It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Bagian VII
Iyas POV
Minggu depan sudah waktunya event musik sekolah tahunan di mulai, segala perlengkapan, aksesoris, pagelaran seni tari dan beberapa band ternama ikut memeriahkan. Aku… sebagai panitia pun telah siap menuju dan ikut memeriahkan event itu. Ada satu hal yang membuatku aneh pada event itu.. ada seorang yang membuatku penasaran hingga detik ini, aku begitu penasaran dengan Fahri yang ikut event musik tahun ini, yang membuatku penasaran adalah Fahri ikut dalam kategori seperti apa.. apakah dia solo?? Kenapa aku justru penasaran dengan hal yang tidak penting.
“…. Shit” umpatku. Tidak ku sangka ibu Susi berada di dekatku sedang membagikan selembar kertas soal ujian.
“ada masalah??!!” tanya bu Susi dengan mata melotot. Aku hanya menggeleng kikuk, bu Susi kemudian melanjutkan membagikan kertas soal ujian semester.
“bro…” panggilan berasal dari arah belakangku. Rupanya teman sekelasku Jenny.
“kamu tadi melamunin apa??” tanya Jenny memperhatikan wajahku.
“ohhh… gak.. bukan apa-apa..” sahutku lalu berpaling ke posisi semula.
‘kenapa aku memikirkan hal yang tidak penitng’ batinku.
“ok adik-adik.. selamat mengerjakan soal ujian kali ini.. dilarang mencontek, tengok sana-sini dan dilarang berbicara.. jika ada yang tidak mengerti dari soal ujian tersebut silahkan adik-adik tunjuk jari.. bagaimana?? Mengertii!!??”
“yaaa bu.. kami mengerti” jawab teman satu ruangan serempak kecuali aku yang terdiam memperhatikan butir-butir soal ujian Kimia. Aku meneguk air liur pertanda aku benar-benar tidak tahu harus mengerjakan ujian Kimia dimulai dari nomor berapa. Pak Bahri benar-benar membuat anak muridnya pusing tujuh keliling mengerjakan soal Kimia.
“untuk anda…!!”
“….anda bisa melihat kemari!!”
Suara bu Susi terdengar marah.. aku terus saja memperhatikan lembar jawaban sembari meruncingkan pensil yang ku pakai.
“I—iyaaas” terdengar suara bisikan di belakang. Itu suara Jenny di belakangku.
“apa??” sahutku tanpa menoleh.
“k—kamu.. lihat bu Susi di depan”
Aku langsung menuruti perkataan Jenny.. aku melihat dengan mata kepalaku bahwa bu Susi tengah memperhatikanku dengan tatapan nyalang nya lagi seperti tadi di saat membagikan selembar kertas ujian.
“….anda!!! setelah ujian selesai.. ikut ke ruangan saya!!”
**
Aku terus saja memusut-musut telingaku setelah keluar ruangan bu Susi mendengarkan ceramahnya karena pagi tadi aku mengumpat di hadapannya, sebenarnya umpatanku bukan di tujukkan untuk beliau namun apalah dayaku bu Susi tidak mempercayaiku dan aku di berikan surat panggilan orang tua. Untuk apa bu Susi memanggil orang tuaku.. aku ibaratkan benar-benar tidak memiliki orang tua setelah ibu wafat.
“huuuuh”
Ayah saja sampai saat ini belum pulang kerumah dari kesibukannya bekerja di luar kota dan begitupula dengan tanteku yang tidak menampakkan dirinya lagi atau sekedar berkunjung kerumah, aku benar-benar seperti hidup sendiri di tengah-tengah hutan.
“yaa ampun Iyasss…” aku lalu menoleh menemukan seorang yang memanggilku.
“kamu ada buat masalah apa sama bu Susi??” tanya Yosi gesit sembari berkacak pinggang.
“aku..? aku buat masalah??” tanyaku heran.
“tadi barusan aja aku ketemu teman sekelasmu.. dia bilang kamu ada buat masalah dengan bu Susi.. yaa aku langsung ke sini setelah itu” ujar Yosi panjang lebar.
“aku gak ada buat masalah.. aku cuman gak sengaja” jelasku.
“gak sengaja gimana?” tanya Yosi dengan memajukan kepalanya.
“huuuuuh…” protesku menjauhkan wajahnya yang semakin mendekat.
“… kamu kenapa gak pulang??” ucapku mengalihkan pembicaraan.
“aku nunggu kamu lah”
“ohhhhh” jawabku.
Aku kemudian berlalu tidak menghiraukan Yosi yang terus memanggil namaku, aku terus saja berjalan hingga aku tiba di tempat tujuan. Ku berjinjit di depan jendela memastikan ruang musik kosong dari orang, ku edarkan pandanganku di dalam ruangan nampak tidak ada orang di dalam. Aku kemudian berjalan menuju pintu lalu membukanya.
*plaaak*
“aduuuuhhhh!!” jeritku. Lengan kananku tiba-tiba ada yang memukul.
“Yosi… apa-apaan kamu mukul aku” ujarku tak terima.
“…kamu ini.. aku nungguin kamu dari tadi, kamu malah bersikap gak mempedulikan aku” balas Yosi dengan raut wajah bete.
“heheeee… maaf” balasku nyengir kuda.
“kamu kenapa buru-buru banget sih?? Terus mau ngapain kamu masuk kedalam??”
“…aku ada keperluan” jawabku singkat dan tidak mempedulikannya lagi. Aku lalu masuk kedalam dan ternyata benar-benar tidak ada orang.
Aku langsung menjurus ke meja dimana semua formulir pendaftaran event musik tersimpan rapi di laci meja namun ada selembar kertas yang tergeletak di bawah meja, aku merunduk dan mengambilnya kulihat dan ternyata kertas yang aku pegang adalah kertas kepunyaan seorang yang benar-benar membuatku penasaran.
‘Fahri’ gumamku. Aku memperhatikan dengan jelas isi formulir pendaftarannya, dan kulihat biodata dirinya.
“Iyaaas…” suara Yosi memanggilku.
“yaaa Yos??” sahutku terus fokus dengan selembar formulir milik Fahri.
“kamu harus cerita ke aku…” sahutnya.
“cerita apaan??”
“masalahmu dengan bu Susi” kini Yosi sudah di dekatku berada di sampingku.
“ehh… itu formulir siapa??” tanya Yosi penasaran.
“oohhhhh… punya kakak kelas kita.. si Fahri” selorohnya ikut-ikut memperhatikan isi formulir. aku membalas dengan anggukanku.
“dia ikut kategori apa??”
“solo” jawabku setelah melihat tanda centang di kolom solo yang tertera di selembar kertas.
“wooow…” sahut Yosi.
“kamu kemari cuman mau liat itu Yas??” selorohnya. Aku kemudian menoleh kikuk ke Yosi.
“bukan… kertas ini tadi ada di bawah meja jadinya aku ambil terus gak taunya kepunyaan Fahri” jelasku.
“ooooohhhhh” sahutnya.
“taruh gih di atas meja.. kenapa kamu megang kertas itu terus??”
“iyaaa yaa bawel huuuuh” dengusku.
**
*ting nooong*
*ting noong*
‘siapa itu’ gumamku sembari mengeringkan rambutku yang basah menggunakan handuk.
Aku berjalan cepat keluar kamar menuruni anak tangga hendak melihat siapa yang berada di luar rumah yang sedang membunyikan bel. Ku buka sedikit tirai jendela mengintip siapa yang berada di luar pagar.
“ahhh… Yosi..” rupanya Yosi.
*kreeek*
“Yosi…” panggilku. Yosi melengah.
“buka aja pagarnya…!” seruku.
“di kunci Iyaaaas!!” balas Yosi teriak. Aku lalu memicingkan mata melihat benda yang menggantung menyatukan pagar kecil dengan pagar besar.
“tungguuuu…!” sahutku. Aku lalu kembali masuk ke dalam rumah mengambil kunci gembok setelah itu aku kembali ke pintu keluar dan membukakan pintu pagar. Aku dibuat heran ada seorang laki-laki bersama dengan Yosi, laki-laki itu memakai masker, menggunakan celana pendek dengan kaos tipis berwarna merah. Ku perhatikan dari gaya rambutnya.. sepertinya aku pernah melihat gaya rambut itu.
“…..kenapa??” Yosi bertanya.
“ohhhh itu.. ahahaaaa..”
“kenapa kamu ketawa…” kataku. Lalu laki-laki itu medekat dan membuka maskernya dan ternyata dia adalah Fahri… pantas saja aku seperti mengenalinya.
“haloooo” sapa Fahri ramah melambaikan tangan ke arahku.
“kamu habis mandi yaa??” seloroh Fahri memperhatikan bagian atas kepalaku yang sedikit basah. yaaa… benar.. aku baru saja selesai mandi.
“ehhh.. kami gak di suruh masuk??” celetuk Yosi.
“ohhh.. mau masuk??” ledekku.
“yeeee ni anak yaaa” sewot Yosi.
“biasanya juga kamu main masuk saja kerumahku tanpa permisi” ledekku lagi. Yosi menampakkan nyengir kudanya.
“yuuk masuk…” pintaku. Mereka berdua masuk bersama terlebih dahulu disusul aku di belakangnya.
Sesampai di dalam Yosi tanpa sungkan-sungkan membuka kulkas dan mengambil 2 botol minuman berwarna putih lalu memberikannya ke Fahri, Fahri menerima dengan hangat lain halnya denganku yang sedikit gemas melihat perilaku Yosi yang tidak ada rasa sungkan terhadapku walaupun Yosi sering melakukan hal itu tapi tetap saja aku tidak suka. Fahri sepertinya tahu kalau sekarang aku tidak sedang di mood yang baik, Fahri lalu menaruh botol minuman di atas meja makan dan menghampiriku di ruang tengah.
“kamu terlihat bete” ujarnya duduk di sofa di sampingku.
“ohh yaa??” sahutku.
“ayolah… jangan begitu”
“begitu bagaimana??” sahutku lalu aku menoleh ke Fahri.
“……” Fahri terdiam. Fahri terdiam memperhatikanku.
“Iyaaaasssss….!” Suara tidak asing itu memanggilku dengan ciri khasnya yang suka berteriak.
Aku lalu menoleh kebelakang.. kulihat Yosi sedang mencermati isi kulkas.
“ohh yaaa… sampai sekarang.. aku belum pernah menemui ayahmu Yas” ujar Fahri.
Ahh…. Mendengar sebutan ayah.. moodku jadi semakin turun.
“ayahku kerja” jawabku singkat.
“ohhhh begitu” sahut Fahri. Aku lalu berdiri, berjalan dan menyambar Yosi yang terus saja membuka dan mencermati isi kulkas rumah.
“kamu ngapain sih…” sewotku sembari menyingkirkan tangan Yosi dari ganggang kulkas.
“aku lapar….” Jawab Yosi dengan wajah lesu.
“…. Untuk apa kamu kesini kalau kamu lapar huuuh..” dengusku.
“habisnya… tadi aku ikut Fahri main Tennis”
“main Tennis??” kataku mengulang.
“…iyaa.. sore tadi gak sengaja aku ketemu dia di TennisFunPlay.. dia manggil aku buat ikutan main Tennis bareng..” jelas Yosi.
“lah terus.. kok.. kamu pakai celana panjang” kataku memperhatikan Yosi memakai celana jeans panjang berwarna hitam.
“...emang kenapa??” Yosi berbalik tanya.
“main Tennis kok pake celana panjang” kataku.
“…kan aku gak sengaja ketemu dia Iyas” jelas Yosi menoleh sekilas lalu fokus lagi melihat isi kulkas.
“terus… kenapa kalian berdua kesini?” Yosi berbalik badan lalu menutup pintu kulkas. Yosi memperhatikanku, memperhatikan wajahku.
*puuk puuk* Yosi menepuk 2 kali bahu kananku.
“karena aku tau… sekarang ini kamu butuh seseorang.. seseorang yang menemani kamu Iyas” ucap Yosi lembut.
Yosi benar-benar tahu apa yang aku rasakan setelah ibuku wafat dan Yosi jugalah yang selalu menyemangati, memberikan support kepadaku, membuatku tertawa bahkan mengajakku ke pantai pada hari itu. aku masih mengingatnya… Yosi merangkulku di saat aku duduk bermain gitar di tepi pantai lain halnya dengan Elisa dan Ewin yang bermain air di pinggiran pantai lalu Yosi menghampiri mereka berdua.
“Iyaass…” tegur Yosi lembut.
Aku reflek memeluk teman dekatku itu… mendekap tubuhnya erat dan tidak lama Yosi membalas pelukan dariku. Aku benar-benar beruntung memiliki teman dekat..ohhh bukan… dia lebih dari teman dekatku.. diaa adalah sahabatku.. sahabat yang konyol sekaligus yang selalu mengerti keadaanku. Selalu tahu akan kejenuhan atau kegelisahanku.. walaupun aku sendiri tidak seperti Yosi.. aku terkadang cuek dengannya dan terdakang aku bersikap kasar terhadapnya.
“Yosi…” kataku pelan terus memeluknya.
“yaaa Iyas??” sahut Yosi.
“terima kasih…”
@lulu_75 @awi_12345 @andrik2007 @QudhelMars @putra_pelangi
UPDATE....
Bagian VIII
Iyas POV
Aku reflek memeluk teman dekatku itu… mendekap tubuhnya erat dan tidak lama Yosi membalas pelukan dariku. Aku benar-benar beruntung memiliki teman dekat..ohhh bukan… dia lebih dari teman dekatku.. diaa adalah sahabatku.. sahabat yang konyol sekaligus yang selalu mengerti keadaanku. Selalu tahu akan kejenuhan atau kegelisahanku.. walaupun aku sendiri tidak seperti Yosi.. aku terkadang cuek dengannya dan terdakang aku bersikap kasar terhadapnya.
“Yosi…” kataku pelan terus memeluknya.
“yaaa Iyas??” sahut Yosi.
“terima kasih…”
“... yaaa Iyas.. sama-sama” sahutnya sembari menepuk punggungku dua kali lalu kami usai berpulakan.
“eheeeeem…” aku dan Yosi melengah ke sumber suara.
“kalian berdua terlihat akrab banget sampe peluk-pelukkan begitu” ujar Fahri memperhatikan kami berdua. Yosi kembali mendekat dan menempelkan lengannya dengan lenganku lalu merangkulku.
“kami memang akrab…” sahut Yosi.
“yaa kan Yas??” sambungnya memperhatikanku. Aku mengangguk sembari tersenyum ke Yosi.
“jarang banget aku ngeliat cowok sama cowok sampe begini”
Aku dan Yosi langsung memperhatikan Fahri.. Fahri sepertinya sadar jika kami tidak mengerti dengan perkataannya.
“kalian gak saling menyukai bukan??” seloroh Fahri menarik kursi meja makan lalu mendudukinya memperhatikan kami lagi.
“ahahaaaaaaa….” Tawa Yosi seketika. Aku terkejut dibuatnya.
“kampreeet aku kaget” sewotku memukul pelan lengan Yosi.
“….kalau misalkan kami saling menyukai gimana??” Yosi pasti sudah gila.. kenapa dia menanyakan hal itu??
“….heheee… itu hak kalian” balas Fahri santai.
“…tuuh Yas.. ini hak kita buat menjalin hubungan..”
“sssttttt…. Mulai ngaco kamu” ucapku.
“ini akibat kamu lapar… makanya kamu jadi ngaco.. ambil gih nugget di freezer” sambungku jenuh setelah mendengar candaan Yosi.
“ahahaaa… gitu dong..” balas Yosi dengan sigap membuka kulkas dan mengambil bungkusan yang berisi nugget.
Benar-benar sahabatku ini.. terkadang membuatku nyaman dan terkadang pula membuatku gemas sendiri dengan tingkah lakunya. Setelah itu aku duduk juga di kursi meja makan, memperhatikan Yosi dengan kesibukannya sendiri yang hendak memasak seperti mengambil wajan, mengambil sutil, menuangkan minyak goreng, menyalakan kompor dan memasukan beberapa nugget. Yosi sadar aku memperhatikan dia.
“kamu mau juga Yas??”
“ahh.. aku kenyang” aku menolak.
“…. Aku gak di tawarin??” celetuk Fahri.
“… kamu mau??” kata Yosi menoleh ke Fahri sekilas lalu fokus memasak.
“mau… kalau di gorengkan hehee”
“yasudah… aku buatkan”
*kriinnnnngggggg….. kriingggggggg*
“Yas… suara apa itu??”
“suara telepon rumah” kataku.
“angkat gih…”
“malas” jawabku memperhatikan Yosi. Memperhatikan gaya Yosi memasak.
“ckkkk… masa iyaa aku yang angkat”
“biar aku aja yang angkat” sambar Fahri. Fahri berjalan keruang tengah.. kulihat dia menerima panggilan telepon yang baru saja berbunyi lalu menaruh ganggang telepon di atas meja kecil.
“Iyaaass…” ujar Fahri sedikit teriak memanggilku.
“telpon dari ayahmu…” sambungnya berjalan kemari.
Mendengar sebutan ayah hatiku jadi kesal sendiri tapi mau tidak mau aku harus menerima panggilan dari ayahku.
**
Kini aku berada di kamarku.. kamarku yang berukuran 3x4 minimalis.. berbaring di atas ranjang ukuran single bed.. menatap langit-langit kamar berwarna putih sembari mengingat perkataan ayah di telpon sekitar 2 jam yang lalu.
“anak ayah apa kabar??”
“syukurlah Iyas baik-baik saja”
“uang Iyas masih ada bukan?”
“maaf ayah belum bisa balik untuk saat ini”
“kemungkinan ayah balik 3 hari kedepan”
“jaga kondisi Iyas tetap fit yaa.. jangan begadang.. ohh iyaa.. semangat menjalankan ujian semester 1 nya.. semoga lancar dan mendapatkan hasil yang sempurna yaa nak”
“ayah sayang Iyas…”
Begitulah… begitulah kata-kata yang keluar dari mulut ayah lewat telepon. Meskipun aku menjawab setiap apa yang di katakan ayah, jauh di lubuk hatiku masih menyimpan kebencian terhadapnya. Bagaimana aku membencinya… dia rela meninggalkan anaknya yang terpuruk setelah kehilangan sosok wanita yang aku sangat-sangat menyayanginya. Dia lebih mementingkan pekerjaannya ketimbang mementingkanku bahkan hari itu dia tidak ada sedetik pun merangkulku atau memusut-musut pundak atau menenangkanku saat aku menangis.
“arghhhhhhhhh”
*braaaakk*
Ahhh… tidak sengaja aku menghempas ponsel yang sedari tadi aku pegang.
“yaa ampun...” ku mengambil ponselku yang tersungkur di lantai.
“huuuuh… retak”
“paling gak masih bisa idup” gumamku. Lalu aku menaruh ponselku di atas meja dekat dengan lampu tidur.
Aku kembali memperhatikan langit-langit kamar, menyusuri pikiran-pikiranku yang kacau ‘lagi’ belakangan ini. Aku tidak terlihat kacau saat di luar.. namun jika aku berada di tempatku seperti sekarang ini.. perasaanku kembali kacau, aku tau.. kekacauan ini berasal dari siapa. Kalian pun juga mengetahuinya.
“ibu….” Lirihku.
“ahhh… hingga saat ini aku tidak bisa melupakanmu ibu” sekuat tenaga aku berusaha menahan air mataku jatuh tapi tetap saja tak bisa.. air mataku kembali keluar.
“ohh… sial..” umpatku. Aku mengusap pelan wajahku sembari menekan wajahku dengan kedua tangan.
“…maaf bu.. aku selalu menangisimu” lirihku.
**
Sepertinya semalam adalah hari menyedihkanku yang kedua, semalam aku kembali kalut, aku kembali meneteskan air mataku, aku kembali mengingat sosok ibuku di kehidupanku. Ohh Tuhan.. sampai kapan aku terus seperti ini? tidak ada satu pun orang yang benar-benar bisa membuatku bahagia seutuhnya. Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi ibu. Kebahagiaanku selalu sesaat dan sesaat itu pula aku kembali bersedih lagi.
“…. Ibu” gumamku. Aku memperhatikan foto di dinding.
Aku tahu.. ini adalah hal yang buruk.. menangisi seorang yang telah meninggal.
“..maaf ibu maaf”
*ting nooong* suara bel pagar berbunyi.
“ahhh… siapa sepagi ini datang kerumah??”
Mau tidak mau aku harus kebawah, sebelum kebawah aku ke kamar kecil dulu untuk melihat kondisi mataku.
“sembab lagi” kataku sambil berkaca. Aku kemudian mengambil air dengan gayung dan mengambil pembersih muka lalu aku menggunakannya.
Selesai dengan membersihkan wajahku, aku turun menuruni anak tangga, mengintip dari jendela melihat siapa yang datang sepagi ini. Ahhh… Fahri.. kakak kelasku rupanya.
“Fahri… ada apa??” panggilku dari kejauhan.
“yaa ampun…. Kamu baru bangun tidur??” balas Fahri di luar pagar.
“iyaaa.. ada apa??”
“ckk…. Kamu sepertinnya gak pernah olahraga yaa”
Nada bicara Fahri seakan mengejekku.. enak saja aku di bilang tidak pernah olahraga. Terakhir aku mengingat aku berolahraga di saat pelajaran penjaskesor dan itu sebelum ujian semester 1 berlangsung artinya sudah 3 minggu yang lalu. Fahri mengenakan kaos putih tipis tanpa lengan memperlihatkan lengannya yang putih nan padat berotot. Aku jadi minder jika lihat Fahri mengenakan kaos seperti itu.
“gak mau ikutan aku lari pagi??” ujar Fahri di luar pagar melihatku.
“…. Aku masih menggunakan baju tidur.. kamu duluan aja”
“… kamu nyusul??”
“aku gak tau”
“…ohhh.. ayolah.. lari pagi itu menyehatkan badan.. lihat badanmu..”
Lagi-lagi Fahri seperti mengejekku.. dia sepertinya semakin mengenalku semakin merendahkanku saja.
“kau duluan saja…” kataku. Aku lalu berpaling tanpa menghiraukan panggilan darinya.
Aku kembali ke kamar lalu aku berkaca pada kaca lemari baju, aku memperhatikan tubuhku yang sedikit ‘berisi’. Aku tidak kurus dan aku juga tidak gemuk, tapi aku merasa tubuhku sepertinya sedikit gemuk belakangan ini, aku menggulung lengan baju tidur hingga bahuku.
“… lemak” kataku sembari menggetarkan lengan kananku.
“..ahh.. sebaiknya aku ikut Fahri lari pagi”
**
Pagi yang cukup cerah untuk melakukan aktifitas olahraga di pagi hari, nampaknya penghuni komplek pun juga memanfaatkan kondisi cuaca sekarang ini. Ada yang seusia denganku dan ada pula yang sudah lanjut usia. Hingga detik ini aku berlari tidak melihat Fahri di sekitarku.
“kemana anak itu lari paginya” gumamku.
Aku lalu berhenti tuk mengatur nafasku yang sudah kembang-kempis.
“… haahh huuuh haah huuuh” aku benar-benar tidak kuat lari sekarang. Baru beberapa meter saja aku sudah kelelahan.. ahhh.. aku sebaiknya duduk dulu. Aku menepi dan duduk di atas trotoar, sebagian orang juga ada yang menepi sepertiku.
“Nihhh… minum”
Seseorang menyodorkanku sebuah botol minuman yang masih utuh, ku mendongak memastikan siapa yang memberikan botol itu.
“minum..”
Aku menerima pemberian Fahri, meminum separuh air mineral pemberiannya. Ahhh.. nafasku mulai teratur untuk saat ini. aku mengembalikan botol kepunyaannya. Fahri kini ikut duduk di sebelahku.. huuuh… aroma keringatnya menyeruak ketika berada di sebelahku.
“aku bau yaaa??” Fahri sepertinya tau kalau aku sedikit menghindar.
“…iyaaa… kamu bau” balasku sambil menutup hidung.
Fahri menciumi sebagian tubuhnya.. mau saja dia di tipu.. sebenarnya aroma keringatnya tidak bau hanya saja aku tetap tidak suka dengan aroma keringatnya yang berbau aneh. Bau keringatnya seperti ada pencampuran aroma parfum yang aku tidak sukai. Fahri membuka tutup botol minumannya dan membasahi sebagian tubuhnya dengan air botol.
“kenapa kamu buang air itu??” protesku. Aku sebenarnya hendak meminum lagi.
“bagaimana?? Masih bau atau gak??” Fahri justru menanyakan aroma tubuhnya.
“tetap aja kamu bau”
“…bau apa??”
“parfum” kataku. Fahri kembali mengendus-endus tubuhnya.
“ohhh bau parfum… aku fikir bau keringatku”
“kamu gak suka bau parfumku??” selorohnya memperhatikanku. Aku menggeleng.
“bau parfummu aneh..” kataku.
“..padahal ini parfum mahal looh” ujarnya bangga.
“semahal-mahalnya parfum tetap aja berbau aneh”
“heheee.. begitu yaa??” aku mengannguk.
“… kamu sering lari pagi??” aku bertanya.
“… gak juga.. kadang-kadang” jawabnya menghadap lurus.
“tapi.. kamu..” kataku ragu.
“aku kenapa?”
“postur tubuhmu…”
“berisi?? Begitu??”
“iyaa.. padat berisi” kataku. Fahri tertawa renyah setelah itu.
“… aku tiap weekend cuman bermain Tennis.. itu aja.. gak ada ngelakuin olahraga berat lainnya”
“kamu bisa bermain Tennis??” tanyaku. Aku fikir apa yang di katakan Yosi kemarin hanya alasannya saja tuk menikmati makanan di rumah.
“yupp.. justru aku hobi main Tennis”
“gak susah main Tennis??” tanyaku. Fahri menggeleng.
“kurang lebih seperti bermain bulu tangkis hanya raket nya yang berbeda dan sedikit berat”
“ohh begitu”
“biar ku tebak…” aku mengerutkan kening.
“hobimu pasti bermain musik”
“…….” Aku hanya diam.
“benar kan??” aku lalu menoleh memperhatikannya dan Fahri juga memperhatikanku.
**
Fahri memintaku tuk bermain musik kali ini setelah aku mengatakan bahwa salah satu hobiku adalah bermain musik. Padahal sebelumnya Fahri pernah melihat aksiku bermain musik di saat meet and greet di dalam ruang club musik. Aku mengambil gitar kepunyaanku di bawah kolong ranjang. Fahri duduk manis di atas kursi yang biasa aku gunakan di saat aku mengerjakan tugas sekolah. aku mulai memetik meamainkan gitar kesayanganku ini. Lantunan akustik merdu yang aku mainkan pada awalnya dan kemudian aku memulai memetik kunci gitar sembari menyanyikan lagu favoritku. Fahri menghayati tiap petikan gitar di imbangi dengan suaraku, bibirnya sedikit terbuka sambil memperhatikanku tanpa berkedip. Konsentrasi ku lama-kelamaan buyar karena melihat wajah konyolnya, aku pun tertawa setelah itu.
“ahahaaaaaa… ahhaahaaa” aku terus tertawa mengingat wajah Fahri yang sangat konyol.
“hei.. kenapa kamu ketawa??”
Aku berusaha menahan gelak tawa, menutup rapat-rapat mulutku, tapi saat aku kembali melihat wajah Fahri.. melihat wajah bingungnya, gelak tawaku kembali muncul. Aku tertawa terpingkal-pingkal.
“waaaah… ada yang gila nih” ledek Fahri. Aku akhirnya bisa mengontrol diriku lagi.
“… bisa gak wajahmu biasa aja saat aku bermain gitar sambil bernyanyi” pintaku.
“emangnya wajahku gimana??” tanya Fahri polos. Apa dia gak merasakan wajah konyolnya?
“…. Wajahmu jelek banget…” kataku. Aku menekankan kata jelek.
“jelek gimana?? Cakep begini wajahku..” ucapnya berbangga.
“huuuh… aku sudah menuruti perintahmu kan?? Dan sekarang giliranmu..” aku menyodorkan gitar ke Fahri.
“apaan??”
“sekarang giliran kamu yang main gitar…” pintaku. Fahri seperti enggan menerimanya.
“..tapi.. aku kurang pandai” ucapnya pelan.
“gak masalah…” jawabku santai. kali ini aku yang duduk di kursi dan Fahri berdiri di depanku memegang gitar.
“…play….” Seruku.
@lulu_75 @awi_12345 @andrik2007 @putra_pelangi @QudhelMars
UPDATE..
Bagian IX
Iyas POV
Ahh.. ternyata apa yang di katakan Fahri benar-benar 'real'. Fahri tidak begitu mahir bermain gitar, beberapa petikan gitar ada yang 'miss' bahkan beberapa petikannya ada yang salah tidak berada pada kunci yang benar. Aku sangat mengetahui tiap kunci gitar dari lagu yang dimainkan oleh Fahri. 'In Case' begitulah judul lagu itu. Berkhirnya lagu itu pun di petik dengan kunci yang salah.
"......"
"......." aku memperhatikan Fahri terdiam setelah bermain gitar. Fahri menaruh gitar di atas ranjang lalu kembali memperhatikanku.
"kenapa??" aku bertanya.
"gimana...?"
"...gimana apanya??"
"permainan gitar dariku"
"...engg... ohhh... aku jawab jujur atau bagaimana??"
"ckk... jawab jujur lah" Fahri duduk di atas ranjang sambil memperhatikanku.
"bad...!" kataku mantap.
"..yaa... aku udah tau.. aku memang gak begitu bisa bermain gitar"
"...sebenarnya gak begitu buruk.. cuman.. banyak yang miss"
"yaaah.. itu sama aja"
"...kamu kelihatan banget kalau baru belajar" kataku. Mengingat tiap jemarinya memetik senar gitar dengan ragu-ragu. Aku melihat dan mengingatnya.
"heheee..."
".. jadi... kamu benar benar ikut kategori solo di event sekolah??"
"... awalnya... tapi..."
"tapi apa?? jangan bilang kamu ikut kategori grup atau band!" Fahri menunduk sebentar, entah apa yang sedang di lihatnya lalu kembali memperhatikanku.
"aku.. aku ikut kategori duet.."
"duet??" aku tak mengerti. Sejak kapan event musik sekolah tercantum kategori duet.
"... kamu ngaco... gak ada kategori duet di event itu" kataku. Aku jelas-jelas salah satu panitia inti di event dan aku yakin tidak ada yang namanya kategori duet, jika itu ada.. siapa yang telah menambahkan konsep duet??
"... kamu gak mungkin banget kalau gak tau hal itu"
"hal itu apa?"
"yaa itu tadi.. kategori duet.."
"..kamu gak bohong kan??" aku memastikan Fahri tidak berbohong.
"aku gak bohong Iyas"
Dari raut wajah dan nada bicaranya tidak ada tanda-tanda bahwa Fahri berbohong… jadi apakah benar-benar ada kategori duet?? Ahh.. sejak kapan kategori itu di buat? Aku sebagai panitia inti pun tidak tahu jika ada kategori duet. Aku harus mengecek nya nanti.
**
Fiuhh… akhirnya aku selesai mengerjakan soal ujian semester mata pelajaran Matematika yang sangat-sangat menguras pikiran dan mata. Jangan tanya mengapa mata ikut terkuras.. kalian pasti tahu alasannya. Bertempur selama kurang lebih 1 jam menghadap angka, rumus, dan gambar-gambar yang membuat mataku perih. Aku memang tidak pandai dalam hal hitungan, beda halnya dengan Yosi yang berbakat dalam ilmu hitung menghitung, sebenarnya aku ingin belajar bersama dengannya, tapi aku tidak enak hati melakukan hal itu. Aku tidak ingin merepotkan Yosi karena aku sudah banyak merepotkannya.
Sebagian teman seruangan telah berhambur keluar kelas termasuk Jenny yang berada di belakangku sekaligus penyelamatku mengerjakan soal ujian semester. Aku seperti berhutang budi dengan Jenny. Saat aku hendak keluar ruangan, kedua teman dekatku berada di depan duduk di beton pekarangan bunga.
“… gimana Yas??” kata Yosi saat aku menghampirinya.
“.. aku tertolong” kataku.
“..ohh ya?? Siapa yang bantuin kamu Yas?” ini Elisa yang bertanya.
“..Jenny..” jawabku.
“ooooohhhhhh” mereka menjawab serempak.
“ohhh iyaaa… umm.. aku udah dapet semua sosmed Ewin loh” ujar Elisa bangga sambil memamerkan instagramnya di ikuti oleh Ewin. Foto profil Ewin terlihat biasa saja, tidak ada yang istimewa hanya saja dia tersenyum dengan ciri khasnya memperlihatkan gigi rapinya.
“idihhhh… Yas… kamu setuju gitu sepupumu sama Elisa??” sejauh ini aku belum mengatakan yang sebenarnya jika Ewin bukanlah sepupuku.
“…. Iyas pasti setuju.. liat aja mukanya”
“…mukanya diam gitu.. gak ada seneng-senengnya”
“…ahhh.. lihat aja nanti kedepannya” kataku.
“yeeeee… Iyas setuju” riang Elisa lalu dengan seenaknya merangkulku dan mengacak-acak rambutku.
“... kedepannya bakalan gak ada kata jadian” timpal Yosi. Elisa berhenti dari kegirangannya lalu menatap Yosi dengan sedih.
“… hikss.. jahat banget sih…”
“ckkk.. udah-udah..” kataku mulai jenuh dengan ke anehan mereka berdua.
“ehhh.. mau kemana Yas??” tanya Yosi saat aku hendak pergi dari mereka.
“club musik” jawabku seadanya.
**
Kategori duet ternyata benar-benar ada di event musik tahunan kali ini, tapi sejak kapan kategori itu di buat dan mengapa tidak ada yang memberitahuku dari awal sebelum pendaftaran di tutup..
“kategori baru untuk tahun ini… siapkan diri kalian untuk berduet dengan sahabat atau pacar” begitulah kalimat persuasif yang tertera di poster dan tertempel di mading club musik.
“hoooooiiiiii!!” tetiba seorang menegurku dengan kejuttannya.
“…oghh… aku kaget gilak!”
“dihhh.. galak bener ahahaaa” ledek Kiki. Aku membalas dengan tatapan kesallku.
“heheee.. btw kamu lihat apaan di mading?”
“..sejak kapan ini dibuat??” kataku sembari menunjuk poster berukuran A3 tertempel di mading.
“..sudah lama kali Yas…”
“kapan?” Kiki bingung.
“looh.. kamu baru lihat ini?” aku mengangguk.
“ini tuh udah di tempel sekitar 4 minggu yang lalu Iyas” 4 minggu yang lalu? Itu artinya di saat hari dimana ibuku wafat.
“ahh.. udah lama dong”
“hooo’oh Iyas..”
“aku kira kamu udah tau bakalan ada kategori duet” sambung Kiki.
“siapa yang meminta ini Ki?”
“pihak owner kafe.. bilangnya lagi nyari pasangan duet gitu buat tampil di kafe” ohh.. jadi pihak kafe yang meminta.
“ehh.. kamu nanti tampil gak di event??”
“aku gak tau Ki” jawabku.
“kenapa kamu gak tampil aja??”
“..lagi gak ada niatan Ki.. lagipula kepala sekolah melarang panita tampil bukan” jawabku malas.
“kalau misalkan pihak owner membolehkan gimana?? Kamu mau tampil gak??”
“tampil bareng Elisa gitu..” tambahnya. Sial.. Nada bicara Kiki seakan-akan mengejekku.
“ahhh… gak perlu”
“huuuuu.. yaudah” ujarnya lalu pergi.
**
Rasanya aku malas sekali pulang kerumah, sekarang rumah bukanlah tempat yang menyenangkan bagiku. Bagiku… sekarang.. rumah adalah tempat yang begitu menguras tiap-tiap pikiranku, aku di buat kalut jika berlama-lama di rumah apalagi jika aku berada di dalam kamarku. Ahhh.. aku lebih baik pergi keluar hingga sore, aku ingin ke taman pinggir sungai di pinggiran kota, tidak jauh dari jarak sekolahku jika aku menggunakan angkot.
“bang… ke taman sungai” ujarku pada supir angkot. Aku lalu membuka pintu dan duduk di kursi depan.
Saat ini jam menunjukkan pukul 2.10 menit di tambah dengan cuaca yang mendukung (tidak panas dan tidak hujan) sedikit mendung tapi tidak gelap. Butuh waktu 10 menit tuk sampai ke taman pinggir sungai dan pada akhirnya akupun sampai juga di tempat tujuan.
“berapa bang??” kataku hendak membayar.
“karena adek pakai baju sekolah… seribu sajalah..”
“nih bang.. makasih bang” kataku.
Di sini lah aku sekarang.. berada di taman pinggir sungai. Aku berjalan hendak duduk di beton pembatas antara sungai dan taman.
*puuuk* aku mendaratkan pantatku.
Duduk sembari mengamati sungai dan beberapa ikan julung-julung berenang dengan lincahnya. Kalau di perhatikan baik-baik.. aneh juga bentuk ikan julung-julung ini..
*kruuuk* ahh.. tiba-tiba perutku terasa lapar. Aku lalu berbalik badan.
“….ahh.. enaknya makan apa nih” gumamku. Aku mengedarkan pandangan memperhatikan beberapa penjual makanan penyangga perut di tiap sudut taman. Sudut taman ada 4.. artinya terdapat 4 penjual yang menjual makanan dan makanan itu berbeda-beda.
“ahhh.. aku pingin Dochi” aku melihat di sudut kanan ada yang menjual Dochi.
Perutku makin tak tertahan saat mendekat si penjual.. aku membeli porsi 30 ribu karena aku benar-benar lapar. Biasanya Dochi dijual seharga 20 ribu di sini. Untung saja si penjual mau menerima permintaanku membeli porsi 30 ribu.
Haaap.. Dochi kepunyaanku udah jadi.. saatnya untuk memilih-milih bumbunya.
“kak Iyas…” seorang memanggilku dari belakang. Sontak aku menoleh.
“…ehh.. Rangga..”
“.. sama siapa ke sini kak??” tanya Rangga sembari melihat bungkusan Dochiku. Aku menawarkan Dochi dan dia mengambil 2 potong.
“…sendiri aja yaa??” tanya Rannga lagi sesudah mengunyah. Aku menjawab dengan anggukan karena aku lagi makan.
“duduk yuuk” kataku. Tidak enak juga makan sambil berdiri.
“aaa.. adek bentar lagi pergi kak”
“ooohh gitu”
“naaah itu teman adek”
“adek duluan ya kak” aku mengacungkan jempolku.
Ohh.. aku sepertinya kalah dengan urusan percintaan.. lihatlah adik kelasku itu.. dia jalan berdua dengan seorang wanita. Beda denganku yang sering menghabiskan waktu jalan seorang diri ataupun bersama Yosi dan Elisa. Lalu apa kabarnya dengan Fahri kakak kelasku?? Dia kurang lebih sama sepertiku, tidak ada wanita yang benar-benar dekat dengannya kuperhatikan. Lain halnya dengan Ewin… ahh sepertinya dia beruntung dengan urusan percintaan. Wajahnya saja sangat mendukung untuk menggait banyak wanita dan salah satu sahabatku pun terhipnotis olehnya saat pandangan pertama.
“ckkk.. aku mulai ngaco” dumelku.
Bicara tentang Ewin.. sampai saat ini aku belum berterus terang dengan kedua sahabatku kalau Ewin bukanlah sepupuku dan anehnya kedua sahabatku itu percaya saja jika Ewin adalah sepupuku. Huuuh… aku lalu berdiam diri tanpa memikirkan apa-apa sembari memakan Dochi yang aku beli tadi. Porsi 30 ribu cukup membuatku kenyang dan membuatku sedikit seret. Tenggorokanku sepertinya perlu air.
Aku berjalan ke arah luar taman tuk melihat-lihat penjual minuman karena aku benar-benar haus saat ini. Aku mampir di salah satu pedagang keliling yang menjual es kelapa.
“bang es kelapa” kataku pada si penjual.
“ohh.. beres dek” balas si penjual.
“saya juga bang..” kata seseorang di sebelahku tiba-tiba. Aku mencium aroma parfum yang membuatku pusing berlama-lama menghirupnya. Spontan aku tutup hidung.
“elaaah… segitunya sih Yas sampe tutup hidung” aku mengenal suara dan nada bicaranya. Aku lalu menoleh dan ternyata benar dugaanku. Dia adalah Fahri.. kenapa dia di sini??
“…bau banget parfum mu” kataku menutup hidung dengan kerah baju.
“ehh.. kamu kok gak ganti baju dulu… entar bajumu kotor baru tau rasa” ujarnya memperingatiku. Ucapan terakhirnya sama persis dengan apa yang pernah di ucapkan oleh ibuku.
“…kalau kotor tinggal pergi ke laundry.. beres” jawabku seenaknya.
“dasar… anak manja…”
“ini dek es nya” kata si penjual. Aku menerima dan langsung membayar.
“ngapain kamu di sini??” tanyaku sengit.
“… aku cuman mampir buat beli es di sini”
“ohh yaa??” Fahri mengangguk.
“sehabis ini aku mau main Tennis… kamu mau ikut?” tawaran yang boleh di coba. Karena aku belum pernah merasakan bermain Tennis. Tapi ada rasa enggan.
“ahhh.. aku tidak bisa”
“apa salahnya belajar?”
“kamu mau punya lengan besar dan berlemak begitu” ujarnya sambil memencet lengan kiriku. Si penjual senyam-senyum setelah melihat perlakuan Fahri.
“… aku mau berlama-lama di sini” kataku akhirnya.
“buat apa??” aku justru mengacuhkannya. Aku kembali masuk ke dalam taman, Fahri mengikutiku dari belakang.
“..kamu sering kemari?” dia masih berada di belakangku. Aku masih berjalan lurus tanpa menanggapinya, aku ingin kembali duduk di spot yang aku sukai di saat aku pertama kali kemari.
*puuuk* Fahri mengikutiku dan juga duduk di sebelahku sembari memegang bungkusan es kepalanya.
“Yas….” Kata Fahri memanggil-manggil namaku. Lama kelamaan aku risih juga.
“apaa??” kataku menoleh ke Fahri.
“galak bener dah…”
“ckkk..” aku berdecak.
“pasti tempat ini sangat berarti buatmu kan??” ujarnya setelah kami terdiam kurang lebih 15 menit. Aku kembali menoleh ke Fahri dan memperhatikannya yang juga memperhatikanku.
“benar kan??” Fahri bertanya lagi.
“ehh bener apa gak??”
“… pasti sekarang ini kamu mengingat kenangan itu kan??” bicara apa kakak kelasku ini?
“aku gak mengingat kenangan apa-apa disini.. aku cuman mau menghabiskan waktuku sampai sore di sini” jelasku akhirnya karena ucapan Fahri mulai ngelantur.
“……oooohh begitu…”
Aku kembali melihat ikan julung-julung berenang di permukaan sungai, entah apa yang membuatku senang melihat ikan julung-julung itu berenang, mungkin karena bentuknya yang aneh pada mulutnya.. apakah itu mulut di bagian depannya yang panjang? Sepertinya bukan.
“eheeeem” deheman Fahri. Aku tidak menggubrisnya.
“Yas… beneran gak mau ikut aku main Tennis??”
Sebenarnya aku ingin namun aku enggan dengan Fahri.
“…kalau gak mau aku pergi sekarang nih…” ujarnya lalu siap-siap beranjak pergi.
“…. Ummm”
“ …Fahri…
“… aku ikut”
@lulu_75 @awi_12345 @QudhelMars @putra_pelangi @andrik2007
UPDATE....
Bagian X
Iyas POV
Aku kembali melihat ikan julung-julung berenang di permukaan sungai, entah apa yang membuatku senang melihat ikan julung-julung itu berenang, mungkin karena bentuknya yang aneh pada mulutnya.. apakah itu mulut di bagian depannya yang panjang? Sepertinya bukan.
“eheeeem” deheman Fahri. Aku tidak menggubrisnya.
“Yas… beneran gak mau ikut aku main Tennis??”
Sebenarnya aku ingin namun aku enggan dengan Fahri.
“…kalau gak mau aku pergi sekarang nih…” ujarnya lalu siap-siap beranjak pergi.
“…. Ummm”
“ …Fahri…
“… aku ikut” aku berkata demikian. Fahri berhenti kemudian berbalik badan.
“beneran??” aku mangguk.
“yaa udah ayook..” seru Fahri.
Aku mengikuti Fahri dari belakang, memperhatikan jalannya yang tegap namun sedikit berjarak karena aku benar-benar tidak tahan berdekatan dengan Fahri karena aroma parfumnya yang aneh membuat kepalaku sedikit pusing mencium berlama-lama parfum yang iaa pakai itu. Sesampai di depan gerbang parikiran aku berdiri dan menunggu Fahri keluar, tidak lama aku menunggu Fahri telah muncul dengan motor maticnya.
“kamu .. gak pakai helm?” kataku melihatnya tanpa helm mengendarai motor.
“emang kenapa??” jawabnya santai.
“dari rumah memang gak pakai helm?”
“iyaaa.. lagian dekat juga”
“ckk… bukan masalah dekatnya..” bantahku.
“aku gak jadi ikut” kataku.
“looh..lohh.. kenapa?”
“aku kira kamu bawa helm dua.. jangankan helm dua.. kamu sendiri aja gak pakai helm!” omelku.
“heheee.. yaudah kita balik dulu kerumah ambil helm.. sekalian kamu ganti baju gih.. ntar bajumu kotor, bau dan berkeringat kalau di pakai buat main Tennis”
“kamu antar aku pulang aja sebaiknya” kataku mulai jenuh.
“kamu mau pulang?”
“yaaaa..” jawabku datar.
“yaudah… ayook sini aku antar pulang”
“pelan-pelan bawa motornya” perintahku siap-siap mau naik ke motor.
“siap bos” balasnya. Aku duduk di belakang Fahri sembari menutup hidungku menggunakan kerah baju sekolah. Fahri sepertinya melihat reaksiku itu, tapi dia hanya diam saja tidak merespond atau mengatakan aku ‘Lebay’.
Fahri berkendara dengan santai sesuai dengan perintahku hingga tak lama kami telah sampai di depan pagar rumah. Aku langsung terjun ke tanah tidak lupa berterimakasih ke Fahri.
“Iyass..” panggil Fahri di saat aku membuka gembok pagar. Aku melengah.
“hehee.. aku cuman manggil.. moga harimu menyenangkan” kata Fahri. Aku menggerutu dalam hati, Fahri ini terkadang sifatnya aneh dan setiap kali berbicara seakan-akan menghinaku, ataukah aku saja yang berlebihan.
“akuu pergi yaa.. byee” Fahri berlalu dengan motor pergi ke arah selatan.
Melihat kepergiannya aku tiba-tiba menjadi merasa kesepian.. untuk hari ini Yosi tidak bisa berkunjung kerumahku karena Yosi menemani ibunya belanja di pasar. Yosi temanku itu anak yang rajin.. beda denganku yang jarang membantu orang tuaku sendiri, namun terkadang aku juga membantu almarhum ibu, membantu ibu memberes-bereskan pekarangan di halaman belakang, tapi sepertinya halaman belakang sudah terbengkalai sekarang dan aku sendiri juga tidak mahir dalam hal bertanam tumbuhan ataupun hanya sekedar memotong tangakai bunga. Huuuh… aku mengambil nafas panjang lalu masuk melewati gerbang rumah dan menutupnya kembali..
**
Aku mulai merasa di titik tertinggi kejenuhan berada di rumah hampir seharian. Rencana untuk pulang sorepun gagal akibat kehadiran Fahri yang secara tiba-tiba muncul di saat aku membeli es kelapa. Di setiap aku pergi, di situ pula sering muncul kehadiran Fahri… ckkkck… dia seperti jelmaan hantu saja bisa tiba-tiba muncul.
“uppsss…” kataku. Spontan aku menutup mulut. Berani sekali aku berfikir demikian, berfikir Fahri seperti jelmaan hantu. Aku tidak sopan sekali, Fahri sudah berbaik hati denganku bahkan meminjamkan dasinya untukku.. ohhh.. dia tidak meminjamkan.. dia menyuruhku tuk mengambil dasi kepunyaannya itu menjadi milikku. Di sana dasinya menggantung di gantungan baju.
Ahh.. daripada aku berkunjung kerumah Fahri melepaskan kejenuhan lebih baik aku kerumah Yosi saja malam ini atau kalau perlu aku menginap disana kebetulan cuaca… ohh Tuhan! Baru saja aku membuka tirai jendela kamar, terlihat langit malam ini mendung berwarna merah pertanda hujan lebat sebentar lagi membasahi bumi.
“terus.. aku harus apa sekarang..” kataku meratapi langit berwarna merah. Yaaa.. dan tak lama kemudian hujan deras tiba disertai beberapa kilat dan petir.. Oh Tuhan! Aku sendirian.. di temani dengan suara petir yang tiba-tiba membuat jantungku kembang-kepis.
“ku mohon… lampu jangan mati” Kemudian aku berbaring, menutupi sebagian tubuh dengan selimut karena hawa dingin mulai terasa.
*drrrrrtttt…………drrrrttttttt* Ponselku bergetar di atas meja tidur, aku melirik dan mengambilnya.
“nomor siapa ini??” gumamku. Tertera nomor berakhiran 557 menelponku. Rasa ragu mengangkat ponsel yang bergetar. Aku pernah kedapatan nomor asing menelponku berkali-kali dan nomor asing itu selalu menelpon menganggap aku adalah temannya, padahal aku sudah memberitahu salah sambung tapi tidak dipercayai oleh orang asing yang gila itu sehingga aku 2 kali mengganti nomor ponsel.
Aku tidak mengangkat panggilan tersebut kembali menggeletakkan ponselku di atas meja tidur.
*drrrrrt* ponselku kembali bergetar namun sebentar, sepertinya sebuah pesan.
Aku mengambil lagi ponsel itu menekan tombol pengunci sebelah kanan dan membuka pola kunci. Notifikasi pesan tertera di layar dan berasal dari nomor yang menelponku tadi.
“Iyaas… apa kamu ada di rumah??” tulis si pemilik nomor 557. Mau tidak mau sepertinya aku membalas pesan dari nomor ini, bisa saja ini dari Fahri.
*ddddduuuuuuuuuuuuaaaaaaaarrrr* Suara menggelegar petir kembali menyambar.
“sepertinyaa ada yang tersambar di daerah sini” gumamku. Getaran guruh sangat terasa sekali setelah petir menyambar.
*pleeetak* Suara aneh berasal dari luar..
“apaa itu..!!” aku spontan sedikit panik dan sialnya listrik padam secara tiba-tiba.
“…ohhh.. ayolah… ponselku..!! mana ponselku!” aku mencari keberadaan ponsel dalam kegelapan.
*braaaak* ahhh.. sial..! terjatuh!!
*drrrrttt drrrrtttt* ponselku kembali bergetar.. akhirnya aku bisa melihat keberadaan ponselku yang terjatuh. Aku menunduk mengambil ponsel yang kembali menyala dan tertera panggilan dari nomor 557 tadi.
“siapa ini…” batinku. Akhirnya aku menekan tombol hijau.
“haloooo…” kataku.
“..h-haloo… Iyas..” sahutnya.
“yaaa hallo..”
“halooo Iyas.. kamu kah itu??”
“iyaaa.. ini Iyas.. kamu siapa??”
“… ohh syukurlah itu kamu…” aku heran dengan jawaban dia. Aku menggerutu dalam hati.
“… hallooo…” tuuuuuuuutttttt.. ohh.. apa-apaan ini..!!
Siapa orang aneh ini.. aku benar-benar kesal dibuat oleh orang asing yang menelponku itu.. huuuh.. paling tidak aku bisa mendapatkan ponselku. Aku kemudian menyalakan lampu pembantu di ponsel, keluar kamar lalu menuruni anak tangga ke lantai dasar rumah. Benar-benar gelap gulita.. hanya lampu pembantu ponsel yang menyala namun tak lama ada penerangan yang sekelibatan memancar depan rumah. Aku berjalan ke pintu luar.. saat aku di luar rumah lebih tepatnya di teras, beberapa orang seperti memadati di luar sana.
Saat aku menoleh ke kanan sembari memancarkan cahaya lampu pembantu ponsel, spontan aku terkejut bahkan aku sempat mundur karena kagetnya. Seseorang memakai jas hujan berwarna biru tua menutupi tubuhnya hingga bagian kepala dan tak lama seseorang itu melengah ke arahku.
“kamu….!!” Ucapku terkejut. Ewinn!!
“… Iyas…” balasnya lalu dia membuka penutup kepala jas hujan.
“sedang apa kau kemari??!!”
“… maaf.. aku masuk ke sini tanpa permisi..”
“bagaimana kamu bisa masuk ke dalam sini?? Jangan bilang kamu lompat!”
“..ahh.. kamu jangan salah sangka.. pintu pagarmu kebetulan tidak di gembok” setelah itu aku menyorot pintu pagar tepat menyorot gembok yang menggelantung. Ternyata benar… aku tidak menggembok pagar.. tapi seingatku sore tadi aku telah menguncinya.
“… dan sekarang.. kenapa kamu kemari??” kataku.
“.. ayahmu memintaku tuk kemari..”
“ayahku??” lalu dia berjalan ke arah meja teras mengambil sekantong plastik yang entah apa itu isinya.
“..dan aku membeli ini untukmu” kata dia. Menyodorkan kantung plastik.
“apa itu??” kataku terus menyorot dengan lampu pembantu.
“sup asparagus jagung..”
“… ini beneran untukku?” kataku tak percaya.
“kamu suka ini kan??”
“..eng—aa—i—iyaa”
“ambil..” aku mengambil dengan sungkan.
*pleeetaaak* suara aneh itu terdengar lagi di imbangi dengan guyuran hujan deras.
“suara apa itu??” gumamku spontan memperhatikan arah luar.
“..pohon di sebrang tersambar petir”
“ohh yaa??” aku memperhatikan ke arah luar sambil berjinjit, beberapa orang berkumpul di sebrang jalan perumahan
.
“dan.. pohon itu menimpa kabel listrik di depan sana.. maka dari itu lampu mati” aku mangguk-mangguk menanggapi.
Aku lalu menyuruhnya membuka jas hujan yang iaa kenakan dan menyilakan iaa masuk ke dalam rumah. Aku kemudian meluncur ke kamar ayah mengambil lampu emergency. Untung saja ada lampu emergency dan masih bisa menyala. Aku menghampiri dia di ruang makan dan siap menyantap sup asparagus jagung yang di bawa oleh Ewin.
“ini pasti perintah ayah juga” batinku.
@lulu_75 @awi_12345 @QudhelMars @putra_pelangi @andrik2007