It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Jalan ceritanya bagus,konflik pemain utamanya bener2x dijaga agar pembaca terus mengikuti & bikin penasaran.
Yang bikin aku seneng adalah penceritaan saat ML(making love) yang terkesan sopan tidak berlebihan.
Tapi sayang,pemain utama kok terkesan gak punya komitmen & sering gonta ganti pasangan ya?...
banyak bgt ya yang mau sma ente..
hmmm...
kira2 ada yang mau sama gw??
hahaha...
*maaf geje..ga jelas...
but itu beneran ngak siiiii
oya...
hai alll
gw org baru salam kenal yoooo
gw tau kenapa..
pas waktu SMA, fania ma remy ma irwan temenan kan..
eh ga taunya si irwan bilang ma remy.."fanny itu ngga bgt yah..pasti ga ada yg mo kawin ma dia"
kata remy "gw mau kok"
kata irwan.."dih najis lo, mau yg kayak begituan? gw gak mao deh..gw kasih pantat gw ke kambing kalo gw sampe kawin ma dia"
dalam hati remy berkata "ga usah kambing, gw aja mao kok"
pas tau irwan ma fanny nikah, remy jadi inget cerita itu.
;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
nah kayak gitu ceritanyah...
HAHAHAHHAHAAHAHAHAHA
:roll: :roll:
Tapi perasaan ane juga punya kecenderungan psikopat deh...
Hahahahaha...
MY OLD FRIEND'S WEDDING (Cont'd II)
"Rem, gue sebenernya mau bilang sa-- ADUH!" Ucapan Irwan terpotong saat aku menekan lengannya dengan salah satu tanganku yang memegang garpu. Wajahnya meringis kesakitan, tapi aku semakin menekan garpu itu tepat di pergelangan tangannya. Untung saja, di sekitar kami lampu penerangan remang-remang dan agak jauh dari orang-orang. Irwan tidak berusaha menarik tangannya. Aku melihat Irwan dengan penuh kebencian, perutku seperti bergejolak dan sangat-sangat berkeinginan memukul wajahnya saat itu.
"Kenapa musti Fanny?" Aku bertanya sambil mencondongkan badanku ke arah Irwan memastikan dia mendengar volume suaraku yang direndahkan.
Irwan tidak menjawab. Tangannya sudah gemetar menahan sakit. Dia beruntung karena tak lama Fanny menghampiri kami bersama seorang anak kecil, maka itu aku segera melepaskan lengannya dari tusukan garpuku. Saat datang, wajah Fanny menatap kami berdua penuh selidik.
"Gimana Rem? makannya enak?" tanya Fanny.
"Enak. mmm.. Fan! Wan! gue kayaknya enggak bisa lama-lama di sini, gue mau pulang duluan."
"Loh.. Rem? kok buru-buru?" Tanya Fanny lagi, tetapi aku bisa merasakan sedikit kelegaan dari nada suaranya.
Irwan dengan gugup memakai kacamatanya yang sejak tadi dia kantungi dan ikut berdiri mengikutiku yang telah berdiri lebih dulu, tangannya mencengkeram bagian yang tadi telah kutusuk dengan garpu. Setelah mengucapkan selamat kembali dan memberikan kantung kertas berisi kado pernikahan, aku berpamitan. Saat itu aku benar-benar tidak ingin berada dekat-dekat dengan Irwan. Namun sesaat sebelum aku pergi, setelah aku memfoto mereka dengan ponselku, Fanny menghampiriku dan berkata, "kalau kamu ada waktu, kita harus ngomong berdua Rem! ini kartu nama sama alamat hotel tempat aku kerja. Hubungin aku ya?"
Sebenarnya aku sangat tidak ingin membenci Fanny, namun melihat sikapnya hari ini mau tak mau membuatku sedikit kesal. Apalagi dia berkata dengan memelas seperti itu, sangat berbeda dengan Fanny yang dulu aku kenal. Kemudian aku mengalah dan menerima kartu nama itu dari tangannya.
Untunglah besok Sabtunya, Iqbal yang biasanya selalu menolak ajakanku nonton di blitz saat ada acara nonton bareng, bersedia ikut. Entah alasan apa yang dia katakan pada Mbak Dini, istrinya, yang pasti pagi itu aku sudah melihatnya keluar dari lift lantai delapan saat aku sedang menunggu di kursi bundar berwarna merah di lobby.
"Film apa sih?" tanya Iqbal sambil melihat berkeliling mencoba mengira-ngira film apa yang akan dia tonton dari bermacam poster film yang tergantung di situ.
"Horor Thailand," Aku menjawab.
"Bukan film itu?" tanya Iqbal sambil menunjuk sebuah poster film."kok lu ngajakin gue nonton horor sih? gue enggak mau nonton ah!" protesnya dengan nada mulai menyesal telah mengiyakan ajakanku kemari.
Aku memang tidak memberitahukan pada Iqbal film yang akan kita tonton, karena aku tahu pasti Iqbal yang memang tidak menyukai film horor akan menolak untuk ikut. Bukan karena takut, tetapi memang dia pernah cerita kalau dia tidak akan bereaksi apa-apa menonton adegan menyeramkan di film.
Benar saja, saat film berlangsung aku menjadi salah tingkah karena ketakutan. Untunglah, hari itu tidak terlalu banyak orang yang hadir di acara nonton bareng ini. Deretan bangku yang kami berdua duduki sangat kosong, hanya ada dua orang cewek duduk jauh dari kami berdua. Itu sebabnya aku bisa leluasa memegang lengan Iqbal baik karena sengaja ataupun karena ketakutan.
"Elu kalo teriak, kenceng banget sih?" sungut Iqbal kesal sesaat setelah kami keluar studio menuju toilet. Ya, tadi aku sempat berteriak tiga kali saat ada adegan mengagetkan di film.
Aku cuma nyengir. Kemudian kami berdua masuk ke toilet. Toilet yang spektakuler! pikirku, karena toilet itu sangat bagus dan bersih dengan lampu-lampu penerangan yang membuat ruangan itu menyenangkan. Iqbal berjalan menuju salah satu urinal di pojok, sedangkan aku yang memang kurang suka memakai urinal, masuk ke salah satu bilik toilet.
"Ngapain masuk situ? kayak gue gak pernah liat punya lo aja!" Kata Iqbal sambil membuka risluiting celananya. Untung saja tidak ada orang lain di toilet saat itu.
"Kalau mau kencing, kencing aja deh! gak usah protes!" Aku berujar sambil masuk.
Setelah itu saat kami berdua menunggu lift untuk turun, Iqbal berkata, "Kita mau nonton air mancur dulu enggak?"
Aku menoleh pada Iqbal sambil berpikir kalau dia tahu soal Paul yang pernah 'menembak' aku saat kami berdua menonton air mancur itu. Untunglah film yang kami tonton durasinya cukup lama sehingga saat ini sudah jam dua belas lewat sepuluh menit.
"Enggak sempet, udah lewat. Paling kalau mau nonton ya, yang jam satu nanti." Aku berkata sambil melihat ke arah arlojiku. Terus terang aku memang tidak ingin menonton air mancur itu karena sangat mengingatkan aku dengan Paul.
"Ya udah, kita makan dulu aja. Ke mana? Burger King aja ya?" Tawar Iqbal. Aku pun mengangguk setuju. Memang aku berencana untuk 'curhat' pada Iqbal mengenai pernikahan temanku Fanny.
----
"Jadi elu sama si Irwan ini dulu pernah pacaran?" Tanya Iqbal dengan nada kurang peduli sambil mencelupkan sebatang french-fries ke dalam saus sambal. Burger whopper spesialnya baru saja habis beberapa detik yang lalu.
"Ck..! bukan!" Aku mendecak kesal karena rupanya Iqbal sama sekali tidak menyimak ceritaku yang sudah kututurkan dengan panjang lebar. Ceritaku hampir sepuluh tahun lalu itu.
Aku yang kecewa karena gagal masuk perguruan tinggi negeri melalui tes UMPTN, memilih untuk mengambil program dua tahun Informatika Komputer di salah satu lembaga pendidikan. Di situlah aku mulai berkenalan dengan Irwan, Yudha dan teman-teman satu geng yang lain.
Sebenarnya walau kami berteman akrab, kami adalah manusia-manusia yang pantas untuk dikasihani. Kenapa? karena saat itu kami tidak pernah bisa jujur untuk mengungkapkan perasaan hati masing-masing kepada orang yang kita sukai. Ya! ada selubung cinta bertepuk sebelah tangan diantara kami berlima.
Awalnya aku mengenal Yudha. Kekecewaan karena tidak dapat masuk perguruan tinggi negeri membuatku malas-malasan belajar. Aku seolah menemukan pembenaran akan tingkah laku aku saat bertemu dengan Yudha, aku sering mengikutinya bolos masuk kelas dan memilih jalan-jalan di mall atau sekadar nongkrong di tempat-tempat tertentu. Bahkan dengannya aku mengenal yang namanya kecanduan merokok. Saat itu aku yang baru saja 'putus' dengan Oppie, cinta pertamaku di SMA, seperti menemukan pengganti untuk memperbaiki rasa patah hatiku. Yudha yang tampan, atletis dan cuek dengan rambut acak-acakannya telah membuatku diam-diam menyukainya. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku bisa menyukainya. Mungkin karena Yudha berbeda sifat denganku seratus delapan puluh derajat. Bersamanya aku menikmati rasanya menjadi anak 'nakal'. Sesuatu yang tidak pernah berani aku perbuat saat masih di sekolah.
Lalu aku mulai dekat dengan Irwan, si anak alim. Perlahan-lahan dia mulai masuk diantara persahabatan aku dan Yudha. Entah apa motivasinya, akan tetapi sedikit demi sedikit pengaruhnya mulai terasa. Aku yang mulai malas-malasan meninggalkan shalat lima waktu saat itu seringkali merasa tak enak apabila Irwan mulai mengajak aku untuk ke mushala kampus. Belakangan pengaruhnya mulai terasa ke Yudha. Dia menjadi lebih rajin masuk kelas walau untuk shalat dia masih berani mengelak. Perlahan-lahan pula aku menghentikan kebiasaanku merokok. Dan akhirnya tanpa sadar kita menjadi sahabat erat yang tak terpisahkan.
Bagaimana dengan Fanny dan Mony? Mereka berdua sebenarnya tidak berada dalam satu kelas dengan kami bertiga. Fanny dan Mony adalah anak kelas Informatika-B dan mereka terkenal sebagai 'bunga kampus' karena kecantikan mereka. Berdua mereka sering menjadi sasaran keisengan teman-teman di kampus baik itu mengajaknya kenalan atau bahkan mencoba mendekati mereka.
Mungkin karena azas manfaat pula yang menyebabkan mereka akhirnya mendekati kami bertiga. Fanny dan Mony seolah mendapat perlindungan dari kami, tiga orang cowok yang cukup populer di kampus untuk menjaga mereka dari godaan iseng cowok-cowok kampus lainnya. Dan itu memang berhasil! tak ada lagi yang berani macam-macam dengan kedua cewek itu atau akibatnya mereka akan berhadapan dengan kami bertiga, khususnya Yudha, karena cowok-cowok lain di kampus sangat sungkan padanya. Pernah suatu hari Mony mengadu bahwa dia telah dicolek dengan kurang ajar oleh salah satu teman kampus kami. Lalu siangnya saat si cowok itu berada di Lab komputer, kami bertiga duduk tak jauh darinya sambil terus-terusan menatapnya dengan tatapan penuh ancaman. Kami tidak pernah sampai melakukan tindak kekerasan walau Yudha seringkali emosian dan berkeinginan kuat untuk memukul,tetapi amarahnya selalu berhasil diredam oleh aku atau Irwan. Ancaman Non-verbal dan non-fisikal seperti itu sudah cukup membuat cowok-cowok yang mengganggu kedua cewek itu kapok untuk melakukannya lagi.
Dari tiga menjadi lima. Itulah jumlah anggota geng kami sekarang. Belakangan aku merasa hubungan antara kami menjadi lebih personal. Awalnya Mony seperti menemukan tempat curhat pada diri Yudha. Entah mengapa Yudha yang cuek bisa menjadi pendengar yang baik untuk Mony. Kebanyakan Mony selalu curhat mengenai pacarnya yang beda kampus itu, bagaimana dia selalu merasa disakiti akan tetapi tetap menerima kembali pacarnya itu untuk diberi kesempatan lagi. Kadang aku melihat kemarahan pada diri Yudha saat dia tidak bisa meyakinkan Mony untuk meninggalkan pacarnya yang brengsek itu. Sepertinya Yudha memang menyukai Mony, pernah dia berkata padaku seandainya dia punya keberanian untuk membunuh pacar Mony, pasti sudah dia lakukan. Melihat Yudha seperti itu membuatku sedikit cemburu. Aku tidak bisa mengungkapkan kalau aku menyukai Yudha, karena aku sangat khawatir dengan reaksinya kalau memiliki teman yang menyukai sesama jenis. Hal ini membuatku sangat tersiksa, hingga tanpa sadar aku juga telah membuat orang lain terluka, Irwan, ya, benar! Bukannya aku tidak tahu kalau Irwan menaruh hati padaku. Bagaimana dia selalu memerhatikanku, berusaha untuk membuatku tetap fokus pada kuliah, bahkan sampai hal-hal kecil.
Memang terasa bedanya apabila seseorang memerhatikan kita sedemikian rupa dengan ketulusannya karena rasa sayang. Dan jahatnya lagi, aku sebenarnya menikmati perhatian yang diberikan Irwan namun tidak berkeinginan untuk membalas cintanya hingga aku akhirnya melukai perasaan Fanny. Fanny rupanya sangat mengagumi Irwan. Pantas saja dia tidak tertarik didekati oleh cowok-cowok yang berusaha menngenalnya. Fanny pernah mengeluh padaku soal Irwan. Katanya dia pernah berusaha mencoba menanyakan apakah Irwan, walau hanya sedikit bisa menyukainya. Akan tetapi jawaban Irwan sungguh di luar dugaan, dia bilang kalau dia tidak percaya yang namanya konsep berpacaran dan ingin langsung menikah bila sudah menemukan calon yang tepat. Tentu saja aku tidak percaya dengan perkataan Irwan! aku yakin itu hanyalah kamulflase dia sebagai seorang gay, berlindung dengan dalil-dalil dan kepercayaan religius. Terus terang aku sangat menyayangi Fanny seperti layaknya seorang adik. Dan aku sangat tidak ingin ada sesuatu apapun yang bisa menyakitinya. Sempat juga terpikir olehku seandainya aku bukan seorang gay, Fanny-lah yang sangat pantas menjadi pendamping hidupku dengan segala kualitasnya sebagai seorang gadis yang nyaris sempurna.
Akhirnya perpisahan itu tiba. Kami sepakat berkumpul di rumah Fanny beberapa hari setelah kami di wisuda. Saat itu kami membawa buku jilid Tugas Akhir kami masing-masing. Setiap orang memegang empat lembar kertas yang akan kami tuliskan bagaimana perasaan kami terhadap sahabat kami satu-persatu, lalu menempelkannya di buku tugas akhir kami tersebut.
Lembar terakhir kertas berisi tulisan sudah ditempelkan di halaman paling belakang buku tugas akhirku. Itu milik Fanny. Dia kemudian menyerahkan padaku sambil tersenyum. Aku mulai membacanya begitu pula yang lain sibuk membaca komentar setiap orang terhadap dirinya. Saat itu sungguh emosional, masing-masing mencari tempatnya sendiri untuk membaca. Aku memilih membaca di teras depan yang dingin, aku terharu membaca kesan dan komentar Yudha yang lugas tentang diriku, sedikit tertawa membaca komentar lucu Mony mengenai aku, lalu aku nyaris menangis membaca tulisan Fanny yang benar-benar menyayangiku seperti menyayangi kakaknya sendiri. Terakhir aku membaca tulisan Irwan. Aku heran karena tulisannya sangat datar, tidak menimbulkan kesan apapun yang mendalam. Lalu aku perhatikan ada sesuatu dibalik kertas itu. Mataku yang jeli melihat ada tulisan lagi dibalik kertas berisi tulisan Irwan itu. Perlahan aku mencoba membuka kertas yang sudah menempel itu, berhati-hati agar tidak merobeknya. Benar saja, ada tulisan Irwan yang lain di situ.
"Tahun yang luar biasa Rem! itu karena gue mengenal kamu. Gue mau nanya, pernah gak kamu menyukai seseorang, rindu dengan seseorang, sampai-sampai kalau kamu enggak bisa bertemu dengannya, perut kamu serasa keram? nah! itu yang gue rasain sama kamu. Gue sadar, mungkin gue enggak akan pernah bisa mendapat perhatian khusus dari kamu Rem, entahlah, kadang gue ngerasa kamu 'sama' dengan gue. Tapi kadang kalau gue ngeliat perhatian kamu sama Fanny, gue ngerasa enggak yakin lagi. Makanya gue enggak bisa ngungkapin isi hati gue sama kamu.
Tapi mudah-mudahan, walau ini enggak kebaca, gue tetep bilang kalo gue sayang sama kamu Rem! Gue cinta kamu... nah.. itu gue dah bilang... gue ngerasa kalo gue enggak bakalan bisa mencintai seorang cewek apalagi sampai menikahinya... Pokoknya gue dah senang bisa kenal sama kamu, sama yang lain juga. Makasih ya Rem, I luv u.. -irwan- "
Dengan gugup aku berusaha menempelkan kembali kertas itu namun usaha itu sia-sia karena lem yang melekat di ujung-ujungnya sudah mengering. Khawatir akan terbaca oleh yang lain, aku berniat kembali ke dalam mengambil lem kertas untuk menempelnya kembali. Di dalam ruang tamu rumah Fanny suasana masih terasa emosional. Aku melihat Mony terisak sambil membaca, Fanny dalam diam berurai air mata, Irwan menyembunyikan wajahnya ke dalam lututnya sementara buku tugas akhirnya tergeletak tak jauh darinya. Bahkan aku melihat Yudha yang duduk di pojokan mengusap mata dengan lengannya namun berusaha menyembunyikan tindakannya itu agar tak terlihat yang lain. Ah, dibalik kebanggaan kami yang sudah melepas atribut seragam sekolah, ternyata kami tak lebih dari anak-anak yang baru saja menginjak dewasa.
"Terus, bagian mana yang bikin elu benci banget sama si Irwan?" Tanya Iqbal, kini mulai mengincar french fries milikku yang belum sempat kusentuh karena terus bercerita.
"Ih..! ente bener-bener enggak nyimak ya? ya itu! kata-katanya soal enggak bakalan bisa menikahi seorang cewek!" Aku berkata kesal.
"Udah insaf kali?" Kata Iqbal cuek sambil menggeser french fries milikku itu lebih dekat padanya.
"Ya kalau emang udah insaf, kenapa harus sama Fanny? itu kan sama aja dia jahat!"
"Yah, berarti elu harus ketemu sama si Fanny itu, bukannya dia emang mau ngomong sama elu?"
Aku terdiam. Benar juga! walaupun aku kurang yakin kalau Iqbal memberi saran yang tulus, memang satu-satunya cara adalah mendatangi Fanny untuk meminta kejelasan.
"Tadinya emang gue enggak mau ketemu si Fanny... habisnya kesel juga sih ama dia..."
"Enggak boleh gitu, gimana juga mereka tetep temen elu kan?" Kata Iqbal lagi, kemudian dia menyeruput softdrinknya.
Aku tidak menjawab pertanyaan Iqbal yang terakhir pikiranku kembali mengingat saat kami selesai dengan luapan emosional kami.
Kami berlima kembali jalan-jalan menuju air terjun. Di tengah jalan kami berhenti di sebuah sungai tepat dipinggir jalan setapak yang kami lewati tak jauh dari lereng curam perbukitan. Airnya yang jernih dan bersih mengalir disela bebatuan. Yudha yang tidak tahan melihat sungai sedemikian bersih langsung membuka kausnya dan menceburkan diri ke sungai itu. Lalu dia memaksa Fanny dan Mony untuk ikut berbasah-basahan dengan cara menyiram-nyiramkan air ke arah mereka dan menarik mereka masuk ke sungai. AKu hanya memerhatikan mereka bertiga bercengkerama di dalam sungai, menolak ajakan Yudha yang menyuruhku ikut bergabung. Selama beberapa saat aku terdiam menikmati pemandangan yang jarang-jarang aku lihat, ya! memang cuma kalau kami pergi ke air terjun ini sajalah aku bisa puas melihat tubuh atletis Yudha yang bertelanjang dada. Sampai kemudian aku sadar tidak melihat Irwan. Aku kemudian berjalan berusaha mencari Irwan. Setelah agak jauh mencari, jauh dari penglihatan temanku yang lain, Irwan sedang jongkok di pinggir tebing curam tak jauh dari sebatang pohon besar. Aku kemudian ikut jongkok di sebelahnya. Di lereng ini angin dingin kawasan puncak sangat terasa sehingga aku menarik ke atas risluiting jaket yang kupakai. Sementara itu Irwan hanya terdiam seolah tidak memedulikan angin dingin yang menerpanya padahal dia hanya memakai kaus saja.
Tak ada yang memulai percakapan terlebih dahulu selama beberapa lama. Kami berdua terdiam melihat rumah-rumah jauh di bawah tebing, dan berbagai macam layang-layang yang melambai terbawa angin.
"Enggak kerasa ya?" kata Irwan memulai percakapan sementara pandangannya masih lurus ke depan. Aku mengangguk.
Kami kembali terdiam sesaat lalu aku berkata, "makasih ya Wan! tulisan lu yang di balik itu..."
Irwan sedikit terkejut dan menoleh ke arahku lalu dia kembali bisa menguasai diri dan tertawa kecil. "Tadinya gue harap lu bacanya kalau udah sampai ke rumah, atau enggak elu baca sama sekali... Tapi emang dasar Remy!" katanya, entah apa maksudnya dengan berkata 'dasar Remy!'
"Yah, gue harap elu bisa nemuin seseorang yang bisa sayang sama elu, fren!" Kataku sambil merangkul bahunya. Aku melihat Irwan menunduk dengan wajah muram. Aku yang merasa bersalah kemudian memberikan kecupan di rambutnya setelah memastikan tak ada yang melihat. Irwan kembali tersenyum dan lalu kami bangkit untuk menyusul ketiga teman kami bermain di sungai.
"Eh.. kenapa elu senyum-senyum?" tanya Iqbal.
"Enggak... iya! ente bener... kayaknya gue harus nemuin Fanny!" Kataku mantap.
Sebagai seorang yang bekerja di Hotel, sudah hampir pasti Fanny tidak libur di hari minggu. Itu sebabnya keesokan harinya dengan mengendarai sepeda motor aku langsung menuju Hotel tempat Fanny bekerja alih-alih mengunjungi alamat rumahnya. Sudah hampir jam setengah dua belas siang ketika akhirnya aku menemukan alamat Hotel tempat Fanny bekerja. Letaknya yang nyaris berada di kawasan Puncak Pass menyebabkan aku merasakan udara sangat dingin walau matahari tak sepenuhnya tertutup awan.
Hotel tiga lantai itu bergaya bangunan kuno walaupun di sana-sini tetap terasa sentuhan kemoderenannya. Tamannya tertata apik sehingga saat kita berjalan menuju lobby resepsionis terasa sangat menyenangkan. Aku menanyakan Fanny pada resepsionis Lobby dan kemudian dia menelepon dengan aiphone berbicara dengan seseorang. Tak sampai semenit Fanny muncul dari atas, rambutnya dia ikat ke belakang, wajahnya yang cantik terias lebih sederhana dibandingkan saat acara selamatan pernikahannya dua hari lalu. Dia memakai setelan blazer dan rok mini berwarna coklat tua dengan dalaman kemeja kuning gading.
"Rem, tunggu sebentar ya? kita ngobrol jam dua belas pas aku istirahat. Kamu boleh tunggu di lobby atau kalau enggak di kursi taman. Gapapa kan?" Kata Fanny lembut.
Aku mengangguk setuju. Kemudian aku memilih duduk di salah satu kursi taman yang mejanya berpayung. Udara dingin rupanya membuatku tanpa sadar tidak melepas jaketku sejak tiba di sini. Aku mulai membaca sebuah majalah yang sempat aku ambil di lobby. Tak lama kemudian seorang pelayan hotel menyuguhkan aku segelas lemon tea panas.
Jam dua belas lewat lima menit Fanny muncul menghampiriku. Aku tersenyum menyambutnya. Kemudian Fanny duduk di bangku tepat di seberangku. Kami sesaat terdiam, lalu aku melihat ujung-ujung rambut Fanny bergerak-gerak diterpa angin dingin.
"Eh.. Gapapa di sini? kita pindah aja ya?" Usulku khawatir Fanny kedinginan.
"Gapapa Rem." Tolak Fanny. Aku baru sadar, Fanny yang memang sudah lama tinggal di Puncak tentu sudah terbiasa dengan hawa dingin seperti ini.
"Kamu enggak dapet cuti nikah Fan?" Tanyaku memulai percakapan berusaha memecahkan suasana canggung ini.
"Kayaknya nanti habis lebaran Rem, sekalian bulan madu." Jawab Fanny. Aneh! kalimat yang harusnya dikatakan dengan gembira itu terdengar sangat suram keluar dari mulut Fanny. Kini aku baru menyadari, wajah cantik Fanny terlihat lelah seolah-olah dia terlalu sibuk memikirkan banyak masalah.
Senyum yang tadi sempat mengembang di wajahnya kini sudah benar-benar pudar saat Fanny berkata sambil memandang ke perbukitan berpohon pinus, "kamu pikir aku enggak tahu Rem?"
"Hah?" Tanyaku tak mengerti, padahal aku sangat khawatir Fanny mengetahui perasaan Irwan dulu padaku.
"Aku udah sadar ada sesuatu yang aneh sama Irwan sejak kami mulai dekat tiga tahun yang lalu," lanjut Fanny.
"Ng,,, gimana ceritanya sampe kalian deket lagi Fan?" Aku bertanya hati-hati.
"Dia yang ngehubungin aku duluan. Terus kita jalan bareng, yah... gimana sih orang kalau lagi pendekatan?" Tanya Fanny dengan pertanyaan retoris yang tidak butuh jawaban.
"Aku sadar Rem, soalnya kadang kalau aku perhatikan.. saat kita jalan-jalan atau kemana... Irwan kadang enggak bisa nahan diri ngelirik cowok cakep..." lanjut Fanny pelan.
"Terus, waktu aku ngelihat album fotonya, foto-foto waktu kita kuliah, dia masih nyimpen dua foto kamu sendirian yang dia taruh dibalik foto lain..."
Ucapan Fanny membuatku tercekat. Tapi dia tertawa kecil lalu melanjutkan. "Aku sempat nangis waktu minta dia jujur soal... keanehan dia, Rem! lalu dia nangis-nangis sambil memohon-mohon kalau dia mau insaf. Dia bilang dia enggak pernah sampai terjerumus lebih dalam, entah apa maksudnya."
"Kamu percaya begitu aja? Kamu nerima dia? Kenapa?" Aku bertanya tak habis pikir.
"Kalau kamu belum lupa Rem, aku cinta sama Irwan..."
Aku mendengus tidak percaya. "Cinta? setelah bertahun-tahun?"
"Rem, aku emang enggak minta kamu ngerti. Tapi kalau aku bisa leluasa mencintai dia walaupun dia enggak sebesar itu mencintaiku, itu udah cukup bikin aku bahagia Rem..."
Aku tidak sepenuhnya setuju dengan ucapan Fanny. Kata-katanya malah membuat hatiku merasa makin sakit dan marah hingga tanpa sadar tanganku terkepal. Fanny kemudian mengulurkan lengannya menggenggam tanganku "kamu enggak apa-apa kan Rem? soalnya kalau kamu masih marah sama aku, aku enggak akan bisa tenang... aku sayang banget sama kamu Rem!"
Aku memang tidak akan pernah bisa marah dengan Fanny karena aku sangat menyayanginya juga. Walaupun kini aku sangat tidak menyetujui pilihannya, yang bisa aku lakukan hanya membiarkan Fanny menjalani pilihannya itu.
"Kalau kamu minta dari dulu-dulu, gue pasti bakalan langsung nikahin kamu Fan!" ujarku.
Fanny malah tertawa, "Rem, menurut perasaanku sih, yang enggak bisa tertolong itu kamu! kamu sangka aku enggak tahu tatapan penuh cinta kamu sama Yudha?"
Aku cemberut kesal, namun Fanny melanjutkan."Udahlah Rem, nanti kalau seandainya Irwan bikin aku nangis, pasti aku bilang sama kamu... Dan kamu boleh tikam dia lebih dari sekedar pake garpu!" lanjutnya lagi sambil tertawa. Aku merasa wajahku bersemu merah.
"Yuk! makan siang dulu Rem!" Ajak Fanny sambil bangkit dari duduknya.
Yang aku tahu, kalau satu hal dari masa lalu mulai kembali, maka seperti gelombang, yang lain akan segera menyusul. Sebenarnya bukan pertemuan dengan Irwan yang aku khawatirkan. Aku tidak akan pernah berusaha mengganggu hubungan antara Irwan dan Fanny kalau akibatnya hanya akan membuat Fanny terluka. Tapi ya itu tadi! sesuatu yang saling berkaitan akan datang mengikuti kemudian.
Dimulai saat orangtuaku menelepon mengabari ada yang menanyakan kabarku. Mony. Dia rupanya mengetahui kabar pernikahan antara Fanny dan Irwan. Karena dia hanya mengetahui nomor telepon di rumah orangtuaku, dia menitip pesan kalau akan datang ke Bogor.
Ada satu orang lagi yang sudah pasti dikabari oleh Fanny. Dan dia juga hanya mengetahui momor telepon rumah orangtuaku.
"Udah di catat Rem? Dia minta kamu hubungin dia secepatnya..." Kata Mamaku di ujung sana.
"Iya, udah. Makasih ya Ma!" Kataku sambil menutup flip ponselku.
Dengan perasaan bercampur-aduk, aku menatap secarik kertas bertuliskan nomor ponsel seseorang... Nomor ponsel milik Yudha...
My Old Friend's Wedding -end of story-
********
hahahaha
keren juga gw..