eh Bro... Kenalin dong." Sambung Yudhi sambil menaikan alisnya
"Gossip aja lo semua!" Jawabku yang mulai kesal karena malu. Bintang yang sedang ngobrol dengan ketiga temannya itu beberapa kali kudapati mencuri pandang kearahku.
"Eh join aja Bro sama kita." Denis menawarkan untuk bergabung bersama mereka.
"Males ah Gw! Ntar lo pada nge-ceng cengin gw mulu." tolakku kasar.
"Ah nggak seru lo Dit." balas Denis.
"Bintang!" Ridho tiba tiba berteriak untuk memanggil Bintang.
Bintang menoleh dan mendekat ke kami. "Apaan Dho?" Aku terkejut dengan jawaban Bintang yang memanggil Ridho langsung dengan nama tanpa menggunakan sebutan Kak. Dia juga terlihat lebih santai ketika berbicara kepada Ridho.
"Lo sama Ditya join aja mejanya sama kita yah? Biar seru rame rame." Tanya Ridho kepada Bintang yang membuatku melotot ke arahnya.
"Ya udah boleh." Jawab Bintang yang membuat mereka bertiga terlihat senang.
"Tuh Pak Pres. Bintangnya udah mau duduk ama kita." Kini gantian Denis yang berkata kepadaku
"Iye iye ah!" Aku akhirnya pasrah menerima ajakan mereka.
Setelah menunggu selama 15 menit akhirnya meja kami pun siap. Dua meja digabung menjadi satu untuk kami berdelapan. Ridho mengambil posisi di kursi ujung membelakangi tembok, diikuti Denis dan Yudhi. Aku mengambil posisi duduk diseberang Ridho, dan Bintang mengambil posisi di sebelahku. Duduk sebelah Bintang kedua temannya tadi. Temannya yang satu lagi lagi duduk di sebelah Yudhi.
"Masih belum boleh kenalan nih Dit?" Ledek Yudhi pada saat kita sudah memesan makanan.
Aku memijit mijit keningku. Bintang yang tadinya sedang mengobrol dengan ketiga temannya menoleh kearah Yudhi.
"Bintang, kenalin ini Yudhi. Anak SF State." Aku dengan sedikit kesal memperkenalkan Bintang kepada Yudhi. Yudhi mengulurkan tangannya sambil menaik-naikan alisnya. Aku hanya bisa menggeleng gelengkan kepala.
"Ama Denis udah kenal?" Tanyaku kepada Bintang.
"Belum Kak." Jawab Bintang sambil melihat ke arah Denis.
"Ini Denis anak SF State juga. Mereka bertiga sepaket lah. Sama sama gila." Kataku.
"Bintang." Bintang menyebutkan namanya sambil menjabat tangan Denis.
"Eh iya Kak Ditya kenalin ini Bella temen saya dari SMA. Dia sekolah di DVC." Bintang memperkenalkan aku dengan teman perempuan yang duduk disebelahnya.
"Halo.. Ditya... Eh, Lo kemarin kan dateng di acara recruitment." Aku mengulurkan tanganku untuk menjabat uluran tangan Bella.
"Iya Kak. Masih inget ya." jawab Bella sambil tersenyum.
"Iya ingetlah. Lo yang waktu itu nanya ke Gw, udah punya pacar atau belum itu kan?" Tanyaku lagi.
"Oh dikirain yang diinget cuman Bintang!" Tiba tiba Ridho menimpali. Aku langsung sontak menendang kaki Ridho yang sekali lagi membuat dia berteriak kesakitan.
"Ini Diana kan. Terus yang di sebelah Yudhi itu kalau nggak salah Erin. Kalian semua dari DVC ya?" Aku menyebutkan satu per satu nama mereka.
"Iya kak." Jawab mereka serentak.
"Ini ceritanya kalian lagi triple date? Jadi siapa sama siapa nih?" pertanyaanku membuat Ridho, Denis dan Yudhi yang sedang ketawa ketawa melotot ke arahku.
"Wah bro... Parah nih si Ditya Bro...Lo jangan jadi cockblock dong!" Komentar Ridho mencoba memprovokasi Yudhi dan Denis.
"Lho, gw kan cuman nanya.." jawabku sok polos. Aku melihat ke arah Bella, Diana dan Erin yang tersenyum malu malu.
"Bin. Siapa sama siapa nih Bin? Kayaknya Lo tau." Aku bertanya kepada Bintang.
Bintang kaget dengan pertanyaan ku barusan dan terlihat panik "Emm.. ini.. mmmm..."
"Bin! Jangan MT lo ya Bin!" Sergah Ridho.
"Kayaknya Gw tau nih..." Aku melihat bolak balik ke arah mereka berenam.
"Ampun bro ampunn. Udah kita ngomongin yang lain aja... Manda mana?" Ridho mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Aku juga lama lama tidak tega, bukan kepada Ridho tapi kepada Bintang yang dari tadi gelinjangan menahan cubitan kecil dari Bella yang memberi isyarat kepada nya untuk tidak menjawab pertanyaanku.
"Manda di San Jose sama Jaya." Jawabku
"Jauh amat. Ngapain ke San Jose?" Tanya Denis gantian
"Kurang paham juga ya gw. Tadinya gw diajak, tapi hari ini gw ngerjain midterm." jawabku.
"Ngerjain midterm atau ngerjain-" Ridho lagi lagi menimpali.
Aku langsung menoleh ke arah Bella. "Bella udah punya pacar belum?"
Ridho yang melihat reaksi aku langsung memotong "Ampun Dit Ampun... Tobat gw tobat!"
"Makannya jangan mulai!" seru ku ke Ridho.
"Ampun iya ampun..." jawab Ridho menyerah.
Keributan kami pun sirna di saat makan pesanan kami datang. Kita semua yang ternyata sudah kelaparan. Kami semua dengan cepat menyerbu makanan-makanan tersebut.
Dipenghujung acara makan siang yang tak terduga ini, Yudhi memberikan instruksi kepada Ridho untuk meminta bon makan siang kami di saat Bella, Erin dan Diana sedang beranjak ke kamar mandi.
"Bagi empat ya bro." kata Ridho kepada Aku, Denis dan Yudhi setelah mendapatkan bon dari pelayan. Kami berempat menganggukkan kepala.
Kami berempat mengeluarkan kartu debit masing masing dan menaruhnya di atas tempat bon makan siang kami tersebut. Bintang yang melihat kejadian itu juga langsung cepat cepat merogoh saku celana belakang untuk mengeluarkan dompet.
"Eh Bintang! Mau ngapain lo? Nggak ada! Ngak ada!" Ridho menyergah Bintang yang ingin menaruh kartu debitnya.
"Bayar." Jawab Bintang.
"Nggak usah. Next time aja." Ridho menutupi tempat bon dengan kedua tangannya.
"Lho kenapa?" Tanya Bintang yang kebingungan.
"Next time pas kita makan gantian lo yang bayarin gw." jawabku.
"Oh, gitu ya kak? Beneran nih?" Aku menganggukan kepalaku. Dia menaruh kembali kartu debitnya ke dompet.
Setelah kartu debit kami terkumpul Ridho berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke arah kasir untuk menyerahkan kartu kami tersebut.
"Terimakasih ya Kak." bisik Bintang ditelingaku.
"Eh.. iya sama sama." jawabku sedikit terbata bata.
"Kak... Akunya dibayarin juga dong kak...." Bisik Ridho tiba tiba saat dia kembali dari kasir.
"Anj*ng kaget gw!" Aku beseru kesal. Bintang yang melihat tingkah kami berdua tersenyum-senyum.
Setelah kami berempat menandatangani struk pembayaran, kami semua beranjak dari meja dan berjalan keluar restaurant.
"Lo pada parkir dmana?" tanyaku kepada Ridho, Yudhi, dan Denis
"Dua blok ke sana" Denis menjawab sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dengan tempat mobil ku parkir.
"Ok. Gw parkir di sebelah sana." Kataku menunjuk ke arah parkiran mobil ku.
"See you guys. Anak orang jangan di macem macemin!" Lanjutku sambil mulai berjalan ke arah parkiran mobilku.
"Okay! See you Dit!" jawab mereka hampir bersamaan sambil mengacungkan jari tengahnya ke arahku.
Bintang, Bella, Erin, dan Diana hanya tesenyum senyum melihat tingkah laku kami berempat.
Bagi yang telah membaca 4 chapter pertama dari cerita bersambung ini Saya ucapkan terimakasih.
Ada dua chapter lagi yang baru saja saya selesaikan tapi belum diedit. Secepatnya akan saya upload... Mudah mudahan besok sudah bisa...
Keren...
Lanjut dan mention ya kalau ada update.
Its an incredible story. The plots and the way you narrated it just flawless. One mere suggestion though (only if you are still in closet), please put more spice of fiction since I could barely guess that it was too real to be made up.
Here a little analysis (not trying to be a smart alleck or mr. know it all. I'm just an outspoken and this is what I've been wonder about. Please forgive me for any curiousity below):
Aditya born on '88 means more or less will be 27 or 28 y.o depend on the birth month this year. Then I saw your id, goldensun27 (which recently made). So I suppose most people (sometime) used to put their age as a nickname or id and maybe so did you. So what I can conclude is Aditya or perhaps yourself is still on 27 y.o. [coincidence?] From that point questions keep raging on, lol. because if it is true, then you could see there is a bunch of clues (something about permias which reactivated on 2007 and yet Aditya is the chief/head/president of the foretell organization. So if you count down from the latest president. Aditya (or you, I insist, lol) must be the first (right after the reactivation) among six ones.
On the other hand, if all those above are incorrect (peace!), then I should say you've done a quite remarkable job. Well done! What a fascinating details with based on true story lookalike hehehe.. Keep it up! Don't forget to tag me along whenever you update the story
First of all thank you for reading my story. The story is pure fiction. However, i lived in San Francisco for 8 years during my college years. So i know the city and the people very well.
As for my Id. "27" is not my age but my birth date. Lol. Because GoldenSun ternyata sudah ada yang pakai. Hahahaha...
Terimakasih ya. Ini saya posting chapter berikutnya yang baru selesai di edit.
Selamat membaca!
Setelah berjuang mati-matian untuk menyelesaikan semua tugas ujian tengah semester, akhirnya Aku bisa menyelesaikan semua dengan cukup baik. Kata pepatah bersusah susah dahulu baru bersenang senang kemudian memang benar. Sehabis masa ujian tengah semester, datang lah masa liburan musim semi atau kami mengenalnya dengan spring break selama satu minggu.
"Dit, Lo nggak mau ngajakin Bintang ke Santa Cruz?" tanya Amanda sewaktu kami sedang bersantai di living room. Aku saat itu sedang membaca novel dan Amanda sedang memotong kuku kaki dan tangan-nya.
"Hah? Nggak enak ah gw." Jawabku sambil tetap membaca.
"Mau Gw yang ajak dia?" Balas Amanda lagi.
"Aneh lah, masa Elo tiba-tiba ngajakin dia. Kan lo malah baru ketemu sekali doang pas di KJRI." Jawabku menolehkan pandanganku sebentar ke Amanda.
"So what happened last saturday?" Tanya Amanda menyelidik.
"Nggak happen apa apa. Abis dari library, Gw ajak dia makan Korea di Richmond. Ketemu Ridho sama anak anak terus kita jadinya makan bareng." Balasku
"Siapa aja?" Tanya Amanda lagi.
"Berberapa ya waktu itu? Berdelapan deh kayaknya termasuk Gw sama Bintang." Jawabku sambil mengingat ingat. "Ridho, Yudhi, Denis, sama ada tiga anak baru. Cewek cewek." lanjutku.
"Abis itu?" Tanya Amanda
"Abis makan, Gw nganterin Bintang ke apartemennya. Terus gw balik." Jawabku.
"Lo masih SMS-an sama Bintang?" Tanya Amanda
"Udah nggak." Jawabku singkat.
Aku baru sadar kalau setelah pertemuan kami terakhir, aku belum berkomunikasi lagi dengan Bintang. Sudah hampir seminggu aku disibukkan dengan segala tugas dan aktivitas ku di sekolah.
"Bintang spring break kemana?" Tanya Amanda.
"Wah kurang tau ya gw. Nggak nanya." Jawabku
"Hadoh!" Jawab Amanda dengan nada frustasi. Aku melihat Amanda dengan tatapan tak mengerti.
"Gw gemes liat Elo! Ayo dong jangan cemen! Gw tau lo suka sama Bintang. Kalau Gw denger cerita Lo, Bintang juga ada interest sama Elo. Ya secara dia anak baru mungkin takut untuk make a move duluan ke Elo, seniornya." Lanjut Amanda
Aku hanya terdiam mendengarkan kata-kata Amanda barusan. Sejak pertemuan Aku dan Bintang sabtu itu, aku belum sempat memproses perasaanku lebih lanjut. Mungkin benar apa yang dikatakan Amanda.
"Kok, jadi Lo yang nafsu?" Jawabku sambil tersenyum.
"Tau ah!" jawab Amanda yang kemudian melanjutkan mengecat kuku kakinya.
"Man, gw sebenarnya takut." Kataku setelah kami berdua sempat kembali kedalam aktivitas yang sedang kami lakukan.
Amanda terlihat sangat fokus mengecat kuku kakiknya.
"Gw tau, hampir semua anak-anak di sini udah tau kalau gw Gay. Tapi, Gw kan ketua PERMIAS. Gw banyak berurusan dengan orang-orang konsulat dan organisasi masyarakat lainnya." Jelasku
"Kan, Lo nggak harus announce juga, right?" Balas Amanda beberapa saat kemudian setelah dia selesai mengecat kuku kakinya.
"People talk Man." Jawabku "Gw nggak mau di judge sama orang. Not many people can accept gay. Especially Indonesian. Gw juga tau some of our friends talk sh*t behind my back. I know i shouldn't care about them, but gimana ya Man. It bothers me a lot. Mereka nggak say out loud di depan gw, but i can see the way they look at me." Lanjut penjelasanku.
"Orang orang itu nggak kenal sama Elo Dit." Jawab Amanda.
"Kalau nyokab gw sampe denger gimana? Dia bakalan devastated banget . Pasti dia bakalan mikir kalau ini salahnya dia, karena dia nggak bisa mendidik gw dengan baik. I work my ass off supaya one day when i come out to my parents i can tell them regardless my sexual orientation I'm still a great person with a lot of achievements-" Aku menghentikan perkataanku ketika aku melihat bulir bulir air mata bercucuran di pipi Amanda.
"Mandaaa... Kok Lo jadi nangis?" Tanyaku iba.
"Nggak tau juga kenapa gw tiba-tiba sedih denger cerita lo. Gw nggak berfikir sampai sejauh itu. Berat juga ya. Besides, You never told me about this. Selama kita temenan, Lo jarang curhat tentang masalah pribadi Lo ke Gw. Gw terus yang nyerocos." Sambung Amanda.
"Well, I like to keep it to myself. Try to figure it out my problems somehow. Gw nggak mau ngerepotin orang lain aja. Apa yang bisa Gw kerjakan sendiri, ya Gw kerjakan sendiri." Aku memberikan penjelasan kepada Amanda.
Air mata semakin turun deras dari kedua matanya yang memerah.
"Manda. Stop nangis dong. Kok, Lo yang jadi cemen gini?" Jawabku menepuk nepuk lengan Amanda.
"Abis, Lo sering bantuin kita semua. Gw baru sadar kalau lo nggak pernah sama sekali ask us for anything in return."Jawab Amanda dengan suara paraunya.
"Ah lebay lo!" Jawabku sambil bergurau. "Gw itu bantuin orang kalau pas gw bisa aja. Kalau pas gw nggak bisa ya gw bakal bilang kalau gw nggak bisa bantu." Lanjutku.
"So far lo selalu bisa sih bantuin kita kita. Entah gimana caranya, somehow lo selalu bisa." Balas Amanda.
"Kayaknya, gw mesti buka klinik dan start charging people for my help ya?" Kataku berkelakar.
"Ok bye!" Balas Amanda. Aku pun tambah tertawa terbahak bahak.
"Lo tuh ngeselin banget ya! Ngerusak suasana!" Balas Amanda yang jadi kesal. Amanda berdiri dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan ku.
"Man... Kok pergi? Man! Gw belum selesai cerita!" Teriakku setelah Amanda menghilang dibalik pintu kamarnya yang masih terbuka.
"Males!" Amanda berteriak dari dalam kamarnya.
"Gw ada gosip!" Aku berusaha memancing Amanda untuk keluar dari kamarnya.
"Ridho lagi deket sama anak baru!" Aku melanjutkan kata kataku.
"Mau tau nggak siapa?" Teriak ku lagi.
"Man!" Amanda masih belum memberikan respon apa apa.
"Siapa?" Amanda menjawab dengan teriakan dari dalam kamarnya.
"Ya sini dulu!" Balasku.
Tak berapa lama kemudian Amanda keluar dari kamarnya dengan rambut disekitar mukanya yang basah. Nampaknya dia habis mencuci muka.
"Siapa?" Amanda mengulang pertanyaannya sesampainya dia kembali dari kamarnya.
"Jadi, waktu gw ketemu Ridho di restoran Korea kemarin, kan ada Dia, Denis, Yudhi, sama tiga cewek. Kayaknya mereka lagi triple date gitu. Inget cewek yang di acara recruitment nggak? Anak DVC, namanya Bella?" Tanyaku kemudian,
"Oh, yang nanya kalau Lo udah punya pacar atau belum itu?" Tanya Amanda kembali.
"Iya. Nah, Bella ini ternyata teman SMA-nya Bintang." Aku menceritakan kejadian waktu makan di restoran Korea Sabtu lalu.
"Oh Terus terus." Balas Amanda lagi.
"Eh, inget nggak waktu di KJRI? Bintang manggil Ridho, kan pake 'Kak' ya seinget gw? Masa kemarin pas ketemu Bintang dia langsung manggil 'Dho' gitu." Lanjutku.
"Emang kenapa?" Tanya Amanda
"Ya, Bintang kan manggil gw aja sampe sekarang masih Kak. Kenapa sama Ridho langsung nama gitu ya? Emang Bintang sekarang main sama geng-nya Ridho?" Ujarku.
"Ini mau gosip Ridho atau mau gosip tentang Bintang sih?" Tanya Amanda
"Gw penasaran aja. Ridho nggak bilang apa-apa ke Gw soal dia lagi deket sama Bintang." Lanjutku.
"Ya, kalau Ridho lagi ngejar temen SMA-nya Bintang, bisa aja sih mereka jadi deket." Jawab Amanda. Aku terdiam berfikir sejenak lalu manggut manggut sendiri.
"Kenapa Bintang masih manggil gw Kak ya?" Tanyaku kepada Amanda.
"Panggilan sayang kali." Jawab Amanda dilanjut dengan tawa.
"Lo harus tau ya Man. Gw malu banget pas sabtu kemarin. Gw lagi nonton 'Dumbo' nggak sadar nangis bombay. Terus si Bintang ngasih gw tissue sambil ngelus-ngelus punggung gw." Aku menceritakan kejadian di perpustakaan sekolah saat aku menangis menonton film untuk tugasku.
Amanda tertawa mendengar cerita ku. "Tuh apa gw bilang! Dia suka ama Elo!" Jawab Amanda.
"Jangan kasih gw falls hope ah. Kita aja nggak tau apakah dia gay apa nggak. Dia punya pacar apa nggak." Balasku.
"Lo tanya aja ke Ridho. Kan lagi deket, mereka." Jawab Amanda
"No way! Itu artinya meng-confirm ke Ridho kalau gw suka sama Bintang. Wah, abis sih gw." Kataku tidak setuju dengan usulan Amanda.
"Hmm." Jawab Amanda.
"Eh, kita mau cabut ke Santa Cruz jam berapa besok? Siapa aja sih yang bawa mobil?" Tanyaku
"Tiga Mobil. Mobil Lo, Jaya, sama Ridho." Jawab Amanda
"Kita ngumpul dulu? Apa langsung?" Tanyaku lagi
"Kita langsung aja. Nanti malam Cindy mau nginep di sini. Ridho sama Jaya besok jemput jemputin anak anak dulu terus langsung cabut ke sana. Gw sama Cindy ikut mobil Lo." Jawab Amanda.
"Lho kok gitu?" Tanyaku heran dengan pengaturan Amanda. "Lo nggak bareng Jaya?" Tanyaku lagi.
"Jaya kan nggak lewat sini. Kasian kalau dia jemput Gw dulu ke sini. Lagian mobilnya penuh." Amanda menjelaskan kepadaku.
Jalan menuju Santa Cruz dari San Francisco ada dua. Langsung mengarah ke selatan melewati kota Daly City yang berbatasan langsung dengan kota San Francisco di sebelah selatan atau menyeberangi Bay Bridge memutar lewat timur laut baru ke arah selatan. Lokasi tempat kami tinggal dekat lebih dekat dengan Bay Bridge, sehingga kami akan mengambil rute yang sedikit memutar.
"Emang jadinya siapa aja yang ikut? Kita kan cuman booking dua kamar?" Tanyaku kepada Amanda.
Kami hanya memesan dua kamar di hotel dekat pantai Santa Cruz yang berjarak kurang lebih 130 Km ke arah selatan dari kota San Francisco. Satu kamar untuk para lelaki dan satu kamar untuk para perempuan. Mobil Jaya kira-kira bisa memuat 7 orang sedangkan mobil Ridho yang berupa sedan seperti mobilku bisa memuat 4-5 orang. Jadi kalau di total kurang lebih akan ada 15 orang yang akan pergi ke Santa Cruz. Itu artinya satu kamar hotel akan di isi kurang lebih 7 orang.
"Hah gila 15 orang? Kamarnya cuman dua?" Tanyaku terperanjat setelah membayangkan jumlah orang yang akan pergi.
"Aduh Man! Gw nggak bisa lho tidur sama cowok-cowok." Lanjutku.
Aku lebih senang jika tidur disebelah perempuan. Entah kenapa kalau disebelah laki laki aku agak sedikit risih.
"Gw tidur sama Lo aja ya? Please?" Aku yang panik memohon kepada Amanda.
"Nanti gampang lah kalau udah sampai sana." Balas Amanda santai.
"Man! Gw nggak mau lho sekamar sama cowok-cowok!" Jawabku menegaskan sekali lagi.
"Iya Ditya!" Amanda menjawab dengan nada tinggi.
"Kita buka kamar satu lagi aja Man, Lagian masa sekamar bertujuh? It's too much nggak sih?" Kataku dengan nada khawatir.
"Oh My God Ditya! Udahlah nanti kita liat aja di sana. Ya kalau harus buka kamar lagi ya nggak masalah." Amanda mulai kesal.
Aku tidak suka jika berpergian tanpa rancangan yang jelas. Apalagi kalau soal tempat menginap. Aku tidak bisa tidur disembarang tempat. Aku membayangkan betapa akan menyiksanya jika harus sekamar dengan 6 orang lainnya berdesak desakan bahkan kalau harus tidur di sofa atau lantai.
"Man, cowok cowok itu kan jorok. Apalagi kalau pake kamar mandi!" Aku mencoba memberikan argumentasi. Amanda masih acuh tak acuh.
"Man, Gw seriusan nih!" Kataku lagi.
Aku yang tidak mendapat jawaban dari Amanda langsung berdiri dan masuk ke kamar untuk membuka laptop mencari kamar di hotel tempat kita akan menginap.
"Oh My God!" Aku terperanjat setelah melihat harga kamar yang begitu mahal.
"Man, masa harga kamarnya tiga ratus dolaran semalem! Mahal banget!" Aku berteriak kepada Amanda yang sepertinya masih di living room.
"Man, gimana ini?" Aku yang tidak sabar karena tidak mendapat jawaban dari Amanda berjalan keluar kamar menuju living room. Aku tidak mendapati Amanda di living room.
"Manda!" Aku berteriak memanggil Amanda. Tidak ada jawaban.
"Dimanasih nih Anak, kok tiba tiba ngilang." gumamku sendiri sambil berjalan menuju kamarnya.
Pintu kamar Amanda terbuka. Aku melongok ke dalam "Man?" Aku mencoba memanggil namanya namun tetap tidak ada jawaban. Tiba tiba aku dengar pintu apartment kami tertutup. Aku menoleh ke arah pintu apartment kami. Aku melihat Amanda berjalan masuk
"Abis ngapain?" Tanyaku keheranan.
Ternyata dari tadi Amanda sedang berada di luar apartement kami. Belum sempat Amanda memberikan jawaban aku mengulangi perkataanku tentang harga kamar hotel yang mahal.
"Udah, lo tenang aja." Amanda hanya membalas santai.
"Man! Tiga ratus dollar man! Kali dua Enam ratus! Belum Tax! Gw bisa dimarahin nyokab kalau tiba tiba gesek kartu kredit segitu." Aku berbicara dengan nada panik.
"Ya makanya nggak usah sok sok-an mau buka kamar sendiri." Jawab Amanda santai sambil berjalan ke arah living room.
"Aduh, gw nggak jadi ikut deh." Jawabku dengan rasa putus asa. Amanda melotot mendengar perkataanku barusan.
"Enak aja lo! Gw sama Cindy naik apa ke sana?" Protes Amanda.
"Lo, bawa mobil gw deh." Jawab aku memelas.
"Gw sama Cindy nggak ada yang bisa nyetir." Jawab Amanda lagi
"Man, Gw nggak akan bisa tidur kalau arrangement-nya begitu." Balasku sambil mengguncang guncangkan lengan Amanda.
"Haduh! Udah deh lo itu tenang aja. Udah diatur semua. Percaya deh." Amanda menepiskan tanganku dari lengannya.
Aku terdiam. Perasaanku kacau balau. Tidak terbayang jika Aku harus tidur sekamar dengan para laki-laki. Aku sering berkunjung ke apartment mereka. Mereka biasanya meletakkan baju-baju kotor sembarangan di lantai kamar. Belum lagi cara mereka memakai kamar mandi. Kamar mandi apartment mereka biasanya bau yang lantainya basah. Aku sangat tidak suka itu.
Bisa dibilang aku ini sangat menjaga kerapihan dan kebersihan. Hanya waktu mengerjakan tugas saja kamar aku akan menjadi berantakan yang kemudian akan langsung kubereskan lagi. Kamar mandiku lantainya selalu kering dan bersih disertai harum parfum kamar mandi.
Amanda yang melihat raut penuh kekhawatiran yang keluar dari mukaku tiba tiba memberikan sebuah pelukan.
"Unyu unyu unyu... Jangan cembelut gitu dongg Ditya. Kita kan mau seneng-seneng." Kata Amanda berusaha menghiburku. Aku hanya menghela nafas.
"Manda, Gw stress." Jawabku pelan.
"Ditya. Trust me on this. Tadi gw udah telepon Jaya sama Ridho. Semua udah diatur. Jadi, Lo tenang aja." Jawab Amanda dengan kerlingan.
Terimakasih yaa...
Selamat membaca chapter berikutnya
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua setengah jam, Aku, Amanda, dan Cindy tiba di Santa Cruz Beach Boardwalk. Jam masih menunjukan pukul 12 kurang, kami belum bisa masuk ke kamar hotel.
Santa Cruz Beach Boardwalk merupakan taman bermain sekaligus memiliki penginapan yang terletak di tepi pantai Santa Cruz. Disana juga terdapat berbagai wahana seru. Aku dan Amanda adalah penggemar berat permainan roller coaster. Setiap ada long weekend, Aku dan Amanda selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa taman bermain untuk mencoba permainan roller coaster yang berbeda beda.
Pada saat bermain roller coaster inilah, aku bisa berteriak sekencang kencangnya yang membuat semua penat dikepala hilang. Awalnya, Amanda bukan penggemar permainan roller coaster. Dia sempat takut ketika pertama kali ku ajak bermain roller coaster di Six Flags Discovery Kingdom yang merupakan salah satu taman bermain yang berlokasi di kota Vallejo, 50 Km di utara dari Kota San Francisco. Tapi setelah mencoba berkali kali akhirnya dia ikut ketagihan dan menjadi penggemar berat permainan roller coaster sepertiku.
"Dit! Cobain yang itu yuk!" Teriak Amanda ketika kita sudah masuk di areal taman bermain. Dia menunjuk sebuah menara dengan beberapa kursi yang sedang dianggat tinggi keatas. Terdengar teriakan hingar bingar dari para pengendara wahana yang berteriak kaget bercamput takut pada saat kursi yang sudah diangkat tinggi itu dijatuhkan.
Aku dan Amanda tertawa terbahak bahak mendengar teriakan yang histeris mereka tersebut.
"Guys, Gw tunggu yang lain di sini aja ya." Cindy tiba tiba berkata.
"Nggak mau ikutan Cin? Seru lho!" Tanyaku kepada Cindy
Cindy menggelengkan kepala sambil mengguncangkan badannya ketakutan.
"Cin cin... Lo yang kaya petasan banting itu takut toh naik ginian." Amanda menggoda Cindy sambil tertawa tak percaya.
"Gw masih sayang nyawa." Jawab Cindy singkat.
Kami berdua tertawa terbahak bahak.
"Eh, tolong Cin Handphone gw. Nanti kalau Jaya telepon." Amanda mengeluarkan telepon gengamnya dari tas tangan yang dibawanya kemudian menyerahkan kepada Cindy.
"Gw juga nitip tas gw ya." Amanda meletakkan tas tangannya di atas meja di depan Cindy.
Setelah tiga kali menaiki wahana tersebut, Aku dan Amanda menghampiri Cindy di tempat semula tadi. Kulihat Ridho, Yudhi, Denis, Jaya dan beberapa temanku lainnya sudah datang. Ridho, Yudhi, Denis dan Jaya sedang tertawa terbahak bahak melihat sesuai di kamera digital yang dipegang oleh Ridho.
"Mana yang lain?" Tanyaku yang mendapati ternyata belum semua orang ada di situ.
"Ada yang ke WC, ada yang beli makanan. Ada yang lagi jalan jalan." Jawab Jaya ditengah tawanya.
Cindy menyerahkan telepon gengam Amanda yang dititipkan kepadanya. Amanda memasukan telepon gegamnya ke dalam tas tangan dan mengeluarkan botol air mineral beserta tissue basah dari tas tangannya. Aku meminta tissue basah yang sedang ia pegang. Aku menyeka muka, tengkuk dan lenganku yang basah karena keringat.
"Kamu ngapain ketawa-ketawa terus sih?" Ujar Amanda kepada Jaya yang sedari tadi masih belum berhenti tertawa.
Ridho yang mendengar pertanyaan Amanda malingkan kamera digitalnya ke arah Amanda. Amanda ikut tertawa terbahak bahak sambil memegangi dadanya.
"Apaan sih?" Akupun jadi penasaran.
Tidak ada respon apa apa dari mereka semua. Hanya tawa yang masih juga belum terhenti.
"Apaan!" Aku sekali lagi bertanya penuh rasa penasaran.
"Muke Lo bro! Nggak nahan." Ujar Ridho sambil tertawa geli.
Aku menatap Ridho penuh rasa heran. Aku menyeka mukaku untuk memastikan tidak ada benda atau kotoran yang menempel. Aku mengambil tissue basah milik Amanda yang masih terletak di atas meja untuk menyeka mukaku sekali lagi. Kulihat di tissue bekas aku menyeka wajah yang tidak ada noda apapun.
"Kenapa sih?" Tanyaku lagi masih dengan perasaan heran karena ternyata tidak ada sesuatu yang menempel di wajahku.
Aku tiba tiba terkesiap melihat sosok Bintang yang berjalan bersama Bella membawa gelas minuman ke arah kami. Aku memberikan kode kepada Amanda untuk melihat ke arah Bintang. Amanda hanya tersenyum.
"Halo Kak Ditya." Bintang dan Bella menyapaku bergantian setibanya mereka di meja tempat kita berkumpul.
"Halo halo. Oh kalian ikut juga." Balasku basa basi.
Ridho memalingkan layar digital kamera-nya ke arah Bintang. Bintang tertawa dengan kencang lalu kemudian berusaha menahan ketawa-nya sampai mukanya merah. Begitu pula dengan Bella.
"Oh My God! Apaan sih? Gw liat dong!" Aku semakin penasaran dengan isi kamera digital Ridho yang sedari tadi membuat orang orang tertawa.
"Ridho! Anj*ng Lo ya!" Aku berteriak setelah berhasil merebut kamera digital dari tangan Ridho. Aku dapati foto mukaku yang sedang di zoom. Ekspresi muka penuh ketakutan dengan mulut yang menganga lebar dan mata melotot.
"Apus!" Aku berteriak sambil mencoba mengambil digital kamera milik Ridho yang berhasil direbutnya ketika Ridho melihat aku hendak menghapus foto tersebut.
"Buat ngusir hantu!" Jawab Ridho sambil beranjak dari kursi yang didudukinya diiringi oleh gerai tawa dari teman teman.
"Ridho! Apus nggak!" Aku berteriak sekali lagi berusaha mengejar Ridho yang berlari menjauh dengan digital kamera ditangannya.
Setelah proses kejar-kejaran selama kurang lebih beberapa menit, akhirnya aku berhasil merampas kamera digital itu dari tangan Ridho.
"Dit jangan dihapus dong! Buat kenang kenangan!" Ujar Ridho sambil mengikutiku yang sedang berjalan ke arah meja tempat kita semula.
Aku terus berjalan mengacuhkan Ridho. Aku menekan-nekan tombol di kamera digital tersebut untuk mencari cari foto muka ku tadi.
"Dit! Nggak seru ah lo!" Seru Ridho lagi yang masih berusaha untuk mencegah. Kini kami berdua sudah kembali di meja tempat kita berkumpul. Aku mengambil tempat duduk asal. Aku masih fokus menekan nekan tombol kamera digital mencari foto mukaku tadi.
"Dit, is okay lah. Sekali kali. Nggak bakalan gw upload di Facebook kok. Buat kocak kocakan aja." kata Ridho lagi yang masih belum menyerah untuk memintaku tidak menghapus foto tersebut.
"Muka gw kaya werewolf!" Ujarku melotot ke arah Ridho yang berdiri di samping kiriku. Aku kembali melihat ke arah layar kamera. "Mana sih ini nggak ketemu ketemu!" gumamku sendiri.
Tiba tiba aku mendengar gelak tawa dari teman temanku termasuk suara tawa Bintang yang ternyata duduk di sampingku. Aku menoleh kesebelah kanan. Kudapati Bintang mencoba menahan tawa dengan menutupi mulutnya. Aku tersenyum kecut menahan rasa malu.
"Sini sini Gw cariin." Amanda yang duduk diseberangku mencoba melerai keributan antara Aku dan Ridho. Aku menyerahkan kamera digital ke tangan Amanda yang menjulur. Amanda menerima digital kamera dari tanganku dan menekan nekan tombol kamera tersebut.
"Udah tuh. Udah gw apus. Nih Do kamera Lo." Amanda memberikan digital kameranya kepada Ridho yang mukanya terlihat kecewa.
"T*i Lo do!" Aku sekali lagi mengumpat ke arah Ridho yang sedang memasukan kamera digitalnya kedalam kantong celananya. Ridho hanya membalas dengan senyuman lebar.
Selepas kejadian tadi kami semua melanjutkan aktifitas dengan mencoba berbagai macam wahana yang terdapat di Santa Cruz Beachwalk. Aku dan Amanda mencoba berbagai macam wahana roller coaster dan semacamnya sampai berulang kali.
Tidak terasa waktu sudah semakin sore, matahari sudah berada tepat di atas garis khatulistiwa. Warna langit yang tadinya biru terang, kini berubah menjadi perpaduan warna ungu dan oranye. Pemandangan yang sangat indah. Lampu lampu gemerlap sudah mulai nampak dari bangungan bangunan disekitar pantai.
Aku berpamitan kepada teman teman untuk pergi di area merokok.
"Kak Ditya senang naik roller coaster ya?" Tiba tiba Bintang menyapaku yang sedang duduk dikursi panjang menikmati keindahan pemandangan dihadapanku sambil menghisap rokok.
Bintang yang berdiri di samping ku mengeluarkan bungkus rokok dari saku celananya. Dia merogoh rogoh kantung celananya untuk mencari sesuatu yang sepertinya sebuah korek api. Aku menyalakan korek api yang sedang ku pegang dan menyuguhkannya kehadapan Bintang.
Bintang mendekatkan batang rokok yang berada di mulutnya kearah api yang menyala dikorek api yang kupegang. "Thanks Kak." katanya.
"Lumayan. Abis seru sih." jawabku setelah memasukan korek api ke kantung celanaku.
Hari Itu Bintang terlihat mengenakan celana pendek hitam dengan kaus tak berlengan warna putih yang memperlihatkan lengannya yang kencang. Lengan tangan dan lehernya terlihat basah karena keringat. Seketika hatiku berdebar debar melihat pemandangan dihadapanku.
"Gimana midterm-nya kak?" Tanya Bintang yang membuyarkan pikiranku barusan.
"Hah? Eh? Ok kok. Lo?" Aku yang tersadar sempat gelagapan menjawab pertanyaan Bintang.
Bintang tertawa kecil mendengar jawabanku. "Sama. Untung ya spring break-nya habis midterm. Jadi bisa lepas liburannya. Coba kalau masih ada midterm habis ini." Sambung Bintang.
"Wah, kalau habis ini midterm sih gw nggak akan pergi." Jawabku.
"Kak Ditya, kenapa ambil major animation?" Tanya Bintang yang saat ini duduk berdekatan di sebelahku. Aku mencium bau parfum yang tercampur keringat membuat dadaku kembali berdesir.
"Ehm. Soalnya waktu gw SMA. Gw sering main ke kantor nyokab. Dia punya PH gitu. Seru aja ngeliatin orang orang yang lagi kerja. Tadinya Gw mau ngambil film. Tapi kayaknya animasi lebih seru." Jawabku. "Kalau Lo kenapa ngambil Industrial Design?" Tanyaku balik.
"Bokap punya pabrik furniture kak di salatiga. Aku disuruh ngambil jurusan ini. Oh nyokabnya Kak Ditya produser ya?" Tanyanya.
"Iya. Emang industrial design belajar apa aja?" Tanyaku lagi
"Bikin product gitu. Dari konsep, drafting, 3D modeling, sampai bikin prototype nya." Jelas Bintang.
"Seru juga ya." Sambungku.
"Ok lah." Balas Bintang singkat.
"Emang, Lo nggak suka?" Tanyaku yang heran dengan jawaban Bintang.
"Saya sebenarnya pengen ambil animasi. Tapi Bokap nyuruhnya ini." Jawab Bintang yang membuatku tambah keheranan.
"Hah? Oh lo suka sama animasi juga?" Tanyaku dengan nada bersemangat.
"Iya." Jawabnya malu malu.
"Wah. Lo udah pernah coba bikin?" Tanyaku lagi.
"Iseng iseng doang sih Kak." Jawabnya
"Eh liat dong?" Kataku bersemangat
"Jangan Kak. Jelek. Saya malu." Jawab bintang dengan muka tersipu sipu.
"Ah bisa aja lo. 2D apa 3D?" Tanyaku lagi
"Baru 2D sih Kak. Aku iseng nyoba nyoba." Jawab Bintang
"Aduh mesra sekali kalian berdua. So cute!" Amanda datang menyapa kami berdua bersama Jaya dengan muka yang tersenyum lebar.
Aku tak menanggapi perkataan Amanda lebih karena bingung harus merespon apa.
"Dit, pinjam kunci mobil Lo dong. Gw mau naruh barang dulu di kamar." Kata Amanda sambil mengulurkan tangan dan menengadahkan telapak tangannya ke atas.
"Lho udah check in?" Tanyaku heran.
"Udah." Jawab Amanda sambil membuka tutup telapak tangannya.
"Gw ikut lah. Masuk hotelnya lewat mana sih?" Balasku sambil berdiri dari bangku.
"Nggak nyesel?" Jawab Amanda sembari tersenyum menggoda. Aku mengangkat kedua alisku yang menanyakan maksud pertanyaan Amanda. Amanda membalas dengan melirik ke arah Bintang yang kemudian tersenyum kepada Amanda.
Kuacungkan jari tengah ku ke arah muka Amanda.
-------------------------------------------------------------------
Selepas makan malam, Aku, Amanda, Ridho, dan Jaya duduk-duduk di teras kamar hotel yang menghadap ke laut. Teman teman yang lain termasuk Bintang masih belum kembali ke hotel. Ditengah bincang bincang ringan kami, Ridho masuk ke dalam kamar untuk mengambil gitar yang dibawanya. Dipetik-petik senar gitar di tangannya untuk menyetem-nya terlebih dahulu.
"Dho, Lo bisa lagu apa aja?" Tanya Amanda yang melihat Ridho sedang menyetem gitarnya.
"Apa aja bisa." Jawab Ridho sombong.
"Thit thit tuwit..." Ridho tiba tiba berteriak kemudian menggenjreng gitarnya. Kami semua melihat ke arah Ridho dengan bingung.
"Damar mati muliho. Siti lungo pasar babi mati semar mendem." Ridho tiba tiba menyanyikan sebuah lagu yang membuat kami semua mengerutkan dahi.
"Lagu apaan tuh Do?" Tanya Jaya. Ridho tidak menjawab ia hanya tersenyum lebar.
"Do Re Mi Sol jenang dodol geal-geol..." Ridho melanjutkan nyanyiannya diikuti dengan genjrengan gitar bernada dangdut yang membuat kita tertawa terbahak bahak.
Ridho melanjutkan nyanyiannya lagi "Mire-mire tahu tempe 'nak rasane..."
Ridho menghentikan nyanyiannya sejenak dan melihat ke arahku. "Masa lo ga tau Dit?" Tanya Ridho kepadaku.
Aku manggut manggut. Aku langsung teringat lagu 'Tanjung Perak' karya Ibu Waldjinah yang juga dipopulerkan oleh Didi Kempot. Lagu itu sering dinyanyikan oleh kakak kakak ibuku saat kita berkumpul untuk acara keluarga di Solo.
"Waktu terang bulan, udara bersinar terang. Teranglah sekali di kotalah San Francisco..." Ridho mengganti kata 'Surabaya' dengan "San Francisco.".
"Belum berapa lama, Saya duduk dengan bimbang. Datang kawan saya... Mbak Manda itu namanya.." Lanjut Ridho yang diiringi gelak tawa kami semua.
"Mari-mari-mari... Kita pergi ke Santa Cruz... Panggil tiga taksi kita soraklah bersorak..." Kami semua menahan tawa.
"taksi...." Sambung Ridho sambil melambai lambaikan tangannya ke atas. Kami semua sontak tertawa terbahak bahak.
"Ke Santa Cruz tepi laut...
Siapa suka boleh ikut...
Bawa gitar kroncong piyul...
Jangan lupa minum anggur...
Ke Santa Cruz... tepi laut.."
Ridho sukses membuat kami bertiga tertawa terbahak bahak.
"Dho, Lo ini ada-ada aja." Komentar Amanda masih sambil tertawa.
"Bapak gw suka nyanyi lagi ini. Jadi nyangkut di kepala gw." Komentar Ridho.
"Dho, 'Penasaran' bisa Dho?" Tanyaku kepada Ridho.
"Nah, ini gw tau! Yang versi KD bisa Dho?" Amanda berkata dengan antusias.
Ridho menganggukkan kepalanya. Dia segera mulai memainkan intro lagu 'Penasaran' ciptaan Rhoma Irama yang dinyanyikan ulang oleh Krisdayanti. Kami semua bertepuk tepuk tangan seiring dengan irama gitar.
"Kalau belum bisa aku mendapatkan... Oh pria tampan yang menjadi rebutan... Sungguh mati aku jadi penasaran... Sampai mati pun akan kuperjuangkan..." Aku dan Amanda mendendangkan lagu tersebut sambil berjoget.
"Terusin Dit!" Ujar Amanda.
"Memang dia yang paling tampan... Di antara pria yang lain... Aku pun tak merasa heran..." Aku melanjutkan nyanyian lagu tersebut.
"Kalau Bintang! dia jadi rebutan!" Sambung Ridho dan Amanda bersamaan.
"Sungguh mati Adit jadi penasaran... Sampai mati pun akan diperjuangkan." Lanjut Rhido
"Ngawur Lo Do!" Teriakku sambil tertawa terbahak bahak. Ridho tertawa sambil tetap melanjutkan permainan gitarnya.
"Semua orang berlomba-lomba... Untuk mendapat kasih sayangnya... Bermacam macam cara pun dilakukan... Tidak ubahnya seperti perlombaan..." Sambung Amanda.
"Kalau belum bisa Adit mendapatkan... Oh Bintang tampan yang menjadi rebutan.." Balas Ridho dalam nyanyian.
"Sungguh mati Adit jadi penasaran... Sampai mati pun akan diperjuangkan..." Ridho dan Amanda menyanyi bersamaan.
Aku yang sedari tadi hanya menggeleng gelengkan kepala, akhirnya ikut bernyanyi. "Memang Bintang yang paling tampan... Diantara pria yang lain... Aku pun tak merasa heran... Kalau Bintang jadi rebutan..."
"Sungguh mati aku jadi penasaran... Sampai matipun aku ku perjuangkaaan..." Aku menyelesaikan bait terakhir lagu tersebut diikuti dengan genjrengan penutup.
"Pantes, gw telepon lo nggak di angkat Dho!" Tiba tiba suara Bintang mengejutkan kami berempat. Dia sudah berdiri di pintu yang menghubungkan teras dengan kamar. Kami berempat tidak ada yang sadar kapan Bintang masuk ke dalam kamar.
"Wuanj*ng! Kenapa Lo bisa tiba tiba di sini!" Ridho berteriak kaget.
"Gw masuk lewat kamar cewek-cewek. Lo dari tadi gw teleleponin nggak diangkat. Udah gw ketok ketok juga nggak dijawab. Gw denger lagi pada nyanyi nyanyi. Gw masuk lewat kamar cewek cewek. Untung connecting door-nya nggak di tutup." Bintang menjelaskan panjang lebar.
Saat itu rasanya aku ingin loncat dari teras untuk menghilangkan rasa malu yang teramat sangat. Entah sudah berapa lama Bintang mendengarkan kami berempat bernyanyi. Terutama pada saat aku menyanyikan dua bait terakhir lagu yang ku ubah syairnya tersebut.
Aku segera membalikkan tubuhku yang tadinya sedang menoleh ke arah Bintang.
Amanda dan Jaya hanya tersenyum kecut. Nampaknya mereka juga kaget sekaligus bingung dengan situasi yang sangat canggung ini.
"Yang lain kemana Bintang?" Tanya Amanda kepada Bintang.
"Nggak tau Gw. Gw tadi balik duluan sama Bella." Jawab Bintang.
Ridho berjalan masuk ke dalam kamar. Amanda dan Jaya juga masuk ke dalam kamar mengikuti Ridho. Aku masih berada di teras berdiri di dekat pagar pembatas sambil menghadap ke arah laut. Aku masih berusaha menenangkan degup jantungku yang masih berdetak kencang.
"Kak Ditya suaranya bagus." Tiba tiba Bintang sudah berdiri disampingku.
"Hehehe." Aku hanya bisa tertawa kikuk.
Bintang beranjak dari tempatnya berdiri disampingku. Dia mengambil gitar yang disandarkan oleh Ridho di pagar pembatas teras. Tak lama Ku dengar dentingan dawai gitar berbunyi.
"First time... That I saw your eyes... Boy you looked right through me, mmmhmm..." Aku mendengar suara Bintang menyanyikan lagu berjudul 'Clumsy' yan dipopulerkan oleh Fergie dengan lembut.
"Played it cool... But I knew you knew... That cupid hit me, mmm mmm..." Bintang melanjutkan nyanyiannya.
" You got me tripping... stumbling... flipping... fumbling... Clumsy cause I'm falling in love
You got me slipping, tumbling, sinking, fumbling... Clumsy cause I'm falling in love... So in love with you
Can't breath.... When you touch my sleeve... Butterflies so crazy, mmm mmm
Whoa now, think I'm going down... Friends don't know what's with me, mmm mmm
You got me tripping, stumbling, flipping, fumbling... Clumsy cause I'm falling in love with you... in love with you
You got me slipping, tumbling, sinking, fumbling... Clumsy cause I'm in love...So in love with you..." Bintang mengakhiri nyanyiannya tersebut.
Aku masih menghadap ke arah laut membelakangi Bintang. Selama Bintang bernyanyi jantung ini terus berdebar semakin kencang. Seluruh wajahku terasa sangat panas.
Kuberanikan diri membalikkan badan dan melihat ke arah Bintang. Bintang sedang duduk di kursi dengan gitar dipangkuannya. Ia tersenyum kepadaku. Bintang meletakkan gitar ke tempat semula, kemudian berdiri dan berjalan ke arahku.
Aku masih terdiam seribu bahasa. Tidak mengerti harus berbuat apa. Aku mencoba tersenyum ketika Bintang berhenti dihadapanku. Dia berdiri sangat dekat. Bau minyak wangi bercampur bau tubuhnya membuat dada ini semakin tak karuan rasanya. Aku benar benar tidak tahu harus berbuat apa. Kutundukan kepalaku melihat ke bawah.
Terasa sebuat tangan menyentuh daguku dan mengangkatnya dengan lembut. Kurasakan kecupan hangat dibibirku. Aku memejamkan mataku. Sejuta aliran listrik menjalar ke sekujur tubuhku. Aku merasa raga ini melayang tinggi lepas dari tubuh. Benar-benar sensasi yang tak pernah aku rasa. 'My first kiss' Batinku. Aku membalas kecupan bintang dengan ciuman.
"CIE!" Tiba tiba terdengar teriakan riuh dari pintu. Aku dan Bintang saling melepas bibir.
Kami sama sama menoleh ke arah pintu. Amanda, Ridho, Jaya serta Bella tengah berdiri di sana dengan senyuman lebar.
Aku memeluk Bintang dari belakang dan menyembunyikan mukaku di balik punggungnya.
"Wuooh... You got me slipping... tumbling... sinking... fumbling... Clumsy cause I'm falling in love...So in love with you..." Ridho bernyanyi lagu yang tadi dinyanyikan Bintang.
Aku melepas pelukanku dari Bintang dan berlari ke arah Ridho. Ridho yang melihat aku berlari ke arahnya lantas berlari menjauh dari ku.
Aku mengurungkan niatku mengejar Ridho yang menghilang entah kemana. Aku berjalan kembali ke Arah Bintang yang tersenyum melihat tingkahku dan Ridho.
"Jadi?" Amanda tiba tiba berkata.
Aku dan Bintang tertawa bersamaan. Aku meraih telapak tangan Bintang. Bintang membalas dengan menggengam tanganku.
"Masa masih ditanya?" Jawab Bintang.
"Udah aman?" Tiba tiba kepala Ridho muncul dari balik punggung Jaya.
Kami semua tertawa terbahak bahak.
Membuat segalanya meradang
Air tenang beriak kencang
terpengaruh getaran hati yang mengguncang.
Malam terasa terang
Oleh taburan bintang-bintang
Yang kini salah satunya
Menjadi pendamping hatinya
Hatinya kelu
Teringat pesan sang ibu
Namun biarlah langit malam itu
menjadi saksi cintanya yang baru