It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
duuuh .. akhirnya .... setelah di ulur, di alar dan di ilir ... bakalan ngerembet ke slangkangan ngga ya ngga sabar de
Satu detik... dua detik... tiga detik... sampai lima detik Hasan menciumku. Bibir hasan ternyata lembut seperti... es krim! Hanya itu yang terpikirkan olehku saat itu.
Kemudian dia menghentikan ciumannya dan tersenyum simpul.
"Oh.. gitu ya rasanya..." katanya.
Sesaat aku masih shock dengan apa yang terjadi, lalu aku buru-buru terbangun dan melihat sekeliling. Ternyata tidak ada satupun pengunjung yang melihat.
"Ente udah gila ya? Ngapain tiba-tiba nyium?" kataku kesal.
"Penasaran aja..." Kata Hasan sambil kembali rebahan."Lagian gapapa kan kalo adik nyium kakaknya.." lanjutnya.
"Gapapa kalo kita masih balita!! Lagian kan kita bukan kakak-adik!" potongku.
"Kok akang sampe marah gitu sih?" tanyanya.
"Kalo penasaran ciuman sama cowok, kenapa enggak praktekin aja sama si botak temen ente itu??" kataku makin marah.
Hasan melihatku dengan wajah keheranan. Lalu dengan begonya malah bertanya, "Oh, jadi menurut akang kalo ciuman sama si Awan lebih kerasa bedanya? emang cowok selera akang itu yang seperti si Awan ya?"
"Maksud ane enggak gitu...." kataku menahan emosi.
"Saya kan udah tahu kalo akang itu homo (busyet deh!)... makanya saya berani nyoba nyium akang, soalnya selama ini cewek-cewek ga ada yang nolak tuh kalo saya cium..." Ujar Hasan.
Aku terdiam. Anak ini rupanya harus dihadapi dengan kepala dingin.
"Sekarang ane mau tanya. Kenapa ente penasaran? ente ga takut dicap... homo?" tanyaku memakai istilahnya.
Hasan menggeleng. Lalu dia bercerita tentang kakaknya yang sudah meninggal. Aku tidak mengaku sudah mendengar cerita itu dari ibunya, maka kubiarkan dia bercerita sampai selesai.
"Gitu kang... Saya suka kangen sama kakak saya. Saya kepengen punya orang yang bisa saya anggap jadi kakak. Cuma, kadang-kadang kalo saya inget kakak saya, yang saya bayangin kakak saya meluk saya... cium saya... begitu."
"Apa waktu kecil kakak ente pernah...." tanyaku hati-hati.
Seakan mengerti apa yang kumaksud, Hasan buru-buru menyangkal. "Enggak kok kang! Kang Aryan enggak pernah ngapa-ngapain saya!"
"Trus ente pernah ngapa-ngapain cewek?" godaku.
"Akang mau tau aja.. penasaran ya?" Hasan menjawab balas menggoda.
Aku tertawa. Kemudian Hasan melanjutkan. "Saya kadang masih mimpi ketemu kakak saya. Cuma yang terakhir saya agak heran, soalnya saya mimpi kakak saya meluk saya... rasanya hangat banget. Trus tiba-tiba dia nyium bibir saya... yang lebih bikin saya heran... ternyata yang nyium saya itu kang Remy..."
"Hah??" kataku tak percaya dengan yang barusan kudengar.
"Ente... mimpi dicium ane?" tanyaku.
"Mimpi sih mimpi... tapi enggak ampe basah kok kang... makanya saya sekarang sebenernya lagi bingung." Kata Hasan menerawang.
Obrolan kami terpotong oleh HP ku yang berbunyi. Please... please dong... dari Iqbal... harapku. Ternyata yang menelepon adalah adikku.
"Halo..?"
"A'! mau ikut nonton premiere ga?" kata adikku.
"Hari minggu gini?" tanyaku.
"Iya nih.. mendadak ada telepon dari kantor. Disuruh Ikut press screen..." Kata adikku.
"Film siapa?"
"BCL! Aku Ada Kamu Ada... atau apa gitu judulnya... katanya ngefans sama BCL? ntar dia ada loh!"
"Ya.. ogud lagi ada di salabintana..." sesalku.
"Ngapain ke salabintana??" tanyanya.
"Ya maen lah... jadi hari ini gak bisa..."
"Kalo selasa ini bisa enggak? ada film baru lagi tuh, si Marcel-Mischa sama Chelsea judulnya Summer Breeze..."
"Mau! Mau! ng... minta tiketnya buat tiga orang bisa kan?" tanyaku sambil melirik Hasan.
"Bisa sih... emang mau ngajak siapa? si Lina temen A'a yang genit itu?"
"Bukan lah! ada temen mau ikut..."
"Ya udah... ntar go-ut mintain. Dah ya..."
Aku menutup HP ku. "San.. ntar slasa ikut nonton premiere ya? mau kan?"
"MAU!" Kata Hasan bersemangat.
Sebenarnya aku agak heran dengan Hasan. Dia tidak lagi membicarakan kejadian saat dia menciumku di salabintana bahkan sejak kami pulang. Seakan-akan ciuman itu tidak berkesan untuknya. Sial4n! (disensor ga ya?) padahal malamnya aku masih terbayang kelembutan bibir yang rasanya seperti es-krim itu. Masa sih dia enggak terkesan dengan ciuman pertama dia dengan cowok? apa yang kemarin itu bukan yang pertama ya?
Pikirku sambil mengaduk-aduk softdrink ku dengan sedotan. Selasa sore itu sambil berpikir aku sedang duduk di restoran AW stasiun kota. Aku berjanji bertemu Hasan di stasiun untuk sama-sama ke bioskop tempat premiere berlangsung.
"A! tempatnya di E-X plaza indonesia ya.. Naek busway aja dari Kota turun di Bundaran HI. jam 8 harus udah ada di sana, cepetan! go-ut disuruh bawa kamera gede nih! bantuin foto ya!" begitu pesan adikku pagi tadi di telepon.
Aku termenung, inilah restoran yang sama tempat aku dan Iqbal pertama kalinya makan bersama. Ah, jadi ingat lagi dengan Iqbal, di hari hujan itu kami saling bertukar cerita. Kenapa sih ente enggak nelepon duluan! Ane kan gengsi! runtukku dalam hati. Mana udah dua hari ini si Iqbal enggak kelihatan. Enggak tahu dia naek di gerbong mana, mungkin dia berangkat naik kereta yang berikutnya.
"Nglamunin apa Kang!" Suara Hasan mengejutkanku. Dia lalu duduk di depanku.
"Eh... enggak. Dah makan blom? kalo blom pesen gih.." Tawarku.
"Enggak ah.. dah kenyang.." tolaknya. "Akang laper berat ya? kok ayamnya dua?" tanyanya heran melihat dua potong ayam goreng yang belum kusentuh.
"Enggak usah komen deh..." kataku kesal. Aku jadi teringat lagi Iqbal pernah bertanya hal yang sama soal kebiasaanku makan dua potong ayam.
"Ya ampun... ente niat bener sih pergi?" tanyaku terheran-heran baru tersadar melihat pakaian yang dikenakan Hasan. Dia memakai kaus junkies hitam berbalut jaket bertudung berwarna hijau bergaris, celana jeans model pensil dan sepatu kets. Lebih dari dandanan dia biasanya.
"Kalo tambah topi ini gimana?" tanyanya sambil memakai topi ber-glitter emas.
"Berlebihan banget deh..." komentarku sambil tertawa.
Hasan cemberut tapi menurut untuk melepas topinya. "Ya udah.. nih titip di tas akang, tas pinggang saya kekecilan." Katanya sambil meletakkan topi itu di meja. Kemudian dia juga berkomentar "Yee... akang juga niat banget tuh! Ganti celana jeans segala! Pake sweater lagi!"
Aku tertawa. Memang benar, kalo untuk acara-acara seperti ini, males banget keliatan seperti pulang dari kantor.Apalagi bakalan dihadiri sama Artis dan Sosialita... Bisa Jomplang penampilan ane!
Setelah aku selesai makan, kami menuju halte busway. Sebenarnya jam-jam pulang kerja seperti ini besar kemungkinan aku berpapasan dengan Iqbal. Tapi sejak tadi makan aku enggak melihat sosok dia diantara keramaian stasiun.
Yang kukhawatirkan terjadi, saat kami menuruni underpass berbentuk lingkaran menuju halte busway, di ujung sana Iqbal sedang menuruni tangga setelah keluar dari halte. Entah kenapa hari ini dia telat sampai stasiun, padahal sudah hampir jam tujuh. Ketika kami berpapasan, Iqbal melirik sesaat ke arahku dan kemudian dia melihat Hasan dan terus berlalu seolah-olah tidak mengenaliku. Aku pun bersikap sama, dan terus berjalan. Hasan yang dari tadi sibuk dengan HP nya baru melihat Iqbal setelah dia sudah agak jauh.
"Eh... eh... Kang! itu bukannya... kok enggak ditanya?" Kata Hasan bingung bolak-balik melihat antara aku dan Iqbal seakan memastikan bahwa itu benar-benar dia.
"Nanti di bus Ane ceritain.." kataku. Dan Hasan tidak bertanya lagi.
Enaknya busway dari stasiun Kota adalah kita berangkat dengan bus yang penuh sebatas tempat duduk saja. Tidak ada yang berdiri. Makanya aku dan Hasan mengambil tempat duduk paling ujung. Dia diam saat aku menceritakan soal Iqbal yang marah dengan kedekatan kami, tentu saja aku bercerita tidak menyebutkan nama, karena tidak mau orang yang duduk disebelahku tahu.
"Sori ya kang... dia jadi marah..." Kata Hasan sambil menunduk.
"Dianya aja yang cemburuan..." bantahku.
Tempat yang kita tuju sudah tiba. Rupanya diluar hujan baru saja berhenti, karena kulihat aspal jalan yang basah. Sesampainya di EX, kami langsung menuju XXI theater.
Aku yang sudah pernah kesini, tahu persis tempatnya. Di luar Lobby, Kulihat adik perempuanku melambaikan tangan ke arah kami. Saat sudah dekat, adikku langsung menyerahkan kamera berlensa panjang (aduh.. ga tau jenisnya.. gaptek deh soal kamera!!).
"Nih, kalungin ya. entar aku kontak dulu panitianya... Lho.. siapa nih?" tanya Adikku sambil tersenyum ke arah Hasan.
"Halo Teh!, apa kabar? Hasan..." Kata Hasan sambil mengulurkan tangannya.
"Halo juga... bisa ketemu juga nih akhirnya." kata adikku menjabat tangannya.
"Lho, emang Kang Remy sering cerita ya?" tanya Hasan.
"Iya..." kata adikku lalu dia berkata padaku tanpa bersuara 'Yang pengen jadi artis itu ya?' aku mengangguk.
Setelah adikku menelepon mbak Panitianya, kita bertiga masuk. Seorang cewek manis berkacamata menghampiri adikku. "Mbak Windy ya? nih tiketnya.. bertiga kan? sama fotografer (dia melihatku dengan kamera yang terkalung dileher) trus.. ini siapa?" tanyanya sambil melihat Hasan.
"Oh.. ini yang lagi magang..." kata adikku menjelaskan. Si mbak Panitia walaupun kelihatan ragu, menerima penjelasan adikku.
"Ya udah, buat mbak Windy press rilis sama CD foto nya di amplop." kata Mbak Panitia.
Kami bertiga masuk ke dalam Lobby Teater. Beberapa poster besar film Iron Man sangat menyita perhatian. Di tengah lobby, reporter satu TV swasta sedang mewawancara si kembar Marcel-Mischa sementara disebelahnya Chelsea O. diwawancara reporter lainnya.
Lobby itu sangat ramai dipenuhi orang-orang yang berpakaian glamor, dari mulai artis, artis wannabe, pemain sinetron, artis senior, sampai teman-temannya artis yang dandanannya tidak kalah dengan si artis itu sendiri (hehe... julukan ini khusus aku yang berikan). Kulihat Hasan, aku merasa penampilannya sesuai sekali dengan acara ini.
Dia memang sepertinya cocok sekali masuk komunitas selebritis pendatang baru.
Kuperhatikan Tiga orang cewek 'temennya artis' yang berambut panjang dan berkulit mulus berbisik-bisik memerhatikan Hasan. Dua cowok ABG juga mencuri-curi pandang ke arah Hasan (pasti mereka gay.. heheh..) sementara Hasan sendiri cuek saja berdiri menyandar pada sebuah pilar.
"San, kalo mau kenalan gue saranin sama orang itu... dia casting director." Kata adikku
sambil menunjuk seorang pria yang tengah mengobrol dengan salah satu artis (lupa namanya).
"Beneran Teh? Kenalin dong!" kata Hasan bersemangat.
Aku melihat adikku dan Hasan menghampiri orang itu, mereka berkenalan, mengobrol dan akhirnya Adikku meninggalkan Hasan dan sang Casting Director mengobrol berdua.
"Yuk A, temenin interview dulu, A'a yang foto. Si Hasan biarin aja ngobrol." Ajak Adikku. Aku yang masih mengkhawatirkan Hasan, akhirnya mengikuti adikku mewawancara para pemain film Summer Breeze.
Jam setengah dua belas film berakhir. Kami menunggu supir jemputan adikku (yups... adikku itu dari kantornya ada fasilitas antar jemput ke rumah kalo udah malem...) sambil menenteng goodie-bag masing-masing.
Dalam perjalanan, kami sudah sangat mengantuk. Adikku menelepon rumah, dia masih tinggal dengan orangtua kami.
"Hallo.. Pah? udah.. udah sampe cibubur... Si A'a juga mau nginep di rumah... bentar.. San! lu nginep di rumah aja ya? udah malem..." Tanya adikku. Hasan mengangguk. "Iya.. temennya si A'a juga mau nginep.. ya udah ya... Assalamualaikum..." Tutup adikku.
Tak lama setelah keluar gerbang tol, kami tiba dirumah orang tuaku. Rumah yang sampai setahun lalu masih ikut kutempati, sebelum akhirnya tinggal di rumahku sendiri. Sampai di rumah kukenalkan Hasan pada kedua orangtuaku.
Sudah jam dua belas lewat, namun aku memutuskan tetap mandi dengan air hangat. Hasan pun demikian. Kami bertukar pakaian, aku memang menyimpan beberapa baju dan kaus di sini kalau-kalau harus terpaksa menginap. Hmm... Hari ini aku akan sekamar lagi dengan Hasan. Dia tidak mau tidur sendiri di kamar tamu, alasannya takut tidak ada yang
membangunkannya pagi-pagi.
"Jadi ini dulu kamar Akang ya?" tanya Hasan yang duduk dipinggiran ranjang.
"Iya... sampe sekarang juga enggak dirubah.. Ane kalo nginep ya tidurnya di kamar ini.." kataku.
"Enggak mirip ya?" tanya Hasan.
"Siapa?" tanyaku.
"Akang sama Teh Windy.. enggak kayak adik-kakak.." Jelasnya.
Aku tersenyum. Adikku memang kelihatan banget arabnya seperti bokap, sedang aku kelihatan chinesenya mengikuti nyokap.
Kemudian Hasan bercerita tentang obrolannya dengan sang casting director yang menyuruh Hasan datang ke kantornya.
"Beneran?" tanyaku tak percaya. "Asyik dong! selamat ya.."
Hasan mengangguk-angguk senang.
Seandainya malam itu aku tidak begitu mengantuk, ingin rasanya terjaga beberapa lama untuk memandangi lagi wajah Hasan yang sedang terlelap. Namun akhirnya aku memilih cepat tidur.
Beberapa menit kemudian aku terbangun sekilas dan melihat Hasan belum tertidur.
"Ente kenapa belum tidur? besok kan berangkat kerja.." tanyaku sambil menguap.
"Enggak bisa tidur kang.." katanya.
"Kenapa? liat hantu?" tanyaku asal-asalan.
Hasan tidak menjawab dia malahan meraih telapak tanganku dan meletakkan di atas dadanya. Kurasakan jantungnya berdetak cepat.
"Enggak tahu kenapa kang, tidur berdua sama akang begini bikin saya deg-degan..." Katanya dengan nada heran.
"Ente terlalu semangat kali pas premiere tadi... makanya sampe kepikiran.." kataku sambil menarik telapak tanganku (Takut ane horny... heheh).
Hasan tidak menjawab. Tanpa kuduga dia malahan melepas kausnya dengan cepat.
Kemudian Dia berbalik menghadapku dan dalam keremangan lampu kamar itu dapat kulihat tubuh langsing-atletis milik Hasan.
Si remy pinter bgt ngegantung ceritanya
linguini.remy BFers kesukaan gw sekarang ini..
Keep posting dude!!!
-gila, kerjaan gw ga kelar2 gara2 penasaran pengen baca cerita ini- :roll:
kamu juga hebat kok sun
Minta advice nya dong bang.
Selama beberapa saat aku menatap mata Hasan. Jantungku sepertinya ikut-ikutan berdetak cepat. Kemudian Hasan memulai duluan mencium mulutku. Lidahnya kini menyusup kedalam mulutku. Aku membalas ciumannya sambil memegangi wajahnya dengan telapak tanganku.Kini giliran lidahku yang menyusup dalam mulutnya. Hasan ternyata seorang pencium yang ulung Aku nyaris kehabisan nafas hingga aku bertanya-tanya apakah Hasan sudah sangat berpengalaman?
Tangan Hasan menjelajahi punggungku dan kemudian dia membantu melepas kaus yang kupakai. Kini tak ada lagi sesuatu yang menghalangi diantara tubuh kami. Dan Aku sangat bersyukur bukan hanya pakaianku yang masih kutinggal disini, karena aku yakin sekotak kondom yang kusembunyikan masih ada dipojokan laci mejaku...
Aku menguap lebar-lebar berkali-kali sampai seorang cewek berkuncir kuda yang duduk disebelahku dalam busway melirik ke arahku dan menahan tawa. Pagi ini aku berangkat menggunakan Busway menuju kantor karena rumah orang tuaku jauh dari stasiun kereta. Sebelum aku berangkat Hasan bilang kalau dia tidak akan masuk kerja hari ini, melainkan langsung pulang ke rumahnya. Udara dingin dalam busway membuatku makin mengantuk, namun kepalaku masih dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang seolah tidak ada jawabannya.
Bagiku Hasan adalah sebuah misteri besar.Apakah semalam itu adalah yang pertama untuk Hasan? Karena kalau begitu betapa beruntungnya aku. Namun Yang aku ingat semalam, tidak ada keraguan sedikitpun pada diri Hasan untuk melakukannya denganku. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut kami berdua, dan aku yakin itu bukan karena kami takut suara aktivitas kami sampai terdengar ke luar kamar. Bahkan saat aku mulai menyelidiki kedalaman diantara kedua belah pantatnya, Hasan merangkulku erat-erat, wajahnya dia benamkan padaku hingga yang kurasakan hanya nafasnya yang hangat dan berhembus cepat. Sempat terpikir bahwa Hasan melakukannya dengan terpaksa sampai akhirnya dia "keluar" sebelum aku.
Beberapa lama aku memejamkan mata, lagu yang sedang kudengar terhenti karena ada panggilan masuk. Kulihat layar HP ku dan melihat panggilan yang ternyata dari Iqbal.
"Halo?" kataku.
"Halo... elo di gerbong mana?" tanyanya.
"Ane naek busway..."
"...... udah dong. enggak usah ngehindar terus...." katanya.
"Siapa yang ngehindar?? ente tuh yang kemarin pura-pura enggak kenal..." Jawabku kesal sambil menguap lagi.
"Oke, oke... sorry... Kita kayaknya harus ngomong... Nanti sore ketemuan ya?"
"Buat apa kalo akhirnya cuma berantem?" tanyaku sambil mendelik pada cewek berkuncir kuda yang kelihatan sekali memasang telinganya untuk menguping.
"Elo tuh..."
"Udah deh... nanti sore enggak bisa. Semalem kurang tidur..." potongku.
"........"
Aku lalu menarik nafas. Pikiranku memang sedang kacau saat ini padahal telepon dari Iqbal selalu kutunggu-tunggu, namun aku rasa dia menelepon di saat yang tidak tepat... saat dimana telah terjadi sesuatu antara aku dan Hasan.
"Oke... ane butuh waktu buat mikir sekarang ini... tapi ane janji... bakalan ngasih kabar." Aku menutup pembicaraan.
Hari ini tidak ada kabar sama sekali dari Hasan. Aku juga tidak memiliki keberanian untuk mengirim SMS atau menelepon lebih dulu. Kurang tidur dan banyak pikiran membuat kondisi badanku turun. Kuputuskan hari Kamis esok aku akan mengambil cuti.
Aku belum bisa tidur nyenyak walau hari ini aku ada di rumah. Itu karena tepat diseberang rumahku, sebelah rumahnya pak RT, yang sudah setahun ini rumah tersebut kosong tidak diisi oleh penghuninya, sepertinya mulai dirapihkan. Maka itu sepanjang hari kudengar suara-suara berisik dari situ.
Satu jam lalu pak RT mampir melihat keadaanku. Dia tahu hari ini aku tidak masuk kerja karena kurang sehat. Dia juga sekalian memberikan undangan pertemuan warga.
"Kita bahas masalah keamanan nanti. Kita malu kalau sampai terjadi apa-apa di sini! bukan apa-apa.. percuma aja sepertiga perumahan ini tentara kalo keamanan enggak terjaga!" kata Pak RT bersemangat.
"Iya pak, saya nanti dateng..." kataku. "Omong-omong pak, rumah sebelah bapak siapa yang lagi ngerjain?" tanyaku.
"Yang punya rumah... dia ngerjain sendiri gak pake tukang bangunan. Kayaknya lagi bikin dapur. Kamu belum ketemu orangnya?" tanya pak RT.
Aku menggeleng. Malas sekali bertemu orang yang bikin suara berisik sepanjang hari.
Aku berbaring lagi di ranjang. Aku belum menepati janjiku memberi kabar pada Iqbal. Dari Hasan pun aku belum mendapat kabar. Kemudian aku mendengar seseorang mengetuk pintu di depan. Saat kubuka pintu Hasan sudah ada di depan.
"Sakit kang?" tanyanya melihatku yang memakai kaus, celana training dan rambutku yang melayang.
Aku mengangguk dan menyuruhnya masuk. Kami duduk di atas karpet ruang tamu.
"Minum?" tanyaku. Hasan menggeleng. Baguslah.. aku juga malas ke dapur mengambil minuman.
"Kalau haus ambil sendiri di kulkas ya..." kataku. Aku tidak heran Hasan bisa menemukan rumahku karena aku pernah memberitahu nama perumahan dan blok tempat aku tinggal.
"Ente enggak masuk kerja?" tanyaku.
"Saya udah berhenti kerja di Jakarta. mulai minggu depan saya ikut jaga warnet temen di deket rumah." Katanya.
"Kenapa?"
"Sebenernya... Om casting director kemarin ngehubungin saya. Dia bilang sih, mau masukkin saya ke manajemen. Konsekuensinya harus selalu siap kalo tiba-tiba ada casting..." Jelasnya
Aku mendengarkan.
"Jadi.. yah, dari pada di pecat gara-gara sering enggak masuk, mendingan keluar aja. Untung temen nawarin bantuin dia di Warnet. Dia juga ngertiin kalo sewaktu-waktu saya enggak masuk." lanjutnya.
Aku masih diam mendengarkan. Suara berisik orang yang sedang memalu dinding terdengar sayup-sayup dari seberang.
"Kang... soal yang kemarin malam.... maafin saya ya?" Kata Hasan.
"Kenapa ente harus minta maaf?" tanyaku.
Agak lama Hasan terdiam.
"Ya, karena... saya pikir bakalan ada perasaan yang berubah sehabis... ya sehabis yang kemarin itu! Ternyata setelah mikir dua hari ini, saya enggak bisa mengganggap akang lebih dari sekedar sebagai kakak..." Akhirnya Hasan melanjutkan. Wajahnya tertunduk.
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
"Tapi saya pikir lagi, kalau kita masih ketemuan. Kayaknya cuma bikin akang jadi susah aja... Sekarang aja Akang jadi sakit begini... Akang belum baikkan kan sama... Bang Iqbal?" tanyanya hati-hati.
Aku tidak menjawab.
"Akang masih sayang sama bang Iqbal?" tanyanya lagi makin pelan.
Aku mengangguk. Kami kembali terdiam. Suara gedoran diikuti bunyi tembok runtuh dari rumah seberang kembali jelas terdengar.
Hasan akhirnya menghela nafas. "Ya udah... saya mau pergi dulu kang. Cepet sembuh ya! Mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi kapan-kapan." Ujarnya yang pada kalimat terakhir terkesan sekali basa-basinya.
Dia bangkit dari duduknya dan aku mengikutinya. Sesaat Hasan seperti bingung harus berbuat apa antara hendak memeluk atau bersalaman. Akhirnya dia menjabat tanganku sambil tersenyum.
Aku melihat Hasan pergi sampai sosoknya menghilang di tikungan jalan. Bagiku Hasan masih merupakan sebuah misteri besar.
Akhirnya hari itu aku bisa tertidur dengan lelap.
Jum'at pagi ini rasa kangenku pada Iqbal sudah sangat menggunung, ingin rasanya segera berbaikan dengannya. Namun aku tidak tahu apa yang harus kubicarakan. Dari tadi aku bolak-balik bingung memutuskan antara menelepon atau mengirim SMS pada Iqbal. Akhirnya jam 10 aku mengirim e-mail untuk Iqbal. Karena tidak biasanya aku kehilangan kata-kata, akhirnya kuputuskan untuk mengirim bait lagu Hingga Akhir Waktu nya Nine Ball yang memang beberapa hari ini ada dalam playlist mp3 ku. (Norak ya? enggak tahu kenapa bisa se-mellow ini...)
-Tak'kan pernah ada yang lain di sisi... segenap jiwa hanya untukmu...
dan takkan mungkin ada yang lain di sisi, kuingin kau di sini, tepiskan sepiku bersamamu...-
Sampai jam setengah dua belas siang, Iqbal tidak merespon e-mail ku baik lewat telepon maupun SMS. Sekali lagi sebelum aku berangkat shalat Jumat aku memeriksa icon amplop di YM ku yang masih tidak menyala merah.
Lantai dua Mesjid dekat kantor masih belum dipenuhi orang. Aku mengambil tempat di pojok. Aku tidak memerhatikan saat pengumuman jumlah kas mesjid dibacakan, karena aku duduk sambil menundukkan kepala. Beberapa lama kemudian orang yang habis shalat sunnah disebelahku mengajakku bersalaman. Aku terkejut saat melihat cincin yang dikenakan pada lengannya karena cincin itu sangat kukenali. Aku langsung menoleh memastikan kalau dugaanku benar, dan ternyata Iqbal lah yang duduk di sampingku. Aku memang pernah berkata pada Iqbal kalau aku shalat jumat suka duduk di lantai dua. Ternyata hari ini dia sengaja shalat di masjid dekat kantorku. Selama di masjid itu aku dan Iqbal tidak berkata apa-apa namun aku merasakan senyumku tidak henti-hentinya mengembang.
Sabtu pagi itu aku terbangun oleh SMS yang dikirimkan Iqbal. Dia akan datang hari ini. Saat aku hendak bersiap-siap mandi, dari depan terdengar ketukan pintu. Aku bingung... apa Iqbal datang secepat itu? padahal dia bilang akan datang agak siang.
Aku lalu membuka pintu. Dihadapanku ada seorang pria berwajah manis berambut cepak dan hanya mengenakan celana tentara yang digulung selutut. Badannya yang terlatih secara militer dengan dada bidang dan perut rata itu mengkilap karena keringat. Lengannya dikotori oleh debu adukan semen.
"Maaf mas... saya yang tinggal di seberang, tetangga baru mas... boleh minta air se-ember?" tanyanya sambil mengelap keringat di dahinya.
Sekali lagi Aku cuma bisa melongo.
**** END OF STORY **** For now.... thanks for reading.
Any way, kayaknya hidupmu beruntung banget. Mudah sekali mendapatkan apa yang kamu inginkan. Semua datang begitu saja seperti tersihir oleh pikiranmu. Andai aku jadi kamu...he...he......
Tapi pastinya kamu orangnya keren..... kalau tidak mana mungkin cowo-cowok disekitarmu sampai lengket seperti kena pelet.
Satu hal yang aku suka dari ceritamu....., kamu tuh pinter banget mempermainkan emosi orang lain. Emosi partner kamu, emosi pembaca, termasuk emosiku.... jujur nih.... belum pernah aku terhanyut seperti ini dalam mengikuti cerita-cerita yang ada.
Saluuut untuk Remmy.
Jadi inget seseorang di seberang sana yang bernama Remmy Dodo...... Apa kabar Remmy....?? I miss u.................
kang remmy sebenernya suka ga sama hasan? atau cuma penasaran doank?
wew...ga sabar, pengen tau gimana jadinya sama iqbal, kalo gua sih lebih setuju, kang remmy sama iqbal, menurut gua pengorbanan iqbal jauh lebih besar. bayanin aja, udah beristri...hahaha..kang remmy harus tanggung jawab juga, udah bikin laki orang jadi PLU...hahaha
ditunggu report selanjutnya...