It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Vire Alertina = teman Shanti
ato.... mmg remy yg uda mule bosan ma iqbal?
kayak uda malesan ngeladenin iqbal.
ato.... mmg remy yg uda mule bosan ma iqbal?
kayak uda malesan ngeladenin iqbal.
"Terima kasih." kataku sambil mengambil name-tag dari mbak panitia travel.
"Bus No. 1 yang itu ya?" Tanyaku.
Setelah mendapat jawaban Ya dari mbak panitia, aku menenteng tas-travel ku menuju Bus
yang ditunjukkan. Setelah memasukkan tas travel di bagasi, aku naik dan mencari-cari tempat duduk bagian pojok yang sekiranya tidak akan tersorot cahaya matahari.
Aku buka HP ku. Tidak ada telepon ataupun balasan SMS dari Iqbal. Padahal pagi tadi aku sudah mengirim SMS padanya memberitahukan kalau aku jadi berangkat.
Kututup kembali HP ku. Lalu aku memasang Kacamata hitam dan menjejalkan earphone ke telingaku. Beberapa saat aku bersandar, Lina, si centil anak finance itu tiba-tiba sudah berdiri didekat kursiku.
"Eh.. Remy. Aku duduk sama dikau ya?" tanyanya dengan nada genit.
Aku menoleh, dan tanpa menjawab aku meletakkan tas ranselku di bangku kosong sebelahku. Lina kemudian pergi sambil bersungut-sungut.
Lima belas menit kemudian Bus mulai jalan. Bus bernomor satu ini cukup kosong. Aku sama sekali tidak mendengarkan saat si Mas Tour Guide hitam-manis itu mulai memberi sambutan.
Empat jam kemudian setelah kami transit untuk makan siang, Kami akhirnya tiba di Hotel tempat kami menginap. Aku menunggu penyerahan kunci kamar di Lobby sambil menyeruput Welcome drink. Saat namaku dipanggil aku menghampiri si Mas hitam-manis dan mengambil kunci kamarku. Rupanya aku dapat kamar sendiri. Saat menuju lift aku melihat Paul sedang memprotes sesuatu yang kedengarannya seperti "tidak mau sekamar dengan Tian dan Rudy"
"Jadi beta tidur di extra Bed?" protes Paul.
"Iya... kamu waktu itu bilang gak mau ikut. Trus berubah pikiran. Ya udah.. Tempat yang ada kamar Double tempat Tian dan Rudy, kamu tidur di extra bed!" Kata Bu Rulita, panitia dari perusahaan.
"Tapi kenapa beta gak sekamar aja sama....." Kata-kata Paul terpotong saat pintu lift menutup.
Sampai dikamar aku segera mengganti celana jeansku dengan celana selutut. Sore itu juga acara game dimulai. Sekali lagi aku memeriksa HP ku. Hanya ada satu SMS dari Ibuku yang menanyakan apakah aku sudah sampai. Tidak ada SMS dari Iqbal.
Setelah membalas SMS Ibuku, kuletakkan HP di meja dan menyambar Digi-cam ku lalu aku menuju Pool 2 tempat game dilaksanakan.
Games berlangsung seru walaupun aku tidak begitu menikmatinya karena masih terus memikirkan Iqbal. Ketika acara bebas, aku memilih untuk menolak ajakan Tian, Rudy dan Paul untuk jalan-jalan di pantai. Lagipula Sudah gelap, lebih baik aku mandi dan bersiap-siap untuk acara makan malam.
Makan malam pukul 7. Semua peserta tour dan keluarga sudah berkumpul di ruang yang ditentukan. Ruang pertemuan itu sangat indah. Diterangi cahaya lampu aku bisa melihat meja-meja yang bertilam taplak cantik dengan gelas-gelas bening diatasnya. Setelah mengambil makanan, aku bergabung di meja Tian, Rudy dan Paul disusul kemudian Lina dan Eva, sekertaris Bosku.
Sambutan acara dan pembagian hadiah berlangsung meriah. Ditengah acara, Rudy mengusulkan untuk menonton Film DVD yang dibawanya di kamar anak-anak cewek. Jadilah kita satu meja keluar ruangan terlebih dahulu.
Aku kembali ke kamar untuk menaruh sesuatu dan berjanji akan menyusul mereka ke kamar para cewek. Saat kulihat HP ku yang sengaja kutinggal di kamar, aku melihat ada 2 kali panggilan tak terjawab dari Iqbal. Saat aku hendak meneleponnya, aku mengurungkan niat dan meletakkan HP ku kembali dan pergi ke kamar anak cewek.
Sudah hampir jam satu. Aku tidak kuat lagi menahan kantuk dan pamit kembali ke kamar.
Anak-anak cewek sudah tewas tertidur, sementara Tian, Rudy dan Paul masih asik menonton.
"Eh.. ane balik ke kamar ya.." kataku.
Tian cuma melambaikan tangannya tanpa menoleh sementara Rudy cuek.
"Rem.. gue ikut elo deh... Tian, kunci kamar gue bawa ya? entar kalo udah lu ketok aja." Tiba-tiba Paul ikut beranjak dan memakai sandal jepitnya.
Tian kembali melambaikan tangannya.
Saat kami menelusuri lorong, (kamarku dan kamar anak cewek ada di lantai yang sama) aku cuma terdiam.
Ketika sampai di depan kamarku aku berkata pada Paul, "Sampe besok ya?" lalu aku memasukkan kunci berbentuk kartu itu ke lubangnya.
"Rem, gue numpang dulu pake kamar mandi lo ya? gak tahan nih." Kata Paul.
"Kenapa tadi ente enggak pake kamar mandi anak cewek?" tanyaku sambil membuka pintu.
"Gak enak ah.." Ujarnya lagi. Akhirnya kupersilakan dia masuk.
"Wah enak ya kamar lo? sendirian lagi..." Paul berkata sambil melongok ke kamar tidur.
"Katanya udah gak tahan..." kataku mengingatkan.
"Oh iya.." katanya lalu masuk ke kamar mandi.
Beberapa saat kemudian Paul selesai.
"Udah?" tanyaku sambil membukakan pintu.
Paul tidak menjawab, kelihatannya dia ingin mengatakan sesuatu.
"Rem.. ng.." katanya.
"Duh.. Paul! kalo ada yang mau diomongin besok aja deh! ane dah ngantuk nih." Kataku sambil mendorongnya Keluar kamar.
Aku mengunci pintu kamar dan mengambil HP ku. Lalu aku menjatuhkan tubuhku diatas ranjang sambil membuka Flip HP dan melihat ada dua kali lagi Misscall dari Iqbal.
Kenapa gak sms aja sih kalo mau ngomong sesuatu? keluhku dalam hati. Lalu aku meletakkan HP ku di meja dan tertidur.
Keesokan pagi aku terbangun jam setengah tujuh. Aku lalu mandi lalu menuju ruang yang sama dengan semalam untuk sarapan. Saat makan kami berencana untuk berenang ke pantai.
Kami mengobrol dengan seru kecuali Paul yang pagi ini kelihatan lebih banyak diam. Selesai makan kami segera ke pantai. Ternyata Pantai sudah sangat ramai oleh pengunjung hotel bercampur dengan para penjual dan penjaja papan selancar sewaan serta calo banana boat.
Tian, Rudy dan Paul langsung menyebur ke laut, sementara aku masih sibuk mengabadikan suasana pantai dengan digi-cam ku. Awan mendung menyelimuti pantai di kejauhan.
Tiba-tiba muncul pelangi melingkar dengan indah. Aku mengambil beberapa gambarnya sampai aku tersadar... Ada pelangi berarti ada HUJAN!! pikirku.
Benar saja tiba-tiba hujan turun dengan deras. Aku segera melindungi digi-cam ku dan berlari kembali ke kamar hotel. Aku segera membuka kausku yang basah dan mengambil handuk dari kamar mandi. Saat aku menggosok-gosok rambutku dengan handuk kudengar bel kamarku berbunyi.
Aku segera menghampiri pintu dan mengintip dari peep-hole. Ternyata di luar Paul berdiri dan badannya basah kuyup. Aku lalu membukakan pintu untuknya. Dia terlihat menggigil kedinginan.
Aku memerhatikan Paul, kausnya yang basah membuatnya melekat di kulitnya sehingga menonjolkan lekukan otot-otot tubuh Paul yang aku yakin sering dilatihnya di Gym.
"Pinjem handuk Rem.." kata Paul sambil masih menggigil.
Kemudian Paul ke kamar mandi dan keluar lagi dengan membawa handuk.
"Kenapa ente gak minjem handuk di kolam renang?" tanyaku sambil menyalakan teko pemanas air. Saat itu aku hanya memakai celana pendek dan handuk di pundakku.
"Yang jaganya seng (enggak) ada.. trus beta seng lihat Rudy sama Tian, mereka yang megang kunci. Jadinya beta kemari." Kata Paul sambil menggosok rambutnya, lupa menahan logat Ambonnya.
"Mau kopi?" tanyaku.
"Boleh." jawab Paul.
Tidak berapa lama kemudian dia tiba-tiba melepas kausnya.Melihat tubuhnya yang atletis, mau tidak mau membuat jantungku berdetak cepat. Aku berusaha bersikap santai sambil meletakkan cangkir kopi di meja dan duduk disebelahnya.
"Beta jemur disini dulu ya sebentar. seng apa-apa toh?" tanya Paul meletakkan kausnya di sandaran kursi. Kemudian dia melingkarkan handuk di pundaknya.
"Gimana? Divisi teknik ada proyek di Ambon?" tanyaku berbasa-basi tidak berani menatap Paul.
"Iya nih.. bentar lagi kita ada proyek bikin Plaza di sana." Jawab Paul sambil memain-mainkan cangkirnya.
Paul memang arsitek di divisi teknik dan properti perusahaan. Cowok 26 tahun itu Baru sebulan lalu kembali dari proyek di Papua. Nah, saat sebulan itu dia sering sekali menyapaku, mengajak makan siang dan ngobrol. Hubungan kami sebatas teman saja sebab walaupun ganteng, aku tidak ingin coba-coba dengannya.
"Rem, gue mau ngomong sama lo." Kata Paul tiba-tiba serius. Logat ambonnya kembali hilang.
"Ngomong apa?" tanyaku mencoba memberanikan diri menatap Paul.
"Gue harus ngomong ke elu sebab bulan depan gue mulai ngerjain proyek di Ambon." Katanya.
"Seserius itu ya?" tanyaku.
"Rem.. lu mungkin gak nyadar kenapa gue ramah banget sama lo sejak gue balik dari Papua dan kenalan sama lo." Kata Paul.
Aku hanya diam.
"Waktu kita sering ngobrol, gue... gue... gue tahu mungkin gue gak ada harapan. Tapi kalo gue enggak bilang, gue bakalan nyesel seumur hidup!" Nada suara Paul makin meninggi.
Aku masih terdiam.
"Rem.. gue suka sama elo..." Lanjut Paul dengan pelan.
"Hah?" tanyaku. Jantungku kembali berdetak kencang.
Paul mendekatkan wajahnya padaku hingga aku bisa melihat jelas wajah tampannya. Tanpa kuduga Paul mulai menciumku. Handuknya yang melingkar di pundaknya terjatuh saat Paul berusaha memelukku. Selama beberapa saat ciuman Paul benar-benar membuatku melayang.
Lanjut... Lanjut... Lanjut...
Selama beberapa saat ciuman Paul benar-benar membuatku melayang.
Sampai aku teringat pada Iqbal, aku mendorong Paul.
"Paul... Sorry.." kataku sambil memperbaiki handuk yang kupakai.
"Gue tau lo juga Gay kan Rem? gue pernah liat lo buka website gay di monitor lo..." tuntut Paul.
"Bukan gitu Paul..." kataku sambil berdiri.
Lama kami terdiam hingga akhirnya Paul mengerti.
"Gue... dah gak ada harapan ya?" tanyanya lemah.
Aku cuma mengangguk.
"Udah ada orang yang lo sayang?" Tanya Paul lagi.
Aku mengangguk lagi.
Sambil menghela nafas Paul memungut kembali handuknya. "Tadinya gue berharap, sebelum gue ke Ambon....." Paul tidak melanjutkan kata-katanya.
"Kayaknya Rudy dengan Tian sudah balik ke kamar. Makasih handuk sama kopinya ya.." Sambung Paul sambil meletakkan handuk di sandaran kursi dan mengambil kausnya. Kaus basah itu digantungkan di pundaknya dan Paul berdiri dari tempat duduknya.
"Paul... sorry ya..." Kataku.
Paul tidak menjawab. Aku hanya bisa menatap punggung kekar Paul saat dia keluar kamarku.
Saat makan siang tiba, hujan sudah benar-benar berhenti. Matahari kembali bersinar terik. Hampir 15 menit aku terlambat sampai ruang makan. Aku tidak melihat Paul saat aku makan bersama geng singel. Kami cepat-cepat makan karena ingin berjalan-jalan kembali di pantai.
Ketika aku keluar ruang makan, aku lihat Paul sedang berbicara dengan Bu Liene, Boss ku. Entah apa yang dibicarakan, Paul terlihat serius.
Pantai kembali terlihat ramai. Terpal-terpal tenda tempat para penjual masih basah bekas hujan tadi pagi. Aku kembali berjalan menyusuri pantai, sementara anak cewek, Rudy dan Tian sudah kembali berenang di laut.
Kudatangi salah satu tenda tempat menjual cinderamata berupa kerang-kerangan. Aku memilih-milih untuk kubawakan oleh-oleh untuk Mbak Dini. Sempat bingung dengan dua pigura berhiaskan kerang, akhirnya aku bertanya pada penjualnya.
"Pak... kira-kira bagusan yang mana ya?" tanyaku tidak yakin.
"Yang ada kerang besarnya pasti Dini suka..."
Aku terkejut saat mendengar suara yang kukenal. Aku menoleh dan kulihat Iqbal sudah berdiri didekatku dengan kacamata hitamnya. Dia tersenyum.
Kalau saja aku tidak segera sadar ini tempat umum, pasti aku akan langsung memeluknya saat itu juga.
Aku dan Iqbal duduk di atas pasir bernaungkan terpal, sepertinya tempat itu hari ini tidak dipakai berjualan oleh yang punya.
"Kapan datang?" tanyaku.
"Udah satu jam, check-in dulu trus makan siang." Kata Iqbal.
"Pake apa ke sini?" tanyaku sambil memain-mainkan pasir.
"Kemarin gue pinjam mobil temen buat nganter Kayla menginap sama mamanya ke rumah nenek Kayla yang di Sukabumi. Trus gue ke sini.." Terang Iqbal.
"Mbak Dini ga nanya-nanya kalo ga langsung pulang?" tanyaku khawatir.
Iqbal cuma menggeleng.
"Semalem sorry ya, telpon ente gak diangkat..." kataku.
"Gapapa... gue tau kalo lu masih marah." Kata Iqbal.
Kami terdiam, lalu aku melihat jam tanganku.
"Kayaknya game nya udah mau mulai.." kataku sambil berdiri.
"Enggak bisa gak ikut ya?" tanya Iqbal kecewa.
"Ane udah daftar ikut tarik tambang sama games laen... Kita ketemu di kamar lo aja nanti malem ya? No berapa?" tanyaku.
"4401 B Nakula Tower." Kata Iqbal.
"Trus gue ngapain dong?" Tanya Iqbal.
"Gamesnya di Pool dua, kalo mau liat, sambil berenang aja di Pool Bar, kan ane juga bisa ngeliatin ente.." Kataku sambil tersenyum nakal.
Makan malam hari ini rupanya digabung dengan acara Barbeque dan show Organ tunggal. Acara berjalan lebih lama dari Kemarin. Sesekali aku melihat jam tanganku dan sangat berharap bisa menyelinap keluar. Saat aku mengambil potongan sosis dan ikan panggang,aku melihat Rudy dan Tian sedang bicara. Paul malam itu tidak kelihatan.
"Dipercepat?" tanya Tian pada Rudy.
"Iya.. semalem dia ngomong gitu." Kata Rudy.
"Ngomongin apa sih?" tanyaku saat menghampiri mereka.
"Ini.. si Paul. Tadi katanya dia minta sama Bu Liene supaya dia bisa berangkat ke ambon dipercepat." Kata Rudy.
"Oooo... kapan berangkatnya?" tanyaku. Aku sedikit banyak merasa sebagian keputusan Paul dikarenakan aku.
"Minggu depan." Kata Rudy lagi.
Aku hanya terdiam sementara Rudy dan Tian kembali mengobrol.
"Eh, Rem.. entar nonton di kamarku yuk... anak-anak cewek pada mau datang..." Kata Tian.
Sadar kalau mungkin Paul tidak mau bertemu denganku, aku menolak. Lagipula aku ada janji dengan Iqbal malam ini.
Sekitar tiga puluh menit kemudian aku berhasil menyelinap keluar. Sayup-sayup dari ruang makan masih kudengar suara si penyanyi yang wajahnya mirip Dewi Persik itu menyanyikan lagu Ketahuan-nya Matta.
Aku membunyikan bel kamar 4401 B. Beberapa detik kemudian Iqbal membuka Pintu, Saat itu dia memakai kaus putih dan celana pendek.
"Lama banget..." keluhnya.
"Nonton Dewi Persik dulu... lumayan enak nyanyinya." Kataku. Iqbal tidak mengerti.
"Boleh masuk ga nih?" tanyaku.
Iqbal cuma tersenyum, dia menghilang sebentar ke balik pintu sebelum akhirnya dia muncul kembali dan menyerahkan sesuatu padaku. Aku menerimanya dengan keheranan.
"Tolong pasangin di pintu." Kata Iqbal.
Aku hanya tersenyum dan menggantungkan tanda "DO NOT DISTURB" pada pegangan pintu kemudian aku masuk ke kamar Iqbal dan menutup pintunya.
Hari terakhir di Anyer. Iqbal berniat check-out pagi hari ini dan langsung kembali ke Bogor.
Saat sarapan aku harus menjawab pertanyaan Rudy dan Tian kenapa tadi malam aku tidak membukakan pintu kamarku saat mereka membunyikan Bel.
"Ane tidur sambil denger lagu... makanya ga kedengaran." Kataku sambil menyuap sesendok bubur ayam menu sarapan pagi itu.
Hari itu sebelum kami check-out, kami akan ikut acara naik banana boat gratis. Aku dan teman-teman bergegas ke pantai. Saat kami keluar, aku berpapasan dengan Paul yang baru datang untuk sarapan. Dia tidak menyapa kami.
Setelah memakai pelampung aku berjalan menuju banana Boat. Panitia memanggil-manggil untuk segera menaiki salah satu banana boat itu. Giliran kami setelah menunggu 2 grup yang naik terlebih dahulu.
"Ayo enam orang lagi!!" teriak si Mbak Tour guide di pengeras suaranya.
Tian naik lebih dahulu, disusul Eva lalu Rudy kemudian Lina. Barulah aku naik.
"Gak usah malu-malu!! peluk aja peluk!!" Kata teman-teman sekantor kami yang lain berseru menggoda di pinggir pantai.
Awalnya Eva ragu memeluk Tian. akhirnya dia melakukannya juga. Begitu juga Rudy memeluk Eva dan Lina memeluk Rudy. Aku yang dibelakang Lina memeluk pinggangnya.
"Lebih kenceng juga gapapa kok Rem.." Kata Lina genit. Aku cuma tersenyum masam.
"Nah... gitu kan seru... suit suit!" seru karyawan lain sambil tertawa-tawa.
"Ayo! satu orang lagi... satu orang lagi... siapa mau naik!!" teriak si Mbak Tour Guide.
Tak ada yang mau naik sampai akhirnya terdengar suara.
"Aku aja!"
Kami semua menoleh, Paul berlari-lari di ombak menuju Banana Boat kami. Dia lalu duduk di belakangku.
Paul kemudian merapatkan tubuhnya dan melingkarkan tangannya di pinggangku.
"Gapapa kan?" pintanya.
Aku mengangguk dan tersenyum. "Siap !!!" teriak Paul.
Banana Boat mulai bergerak seiring dengan mesin speedboat yang melaju. kami bergembira mengendarai Banana Boat, aku tidak menyangkal menikmati pelukan Paul. Paul... Paul... seandainya saja kita bertemu dalam situasi yang memungkinkan, mungkin aku akan senang bila kamu jadi BF-ku. Tapi aku masih sayang sama Iqbal, di luar hubungan kami yang rumit karena Iqbal sudah memiliki keluarga. Sedangkan aku juga tidak mau kalau aku memiliki komitmen dengan Paul artinya aku harus siap dengan hubungan jarak jauh, sesuatu yang sangat tidak aku sukai.
Sayang liburan kali ini harus berakhir... kami akhirnya pulang kembali ke kantor. Sampai kantor segera aku ketik draf pertama cerita ini dan mempostingnya.
Thanks for reading...
salam yah wat paul
kok gak ada esek- esek nya yah...tambahin dung....