It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
biasanya bott ngga bejat lho :roll:
btw, kamu cakep deh, my type abis
sesama bott di larank muji yang bott jugak ........... hehehehehe
(dapetnye yg (ke-)bopak2(-an) yak....hihihihiihhh.....wuuusss...wuuussss...)
(kayaknya) semenjak de hati itu melakukan kunjungan ke-bencis-an ke tempat tuh germo ben(chis) hill de
yeeeee
statment pasanagn ga bisa di jadiin tolok ukur dong
secar, name juga pasangan
n lagi ddalam kondisi hubungan yg sehat2nya
pasti dong, komennya yg baek mlolo
coba pas kaayk papah ama anknya kemaren
LOL
masih mending ... dia bilang gue mesum ... gak bilang gue kaya malaekat ... weeeeeeeks ... LOL
pas lagi sehat-sehatnya hubungan: paaaaaaaah ... paaaaaaaah ... chini doooong :oops:
pas lagi gonjang-ganjing: paaaaaaaah ... paaaaaaaah ... ipaaaaaaaah ... angkat jemuran LOL
(die aja kalo abis berkunjung, dosaknya berkurang 2 ons...hihihihiihhh...cuiiiihhh)
dia itu sapa seh ... kenalin donk .... secara gue kan juga maok ngurangin dosa dan nambahib pa(ha)la .... hehehehe
kemaren ... ??? trs sekarang ini .... !!!! :shock: :shock: :shock: :shock: dosak ngomongin org di blakank mereka taok ........
__________
Pada episoda sebelumnya, dikisahkan romantika LDR dengan segala kerumitannya dan mulai rengatnya hubungan Hati-Nalar. Di episoda ini Hati berhasil menuntaskan kuliah dan pulang ke Jakarta, tinggal di rumah fisikal yang sama bersama nalar, namun dalam suasana rumah batin yang porak poranda.
***
Perjalanan pulang selalu membawa kegembiraan yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Senyum ceria bahkan mulai terbersit sejak memesan tiket hingga mengepak pakaian dalam koper. Ekstasi pulang terjadi ketika hawa panas Jakarta menampar muka saat keluar dari pintu pesawat.
Sepulang dari Aussie, aku dan Nalar tinggal di rumah kecil dengan luas tanah tujuh puluh meter persegi dan luas bangunan lima puluh meter persegi. Jarak rumahku dengan tetangga depan hanya dua setengah meter. Sering terdengar pertengkaran antara ibu-ibu pemilik rumah depan dengan bapaknya yang udah jompo ... "Dasar orang tua nggak tau diri ... kalo berak jangan di sembarang tempat dong". Apakah masa tuaku bakal seperti itu? ... mungkin lebih buruk ... setidaknya dia punya anak yang memaki dia ... aku? ... sendiri.
Suara penjaja penganan ... bakso, pempek, rujak juhi, siomay, roti ... tiap lima belas menit mendarat di telinga kami. Akupun harus menahan lenguhan-lenguhan olah syahwat, baik dengan Nalar atau siapapun. Rumah di bilangan Tanjung duren hanya satu rumah kecil di antara jutaan rumah di Jakarta ... namun aku bisa menyebut itu rumahku. Tempat merebahkan kepenatan setelah seharian entah bekerja entah bertualang.
Rumah itu juga ikut bertanggung jawab menguak eksistensiku sebagai gay (loh koq nyalahin rumah .. nggak gitu sih ... biar ceritanya nyambung aja, ... kan lagi cerita soal rumah) Gini ceritanya, Kakak perempuanku berkunjung ke rumah tanpa memberi tahu. Nalar sedang mengepel lantai tepat di depan pintu rumah, Kakak datang membuka pintu pagar, mata beradu. Nalar tanpa sadar berteriak mas ... ada mbak xxx ... blunder ... kapan kenalnya? koq tau nama? Nalar buru-buru keluar beli Coca-Cola dan es batu. Interogasi singkat dimulai, siapa dia? aku berkilah, Nalar dititipkan temanku buat aku bimbing, menemani, sekaligus membantu aku di rumah. Tentu saja menimbulkan kehebohan di keluarga, koq dia bisa tau nama mbak xxx. Aku rasa keluargaku tidak bodoh, curiga, namun bersikap "you know, i know". Persis seperti kebijakan mengenai eksitensi gay di US Army: "Don't tell, Don't ask". Mereka tidak menyelediki lebih jauh.
Seperti kita ... setiap rumah memiliki Curriculum Vitae yang unik. Rumahku boleh dikatakan rumah singgah bagi keluarga yang baru mengarungi bahtera rumah tangga. Dua kakakku tinggal di sana ketika mereka baru menikah dan merintis karier. Ironis ... aku menempati rumah itu ketika aku dan Nalar di ambang perpecahan. Jauh dari adegan klise film Hollywood atau Bollywood ... suami yang membopong istrinya masuk ke rumah baru.
Kami bernafas, tidur, mandi, makan, berak di batas dinding dan di bawah atap bocor yang sama, kami mendengar ocehan dan suara kentut tetangga yang sama. Namun hati kami seakan indekost di dua propinsi yang berbeda. Dendam khianat yang kurasakan dan trauma murkaku yang diterima Nalar bagaikan angin tanpa oksigen yang menerpa mati bara cinta. Semaphore permusuhan terus dikebatkan, diselingi jeda kemesraan semu. Perselingkuhan sudah bukan perselingkuhan lagi karena dilakukan di bawah tatapan mata dingin. Delapan tahun kemudian aku bertanya pada Nalar:
Nalar: ya ... gw cemburu
Hati: kenapa loe nggak protes?
Nalar: loe egois waktu itu, lo manfaatin kesalahan gw ... mana berani gw protes.
Hati: sorry .... [/list:u]
Kendati ranjang sudah beku ... saldo deposito cinta telah nyaris ludes, namun tabungan sayang tidak terlalu tergerus inflasi emosi. Rasa sayang menggumpal menjadi tekad ... apapun yang terjadi janji harus ditepati. Nalar harus tetap melanjutkan kuliahnya. Maka haripun berlalu, tidak indah, tidak juga hambar. Kami hidup bersama lebih sebagai kakak adik, atau sahabat, atau apalah. Olah syahwat semakin sangat-sangat jarang seperti rambut di kepalaku.
***
Aku kembali ke kantor dengan semangat baru ... tanpa rasa was-was ditanya ... "kapan sekolahmu selesai?". Nalar juga kuliah dengan beban yang jauh berkurang .. tak lagi menanggung kekhawatiran aku bisa menyelesaikan kuliah atau tidak.
Tahun 1998, tahun yang memporak-porandakan ekonomi Indonesia. Di saat bintang keberuntungan mulai menyinari Nalar, disayang para pimpinan, janji karier yang cepat membumbung, nasib buruk mulai menjegal langkahnya. Tinggal selangkah lagi Nalar menyandang gelar D3 untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat ... bank tempat dia bekerja dilikuidasi. Bank masuk karantina di BBPN, dia masuk barisan pengangguran yang semakin panjang. Sejak itu Nalar menjadi sekretaris penuh waktu bagiku, mengantar aku ke mana-mana, teman diskusi, teman dugem, ... bahkan teman "berburu" ... teman ranjang? ... hmmm ... ya ... sesekali ... namun terasa tawar.
Lelah dengan petualangan, ahirnya Nalar menemukan pasangan tetap, seorang atlet basket yang gagah. Statusku semakin nggak jelas, kakak bukan, kekasihpun bukan. Namun rasa sayang masih kental. Kusambut gembira kehadiran orang ketiga. Kelak di episoda Jiwa akan diceritakan sang atlet basket tinggal serumah dengan kami dengan segala komplikasinya.
__________
Kisah:
Kisah Hati - Taman Tong Bocor
Kisah Hati - Pink Triangle: Suropati-Banteng-PC
Kisah Hati - Not so good old days
Kisah Hati - Tragedi Tissue Basah
Kisah Rasa - Pesta Kecoak
Kisah Nalar - Anak Pub
Kisah Nalar - Orang-orang Sehati
Kisah Nalar - LDR
Kisah Nalar - Pulang
[/list:u]
pasti tinggal di daerah Jakarta selatan ya, tukang siomay, bakso, dan csnya pada liwat xD
kalau ada om hati, nalar, jiwa, atlet basket. Namanya orgy